Tidak dapat dipungkiri bahwa peran Counter-Strike di dalam ekosistem esports dapat terbilang cukup besar. Artikel Hybrid sebelumnya membahas bagaimana Counter Strike memahat jalan terhadap perkembangan genre kompetitif FPS. Counter-Strike (CS) muncul sebagai custom-game pada awalnya. Game 5v5 ini pun sukses mendapat banyak perhatian pemain ketika muncul di tahun 1999.
CS sempat mengalami masa kelam akibat “eksperimen” Valve pada tahun 2003. Hadirnya Counter-Strike: Global Offensive membuat seri ini kembali sukses berkembang dan eksis sampai sekarang. Tak hanya di skena internasional, seri game ini turut memberi berdampak pada ekosistem esports lokal.
Tanpa eksistensi Counter-Strike, mungkin kita tidak akan mengenal tim NXL. Organisasi yang berasal dari akronim Next Level ini cukup populer sejak awal masanya. Tim yang dibesut Richard Permana telah melahirkan seorang Hansel Ferdinand (BnTeT). Kini BnTeT eksis melanglang-buana sampai CS:GO Amerika Utara bersama tim Gen.G.
Tetapi sebenarnya bagaimana cerita awal mula Counter-Strike bisa terkenal di Indonesia? Juga bagaimana sampai akhirnya Counter-Strike menjadi salah satu game kompetitif terpopuler, bahkan punya turnamen tingkat nasional di Indonesia? Berikut sejarah esports Counter-Strike di Indonesia.
Perkembangan Counter-Strike Menjadi Kompetitif dari Warnet ke Warnet di Indonesia
Counter-Strike digarap secara serius pada awal tahun 2000an. Perhatian Valve sukses merevolusi CS menjadi game kompetitif yang digandrungi oleh puluhan ribu pemain. Sementara di Indonesia, NXL sempat berkuasa dengan menyabet puluhan prestasi. Oleh karenanya saya berbincang dengan sang CEO, Richard Permana (frgd) untuk menilik kesuksesan industri esports Counter-Strike lokal sejak masa benih.
Richard bercerita, bahwa dirinya sudah kenal Counter Strike dari tahun 2000. “Dulu saya masih SMP. Pulang sekolah, lalu kan pergi ke sport club untuk olahraga rutin setiap hari. Eh, tiba-tiba ada teman baru di sana, dia dari Singapura, lalu mengajak saya main komputer ke Ratu Plaza. Lalu saya main saja, setelah beberapa saat, baru tahu bahwa itu adalah Counter-Strike.”
Dari hanya bermain iseng-iseng, Richard semakin lama semakin keranjingan dengan Counter-Strike dan mulai coba ikut kompetisi di berbagai macam warnet. “Ya dulu ketika baru kenal Counter Strike di tahun 2000, skena kompetitif cuma ada di warnet-warnet. Pas ada WCG baru ada kompetisi yang tingkatnya nasional dan diadakan di panggung besar.” ucapnya. Seraya menceritakan bagaimana Counter Strike berkembang, Richard juga menceritakan awal terbentuknya NXL.
Richard bercerita bahwa keseriusannya berkompetisi berawal dari iseng. Pada tahun 2000, seorang teman mengajaknya untuk bermain Counter Strike. Perlahan tumbuh niat untuk serius dan akhirnya membetuk NXL, menjadikan timnya dikenal sebagai jawara “warnet”.
“Ya dulu ketika baru kenal Counter-Strike di tahun 2000, skena kompetitif cuma ada di warnet-warnet. Pas ada WCG baru ada kompetisi yang tingkatnya nasional dan diadakan di panggung besar.”
“Team NXL terbentuk karena warnet. Pada zaman itu di Intercon, Jakarta Barat, ada warnet yang namanya Winner. Di warnet itu ada banyak tim Counter-Strike yang berkumpul dan latihan setiap hari. Kebetulan saya juga sering main ke sana. Lalu pada satu momen, ada tim yang pemainnya kurang saat latihan, sampai akhirnya saya diajak dan saya memutuskan untuk ikut. Sejak saat itu saya mulai saling kenal dan cocok, yang menjadi cikal bakal terbentuknya NXL dengan anggota heart, kazm, newrage, 1stlabel, dan saya sendiri, frgd.” Cerita Richard.
Menarik benang dari fenomena Counter-Strike di Jakarta yang begitu eksis, membawa saya berkelana ke Surabaya. Arwanto Tanumihardja (WawaMania) adalah sosok yang saya tuju. Ia awalnya dikenal sebagai seorang shoutcaster yang populer di skena CS:GO Indonesia.
“Dulu di Surabaya Counter-Strike populer ketika warnet sedang menjamur. Dulu di warnet baru ada game yang sifatnya LAN, belum ada game online yang masif dengan menggunakan internet. Pada zaman itu, awalnya yang terkenal StarCraft lebih dahulu. Game itu jadi terkenal karena bisa dimainkan ramai-ramai oleh 8 orang. Seiring berjalannya waktu, muncul Counter-Strike. Juga karena waktu itu belum ada FPS yang bisa dimainkan secara multiplayer, dalam sekejap CS jadi tren deh di warnet.” Wawa menceritakan pengalamannya.
Meski tergolong sebagai game dengan spesifikasi tinggi pada zamannya, Counter Strike berhasil meramaikan ekosistem warnet karena komunitasnya yang aktif.
“Bahkan seingat saya, turnamen pertama Counter Strike di Surabaya, yang namanya saja saya lupa, itu sangat ramai sekali. Yang nonton sudah kayak antrian sembako malah… Haha.” Ujar WawaMania sembari tertawa.
Berkembangnya Counter Strike menjadi awal tumbuhnya industri esports kompetitif dalam negeri. Meningkatnya kurva peminat di Indonesia menjadi pemicu lahirnya turnamen esports kelas nasional, World Cyber Games.
WCG dan Perkembangan Counter-Strike Menjadi Esports di Indonesia
Bisa dibilang bahwa kisah perjalanan Counter-Strike menjadi esports di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari turnamen World Cyber Games. Biasa disingkat sebagai WCG, kompetisi tersebut merupakan turnamen paling bergengsi pada zamannya. Walau WCG sama-sama berdiri di awal tahun 2000 seperti ESL, namun pada zaman itu WCG mungkin adalah turnamen dengan gaung terbesar di Asia dan terasa sampai ke Indonesia.
Pada zamannya, WCG bisa dibilang seperti piala dunia bagi kancah esports internasional. WCG diikuti oleh hampir 50 negara di dunia, dengan Counter-Strike sebagai salah satu game yang dipertandingkan. Tak heran jika WCG pada masanya, memberi dampak yang cukup terasa kepada ekosistem.
WawaMania menceritakan bagaimana WCG memberi dampak kepada komunitas pemain Counter-Strike di daerah. “Di Indonesia kompetisi CS pada zamannya sebetulnya banyak. Tapi menurut saya WCG adalah kompetisi yang bisa membuat komunitas jadi kumpul. Kompetisi ini adalah event tahunan, diadakan di masing-masing kota, dan berakhir dengan kejuaraan nasional yang diadakan di Jakarta. WCG yang punya format lokal ke nasional membuat komunitas lokal itu aktif berkompetisi, karena punya tujuan. Hal tersebut juga turut saya rasakan di Surabaya dulu.” Wawa bercerita.
“Karena WCG, kami jadi nggak sekadar main. Kami bermain untuk mengejar suatu tujuan, minimal bisa juara daerah, dan itu juga sudah bangga sekali. Lalu kalau bicara WCG, dulu ada format yang menarik, mempertemukan warnet satu dengan yang lain dan punya format pertandingan kandang-tandang. Gara-gara itu juga Counter-Strike jadi sangat menggugah bagi yang punya jiwa kompetitif. Tapi zaman dulu, sampai tingkat nasional butuh modal besar karena tidak ada hadiah semasa kualifikasi. Jadi tim yang kurang modal biasanya sulit berkembang, karena hanya juara yang punya kesempatan untuk berangkat ke Jakarta.” Wawa melanjutkan ceritanya.
Membahas WCG, tentu harus melibatkan Eddy Lim sebagai salah satu narasumber. Sosok senior di ekosistem esports Indonesia ini mungkin sekarang lebih dikenal sebagai ketua umum asosiasi esports tertua di Indonesia, Indonesia Esports Association (IESPA). Tetapi selain itu ia juga bisa dibilang sebagai salah satu perintis ekosistem esports dengan statusnya sebagai CEO Ligagame Esports, salah satu penyelenggara turnamen esports tertua di Indonesia.
Eddy Lim lalu menceritakan bagaimana esports mulai berkembang di Indonesia, lewat WCG dan posisi Counter-Strike di dalam perkembangannya.
“Ligagame sudah mulai mengadakan turnamen sejak tahun 1999. Dahulu turnamen ini hanya untuk komunitas gamers yang merupakan anggota forum Ligagame saja. Tapi tanpa diduga, ternyata event berbentuk turnamen menarik minat banyak gamers, jadi menarik karena bisa adu skill untuk menjadi yang terbaik. Tapi waktu zaman itu belum ada Counter-Strike. Masih zaman Quake, Unreal Tournament, dan Starcraft.” Eddy Lim menceritakan bagaimana Ligagame menanam bibit-bibit esports kepada para gamers Indonesia.
“Dulu Ligagame itu adalah satu-satunya forum bagi gamers PC, kami juga merupakan salah satu supplier PC untuk warnet dan game-center di Indonesia. Bermodal hal tersebut, Ligagame lalu mencoba menjalankan event esports skala besar pertama di Indonesia yang bernama Liga Jakarta, pada tahun 2001. Liga Jakarta ketika itu mempertandingkan game Counter-Strike versi 1.6 (CS 1.6), dengan laga final yang diselenggarakan di Hotel Dusit, Mangga Dua.”
Esports tak bisa melepaskan diri dari jumlah pemain dari suatu game. Maka dari itu, Counter-Strike sendiri berkembang menjadi kompetisi, karena FPS buatan Gooseman dan Cliffe tersebut memang merupakan game terpopuler di masanya. Counter-Strike juga sangat populer di Indonesia.
Eddy Lim menyebut menyebut bahwa popularitas Counter-Strike ketika itu terbilang memonopoli gamers di indonesia. “Kalau dibanding zaman sekarang, game mobile itu banyak alternatifnya. Misal tidak suka Mobile Legends, masih ada alternatif lain entah itu PUBG Mobile, Free Fire, AOV, atau game lainnya. Tapi kalau dulu, bisa dibilang gamers hanya memainkan Counter-Strike versi 1.6.” Ucapnya.
https://www.youtube.com/watch?v=9IznCjaeJdQ
“Liga Jakarta memilih CS 1.6 juga karena alasan itu. Walhasil benar saja, event ini disambut baik oleh para gamers, berjalan dengan baik dan sangatlah ramai. Pada gelaran final, mungkin bisa dibilang pemain CS 1.6 dari seluruh Jakarta datang ke Hotel Dusit, entah menjadi peserta atau sekadar menonton saja.” Eddy Lim menceritakan Liga Jakarta sebagai cikal bakal gelaran esports LAN skala besar di Jakarta.
Sejak saat itu, melihat antusiasme dari gamers, Ligagame jadi mulai rutin mengadakan kompetisi demi kompetisi. Hal ini ternyata membuat Ligagame menjadi dikenal lebih luas, tak hanya oleh para gamers tapi juga oleh oleh para sponsor. “Sampai akhirnya hal tersebut ternyata membuat pihak World Cyber Games dari Korea melalui Samsung Indonesia, menunjuk Ligagame sebagai partner WCG untuk Indonesia.”
“Tahun 2002 mungkin bisa dibilang menjadi babak terpenting bagi perkembangan esports di Indonesia. Tahun itu adalah tahun perdana penyelenggaraan WCG di Indonesia. WCG pada masanya juga menjadi event esports dengan kualifikasi yang diselenggarakan di seluruh Indonesia, melalui channel warnet yang saat itu berjamuran di berbagai wilayah Indonesia.”
Keemasan Esports Counter-Strike dan Posisi Pemain Indonesia di Skena Internasional
WCG membuka kesempatan bagi gamers Counter-Strike di Indonesia untuk bisa menuju kancah internasional. Pada tahun 2002, WCG Indonesia Qualifier yang diselenggarakan di Mall Taman Anggrek akan memberikan kesempatan bagi para pemenang untuk berangkat ke Daejeon, Korea Selatan.
Salah satu yang menjadi tim yang menjadi cukup dominan pada masa itu adalah Richard dan kawan-kawan NXL. Tetapi, NXL sendiri belum muncul ke permukaan setidaknya sampai sekitar tahun 2008. Pada sebelum-sebelumnya, nama yang dikenal sebagai tim Counter-Strike terkuat di Indonesia adalah tim XCN.
Eddy Lim menceritakan bahwa pada WCG 2002 prestasi Indonesia masih belum sebegitu bagusnya di tingkat internasional. Dari kualifikasi Indonesia WCG 2002, tim OLO keluar sebagai pemenang. Mengutip dari laman Liquidpedia, tim OLO tercatat tidak mendapat satu kemenangan pun ketika masuk tingkat internasional.
Baru pada WCG 2003, muncul nama tim XCN dengan nama-nama pemain seperti Grayson Sumarlin (gray), Ferdinand Putra (Imothed), Varian Asihwardji (Xtriver), ataupun Carey Ticoalu (Virelis). Mereka merupakan juara kualifikasi WCG 2003 di Indonesia. Kemenangan tersebut membawa mereka ke pertandingan tingkat dunia, bertanding dalam WCG tingkat internasional yang diikuti oleh 55 negara di Seoul, Korea Selatan, pada 12 -18 November 2003.
Menurut Liquidpedia Counter-Strike WCG 2003, XCN menunjukkan performa yang luar biasa pada babak grup. Hampir sapu bersih semua laga, dengan catatan menang-kalah 4-1. Masuk babak Playoff, pertandingan berjalan cukup mulus pada awalnya. Namun sayang, ketika masuk perempat final, XCN terhenti oleh tim asal Denmark bernama Team9. WCG 2003 sendiri pada akhirnya dimenangkan oleh salah satu nama yang memang terkenal di skena kompetitif Counter-Strike sejak dahulu, yaitu SK Gaming.
“Memang kejayaan prestasi Counter-Strike Indonesia itu ada di tangan XCN. Mereka mewakili Indonesia untuk bermain di WCG 2003. XCN ketika itu berisikan Imothed, Peacemaker, Unforgiven, Xtriver, dan Virelis. Mereka berhasil amankan peringkat 8 besar dalam turnamen Counter-Strike paling bergengsi pada zamannya.” WawaMania menceritakan.
Seperti tongkat estafet, kejayaan XCN di awal tahun 2000an akhirnya dilanjutkan oleh Richard Permana (frgd) dan kawan-kawan NXL mulai dari tahun 2006 hingga awal 2010an. Dirintis mulai dari tahun 2005, pencapaian terbesar NXL untuk pertama kalinya adalah ketika mereka mendapat runner-up di kualifikasi Indonesia untuk WCG 2005.
Mendapat momentum yang baik membuat Richard Permana pantang menyerah mengejar prestasi pada tahun-tahun berikutnya. Pada 2007, mereka menjadi juara di WGT Semarang, namun belum berhasil mendapat kemenangan di kualifikasi Indonesia untuk WCG 2006, hanya mendapat peringkat 3 saja.
Setelah semua perjuangan yang NXL lakukan, angan-angan terbesar Richard dan kawan-kawan untuk mewakili Indonesia di kancah dunia lewat Counter-Strike akhirnya tercapai pada tahun 2008. Mereka pada akhirnya berhasil keluar menjadi juara nasional lewat gelaran kualifikasi Indonesia untuk WCG 2008 dan WGT 2008.
Kemenangan itu memberikan mereka kesempatan untuk mewakili Indonesia di WCG 2008 yang diselenggarakan di Cologne, Jerman. Sayang, ketika itu mereka belum bisa mendapatkan hasil yang terbaik di kancah internasional dan harus puas terhenti di peringkat top 48.
“Dulu memang kita sangat rajin latihan tim, sparring dengan berbagai tim di berbagai warnet. Berusaha sebisa mungkin nggak pernah melewatkan satu turnamen pun yang ada di kawasan Jakarta. Biasanya kami jadi lebih semangat kalau ada tim yang ingin kita kalahkan.” Richard menceritakan pengalamannya mengejar prestasi di masa itu.
“Awalnya ya harus gagal berkali-kali, sampai akhirnya kita dapat peringkat 2 di turnamen WCG 2006 nasional indonesia. 2007 kita coba lagi, melorot ke peringkat 3. Buah manisnya baru kami dapat di 2008, dominasi total skena CS Indonesia lewat WCG dan WGT, lalu mewakili Indonesia ke WCG 2008 di Cologne, Jerman.” Richard membeberkan perjuangan awal NXL yang terjadi pada tahun 2006-2008.
Tetapi semua kejayaan tersebut bukan berarti NXL bergelimang sponsor, karena pada masanya, esports memang belum menjanjikan. “Mau kita jelasin 2 jam sekalipun, orang-orang tidak ada yang mengerti apa itu esports. Nggak ada yang berani mensponsori sedikit pun. Kita dapat sponsor produk saja sudah bersyukur di masa itu.” Richard sedikit menceritakan perjuangannya merintis NXL Counter-Strike di pertengahan era 2000an.
Pada akhirnya, Richard mengatakan, kebanyakan modal untuk tim NXL datang dari kantong pribadi, ataupun lewat usaha yang dilakukan oleh Richard. Ia sempat mencoba berjualan di forum, lalu hasilnya dikumpulkan untuk melengkapi peralatan gaming terbaik untuk Richard dan kawan-kawannya. Tetapi semua perjuangan itu ternyata berbuah manis, NXL menjadi nama yang dominan di skena Counter-Strike lokal, bahkan sampai di tingkat Asia Tenggara.
“Tahun 2011 kita berhasil kombinasikan pemain berpengalaman dengan pemain muda, pada saat itu dominasi NXL di skena lokal dimulai. Satu persatu pertandingan LAN kami sapu bersih, selalu juara 1. Setiap ke luar negeri juga beberapa kali dapat juara 1. Sampai pada akhirnya pada 2017 awal, rekor tersebut harus berhenti.” Richard melanjutkan cerita masa kejayaan NXL yang sudah masuk masa awal Counter Strike: Global Offensive (CS:GO).
Benar saja, mereka memenangkan MSI Beat IT 2013 – SEA Finals yang diselenggarakan di Beijing, Tiongkok. Bak bola salju, mereka mendapatkan kemenangan demi kemenangan, dan mengokohkan namanya sebagai salah satu tim CS:GO terkuat di SEA pada masa itu. Mereka menjuarai beberapa kejuaraan online tingkat Asia Tenggara, seperti ESEA Season 19: Open Division – Asia Pacific atau DreamHack Stockholm 2015 Asia Open Qualifier.
Pencapaian terbesar mereka pada masa tersebut mungkin adalah di tahun 2016. Ketika mereka berhasil lolos Asian Minor Championship 2017 – Atlanta setelah berhasil juara di SEA Qualifier. Sayang, NXL harus tersingkir di grup A menghadapi Tyloo dan MVP Project, dengan catatan menang-kalah 0-2 dalam gelaran utama Asian Minor yang diselenggarakan di Johor Baru, Malaysia.
CS:GO, Game Online, dan Turunnya Popularitas Counter-Strike di Indonesia
Setelah masa-masa kejayaan tersebut, mulai dari Counter-Strike hingga menjadi CS:GO, tren popularitas game kompetitif FPS besutan Valve ini akhirnya mulai menurun di Indonesia. Baik Richard, Eddy Lim, ataupun WawaMania punya pendapat masing-masing terhadap turunnya skena kompetitif Counter-Strike ataupun CS:GO di Indonesia.
WawaMania dan Eddy Lim sepakat pada satu hal, bahwa Counter-Strike turun pada masanya karena game online MMORPG yang menjamur pada sekitar tahun 2008. “Pada tahun itu, Ligagame sudah jarang menjalankan event esports, dan lebih fokus ke media dan juga game online. Tahun 2008 Megindo melanjutkan estafet menjalankan event WCG, tetapi pada masa itu esports atau turnamen game sudah tidak sepopuler itu karena kehadiran game online MMORPG seperti Ragnarok, Nexia, Gunbound, dan lain sebagainya.” Eddy Lim menceritakan.
Sementara WawaMania mencoba menjelaskan secara lebih komprehensif. “Mungkin ada beberapa faktor. Soal pertandingan yang kebanyakan bersifat LAN dan diadakan di Jakarta mungkin jadi penyebab Counter-Strike turun. Akibatnya kami yang ada di kota kecil jadi sulit berkembang. Seperti tadi saya bilang, butuh modal untuk bisa ikut kualifikasi demi kualifikasi sampai akhirnya bisa lolos ke Jakarta. Mungkin ada faktor lain juga, tapi memang saya melihat setelah kejayaan XCN, tidak ada regenerasi lagi setelahnya di zaman itu.” Ucap Wawa.
“Alasannya adalah, salah satunya karena pada zaman itu MMORPG juga sedang merebak. Tentu saja, Ragnarok Online. Mungkin gara-gara itu, jam latihan jadi tidak fokus, mungkin lebih profit dan santai jualan Zeny dibanding kompetisi ya? Haha. Semua faktor ada tapi gue merasa game online jadi salah satunya dan mungkin hal lain adalah lahirnya MOBA pada sekitar tahun 2007an.” Wawa menjelaskan lebih lanjut.
Sementara Richard mewakili NXL yang mengecap masa kejayaannya di kisaran awal 2010 berpendapat bahwa salah satu faktor menurunnya Counter-Strike atau tepatnya CSGO pada masanya adalah karena kehadiran FPS kompetitif lainnya yang menyaingi game tersebut secara langsung.
“Counter-Strike atau CS:GO di Indonesia itu menurun karena kekurangan kehadiran event offline prestise yang hadir secara konsisten dari tahun ke tahun. Rasanya hanya hitungan jari jika melihat pada tahun 2012. Terlebih, sekitar tahun 2009, Point Blank sedang marak-maraknya. Alhasil, mayoritas pemain Counter Strike pindah ke PB dan Crossfire ketika itu.” Richard menceritakan.
Richard lalu menceritakan bagaimana banyak komunitas Counter-Strike mulai pindah ke Point Blank karena ladang yang lebih hijau. “Banyak pemain CS yang pindah ke PB pada masanya. Mereka yang juara-juara di kancah kompetitif PB itu rata-rata adalah anak ex-komunitas CS. Terlebih, rata-rata mereka mendapatkan kesuksesan yang luar biasa di Point Blank. Salah satu yang banyak dikenal orang mungkin sosok seperti NextJack atau BenyMozza yang mereka dulunya merupakan anak komunitas CS.” Richard menceritakan.
“Tapi saya merasa keputusan itu cukup wajar dilakukan. CS vs PB dulu ibarat neraka vs surga. Anak-anak PB lebih sejahtera, kompetisi lebih banyak, sudah begitu mereka dapat gaji, uang transport, voucher buat beli senjata setiap bulan. Tapi ada juga beberapa pemain CS yang bertahan dan tidak pindah haluan.” Richard melanjutkan penjelasannya.
Mungkinkah Mengembalikan Kejayaan Counter-Strike di Indonesia lewat CS:GO
Ini mungkin juga menjadi pertanyaan bagi mereka yang masih mencintai CS:GO sampai sekarang. Sebelumnya saya juga sempat berbincang dengan sosok shoutcaster ternama di komunitas CS:GO lainnya, yaitu Antonius Wilson atau yang lebih dikenal dengan nama Wooswa.
Dalam sesi Hybrid Talk tersebut, Wooswa berbicara dengan cukup yakin, atas alasan kenapa skena CS:GO lokal harus tetap dikembangkan. “Jika skena lokal tidak dikembangkan, kita tidak bakal punya sosok pemain Indonesia seperti Xccurate dan BnTeT yang sekarang bertanding di skena internasional.” Jawab Wooswa ketika itu.
https://youtu.be/sPkZp_yFCOE?t=751
Tapi, apakah masih mungkin untuk mengembangkan atau malah mengembalikan masa keemasan CS di Indonesia lewat CS:GO. Eddy Lim selaku sosok yang pernah turut menjadi bagian atas perkembangan Counter-Strike di Indonesia lewat WCG memberi pendapatnya.
“Event esports CS:GO menurut saya masih bisa dihidupkan di Indonesia, walau cukup sulit, karena sudah kehilangan pemainnya. Saya tahu jalan untuk membangkitkan CS:GO akan jadi terjal, tapi saya merasa CS:GO itu punya kelebihan karena mudah ditonton dan dimengerti banyak kalangan, bahkan orang yang tidak mengerti esports sekalipun.” Ujar Eddy Lim.
Mungkin, Counter-Strike bisa bangkit lagi dengan kehadiran komunitas-komunitas. Apakah hal tersebut masih ada? “Wah kalau dulu tahun 2017 masih ada WawaMania Community tuh… Hahaha.” ucap Wawa seraya berkelakar. “Tapi kalau buat komunitas hardcore sih masih ada beberapa seperti IGAMERWORLD di Surabaya. Jakarta punya INDOESPORTS yang masih kerap menyajikan turnamen CS:GO. Di Bandung juga masih ada komunitas bernama SYNTAX.”
https://www.youtube.com/watch?v=J6Qy-abfWTE
“Tapi kalau bicara bangkit lagi, memang susah-susah gampang. Kenapa? Karena CS:GO Indonesia sudah tidak punya regenerasi lagi. Bahkan angkatan 2020 berhenti di f0rsaken, dia pun sebenarnya sudah main di tahun 2017. Jadi memang cukup sulit. Pertanyaan sesungguhnya mungkin adalah, apakah gamers generasi muda akan memilih bermain CS:GO?” tukas Wawa.
Walau keadaan skena CS:GO sedang redup di Indonesia, namun Richard mengaku bahwa tim NXL tidak pernah berhenti berusaha untuk mengejar prestasi CS:GO dan mengembalikan kejayaan CS:GO Indonesia dari segi prestasi.
“Untuk saat ini NXL sedang memetakan kekuatan tim CS:GO di kawasan SEA dan Asia Pacific secara keseluruhan. Tentunya kami juga latihan membentuk tim, sambil mengikut berbagai turnamen yang tersedia, demi mengikis skill-gap terhadap tim tier 1 Asia saat ini, dengan mengikuti satu turnamen ke turnamen lain. Kami ingin kembali totalitas di CS:GO dan bisa meraih prestasi dengan konsisten di masa depan.” Ucap Richard kepada Hybrid.
—
Pada akhirnya, kejayaan prestasi dari segi esports atas suatu game mungkin memang tidak bisa dilepaskan dari seberapa banyak game tersebut digandrungi oleh para gamers yang menjadi pemainnya. Semakin banyak pemain atas sebuah game di suatu negara, maka semakin baik juga prestasi yang bisa didapatkan oleh negara tersebut.
Dalam konteks Indonesia, kita sudah melihat bagaimana skena kompetitif MLBB dan PUBG Mobile internasional pada akhirnya didominasi oleh Indonesia, karena populernya game tersebut di kalangan gamers muda di tanah air. Melihat banyaknya game baru, dan juga game mobile yang jadi semakin menarik, sepertinya sulit melihat CS:GO bisa bangkit lagi di Indonesia jika game itu secara umum tidak punya unsur menarik lain, selain dari daya tarik secara kompetitif.