Karena memang tidak bergantung pada fisik, industri gaming secara umum justru meningkat di kala pandemi. Penjualan hardware PC meningkat 10%. Laporan lainnya, jumlah gamer baik untuk mobile ataupun PC juga mengalami peningkatan. Pertumbuhan di mobile gaming bahkan tak hanya soal jumlah pemainnnya namun juga dalam hal pendapatan dari in-app purchase (IAP). Pendapatan yang diterima oleh game-game mobile selama bulan Maret dan April 2020 justru malah lebih besar ketimbang masa liburan di Desember 2019 — yang umumnya menjadi puncak pendapatan game mobile. Di Q1 2020, total belanja gamer di US bahkan mencapai US$10,9 miliar yang naik 9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Di sisi lain, meski esports juga jadi terbatas pada turnamen online, viewership turnamen esports juga naik dua kali lipat menurut IDC. Meski industri esports mungkin akan terganggu jika pandemi ini akan berjalan panjang, setidaknya saat ini esports masih bisa bergerak naik.
Kondisi Warnet di Kala Pandemi
Sayangnya, peningkatan ini tak bisa dirasakan oleh salah satu bagian dari industri game yaitu industri warnet. Pasalnya industri warnet memang berbasis fisik, layaknya turnamen esports tatap muka yang terkena dampak kebijakan pembatasan fisik.
Untuk menggali lebih jauh, saya pun menghubungi salah seorang kawan saya yang sudah lama berkecimpung di ranah ini. Turyana Ramlan adalah Sekjen dari HIPWINDO (Himpunan Pengusaha Warung Internet Indonesia).
Ia pun mengawali ceritanya dengan penurunan yang dirasakan oleh para pemilik warnet. “Penurunannya bervariasi dari 30-50% untuk wilayah yang masih boleh buka dengan menerapkan protokol kesehatan. Untuk wilayah yang tidak boleh buka, penurunannya ya bisa jadi 100%.” Cerita Ramlan.
Untuk warnet yang masih boleh buka, ada sejumlah penyesuaian yang harus dilakukan. Ramlan pun mengungkap, “area yang boleh buka juga memberlakukan jam malam. Ada yang harus tutup jam 9 malam dan ada juga yang boleh sampai jam 12 malam karena dilarang buka 24 jam.”
Selain pembatasan jam beroperasi, warnet juga diharuskan untuk melakukan pembatasan kapasitas selain protokol kesehatan lainnya. Protokol kesehatan yang dilakukan oleh warnet juga sama seperti kebanyakan area umum lainnya.
“Wajib cek suhu tubuh saat masuk ke area warnet. Wajib menggunakan masker. Jarak antar PC juga dibuat lebih jauh. Ada juga yang menggunakan sekat tambahan antara satu PC dengan yang lainnya.” Kata Ramlan yang saya hubungi lewat pesan Whatsapp.
Selain memang kebijakan pembatasan fisik yang berbeda-beda antar wilayah berdasarkan jumlah kasus COVID-19, satu hal yang unik dari perbedaan kebijakan untuk warnet adalah soal perbedaan definisi yang digunakan oleh pemda/pemprov setempat.
Menurut penuturan Ramlan, ada yang mendefinisikan usaha warnet sebagai layanan yang berkaitan dengan komunikasi dan teknologi seperti browsing, printing, dan kawan-kawannya. Namun ada juga yang mengkategorikan warnet sebagai tempat hiburan, sejenis arcade center (seperti Timezone), jadi wajib ditutup.
Ia pun berargumen lebih jauh jika perbedaan definisi yang digunakan oleh pemda atau pemprov setempat inilah yang membuat industri warnet jadi lebih sulit mencari solusi di kala pandemi. Misalnya, jika para pemilik warnet bisa memastikan para pengunjung di area memang hanya bermain, bukan sekadar nongkrong, hal ini bisa jadi salah satu upaya untuk menekan persebaran virus karena memang membatasi interaksi antar individu meski di area umum. Namun solusi-solusi seperti ini memang jadi tak relevan jika memang pemerintah setempat sudah mengkategorikannya sebagai tempat hiburan.
“Di sinilah peran organisasi, seperti HIPWINDO, dibutuhkan.” Jelas Ramlan. Pasalnya, HIPWINDO memiliki beberapa misi seperti menjadikan wadah komunikasi antara semua pihak yang terkait dengan bidang industri teknologi informasi dan komputer, serta olahraga elektronik.
Prediksi ke Depan Industri Warnet di Kala Pandemi?
Menurut Ramlan, industri warnet akan terus tumbuh dan berkembang meski harus beradaptasi dengan segala bentuk perubahan yang terjadi.
Di sisi lain, izinkan saya juga menyumbangkan opini dari perspektif saya yang sudah berkecimpung di industri gaming secara umum di Indonesia sejak 2008.
Di Januari 2020, kami juga sempat mendengarkan cerita dari para pemilik warnet tentang kondisi industri ini di 2019. Bahkan sebelum pandemi sekalipun, bisnis warnet sebenarnya juga sudah tergerus karena beberapa sebab.
Inilah ketiga penyebabnya, menurut pengamatan saya.
Penyebab pertama adalah yang paling kentara, yaitu dominasi mobile gaming di Indonesia. Salah satu bagian dari pasar gamer yang sebelumnya bermain game di warnet adalah anak-anak atau gamer kelas ekonomi bawah. Buat pasar ini, mobile gaming tentunya jadi disrupsi yang sangat kuat karena ongkos yang lebih murah — yang biasanya jadi pertimbangan pertama pasar ekonomi bawah.
Hal ini terbukti dengan perubahan tren warnet kumuh dengan spek PC dan interior ala kadarnya menjadi konsep icafe.
Tentunya, tidak semua gamer warnet adalah kelas ekonomi bawah juga. Ada juga kelas ekonomi menengah dan atas yang bermain di warnet karena ada nilai lebih lainnya yang bisa ditawarkan.
Salah satunya adalah soal kompetisi dan komunitas esports PC yang dulu memang berangkat dari warnet. Sayangnya, esports PC juga ikut terkikis tajam beberapa tahun belakangan. Para pelaku di ekosistem esports Indonesia dari semua sisi (tim, EO, media, kreator konten, sponsor, dkk.) lebih menaruh perhatian juga ke mobile esports karena dipandang lebih menguntungkan.
Tergerusnya esports PC jadi membuat gamer PC kompetitif jadi kehilangan alasan dan tujuan untuk terus berlatih dan mencari komunitas di warnet.
Penyebab ketiga, menurut saya, datang dari bergesernya peran publisher game lokal. Diakui atau tidak, dulu publisher game lokal seperti Lyto, Megaxus, Wavegame, dan kawan-kawannya yang jadi penggerak utama industri game tanah air — alias pihak yang menggelontorkan dana paling besar.
Sekarang, meski publisher-publisher tadi masih ada, mereka tak lagi menjadi penggerak utama atau bahkan tak lagi kedengaran suaranya. Posisi itu sekarang dipegang oleh publisher game luar negeri seperti Tencent, Garena, ataupun Moonton.
Mungkin memang penyebab pergeseran peran tadi juga karena melesatnya mobile gaming di Indonesia. Namun, bagi saya, ada juga soal brand image publisher lokal yang sudah tak lagi positif dari perspektif para pemainnya — mengingat kebanyakan (jika tak mau dibilang semua) game rilisan publisher lokal dulu bersifat pay-to-win.
Dari tiga penyebab di atas tadi, pandemi ataupun solusi atas pandemi jadi tak lagi relevan… Ditemukannya vaksin COVID-19 juga bukan jadi solusi atas 3 persoalan yang saya jabarkan di atas.
Penutup
Akhirnya, saya setuju sebenarnya dengan Ramlan jika warnet masih bisa bertahan selama mereka bisa beradaptasi di berbagai aspek, termasuk di masa pandemi.
Meski demikian, saya juga tidak yakin bahwa bisnis warnet dapat kembali ke puncak kejayaannya seperti dulu atau bahkan mencapai titik sukses yang lebih tinggi. Perjalanan bisnis warnet akan kian berat dan penuh dengan bebatuan yang sulit untuk dimuluskan.