Esports kini tengah menjadi fenomena global. Menurut Newzoo, industri esports akan bernilai lebih dari US$1 miliar pada 2020. Tiongkok akan menjadi pasar esports terbesar pada 2020 dengan nilai pasar US$385,1 juta. Dengan semakin populernya esports, semakin banyak pula orang di Tiongkok yang menerima esports sebagai olahraga dan tak lagi heran ketika seseorang memutuskan untuk meniti karir sebagai atlet esports.
Sayangnya, diskriminasi gender masih terjadi di dunia esports. Li “VKLiooon” Xiaomeng, pemain perempuan pertama yang memenangkan Hearthstone World Championship, berbagi cerita tentang diskriminasi yang dialami. Dia bercerita, kehadirannya dalam sebuah turnamen Major pernah dipertanyakan oleh seorang pemain laki-laki, yang menganggap bahwa pemain perempuan seharusnya tidak ikut turnamen esports.
Melalui Zhihu, situs serupa Quora di Tiongkok, Li juga menceritakan masalah lain yang dia hadapi sebagai pemain profesional perempuan. Dia mengatakan, kemampuannya pernah dipertanyakan oleh pemain laki-laki yang telah dia kalahkan. Tak hanya itu, dia juga terkadang mendapatkan ejekan tentang tubuhnya. Di dunia online, sejumlah penonton mengejeknya gendut. Sayangnya, Li bukanlah satu-satunya pemain esports perempuan di Tiongkok yang menghadapi berbagai masalah ini.
Ketika membuat kesalahan, para pemain perempuan juga cenderung mendapatkan kritik yang lebih pedas. “Misalnya, Anda adalah pemain perempuan yang ikut serta dalam turnamen. Jika Anda bermain dengan baik, itu bukan masalah. Tapi, ketika Anda membuat satu kesalahan kecil, para fans akan membesar-besarkan kesalahan tersebut,” kata Zhou Jie, COO Killing Angel, tim esports khusus perempuan pada Abascus News.
Jika sebelumnya, kami pernah membahas soal bagaimana eksplorasi tubuh menjadi komoditas para perempuan yang jadi selebriti gaming, kali ini kami akan menunjukkan bahwa ruang berkarier di esports dan game buat perempuan juga bisa dilakukan tanpa perlu jadi eye-candy — selama memiliki kemampuan yang mumpuni di bidangnya.
Diskriminasi di Indonesia
Di Indonesia, masalah diskriminasi gender juga masih terjadi. Caster Veronica “Velajave” Fortuna bercerita, dia pernah mengalami diskriminasi pada awal 2015 sampai 2017. “Kayak, perempuan itu bisa apa sih di esports. Perempuan itu cuma pemanis, nggak pantas untuk main, nggak lebih jago dari laki-laki. Nggak jago kayak caster laki-laki lain,” ceritanya ketika dihubungi oleh Hybrid.co.id melalui pesan singkat. “Tapi, belakangan diskriminasi sudah mulai menurun. Cuma hate speech saja yang semakin banyak, bukannya berkurang.”
Perempuan yang akrab dengan panggilan Vela ini mengatakan, hate speech adalah masalah yang biasa terjadi di dunia online. “Hate speech itu biasanya online. Aku juga belum pernah lihat yang langsung di depan muka. Mungkin, yang pernah aku alami di depan muka, cuma orang orang yang memandang rendah kita yang belum siapa-siapa,” ujarnya.
“Kalau di media sosial, entah itu saat sedang live, direct message, atau komentar di foto, hate speech itu sudah sangat biasa terjadi. Banyak yang tidak suka karena kita tidak secantik atau mungkin badannya tidak sekecil yang lain. Mostly body shaming,” jawab Vela ketika ditanya bentuk ujaran kebencian yang pernah dia hadapi. “Tapi, banyak juga yang benci cara kita nge-cast, cara menyampaikan kata-kata.” Dia mengaku, biasanya, dia berusaha untuk mengacuhkan hate speech yang dia terima. “Tapi, kalau lagi mau meledak banget, baru aku tanggapin ke pribadi mereka.”
Vela, yang telah menjadi caster selama lima tahun (saat artikel ini ditulis), mengaku tidak sengaja masuk ke dunia esports. “Dulu aku nggak kepikiran kerja di esports. Aku tuh awalnya cuma senang main game, dulu mainnya Dota 2. Terus iseng ikut turnamen perempuan. Lama kelamaan, EO tahu. Dan mereka minta aku untuk nge-cast di turnamennya,” ungkap Vela. Walau awalnya dia tidak tahu apa tugas caster, dia pada akhirnya merasa tertarik dengan tugas seorang caster. “Aku merasa itu menarik banget.”
Mengenai perlakuan atas caster perempuan dan laki-laki, Vela mengatakan, biasanya, penampilan caster perempuan akan lebih dipedulikan dari caster laki-laki. Jika caster laki-laki bisa menggunakan pakaian yang sama dalam beberapa acara, caster perempuan biasanya harus mengganti penampilan mereka. “Kalau laki-laki kan ya pakai itu-itu saja. Jasnya sama, tapi dalemannya berbeda, kaos atau kemeja. Terkadang, kalau kita perhatikan, mereka juga tidak mengganti pakaian untuk beberapa event. Kalau perempuan tidak bisa begitu. Nanti dikira tidak punya baju,” akunya sambil tertawa. “Ditambah makeup kita lebih lama, urusan rambut juga. Kalau caster laki-laki, mau pakai bedak saja sudah untung.”
Ini memunculkan pertanyaan apakah peran perempuan di dunia esports tak lebih dari eye candy atau pemanis.
Para Perempuan yang Bekerja di Belakang Layar Dalam Dunia Esports
Di dunia esports, para atlet profesional memang menjadi bintang utama yang selalu disorot oleh media. Namun, sebenarnya, ada pekerjaan lain dalam industri esports yang tak kalah penting untuk memastikan ekosistem esports tetap bertahan, mulai dari manager dan analis dalam sebuah organisasi esports sampai penyelenggara turnamen. Dan posisi tersebut bisa diisi oleh siapa saja yang memang mumpuni, tak peduli gender mereka. Buktinya, Fathia Alisha Dwikemala berhasil menjadi Head of Events di RevivalTV dan Nadya Sulastri bisa menjadi Head of Finance and Accounting di Mineski Indonesia.
Sebagai Head of Events, tugas Fathia adalah melakukan koordinasi antara tim, sponsor, klien, dan semua pihak terkait untuk memastikan sebuah acara berjalan dengan lancar. Dia bercerita, dia tidak pernah mengalami diskriminasi gender di tempatnya bekerja sekarang. “So far, nggak bermasalah dengan gender sih. Semuanya sama saja karena memang memiliki passion di esports,” akunya saat dihubungi melalui pesan singkat. “Dengan apa yang aku jalani saat ini, kesempatan untuk bekerja di belakang layar untuk laki-laki dan perempuan sama, karena mostly, kita memang bekerja sebagai tim. Jadi, tidak membedakan gender sama sekali.”
Sementara itu, menurut Nadya dari Mineski Indonesia, dalam industri esports, perempuan memang memiliki kesempatan lebih besar untuk bekerja di belakang layar. Tidak tertutup kemungkinan, seorang perempuan juga menduduki jabatan penting. Dia berkata, seorang perempuan bisa saja menjadi project manager yang bertanggung jawab atas turnamen sebesar Mobile Legends Pro League. “Asal orangnya memang memiliki dedikasi tinggi, berkomitmen, dan don’t crack under pressure. Bekerja di event organizer, pressure-nya memang tinggi. Karena kita tidak melakukan tugas yang sama setiap harinya. Ada banyak hal yang tidak terduga terjadi secara mendadak dan kita harus bisa mengambil keputusan, menyelesaikan masalah dengan cepat. Ini bukan masalah gender, tapi lebih ke personality,” jelas Nadya ketika dihubungi melalui telepon.
Nadya memberikan contoh, saat ini, Mineski bertanggung jawab atas dua liga besar, yaitu MPL dan PUBG Mobile Pro League. Kedua turnamen itu biasanya diadakan secara offline di hadapan para penonton. Namun, ketika virus corona memasuki Indonesia dan pemerintah menghimbau masyarakat untuk tetap di rumah, mau tidak mau, Mineski harus mencari cara agar turnamen tersebut tetap berjalan walau tidak diadakan secara offline. Akhirnya, untuk memastikan agar turnamen tetap dapat diselenggarakan dan para penonton tetap bisa menikmati pertandingan, Mineski Indonesia mengirimkan 16 orang ke masing-masing gaming house dari tim yang bertanding. Enam belas orang tersebut bertugas untuk merekam jalannya pertandingan. Selain itu, mereka juga akan mewawancara tim pemenang, sama seperti jika pertandingan diadakan secara offline. Hanya saja, wawancara pemenang ini dilakukan melalui video call.
Meskipun begitu, Nadya mengatakan, tidak semua posisi di belakang layar cocok untuk perempuan. “Tergantung departemennya. Kalau departemen yang banyak mengutamakan fisik, biasanya memang diisi oleh banyak laki-laki. Tapi, untuk departemen seperti finansial, marketing, media sosial, lebih banyak perempuan,” ujarnya. Dia tidak memungkiri, di dunia esports, peran sebagai atlet esports tetap “lebih menarik”. Meskipun begitu, tanpa keberadaan orang-orang di belakang layar — pihak penyelenggara turnamen, pihak yang menyiarkan pertandingan sehingga bisa menjadi hiburan untuk menarik sponsor — maka industri esports tidak akan berkembang.
Sementara itu, menurut Fathia, bagi perempuan yang tertarik untuk masuk ke dunia esports memang senang bekerja di belakang layar, mereka bisa mengambil pekerjaan terkait manajemen. Menurutnya, itu karena perempuan biasanya memang lebih rapi dan teliti akan detail. “Saran aku untuk perempuan yang mau masuk ke dunia esports, jangan mundur sebelum mencoba. Karena sesuatu yang keren datangnya nggak pernah dari comfort zone,” ujarnya.
Bekerja di Industri Esports Sebagai Perempuan
“Aku enjoy banget sih jalanin pekerjaan di industri ini, karena banyak tantangannya dan aku memulai benar-benar dari nol, jadi ada banyak ilmu yang aku dapatkan,” jawab Fathia ketika ditanya bagaimana pengalamannya bekerja di dunia esports selama ini. Jika dibandingkan dengan industri lain, industri esports relatif muda. Meskipun begitu, Fathia tetap memilih untuk bekerja di dunia esports. Dia berkata, “Sejauh ini, aku percaya, industri esports akan menjadi besar nantinya, karena pelaku industri juga semakin banyak.”
Sebelum masuk ke dunia esports, Fathia pernah bekerja di industri pulp & paper. Dia mengaku, meskipun industri esports/game terlihat lebih santai, sebenarnya pekerjaan yang dia lakukan lebih keras. Hal yang sama juga dikatakan oleh Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer dan Co-Founder dari RevivalTV.
Soal budaya perusahaan, biasanya, budaya perusahaan yang bergerak di industri esports lebih menyerupai budaya startup, ungkap Nadya. “Kita seperti startup, tidak mau kaku. Kita menganut paham yang penting produktif, tidak terlalu formal, tapi, ya juga masih dalam batas wajar,” ujarnya. Sama seperti kebanyakan startup, Mineski Indonesia juga penuh dengan pekerja muda. “Pekerja yang berumur di atas 30 tahun di perusahaan kita cuma 10-20 persen. Sisanya, di bawah umur 30 tahun.”
Salah satu peraturan fleksibel yang diterapkan oleh Mineski adalah terkait jam kerja. Walau jam kerja untuk departemen yang tidak terkait dengan penyelenggaraan acara — seperti HRD dan keuangan — tetap ketat, tapi divisi broadcast biasanya memiliki jam kerja yang sangat fleksibel. Alasannya, karena tim tersebut biasanya sangat sibuk menjelang penyelenggaraan turnamen. “Ketika kita menyelenggarakan event, tim broadcast bisa baru selesai setup pada pukul 2-3 pagi, sementara pada pukul 7 pagi, acara sudah dimulai,” jelas Nadya. Mineski Indonesia lalu memutuskan untuk menghargai kerja keras divisi broadcast dengan memberikan jam kerja yang fleksibel.
Saat ditanya tentang kriteria orang yang cocok untuk bekerja di dunia esports, Nadya menjawab, “Orang yang mau belajar. Karena kita tidak punya perusahaan yang bisa dijadikan contoh.” Dia menjelaskan, orang yang pernah bekerja di event organizer sekalipun, belum tentu bisa mengaplikasikan pengetahuan mereka dalam menyelenggarakan turnamen esports. Tugas Mineski sebagai penyelenggara turnamen esports berbeda dari EO konvensional. Ada beberapa hal yang membedakan penyelenggaraan turnamen esports dengan acara lain, seperti prize pool. “Hampir setiap event ada prize pool, yang harus dipotong pajak. Jadi, kita harus mengumpulkan NPWP para peserta,” ungkapnya.
“Kriteria lainnya adalah harus mengerti game,” kata Nadya. Khususnya untuk orang-orang yang bekerja untuk tim broadcast. “Mereka harus tahu konten apa yang cocok untuk ditampilkan agar pertandingan terlihat seru. Karena, apa yang mau ditampilkan itu tergantung game-nya. Game MOBA atau FPS beda.” Dia menjelaskan, konten siaran turnamen esports berbeda dari acara non-esports, seperti konser musik misalnya. Dalam sebuah konser, kamera cukup menyorot sang musisi atau penyanyi. Sementara dalam pertandingan esports, konten harus dipilih sedemikian rupa sehingga penonton dapat merasakan keseruan pertandingan yang berlangsung.
Tak hanya tim broadcast, divisi lain yang tak terlibat langsung dalam penyelenggaraan acara juga harus memahami game, seperti departemen finansial. Dengan begitu, diharapkan, mereka tidak akan tertipu ketika mereka menyediakan biaya akomodasi untuk tim yang berlaga dalam turnamen.
Kesimpulan
https://youtu.be/PQWW2BulQg0
Di industri esports, pemain profesional memang masih menjadi bintang utama. Sayangnya, pemain profesional perempuan masih mengalami diskriminasi. Dalam merekrut pemain, organisasi esports juga biasanya memilih pemain laki-laki. Meskipun begitu, itu bukan berarti perempuan tidak bisa meniti karir di esports.
Dunia esports tidak melulu soal para pemain profesional. Ada berbagai pekerjaan lain yang bisa diisi, seperti manager, penyelenggara turnamen, sampai penyiar konten. Jika tertarik dengan esports dan tidak keberatan untuk bekerja di belakang layar, ini bisa jadi kesempatan bagi perempuan. Memang, untuk mereka-mereka yang masih muda, bekerja di belakang layar seolah tidak memberikan prestise yang sama seperti menjadi atlet esports profesional, meskipun begitu, posisi tersebut tetap memiliki peran penting dalam mendukung keberlangsungan ekosistem esports. Ditambah lagi, di belakang layar, perempuan tak perlu khawatir dengan diskriminasi karena memang berbasis pada keahlian dan perannya masing-masing alias meritokrasi.
Esports diperkirakan akan menjadi industri besar karena ia dianggap sebagai hiburan di masa depan. Dan untuk mengemas pertandingan esports menjadi konten hiburan yang layak tonton, diperlukan orang-orang yang bersedia bekerja di belakang layar.
Sumber header: Mineski Infinity Indonesia