Di tengah perkembangan esports yang sangat pesat, memulai karir sebagai pemain profesional bukan sekadar mimpi. Di Indonesia, ada beberapa tim profesional yang menawarkan pelatihan bagi gamer yang ingin naik level menjadi pemain profesional, seperti TEAMnxl> dengan NXL Esports Center dan RRQ dengan RRQ Academy. Pelatihan serupa juga bisa Anda temukan di Singapura dan Tiongkok. Beberapa universitas di Inggris Raya dan Amerika Serikat membawa pendidikan esports ke level yang lebih tinggi dengan menawarkan program S1 di bidang esports.
University of Staffordshire adalah salah satunya. Ryan Chapman, yang masih berumur 18 tahun, adalah salah satu mahasiswa jurusan esports di universitas tersebut. Dia mengaku, pada awalnya, orangtuanya skeptis ketika dia mengatakan ingin mengambil jurusan esports. “Tapi, kini mereka tahu seberapa besar industri ini, betapa cepatnya pertumbuhan industri esports. Mereka sekarang benar-benar mendukung saya karena esports adalah industri yang besar,” kata Champan, menurut laporan CBS News. Tidak tanggung-tanggung, bersamaan dengan program S1 esports, University of Staffordshire juga meluncurkan program S2 esports. Universitas itu bukanlah satu-satunya perguruan tinggi yang tertarik dengan pendidikan esports. Becker College juga memperkenalkan program “Bachelor of Science” untuk manajemen esports pada Oktober 2019 setelah melakukan “soft release” pada tahun lalu. Para mahasiswa di jurusan esports tak melulu bermain game. Di kampus, mereka sebenarnya mempelajari kemampuan terkait marketing dan manajemen industri esports.
“Banyak orang tidak sadar tentang industri esports,” kata Matt Huxley, dosen di Digital Institute London dari Staffordshire University. Huxley mengajar tentang cara untuk menyelenggarakan turnamen esports. Dia berkata, belajar tentang esports mirip dengan jurusan tentang manajemen olahraga. “Jika Anda ingin menjadi direktur klub sepak bola, Anda tidak belajar untuk bermain bola, Anda belajar bisnis tentang transfer pemain, bagaimana Anda bisa mengelola stadion, dan kemampuan operasional lainnya.”
Chichester University mempekerjakan mantan pro gamer Rams “R2K” Singh sebagai dosen di program esports mereka, yang menyertakan pelajaran tentang cara bermain FIFA dan League of Legends. Ohio State University juga dikabarkan berencana untuk membuka program S1 jurusan esports dan game. Salah satu hal yang dipelajari mahasiswa di sini adalah cara mengaplikasikan game ke industri kesehatan dan obat-obatan.
“Game tak lagi dimainkan oleh anak-anak dari basement rumah mereka,” kata Dean of Becker’s College’s School of Design and Technology, Alan Ritacco. “Pemain esports ternama sekarang memiliki penghasilan yang sama dengan atlet bintang di olahraga tradisional, seperti golf atau tennis.” Omongan Ritacco bukanlah omong kosong. Tim OG, yang memenangkan The International 2019, mendapatkan US$15,6 juta. Itu berarti, masing-masing anggota OG mendapatkan lebih dari US$3,1 juta. Sebagai perbandingan, Tiger Woods “hanya” mendapatkan US$2,07 juta setelah memenangkan Masters 2019. Sementara pemenang Wimbledon di kategori solo, Novak Djokovic dan Simona Halep, masing-masing mendapatkan US$2,9 juta.
Esports di dunia pendidikan Indonesia
Di Indonesia, ada setidaknya 20 kampus dan sekolah yang menawarkan program pendidikan game. Sayangnya, belum ada institusi pendidikan formal yang berani menyediakan program khusus untuk esports. Pada Maret 2019, Imam Nahrawi, yang ketika itu masih menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, membuat wacana untuk memasukkan esports ke dalam kurikulum sekolah. Dia mengatakan, esports dapat melatih fisik dan mental pemain. Dan memang, atlet esports tak hanya harus jago dalam bermain, tapi juga dapat berpikir strategis dan memiliki fisik yang tangguh. Hendry “Jothree” Handisurya yang mewakili Indonesia dalam pertandingan esports Hearthstone di SEA Games 2019 mengatakan, latihan fisik merupakan bagian dari persiapan di Pelatnas. Dalam pertandingan esports, pemain dipaksa untuk memutar otak selama berjam-jam. Agar dapat memberikan performa yang optimal, sang atlet harus memiliki fisik yang tangguh.
Saat Imam Nahrawi mengungkap wacananya untuk memasukkan esports ke kurikulum, ide ini disambut dengan baik oleh para murid SMA. Namun, ada juga pihak yang menentang, seperti pemerhati pendidikan dari Universitas Multimedia Nusantara, Doni Koesoma. “Kurikulum itu kalau mau ditambahkan materi pembelajaran, itu ada aturannnya. Jadi artinya kita tidak bisa setiap kali ada kebutuhan, kepentingan, lalu kemudian semua akan dimasukkan ke dalam kurikulum,” katanya, dikutip dari Antara News. Jika pemerintah ingin memasukkan esports ke dalam sekolah, dia menyarankan agar esports dimasukkan hanya sebagai kegiatan ekstrakurikuler.
Dalam acara RRQ Academy yang diadakan di Raffles College pada Senin, 28 Oktober 2019, Head of RRQ Academy, Merril Riandi mengatakan bahwa membawa esports ke kurikulum bukanlah hal yang mudah. “Banyak pintu yang harus dibuka satu per satu. Salah satu yang ada, Federasi Esports Indonesia. Itu bisa jadi pondasi. Dari asosiasi, esports bisa diakui secara resmi oleh pemerintah,” ujarnya. Dia mengatakan, Indonesia memiliki talenta esports yang tak kalah jika bertanding di kancah internasional. Ini terbukti ketika Indonesia memenangkan medali emas dalam cabang esports Clash Royale ketika esports masuk sebagai pertandingan eksibisi di Asian Games 2018. Untuk memasukkan esports ke sekolah, Riandi merasa, hal ini bisa dimulai dari kegiatan ekstrakurikuler. “Di sekolah kan sudah ada ekskul olahraga, seperti basket atau tenis meja. Sebenarnya, esports bisa masuk di situ,” ungkapnya. Dan sama seperti pelajaran olahraga, esports di sekolah tak melulu hanya bermain game, tapi juga mempelajari teori yang ada. “Sejak kecil, anak-anak sudah pegang smartphone, ada akses ke dunia game. Kenapa nggak coba diarahkan ke sesuatu yang lebih positif?”
Tantangan membawa esports ke dunia pendidikan
Yohannes P. Siagian yang pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah SMA 1 PSKD dan Vice President EVOS Esports menyayangkan fakta bahwa Imam Nahrawi tak pernah memberikan rencana yang konkret terkait wacananya untuk memasukkan esports ke sekolah. “Tapi overall, menurut saya memasukan esports ke program sekolah merupakan hal yang positif. Banyak benefit yang bisa didapat murid dari esports,” ujarnya ketika ditemui oleh Hybrid pada Rabu, 30 Oktober 2019. Soal jenjang sekolah, dia mengatakan bahwa esports belum pantas untuk dimasukkan ke kurikulum SD, tapi sudah bisa dimasukkan ke kurikulum SMP. “Yang penting, ada title yang kontennya cocok dengan jenjang umur,” katanya.
Menurut Yohannes, durasi waktu yang ideal untuk pelajaran esports di sekolah adalah empat sampai enam jam per minggu, yang dibagi dalam dua pertemuan. “Kalau hanya kumpul satu kali seminggu untuk main bersama dan tidak ada upaya pengembangan skill, itu bukan esports,” ujarnya. Dia merasa. pihak sekolah harus dapat membedakan antara “gaming” dan “esports“. Dalam esports, murid tak hanya bermain untuk bersenang-senang, tapi ada pengajaran dan tujuan yang jelas, untuk meningkatkan kemampuan siswa.
Menurutnya, inilah mengapa mencari pelatih yang mumpuni menjadi salah satu tantangan tersulit dalam membawa esports ke sekolah. “Coaching sangat penting dan kendala paling besar dalam mengembangkan esports di sekolah adalah coach,” ujarnya. Saat ini, mencari pelatih yang memang ahli lebih sulit dari sekadar mencari sponsor. Alasannya karena memang belum ada pelatih yang hebat di Indonesia. Selain itu, orang yang memiliki kemampuan untuk menjadi pelatih biasanya lebih memilih untuk menjadi pelatih tim profesional daripada pelatih di sekolah. “Nyari coach yang kompeten itu susahnya bukan main. Jangankan di level sekolah, di level pro saja cari coach susah. Nggak ada yang mau jadi coach, semua mau jadi pemain,” dia bercerita.
Masalah lain dalam membawa esports ke dunia pendidikan adalah orangtua. Sebagian orangtua percaya, esports berpotensi untuk merusak anak. Padahal, menurut Yohannes, ada banyak soft skills yang bisa dipelajari oleh siswa jika mereka aktif dalam esports, seperti strategi, problem solving, dan juga komunikasi. Anak juga bisa belajar tentang cara mengatasi tekanan dan cara menghadapi kekalahan. Memang, ada orangtua yang sangsi akan keuntungan yang didapat oleh para pemain esports, tapi Yohannes percaya bahwa selama pihak sekolah dapat memberikan penjelasan yang baik dan konsisten akan manfaat esports, orangtua akan paham. Untuk memberi pemahaman pada orangtua, guru memang harus rela untuk bekerja ekstra. Dia menyayangkan, banyak guru di Indonesia yang enggan untuk menghabiskan waktu dan tenaga ekstra untuk memberikan penjelasan. Sambil bercanda, dia berkata bahwa kebanyakan guru di Indonesia saat ini akan segera beranjak pulang ketika bel tanda pulang sekolah berbunyi. Pada saat yang sama, jika guru tak kooperatif dan memiliki pemikiran kolot, mereka justru bisa menjadi tantangan lain dalam membawa esports ke pendidikan. Dia lalu berbagi cerita tentang usahanya sebagai kepala sekolah PSKD untuk mengadakan program esports. Berdasarkan pengalamannya, tak banyak guru yang menentang rencananya. Dia merasa, hanya ada satu atau dua guru yang memang berumur tua — 50-60 tahun — yang menyatakan keberatan akan program esports.
Sebenarnya, tak aneh jika banyak orangtua yang masih sangsi tentang program esports di sekolah. Sebagai industri yang masih baru, memang masih banyak orang yang tak paham dengan esports. Karena itulah, para pelaku esports harus melakukan edukasi. Yohannes mengatakan, idealnya, semua pelaku yang berkecimpung di dunia esports — mulai dari pemain dan tim profesional, penyelenggara, panitia, hingga organisasi-organsisasi esports seperti FEI (Federasi Esports Indonesia), IESPA (Indonesia Esports Association), dan AVGI (Asosiasi Olahraga Video Games Indonesia) — harus ikut berkontribusi dalam mengembangkan esports dengan memberikan edukasi pada masyarakat. “Cuma, kadang, mereka saling tunggu-tungguan,” keluhnya. Banyak pihak yang lebih memilih untuk menggunakan dana yang mereka miliki untuk melakukan hal lain daripada edukasi.
Kalau sekolah mau memulai program esports, mulai dari mana?
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh DS Research, dua dari lima game esports yang paling populer di Indonesia saat ini adalah game mobile. Meskipun begitu, secara global, turnamen untuk game-game esports PC seperti Dota 2, Counter-Strike: Global Offensive, dan Overwatch juga masih diminati. Sementara game esporst fighting seperti Tekken 7 atau olaharga seperti FIFA, juga memiliki fans tersendiri. Lalu, jika sekolah memang ingin mengadakan program esports, sebaiknya platform apa yang mereka harus gunakan?
“Mobile,” jawab Yohannes cepat. “Karena paling murah, paling accessible.” Selain itu, investasi awal yang perlu dikeluarkan oleh sekolah juga bisa ditekan. “Tidak mudah bagi sekolah untuk menyediakan PC gaming,” ujarnya. Dia memperkirakan, jika sebuah sekolah ingin memastikan program esports berjalan dengan baik, diperlukan setidaknya 10 PC gaming, yang memiliki harga setidaknya Rp12 juta. Itu artinya, sekolah harus menyiapkan setidaknya Rp120 juta. Dia bercerita, berdasarkan pengalamannya untuk membuat laboratorium esports di PSKD, selain investasi awal, pihak sekolah juga harus mempertimbangkan hal lain seperti maintenance. Selain itu, dengan memilih platform mobile, siswa yang ingin berlatih bisa menggunakan smartphone mereka sendiri. Jadi, pihak sekolah tak perlu khawatir siswa akan merusak PC yang disediakan oleh sekolah.
Sekarang, mulai banyak turnamen yang ditujukan untuk tingkat pelajar dan mahasiswa. Sebut saja High School League dari JD.ID, yang mengadu Dota 2. Dalam konferensi pers, pihak JD.ID menjelaskan bahwa alasan mereka memilih Dota 2 adalah untuk memudahkan pihak sekolah mengawasi siswa yang ikut dalam turnamen agar mereka tidak bermain di dalam kelas. Saat ditanya tentang pengawasan murid di kelas, Yohannes mengatakan, biasanya, siswa yang ikut serta dalam esports akan memiliki disiplin diri yang lebih baik, sama seperti murid yang ikut dalam kegiatan kompetitif lain, seperti basket atau musik. Karena, dia menegaskan, berlatih untuk bertanding dalam turnamen berbeda dengan sekadar bermain game. “Harus ada titik dimana kita percaya sama murid,” katanya. Dia mengungkap, murid yang bertanding di kompetisi lain, seperti olahraga tradisional, juga harus dipercaya untuk tidak mengorbankan pendidikan mereka demi berlatih.
Walau Yohannes percaya pembinaan esports sebaiknya dilakukan sejak muda — layaknya pembinaan atlet olahraga tradisional– dia juga mengatakan, pengadaan jurusan esports di universitas Indonesia juga memiliki prospek yang menarik. “Kampus yang pertama buka (jurusan esports), akan langsung full kuotanya,” ujarnya percaya diri. “Memang perlu, dari segi manajemen dan bukan pemain. Orang sering salah paham, jurusan esports dikira hanya main. Padahal, definisi esports adalah kompetisi yang dilakukan melalui media digital.” Dia merasa, saat ini industri esports masih sangat muda dan belum berkembang. Dan walau pemain profesional selalu menjadi sorotan media, ada banyak pihak lain yang terlibat dalam esports, mulai dari pihak manajemen tim esports sampai penyelenggara turnamen.
Mencari talenta vs eksploitasi anak
Jika dibandingkan dengan pekerja kantoran, umur karir atlet relatif singkat. Rata-rata umur pensiun pemain bola adalah 35 tahun, menurut Professional Footballers’ Association (FPA). Umur atlet esports bisa lebih singkat dari itu. Tak sedikit atlet esports yang puncak karirnya saat mereka berumur belasan tahun. Misalnya, Kyle “Bugha” Giersdorf memenangkan Fortnite World Cup ketika dia masih berumur 16 tahun. Sayangnya, itu berarti, atlet esports pensiun ketika umur mereka masih muda, pada umur 20-an. Setelah pensiun, sebagian pemain profesional seperti Michael “Shroud” Grzesiek memutuskan untuk menjadi streamer. Ada juga pilihan untuk menjadi pelatih pemain amatir.
Yohannes percaya, atlet bisa berprestasi karena dia dibina sejak dini. Dan hal ini tidak hanya berlaku untuk esports, tapi juga olahraga tradisional, seperti bulu tangkis. Musisi atau penari balet juga biasanya sudah memulai latihan sejak usia muda. Namun, tak semua orang memiliki pendapat yang sama dengan Yohannes. Sebagian orang menganggap remaja yang menjadi atlet esports sebagai eksploitasi anak. Sebelum beranjak dewasa, seorang anak tidak seharunya bekerja. Yohannes mengatakan, memang, dalam dunia ideal, remaja seharusnya fokus pada pendidikan mereka dan bukannya memikirkan cara mencari uang. Sayangnya, dunia yang kita tinggali jauh dari ideal. “Kalau pilihannya antara menjadi pemain esports atau bekerja di sawah, pilih yang mana?” tanyanya. Tak sedikit anak yang harus putus sekolah karena keluarga mereka tak sanggup untuk membiayai.
“Bagi orangtua, membiarkan anaknya pergi jauh bukanlah perkara simpel. Jangankan ketika anak masih SMP, berangkat kuliah saja, terkadang orangtua tak membiarkan anak keluar dari kota tempatnya tinggal,” ujar Yohannes. “Tapi, kita juga harus melihat apa yang bisa didapatkan si anak.” Dia berkata, jika hidup sang anak menjadi lebih baik setelah dia memutuskan untuk pergi dari kampung halamannnya — demi menjadi atlet esports atau mengejar beasiswa misalnya — maka itu tidak termasuk eksploitasi anak. Dia mengakui, garis antara eksploitasi anak dan usaha untuk membantu anak mendapatkan masa depan yang lebih baik memang sangat tipis.
Dia berkata, manajemen tim esports juga memiliki tanggung jawab dalam menjamin masa depan para atletnya, terutama yang masih muda. “Ada tim yang menawarkan homeschooling,” katanya. Ketika seorang anak memutuskan untuk berhenti sekolah atau tidak kuliah demi menjadi atlet profesional dan bergabung dengan sebuah tim, Yohannes merasa, pendidikan sang atlet menjadi tanggung jawab tim sampai pendidikan sang anak berakhir. “Karena komitmen si anak untuk berhenti sekolah bukan komitmen satu, dua tahun, tapi sampai sekolah/kuliah selesai. Seharusnya, tim memberikan homeschooling sampai dia lulus,” katanya. “Tim juga harus mengupayakan pendampingan agar si atlet tak keluar dari rel.” Karena, mudah bagi para atlet esports — yang biasanya sudah mendapatkan gaji besar di usia muda — untuk terjerumus.
Dia merasa, eksploitasi anak adalah ketika sebuah tim mengajak atlet untuk keluar dari sekolah dan tak bertanggung jawab atas masa depannya, misalnya dengan memutus hubungan kerja secara sepihak ketika performa sang atlet menurun walau sang atlet telah rela untuk keluar dari sekolah. Dia membandingkan dengan sistem beasiswa olahraga di PSKD. “Beasiswa berlaku sampai lulus. Kecuali murid buat pelanggaran yang parah, terkait perilaku, beasiswa takkan dicabut,” ujarnya. Jika sang penerima beasiswa ternyata tak memiliki performa yang baik, dia merasa, itu adalah kesalahn sekolah dalam memilih dan membina siswa. Pada akhirnya, dia mengatakan bahwa apakah anak menjadi korban eksploitasi ketika mereka bergabung dengan tim esports adalah masalah serius yang seharusnya dibahas secara mendalam. Di industri esports, seharusnya ada guideline untuk menentukan apakah sebuah tim melakukan eksploitasi anak. Sayangnya, dia tak melihat organisasi yang mumpuni untuk membuat guideline tersebut.
Akhir kata…
Esports akan menjadi industri yang besar. Menurut Goldman Sachs dan Newzoo, dalam waktu tiga tahun, esports akan menjadi industri dengan nilai miliaran dollar. Namun, valuasi industri esports bukan satu-satunya indikator yang menunjukkan esports akan terus berkembang di masa depan, tapi juga dari segi penonton. Jumlah penonton esports diperkirakan mencapai 194 juta pada tahun ini dan akan naik menjadi 276 juta orang pada 2022. Dan sebanyak 79 persen penonton esports adalah orang-orang di bawah umur 35 tahun, yang kini tak lagi menonton media tradisional seperti televisi. Ini menunjukkan esports akan menjadi salah satu opsi hiburan bagi para generasi milenial dan gen Z.
Namun, sama seperti segala sesuatu yang baru, esports juga memiliki dampak negatif. Dan wajar jika masyarakat memiliki kekhawatiran akan esports, terutama jika pengetahuan tentang competitive gaming minim. Tapi, itu seharusnya tidak dijadikan alasan untuk tidak ikut serta dalam industri esports. Karena, kemajuan zaman tak terelakkan, layaknya teknologi yang awalnya ditakuti dan kini justru terbukti memudahkan kehidupan banyak orang. Risiko akan selalu ada. Esports bukanlah pengecualian. Yang bisa kita lakukan adalah mengedukasi diri sendiri agar kita bisa meminimalisir risiko.
Sumber header: Wikipedia