Esports sedang menjadi industri yang terlihat menjanjikan belakangan ini. Newzoo salah satu perusahaan riset pasar esports dan gaming terkemuka meramalkan esports akan menjadi industri senilai US$1,1 miliar pada tahun 2020. Melihat hal tersebut, agaknya jadi tidak heran apabila banyak orang memutuskan untuk berbisnis di esports setelah melihat proyeksi nilai industri yang fantastis tersebut. Ditambah lagi keadaan pandemi juga membuat kegiatan gaming cenderung jadi pilihan aktivitas pengisi waktu luang utama karena banyaknya aktivitas luar ruangan yang tidak bisa dilakukan.
Walaupun demikian, satu yang patut disadari mungkin adalah posisi esports yang terbilang sebagai perkembangan vertikal dari industri game. Walaupun esports diramalkan akan menjadi industri raksasa, tapi kenyataannya adalah tidak semua pemain game mengikuti, mengerti, atau bahkan mengetahui soal esports. Menyadari keadaan tersebut, saya pun jadi melontarkan satu pertanyaan. Kenapa orang-orang menonton esports? Jika memang esports diramalkan akan menjadi sebegitu besar, apa yang membuat esports menjadi begitu menggugah bagi orang-orang? Jika memang esports digunakan developer sebagai sarana marketing, seberapa efektif hasilnya?
Membahas Singkat Sejarah Kompetisi Game Sebagai Sarana Pemasaran
Sebelum menuju pembahasan utama, mari kita sedikit mundur ke belakang untuk melihat fenomena kompetisi di dalam ranah video game. Walaupun esports terlihat sangat baru dan segar, tapi kompetisi video game adalah sebuah fenomena yang sudah terjadi bahkan sejak dari tahun 1990an. Jika ingin tahu lebih lanjut Anda bisa membaca artikel saya yang membahas soal sejarah esports secara internasional atau sejarah perkembangan esports Counter-Strike di Indonesia.
Saya merasa satu perubahan esensial dari kompetisi video game di era 90an dengan esports di zaman modern adalah fungsi dan tujuan dari pembuatan kompetisi tersebut. Pada masanya, kompetisi video game dilakukan sebagai sarana marketing bagi developer/publisher game. Jika Anda ingin tahu sejarahnya dari sudut pandang budaya barat, saya menyarankan Anda untuk menonton film dokumenter berjudul High Score.
Sedikit spoiler, dari dokumenter tersebut Anda bisa melihat bagaimana kompetisi video game sudah ada sejak dari tahun 1990an di Amerika Serikat. Pada tahun 1990, perusahaan konsol game Nintendo membuat turnamen bertajuk Nintendo World Championship di Amerika Serikat. Beberapa tahun setelahnya, SEGA yang merupakan perusahaan konsol game lain asal Jepang juga tak mau kalah. SEGA pun akhirnya membuat kompetisi serupa dengan tajuk SEGA World Championship di tahun 1994.
https://www.youtube.com/watch?v=xoqJkSH-z0A
Lompat beberapa tahun ke depan, kompetisi game masa kini berubah jadi esports. Esensi esports sebagai kompetisi video game masih tidak berubah. Namun sedikit demi sedikit, esports mengalami pergeseran fungsi. Dari awalnya yang hanya berfungsi sebagai sarana marketing developer game saja, menjadi sebuah industri yang bisa berdiri sendiri. Buktinya mungkin bisa kita lihat dari Riot Games yang menjadikan esports sebagai salah satu pilar bisnis mereka.
Karena perubahan fungsi dan tujuan, tidak heran apabila esports kini tidak lagi jadi monopoli developer game semata. Banyak pihak terlibat dan ingin terus memupuk sisi kompetitif sebuah game agar esports bisa terus bertahan hidup sebagai industri. Maka dari itu saya merasa menjawab alasan orang-orang menonton tayangan esports menjadi suatu pembahasan yang perlu, agar bisa mencapai tujuan tersebut.
Apa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut? Apakah esports masih bisa menjadi sarana marketing yang efektif? Mari kita berlanjut ke pembahasan berikutnya.
Alasan Kenapa Orang Orang Menonton Esports
Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya mengutip salah satu jurnal ilmiah berjudul Does esports spectating influence game consumption (Tyrväinen, Pirkkalainen, dan Hamari 2020). Seperti apa yang tertera pada judul, inti pembahasan jurnal tersebut adalah untuk menemukan jawaban atas pertanyaan apakah menonton esports mempengaruhi konsumsi video game.
Lebih lengkap, jurnal ilmiah tersebut juga mencoba untuk mencari tahu hubungan antara tingkat konsumsi esports dengan tingkat pembelian konten in-game serta hubungan antara tingkat konsumsi video game terhadap tingkat pembelian konten in-game. Lalu untuk melengkapi pembahasan, jurnal tersebut juga membahas apa-apa saja yang menjadi alasan orang menonton esports.
Menurut sang peneliti, ada 9 faktor yang mungkin menjadi alasan orang jadi mengkonsumsi tayangan esports. 9 faktor tersebut diadaptasi dari teori bernama Motivation Scale for Sport Consumption yang kerap kali digunakan dalam ranah olahraga tradisional.
Penjelasan singkat dari 9 faktor tersebut adalah sebagai berikut: Faktor pertama adalah achievement yang menghubungkan keinginan menonton esports dengan pencapaian yang didapat oleh sebuah tim. Faktor ke-2 adalah acquisition of knowledge yang menghubungkan keinginan menonton esports dengan mengambil informasi seputar teknik permainan dari sang profesional. Faktor ke-3 adalah aesthetic appreciation yang menghubungkan keinginan menonton esports dengan keindahan estetik dari suatu pertandingan.
Faktor ke-4 adalah drama yang menghubungkan keinginan menonton esports dengan dinamika relasi antar para profesional. Faktor ke-5 adalah escape yang menghubungkan keinginan menonton esports dengan keinginan untuk melepas penat dari rutinitas. Faktor ke-6 adalah friends and family yang menghubungkan keinginan menonton esports karena pengaruh teman atau keluarga. Faktor ke-7 adalah physical attraction yang menghubungkan keinginan menonton esports dengan daya tarik fisik dari sang profesional. Faktor ke-8 adalah player skills yang menghubungkan keinginan menonton esports dengan keinginan melihat kemampuan main dari sang profesional. Faktor ke-9 adalah social interaction yang menghubungkan keinginan menonton esports dengan kebutuhan terhadap interaksi sosial.
Riset tersebut menggunakan 222 responden yang merupakan pemain game bersifat F2P dan dikumpulkan melalui media sosial serta forum online. Riset berhasil menemukan beberapa pengaruh positif dari indikator-indikator yang digunakan. Riset menemukan bahwa menonton esports ternyata berdampak positif kepada keinginan untuk memainkan game yang ditonton. Namun demikian, riset tidak berhasil menemukan dampak positif antara menonton esports dengan keinginan untuk membeli konten digital dari game yang ditonton. Pada sisi lain, pemain dengan keinginan bermain game yang tinggi memiliki pengaruh positif terhadap keinginan membeli konten game yang dimainkan.
Maka dari itu, riset tersebut kurang lebih berhasil menjawab pertanyaan kita di awal artikel. Esports ternyata terbilang masih cukup efektif jika digunakan sebagai sarana marketing sang developer. Walaupun demikian, esports butuh jalan sedikit berputar untuk bisa memberi dampak terhadap penjualan barang digital di dalam game (in-app purchase). Hal tersebut terjadi karena riset mengatakan bahwa esports tidak memberi dampak positif terhadap pembelian konten digital, melainkan intensitas main game yang memberi dampak positif tersebut.
Lalu, apa saja yang membuat seseorang jadi menonton esports. Riset hanya menemukan 3 faktor yang memberi pengaruh positif terhadap keinginan menonton esports. Tiga faktor tersebut adalah acquisition of knowledge, family and friends, dan escape.
Maksud temuan acquisition of knowledge dalam riset tersebut adalah bahwa salah satu alasan responden menonton esports adalah untuk mengumpulkan informasi. Dalam riset, tujuan acquisition of knowledge bermaksud dua hal yaitu mengambil informasi untuk mempelajari cara main para profesional atau mengambil informasi untuk dibagi ke dalam perbincangan antar kawan.
Dalam hal faktor family and friends, riset menemukan bahwa salah satu alasan menonton esports adalah untuk memperkuat hubungan sosial antar pertemanan. Temuan tersebut jadi menarik karena pada sisi lain, menonton esports ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap faktor social interaction. Temuan tersebut sedikit banyak bisa diartikan bahwa salah satu tujuan menonton esports adalah untuk memperkuat relasi yang sudah ada dengan orang yang dikenal (keluarga/teman) dibanding membuat relasi baru dengan orang baru. Faktor terakhir adalah temuan positif antara menonton esports dengan faktor escape. Temuan tersebut berarti bahwa salah satu alasan responden menonton esports adalah karena sekadar ingin melepas penat dari rutinitas yang mereka lakukan.
Memang ada banyak faktor yang menjadi alasan orang-orang menonton esports. Hybrid.co.id bersama dengan Dailysocial.id juga sempat melakukan riset terkait dalam Esports Market Trend 2019. Dari riset tersebut, kami menemukan 3 alasan terbesar orang menonton esports adalah karena untuk hiburan, ada tim favorit, atau ada pemain favorit. Dari 1.445 responden, sebanyak 57,2 persen menonton karena menggunakan tayangan esports sebagai sarana hiburan, 43,1 persen mengaku menonton esports karena ada tim favorit mereka, dan 42,1 persen mengaku menonton esports karena ada pemain favorit mereka.
Selain itu, Battlefy yang merupakan salah satu platform esports berbasis di Kanada juga sempat melakukan riset serupa. Dari riset tersebut ditemukan 3 alasan terbesar orang menonton tayangan esports. Faktor terbesar pertama yaitu sebesar 89 persen dari 345 responden mengaku menonton esports karena ia ingin bisa bermain lebih baik pada game esports yang ia tonton. Faktor terbesar kedua yaitu sebanyak 83 persen mengaku menonton tayangan esports karena ia turut berpartisipasi secara aktif (bermain dan berkompetisi) terhadap game esports yang ia tonton. Faktor terbesar ketiga yaitu sebanyak 58% dari total responden mengaku menonton esports karena menyukai komunitas serta budaya interaksi di dalam esports.
Antara Esports dan Gaming
Melihat dari temuan-temuan di atas, sepertinya kita bisa mengerucutkan alasan orang menonton esports ke dalam tiga hal. Pertama karena ingin belajar cara para profesional game terkait bermain, kedua menonton esports sebagai sarana hiburan, ketiga menonton esports sebagai sarana berinteraksi sosial.
Apabila Anda adalah seorang praktisi industri esports, Tiga alasan tersebut mungkin bisa jadi hal-hal yang Anda tanyakan kepada diri sendiri sebelum berencana membuat sebuah tayangan esports. Apakah tayangan esports Anda menghibur? Apakah tayangan esports Anda bisa dijadikan sarana belajar bagi pemain lainnya? Apakah tayangan esports Anda mendorong interaksi sosial di dalamnya?
Saya sendiri tidak bisa bilang bahwa tiga alasan tersebut akan menjadi resep jitu dalam menciptakan tayangan esports yang sukses. Namun setidaknya tiga faktor tersebut bisa menjadi landasan awal sebelum membuat sebuah tayangan esports.
Jika berkaca ke diri sendiri, saya juga merasa bahwa salah satu dari faktor tersebut biasanya juga menjadi alasan kenapa saya menonton suatu tayangan esports. Misalnya alasan saya dalam menonton tayangan Worlds 2020. Walaupun League of Legends mungkin tidak seterkenal itu di Indonesia namun saya tetap mengikuti gelaran Worlds 2020 kemarin. Salah satu alasannya adalah karena beberapa kawan saya juga mengikuti esports League of Legends. Jadi supaya bisa membicarakan hal tersebut dan tidak merasa FOMO (Fear of Missing Out) , saya pun sedikit-sedikit ikut menonton tayangan esports tersebut. Juga mengingat pekerjaan saya, menonton tayangan Worlds 2020 ternyata juga memberi inspirasi untuk membahas alasan kenapa anak muda Korea Selatan begitu mahir bermain League of Legends.
Lalu bagaimana hubungan antara esports dengan tingkat konsumsi game? Dari riset yang dilakukan kita bisa melihat bagaimana esports mempengaruhi keinginan responden dalam bermain game. Contoh kasus atas hal tersebut mungkin bisa kita lihat sendiri dari skena PUBG Mobile.
Dari data tayangan esports terpopuler bulan Agustus 2020, PUBG Mobile berhasil mengisi peringkat pertama dengan catatan 1,1 juta peak viewers. Sementara pada sisi lain, kita juga melihat bahwa jumlah pemain game PUBG Mobile terus berkembang seiring dengan usaha Tencent terus memupuk sisi kompetitif dari game tersebut. Data menunjukkan PUBG Mobile sudah diunduh sebanyak 400 juta kali dengan jumlah pemain aktif harian sebanyak 50 juta orang pada Juni 2019 ketika Tencent sudah memulai inisiatif esports game tersebut.
Data tersebut tidak bisa memastikan bahwa tayangan esports akan membuat orang jadi main game tertentu. Malah bisa jadi penonton esports PUBG Mobile adalah orang-orang yang sudah memainkan game-nya terlebih dahulu. Namun demikian, riset tersebut setidaknya memberi gambaran bagaimana esports bisa membantu developer untuk membuat para pemainnya tetap bertahan memainkan game yang mereka mainkan.
Terakhir dalam hal dampaknya terhadap tingkat konsumsi barang digital di dalam game, riset menunjukkan bahwa keinginan memainkan suatu game yang memberi pengaruh positif terhadap hal tersebut. Kembali menggunakan PUBG Mobile sebagai contoh, kita bisa melihat bagaimana game tersebut sudah mengumpulkan US$3 milllar setelah beroperasi selama sekitar 2 tahun lamanya. Esports mungkin tidak memberikan dampak langsung, namun bisa jadi punya perannya tersendiri dalam membuat PUBG Mobile jadi sukses seperti sekarang.
Pada kenyataannya ada banyak faktor yang membuat seseorang jadi bermain game/membeli konten game. Esports bisa jadi faktor besar atau malah tidak jadi faktor penting apapun. Pada satu sisi kita mungkin bisa melihat Ubisoft yang berhasil membuat Rainbow Six: Siege jadi lebih diminati para pemain gara-gara esports. Tapi pada sisi lain ada juga Mihoyo yang sukses meraup US$100 juta lewat Genshin Impact, tanpa melakukan inisiatif esports apapun.
Genre game bisa jadi variabel tambahan lain yang mungkin akan membuat pembahasan artikel ini jadi lebih panjang lagi. Pada akhirnya, kehadiran esports tetap saja berhasil menciptakan peluang tersendiri di zaman modern ini. Perkembangan teknologi mungkin bisa dibilang jadi pendorong dari perubahan yang membuat esports tak lagi sekadar menjadi sarana marketing, tetapi juga menjadi industri dengan banyak potensi yang kini bisa berdiri sendiri.