Kabar mengenai asosiasi baru di industri game dan esports Indonesia memang sudah santer terdengar di belakang layar sejak beberapa bulan silam. Namun, baru kemarin (16 Juli 2019), satu asosiasi baru diumumkan lewat konferensi pers mereka di hotel Red Top, Jakarta Pusat. Asosiasi baru ini bernama Asosiasi Olahraga Video Games Indonesia (AVGI).
Ada dua Menteri yang turut hadir dan memberikan sambutan dalam acara kali ini. Mereka adalah Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
“Pemerintah tidak lagi menjadi regulator, khususnya terkait hal-hal baru. Tapi menjadi fasilitator, bahkan akselerator.” Ujar Rudiantara dalam sambutannya.
Menariknya, hanya ada 2 figur esports yang berada di dalam jajaran pengurus asosiasi ini. Meski memang ada 2 orang lagi dari ekosistem esports yang saya kenal berjaket AVGI di acara tersebut, namun keduanya biasanya berada di balik layar.
Di posisi Ketua Umum AVGI ada nama Rob Clinton Kardinal yang merupakan mantan pemilik organisasi esports baru, ONIC, dan juga anak dari Robert Joppy Kardinal (anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golongan Karya). Rob sendiri juga sebelumnya mengumumkan melepas kepemilikannya atas ONIC melalui akun Instagram nya.
Sedangkan satu nama lagi ada Angki Trijaka yang menjabat sebagai Sekretaris Jendral AVGI. Angki Trijaka sendiri bukan orang baru di dunia esports karena sebelumnya ia merupakan Wakil Ketua IESPA, yang dipimpin oleh Eddy Lim.
Dalam rilis yang diberikan di kesempatan yang sama, Rob Clinton memberikan komentarnya, “Berbagai faktor ini (standarisasi, benchmarking, hingga regulasi), khususnya regulasi sangat penting karena selain dapat membantu perkembangan industri olahraga elektronik, juga dapat memotivasi para pelaku dan atlet olahraga elektronik untuk terus berprestasi membawa nama Indonesia ke tingkat lebih tinggi.”
Di sesi tanya jawab bersama rekan-rekan media, saya pun bertanya apa perbedaan AVGI dengan 2 organisasi di industri game yang sudah lebih dulu ada, IESPA dan AGI?
Angki menjawab, “Ada beberapa hal yang membedakan AVGI dengan IESPA. AVGI itu mencakup semuanya yang terlibat dalam ekosistem dan industri esports. Kalau IESPA itu hanya mengurusi pemain esports. Perlu di-quote ya, kita totally different dengan IESPA. Namun, kalau pemerintah lebih percaya yang mana itu urusan para petinggi-petinggi, tapi so far itu domain yang membedakan.”
Menurutnya, Angki juga menambahkan, ada sejumlah hal yang belum diatur oleh IESPA yang sebenarnya sangat krusial buat industri esports. “Misalnya saja jadwal turnamen yang bertabrakan, kasus poaching pemain antara tim, dan standarisasi untuk masuk menjadi atlit esports. Kita perlu lah merendahkan ego kita demi kepentingan bersama supaya industri ini maju.” Ujar Angki.
Satu pertanyaan lagi muncul dari media lain tentang sinergi antara AVGI, IESPA, dan AGI. Rob Clinton yang kali ini menjawab, “kalau bersinergi kita tidak menutup kemungkinan untuk itu.”
Saat ini, AVGI juga mengklaim sudah memiliki pengurus di 19 provinsi. Rencana mereka dalam waktu dekat ini adalah membangun database untuk tim dan para pemain esports profesional.
Mengingat esports Indonesia memang sekarang sudah cukup besar (seperti franchising liga yang melibatkan banderol harga sebesar Rp15 miliar), tentunya memang lebih besar pula resiko yang harus disanggupi dan kerja sama yang harus dikolaborasikan. Meski memang berarti lebih banyak juga keuntungan yang mungkin didapatkan. Bagaimana perjalanan AVGI ke depannya ya?