Menilik Riset Esports di Disiplin Ilmu Hukum, Bisnis, dan Sosiologi

Sejak awal 2000-an, konsep esports telah dibahas dalam jurnal dan riset ilmiah di berbagai bidang

Seiring dengan semakin populernya esports, semakin banyak akademisi yang tertarik untuk mengadakan studi dan riset esports. Namun, sebenarnya, konsep esports sendiri telah dibahas dalam berbagai studi dari beragam bidang lain, bahkan sebelum esports menjadi populer. Walaupun, ketika itu, istilah yang digunakan mungkin berbeda. Beberapa istilah yang pernah digunakan sebelum istilah esports diterima oleh masyarakat banyak antara lain competitive gaming, cybersport, dan electronic/virtual/digital sports.

Studi dan laporan dari riset esports yang dirilis sebelum 2018 dibahas dalam jurnal ilmiah berjudul Esports Research: A Literature Review. Dari jurnal itu, diketahui bahwa salah satu laporan ilmiah terkait esports pertama dirilis pada 2002. Namun, jumlah laporan terkait riset esports baru meningkat pesat pada 2012. Ketika itu, ada 13 laporan tentang esports yang dirilis. Angka ini naik lebih dari 100% dari tahun sebelumnya.

Jumlah jurnal terkait esports dari tahun ke tahun. | Sumber: Sage Journals

Pada 2014, jumlah jurnal terkait esports sempat turun. Meskipun begitu, tahun berikutnya, pada 2015, jumlah laporan studi terkait esports kembali naik. Dan sejak saat itu, jumlah jurnal dan riset terkait esports terus menunjukkan peningkatan.

Sebelum esports menjadi populer, konsep competitive gaming sudah dibahas oleh para akademisi dari berbagai bidang lain. Namun, pada awalnnya, fokus dari studi terkait esports adalah pada penjelasan tentang esports dan kaitannya dengan teori atau fenomena yang telah ada. Setelah masyarakat mulai familier dengan konsep competitive gaming, barulah tujuan studi terkait esports berubah, menjadi mencoba untuk memahami pola kognitif, interaksi sosial dalam game, dan juga kebiasaan para pemain dan penonton.

Berikut topik pembahasan terkait esports di berbagai bidang ilmu yang berbeda.

Sosiologi

Riset esports pertama kali muncul sebagai bagian dari penelitian sosiologi. Dua hal di esports yang menarik perhatian para sosiolog adalah esports events dan interaksi antara penonton dengan game itu sendiri. Pada 2010, T. L. Taylor dan Witkowski mengatakan, game merupakan produk dari budaya masyarakat. Pada saat yang sama, game juga bisa mengubah budaya masyarakat. Dan kedua peneliti itu menyebutkan, mereka bisa mengamati fenomena tersebut melalui live events.

Salah satu topik yang menjadi fokus dari penelitian Taylor dan Witkowski adalah tentang peran perempuan di industri game dan esports. Memang, gender menjadi salah satu topik menarik bagi banyak sosiolog. Pada awalnya, studi tentang gender di esports fokus pada ada atau tidaknya perempuan di komunitas competitive gaming.

Setelah itu, topik penelitian berubah ke persepsi akan masalah gender di komunitas esports. Kemudian, fokus riset esports di bidang sosiologi kembali berganti, menjadi pencarian solusi untuk menyelesaikan masalah ketimpangan gender di dunia esports. Sebelum ini, saya juga pernah membahas tentang peran perempuan di industri esports.

Bisnis

Selain sosiologi, cabang ilmu lain yang juga membahas esports adalah bisnis. Dari sudut pandang bisnis, esports telah muncul sejak era 1980-an, ketika arcade tengah marak. Saat itu, ada empat faktor yang dianggap mendorong pertumbuhan esports, yaitu popularitas game, pengakuan untuk gamers, majunya teknologi, dan fakta bahwa konsumen mulai menganggap pengalaman sebagai sesuatu yang pantas untuk dibeli.

Dari sana, para akademisi di bidang bisnis pun mencoba untuk mencari tahu tentang motivasi mengapa orang-orang menonton pertandingan competitive gaming. Selain itu, mereka juga mencoba untuk memahami tentang tim dan organisasi esports. Tak lupa, mereka juga mencari cara marketing yang efektif. Biasanya, metode yang digunakan oleh para akademisi bisnis untuk membuat riset esports adalah dengan membuat survei, melakukan wawancara, atau menggunakan studi kasus.

Pada 2016, Hamari dan Sjoblom membuat studi tentang motivasi konsumsi konten esports menggunakan Motivation Scale for Sports Consumptions (MSSC). Biasanya, MSSC digunakan untuk mengetahui alasan mengapa orang-orang mau menonton konten olahraga. Sebelum ini, Hybrid.co.id juga pernah membahas tentang alasan mengapa fans senang menonton pertandingan esports.

Tak melulu soal motivasi menonton dan marketing, riset esports di bidang bisnis juga mengulik tentang bagaimana kompetisi esports mulai digelar secara internasional. Hal ini mendorong diskusi tentang bagaimana budaya gaming di sebuah negara mempengaruhi performa atlet esports dari negara tersebut.

Memang, budaya gaming di sebuah negara bisa mempengaruhi perkembangan industri esports atau performa atlet esports dari negara tersebut. Contohnya, pembatasan tentang besar hadiah turnamen dan preferensi gamers Jepang untuk memainkan game single player membuat industri esports di negara itu relatif kurang maju jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Korea Selatan dan Tiongkok.

Sports Science

Para akademisi di bidang sports science tertarik dengan esports karena mereka ingin mengetahui apakah competitive gaming bisa dikategorikan sebagai olahraga tradisional. Di 2005, topik pembahasan terkait esports -- yang ketika itu disebut cybersport -- berpusat pada fakta bahwa esports punya karakteristik yang serupa dengan olahraga tradisional.

Sekarang, posisi esports mulai disejajarkan dengan olahraga tradisional. Buktinya, pertandingan esports juga digelar dalam berbagai ajang olahraga bergengsi, seperti SEA Games dan Asian Games. Bahkan, ada wacana untuk memasukkan esports ke dalam Olimpiade.

Untuk melakukan riset terkait esports, para akademisi sports science biasanya akan menggunakan metode kualitatif. Sebagai contoh, mereka melakukan wawancara dengan para pemain yang bertanding di World Cyber Games (WCG). Dalam wawancara itu, para peneliti akan meminta pemain untuk membahas tentang elemen yang mempengaruhi aspek gameplay dari Counter-Strike. Studi seperti ini juga biasanya akan fokus pada bagaimana para pemain ikut aktif dalam kompetisi esports.

Cognitive Science

Untuk membuat riset terkait esports, peneliti di bidang cognitive science dan psikologi biasanya fokus pada performa pemain dan perbedaan kognitif serta kebiasaan antara pemain profesional dan pemain amatir. Pada awalnya, penelitian di bidang kognitif berpusat pada pemahaman pemain profesional akan game yang mereka mainkan. Dari sana, muncul tren untuk mempelajari apa yang membedakan pemain profesional dengan pemain kasual.

Pada 2017, Huang, Yan, Cheung, Nagappan, dan Zimmermann merilis studi tentang kebiasaan para pemain StarCraft 2. Dalam studi itu, mereka menemukan bahwa saat bermain game, para pemain profesional akan selalu memiliki kebiasaan tertentu. Hanya saja, setiap pemain memiliki kebiasaan yang berbeda-beda.

Walau tidak banyak, juga ada penelitian kognitif yang bersifat eksperimental. Contohnya, pada 2018, P. B. Gray, Vuong, Zava, dan McHale melakukan studi akan tingkat hormon pada para pemain League of Legends. Dalam studi itu, mereka membandingkan tingkat hormon antara pemain yang melawan pemain lain dengan pemain yang bertanding dengan AI. Ada empat hormon yang diperhatikan dalam studi tersebut, yaitu testosteron, kortisol, dehydroepiandrosterone (DHEA), androstenedione, atau aldosterone.

Dari studi itu, diketahui bahwa tidak ada perbedaan level hormon antara grup yang melawan manusia ataupun AI. Namun, para peneliti juga menemukan, tingkat kortisol yang stabil dan menurunnya level aldosterone menjadi bukti bahwa kondisi penelitian membuat para pemain cenderung rileks dan tidak terlalu kompetitif saat bermain. Jadi, mereka menyarankan, di masa depan, para peneliti sebaiknya mengamati para pemain yang bertanding dengan satu sama lain di arena yang kompetitif.

Hukum

Bagi para ahli hukum, topik terkait esports yang menarik untuk diamati adalah tentang penegakan hukum copyright dan properti intelektual (IP) pada game dan dunia virtual. Selama ini, sebuah game dianggap sebagai produk yang dimiliki oleh sang developer. Begitu juga dengan segala produk terkait game tersebut, mulai dari avatar yang dibuat oleh para pemain dalam game sampai konten siaran dari kompetisi game.

Dengan ini, perusahaan game akan punya hak untuk mengatur konten dari game yang mereka buat, termasuk konten yang dibuat oleh pemain. Namun, hal itu juga berarti, perusahaan harus bertanggung jawab atas perjudian, penggunaan doping, dan kecurangan yang terjadi di ranah esports dari game mereka.

Informatika

Esports dan ilmu informatika memiliki satu kesamaan: keduanya menjadikan komputer sebagai media. Karena itu, jangan heran jika penelitian terkait esports di bidang informatika mencakup banyak hal. Salah satu metode yang bisa digunakan oleh para peneliti informatika untuk melakukan riset esports adalah mengumpulkan data via game telemetry serta data dari para pemain.

Contoh pembahasan esports yang didasarkan pada data dari game adalah "Mining statistically significant sequential patterns", yang dibuat oleh Low-Kam, Raissi, Kaytoue, dan Pei pada 2013. Untuk membuat laporan tersebut, para peneliti mengumpulkan input dari lebih dari 90 ribu pertandingan StarCraft 2 profesional. Setelah itu, mereka mencoba untuk membuat algoritma yang bisa mendeteksi strategi tidak biasa yang digunakan pemain dalam StarCraft 2.

Selain data dari game, para akademisi di informatika juga bisa mendapatkan data untuk penelitian mereka dari observasi dan analisa performa para pemain. Tak hanya itu, mereka juga terkadang mengamati formasi dan dinamika tim, interaksi antar pemain, serta perilaku tim.

Terkadang, peneliti di bidang informatika juga menggunakan pendekatan campuran dan menggabungkan data yang mereka dapat dari game dengan hasil pengataman mereka. Pada 2016, S. J. Kim, Keegan, Park, dan Oh merilis riset berdasarkan data yang mereka dapat dari API League of Legends. Tak berhenti sampai di situ, untuk memahami data tersebut dengan lebih baik, ketiga peneliti juga melakukan wawancara dengan para peserta riset.

Sumber header: Pexels