Industri esports telah mencapai nilai US$1 miliar pada tahun lalu. Diperkirakan, industri esports masih akan terus tumbuh dengan para pemain profesional sebagai bintang utamanya. Sama seperti atlet olahraga tradisional, seiring dengan perkembangan industri esports, bargaining power para pemain profesional juga akan menjadi semakin kuat.
Menurut laporan VentureBeat, hal ini akan mendorong terciptanya asosiasi pemain profesional, yang dapat mewakili para atlet esports saat berhadapan dengan developer game atau penyelenggara turnamen. Saat ini, telah ada asosiasi yang mewakili para atlet esports, seperti Counter-Strike Professional Players’ Association (CSPPA), yang minggu lalu baru mengumumkan kerja samanya dengan DreamHack dan ESL. Pada Oktober 2019, pemain profesional Fortnite juga membentuk asosiasi sendiri. Di Indonesia, telah ada beberapa organisasi terkait esports, seperti Asosiasi Olahraga Video Games Indoensia (AVGI), Indonesia Esports Association (IESPA), dan Federasi Esports Indonesia (FEI).
Esports tidak hanya berkembang sebagai industri, tapi, esports juga semakin diakui sebagai olahraga. Esports menjadi pertandingan eksibisi pada Asian Games 2018 dan menjadi cabang olahraga bermedali pada SEA Games 2019. Tak hanya itu, esports juga dipertimbangkan untuk menjadi bagian dari Olimpiade, meski International Olympic Committee mengatakan, mereka hanya akan mempertimbangkan game esports yang merupakan simulasi dari olahraga di dunia nyata, seperti basket dan sepak bola. Memenangkan medali dalam acara olahraga bergengsi tentu akan mengharumkan nama negara. Karena itu, jangan heran jika pemerintah juga mulai turun tangan dalam melatih atlet esports. Tahun lalu, menjelang SEA Games 2019, pemerintah Indonesia juga mengajak atlet esports seperti Hendry ‘Jothree’ Handisurya, untuk ikut serta dalam Pelatnas.
Selain sebagai cabang olahraga, esports juga mulai memasuki ranah pendidikan. Beberapa universitas di Inggris Raya dan Amerika Serikat telah menawarkan program S1 di bidang esports. Memang, di Indonesia, belum ada universitas yang melakukan hal tersebut. Meskipun begitu, telah ada organisasi esports yang membuka kelas untuk melatih pemain amatir yang tertarik untuk menjadi pemain profesional.
Tak berhenti sampai di situ, esports juga mungkin akan dijadikan sebagai alat politik. Seiring dengan bertambahnya penonton esports, maka para atlet esports menjadi semakin populer. Di satu sisi, ini akan mendatangkan sponsor. Faktanya, penonton esports yang muda menjadi salah satu alasan mengapa merek non-endemik tertarik untuk menjadi sponsor esports.
Di sisi lain, esports bisa dijadikan sebagai panggung bagi politikus atau aktivis. Misalnya, Ng Wai “Blitzchung” Chung yang juga dikenal sebagai pernah menyerukan slogan yang mendukung Hong Kong dalam turnamen Hearthstone Grandmasters. Sementara di Indonesia, Ketua Pengurus Besar (PB) Esports, Budi Gunawan (BG) berkelakar bahwa esports bisa menjadi wadah strategis untuk kampanye Pilpres 2024, khususnya untuk memenangkan hati generasi muda.
Masa depan esports memang terlihat cerah. Namun, tetap ada beberapa masalah yang harus diselesaikan para pelaku esports untuk menjamin pertumbuhan industri tersebut. Salah satu masalah yang mungkin muncul adalah skandal kecurangan. Pemain esports profesional biasanya masih sangat muda. Sementara hadiah yang ditawarkan di esports terus bertambah. Tidak heran jika ada pemain yang tergoda untuk melakukan match-fixing atau memanipulasi hasil pertandingan. Pada Agustus 2019, tim asal Australia diketahui mencurangi hasil pertandingan dari turnamen Counter-Strike: Global Offensive.
Masalahnya, skandal kecurangan dapat merusak integrasi esports. Ini bisa membuat para penonton berpaling dari esports. Karena itu, pada November 2019, empat asosiasi esports berinisiatif untuk membuat empat prisip dasar untuk pelaku esports. Salah satunya adalah larangan berbuat curang, mulai dari menggunakan doping sampai memanipulasi hasil pertandingan.