OG telah menjadi juara Dota 2 The International 2019 (TI 9). Mereka menjadi juara setelah berhasil mengalahkan Team Liquid, dalam gelaran Grand Final yang diselenggarakan pada akhir pekan kemarin (25 Agustus 2019), di Shanghai, Tiongkok.
Tapi ini bukan kemenangan biasa. OG mencatatkan dirinya di dalam sejarah esports Dota, sebagai tim pertama yang berhasil memecahkan “kutukan”. OG adalah tim Dota 2 pertama dalam sejarah yang bisa memenangkan The International dua kali berturut-turut. Mereka juga tim asal Barat pertama yang berhasil memenangkan Dota 2 TI di tahun genap.
Tapi, kesuksesan OG yang kita lihat hari ini, merupakan sebuah jalan panjang berliku yang telah dipahat dengan susah payah oleh Johann “N0tail” Sundstein. Bagaimana OG bisa mencapai titik kesuksesan seperti ini?
Pemain Heroes of Newerth yang Berganti Haluan
Pertama kali mencoba pertaruhan di kancah kompetitif Dota 2, N0tail terhitung sebagai anak baru jika dibanding lawan-lawannya. Hal ini karena ia sebenarnya adalah pemain Heroes of Newerth untuk tim Fnatic yang berubah haluan ke Dota 2.
Rostern Fnatic ketika itu adalah, N0tail, Tal “Fly” Aizik, Adrian “Era” Kryeziu, Kai “H4nn1” Hanbückers, dan Kalle “Trixi” Saarinen. Mereka pertama kali melakukan debutnya di The International 2013.
Ketika itu ia dianggap sebagai pemain muda yang punya potensi. Namun ia tak sebersinar layaknya Sumail “SumaiL” Hassan, yang langsung menjadi juara The International pada debut pertamanya.
N0tail tak bisa bicara banyak saat menghadapi musuh-musuhnya. N0tail bersama Fnatic harus menerima kekalahannya saat melawan Orange Esports, tim kuat asal Malaysia yang dipimpin oleh pemain veteran, Chai “Mushi” Yee Fung.
Kegagalan demi kegagalan ia dapatkan. Ia berpindah dari satu tim ke tim lain demi mendapatkan hasil yang lebih maksimal. N0tail pernah mencoba bermain untuk Team Secret, tapi tidak berhasil. Sempat bermain untuk Cloud9 juga, tapi lagi-lagi ia kembali gagal mendapatkan Aegis of Champion. Sampai akhirnya ia memutuskan membuat tim sendiri, tim yang menurutnya ideal.
Membangun OG dengan Berbagai Momen Jatuh Bangun
Akhirnya N0tail memutuskan untuk membuat tim sendiri bersama dengan kawan bermainnya sejak dari zaman ia masih berkompetisi di kancah Heroes of Newerth bersama Fnatic, Tal “Fly” Aizik. Ia membuat tim bernama Monkey Business, yang setelah mendapatkan sponsor berganti nama menjadi OG.
N0tail bersama Fly membangun tim OG dengan membawa mindset mengutamakan pertemanan. Fly mengatakan hal ini dalam dokumenter Against the Odds, “Ide besar di balik OG adalah pola pikir mengutamakan pertemanan, namun tetap dengan semangat kompetitif untuk juara.”
Maka dari itu, OG tidak mengambil pemain papan atas, melainkan mengambil pemain dengan skill yang mumpuni, namun punya mindset serupa. Roster awal OG ketika itu adalah Andreas “Cr1t” Franck Nielsen, David “MoonMeander” Tan, dan sang pub star Amer “Miracle-” Al-Barkawi.
Tak ada yang menduga dengan kekuatan tim yang satu ini pada awalnya. Namun mereka berhasil mendobrak kancah kompetitif Dota ketika itu. Saat Valve membuat satu rangkaian kompetisi bernama Major, OG merajalela hampir di semua kompetisi tersebut.
Dari tahun 2015 sampai awal tahun 2017, mereka hampir memenangkan semua Major yang diselenggarakan oleh Valve. Mulai dari Frankfurt Major 2015, Manila Major 2016, Boston Major 2016, sampai Kiev major 2017.
Tapi sayangnya ada satu prestasi yang tak bisa dilengkapi oleh N0tail, Fly dan kawan-kawan OG, yaitu The International. Pada The International 2016 mereka gagal dengan cukup pedih, gugur pada awal-awal fase main stage.
Pasca kejadian tersebut Fly bertahan dengan visi yang ia bawa ketika membangun OG. Fly mengungkapkan hal tersebut dalam salah satu wawancara bersama dengan Red Bull Media.
“Banyak tim tidak selamat dari masalah tersebut (pergantian roster). Namun demikian, beberapa dapat menyelesaikan isu tersebut, dengan saling bicara dan pada akhirnya bisa bergerak maju sebagai tim. Bagi kami, menyelesaikan masalah-masalah tersebut terbukti telah membawa kami menang di Manilla Major.” Ungkap Fly.
Tahun 2017, N0tail dan Fly kembali mencoba memperjuangkan TI, tetapi dengan roster yang berbeda, yaitu Anathan “Ana” Pham, Gustav “s4” Magnusson, Jesse “JeRax” Vainika. Sayang, lagi-lagi mereka mengalami kegagalan.
Momen TI 7 ini yang memunculkan rivalitas antara N0tail dengan Fly. Setelah berkali-kali gagal, Fly akhirnya memutuskan untuk pindah ke tim Evil Geniuses bersama dengan s4 beberapa saat jelang The International 2018.
Dengan keadaan tim yang tercerai berai, OG harus mengulang kembali kisah perjuangan menjadi tim kuda hitam di TI 8.
Gabungan Talenta, Strategi, dan Kepercayaan Sesama Tim
N0tail agaknya masih mempertahankan nilai kepercayaan di dalam membangun sebuah tim. Ia lebih mengutamakan kesamaan mindset ketimbang sekadar mengambil pemain yang sudah terbukti kemampuannya.
Ini mungkin bisa dibilang jadi salah satu alasan terbentuknya roster OG untuk TI 8 yang dipertahankan sampai TI 9. Mereka mengambil Topias Mikka “Topson” Taavitsainen, menarik kembali Ana, dan memainkan sang pelatih, Sebastien “Ceb” Debs.
Banyak yang tidak percaya dengan roster ini, tapi N0tail percaya. Soal memainkan Ceb, N0tail sempat membicarakannya dalam sebuah wawancara dengan VPEsports. Ketika itu tak hanya mengakui Ceb sebagai pelatih yang luar biasa, dan tapi juga sebagai salah satu pemain dengan kemampuan mekanik yang sangat baik.
Begitu juga dengan Topson. Ia sempat malang melintang di berbagai kompetisi online, yang daftarnya mungkin akan terlalu panjang jika harus semuuanya dituliskan di sini. Pengalaman terbesarnya main di panggung adalah saat ia beratnding di WESG Global Grand Finals dengan tim Finlandia. Meski TI tetap belum masuk dalam pengalamannya, namun N0tail tetap percaya.
Dengan roster “seadanya” mereka secara mengejutkan berhasil memenangkan TI 8. Tetapi itu tidak serta-merta hanya karena mereka jago bermain. Ini yang sebenarnya menarik untuk dibahas, yang mana unsur coaching dan mental menjadi faktor terpenting atas kemenangan OG di The International 2018, dan mengulangnya di The International 2019.
Ketika Aspek Psikologis Membawa OG Menang The International Dua Kali
Sebagai tim yang percaya untuk menyelesaikan masalah ketimbang mengganti roster, OG benar-benar menempatkan jerih-payahnya untuk mencapai hal tersebut. Buktinya sudah jelas, OG bisa menang dua kali TI dengan roster yang sama persis.
Sebastien “Ceb” Deb sempat membicarakan ini tahun 2018 lalu dalam wawancara yang cukup panjang dengan VPEsports. Mengingat Ceb juga sempat melatih OG untuk beberapa saat, ia cerita juga soal proses coaching yang ia lakukan.
Menariknya Ceb mengatakan, bahwa menganalisis game sebenarnya hanya satu hal kecil yang bisa dilakukan coach di dalam sebuah pertandingan. “Lebih soal bagaimana Anda menyampaikan informasi ini kepada rekan satu tim.” Ceb melanjutkan.
“Bagian mental adalah hal yang sangat penting sekali, karena ketika pemain tertekan di antara permainan, mereka sebenarnya berada di bawah tekanan yang sangat berat. Anggaplah kita membicarakan pertandingan winner bracket di antara game satu dengan game dua di The International. Saat itu anda hanya punya waktu 30 detik. Dengan waktu tersebut, Anda bisa membuat rekan satu tim Anda jadi dua kali lebih kuat atau Anda bisa membuat mereka jadi hancur ketika akan memasuki permainan” Ceb memperjelas.
Ceb sebenarnya punya kemampuan memahami permainan, tapi seperti yang dijelaskan, itu saja tidak cukup. Melatih tim selama kurang lebih dua tahun, akhirnya memaksa Ceb belajar memahami mood dan aspek psikologis kawan-kawannya; walau pada TI 8 Ceb akhirnya turun ke pertarungan dan menjadi pemain.
“Namun jika harus jujur, sebuah tim sebenarnya butuh setidaknya dua orang coach. Satu adalah technical coach, satunya adalah pelatih yang bisa dibilang psychological coach. Menjadikan satu orang untuk melakukan keduanya adalah hal yang menurut saya sangat merugikan.” Ceb menjelaskan.
Pada TI 8 bisa dibilang peran technical coach dijalankan oleh Ppasarel, seorang pemain Dota veteran sejak zaman Defense of the Ancient. Sementara peran pshychological coach, mungkin bisa dibilang dijalankan oleh Ceb dan N0tail sebagai sosok yang lebih dewasa di banding dengan rekan satu tim lainnya.
Formula tersebut berhasil membuat OG berubah total, dari tim yang tercerai berai sesaat sebelum Dota TI, menjadi tim yang menjuarai kompetisi esports dengan hadiah terbesar di dunia. Bagaimana dengan tahun ini?
Akhirnya OG bisa mewujudkan apa yang dikatakan Ceb, menghadirkan technical coach dan psychological coach. Dari sisi technical coach, ada Titouan “Sockshka” Merloz, pemain Dota asal Perancis yang juga punya pengalaman panjang di kancah kompetitif Dota.
Dari sisi psychological coach yang sebenarnya membuat OG jadi menarik. Ada Mia Stellberg, seorang psikolog yang punya banyak pengalaman melatih mental atlet maupun atlet esports.
Sebagai sports psychologist, Mia sempat menjadi pelatih dalam mempersiapkan atlet untuk Olimpiade. Sebagai esports psychologist, bisa dibilang pelatih ini punya kemampuan menghancurkan “kutukan” di esports, sebagai salah satu keahlian dalam portfolionya.
Ia menjadi bagian dari sejarah saat tim Astralis berhasil mematahkan “kutukan” kancah CS:GO di tahun 2017. Pada masa itu Astralis terkenal sebagai tim yang bermain dengan baik di fase grup, namun jadi hancur berantakan saat menghadapi tekanan mental, dan selalu berakhir gagal menjadi juara.
Dengan bantuan Mia, Astralis keluar sebagai juara ELEAGUE Major: Atlanta 2017. Mereka berhasil mematahkan “kutukan” bahkan melanjutkan tradisi juara mereka sampai tahun ini.
Bersama OG, Mia seakan kembali menjadi penawar atas kutukan-kutukan yang selama ini terjadi di esports, termasuk Dota 2. Dalam sebuah wawancara bersama VPEsports, Mia sedikit bercerita soal perannya dalam membantu OG.
Ia kembali menekankan soal bagaimana masing-masing pemain memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, yang dapat berubah dan berevolusi. “Menurut saya, sebagai seorang esports psychologist, tugas saya adalah menstabilkan hasil yang akan mereka dapatkan dan membuat aksi mereka jadi lebih bisa diprediksi.” Mia menjelaskan perannya.
Topson juga menceritakan perjuangan dari sisinya. Walau semua terlihat sangat mudah bagi OG untuk The International 2019, namun nyatanya perjuangan tidak semudah itu bagi mereka. “Perjuangan kami sulit, jujur ada masalah motivasi yang kami alami dan itu menjadi sangat berat. Performa kami tidak maksimal pada beberapa kompetisi, tetapi semakin dekat dengan TI, motivasi kami kembali, dan ya inilah kami.” ucap Topson.
Dia juga menceritakan bagaimana kehadiran Mia benar-benar sangat membantu perjuangan OG selama perjuangannya di TI 9. Tapi Mia juga kembali menambahkan, bahwa sebagian besar kemenangan OG di The International 2019 adalah karena mereka sendiri.
“Orang-orang bisa saja mengatakan sesuatu hal soal apa yang bisa atau tidak bisa Anda lakukan. Tetapi tergantung kepada Anda untuk mendengarkannya atau tidak. Pemain-pemain OG tidak mendengarkan komentar orang lain tentang mereka. Mereka melakukan apapun yang mereka mau, mereka independen, pintar, dan tidak terkena dampak dari hal-hal klise (kutukan memenangkan TI dua kali berturut-turut) dunia esports yang diucapkan oleh orang-orang.” Mia menjelaskan.
—
Perjuangan OG menjadi juara The International sebanyak dua kali berturut-turut tak hanya menorehkan sejarah, tapi juga meninggalkan banyak hal yang bisa kita pelajari.
Apapun sudut pandang kita terhadap jalan yang ditempuh seseorang menjadi sukses, nyatanya proses seseorang atau suatu tim untuk menjadi juara itu tak pernah mudah dan tak boleh sekalipun diremehkan.