Kebanyakan developer besar biasanya memiliki beberapa game atau bahkan beberapa franchise, seperti Ubisoft dengan Assassin’s Creed atau Electronic Arts dengan FIFA. Namun, tidak begitu dengan Riot Games. Selama bertahun-tahun, Riot hanya memiliki satu game, yaitu League of Legends. Menariknya, game tersebut masih dimainkan oleh jutaan orang, bahkan 10 tahun sejak diluncurkan. Tidak berhenti sampai di situ, Riot juga sukses dalam mengembangkan ekosistem esports dari League of Legends.
Tentu saja, kesuksesan Riot tidak dicapai dalam waktu singkat. Roma tidak dibangun dalam satu hari. Bagaimana perjalanan Riot sehingga ia bisa menjadi seperti sekarang?
Sejarah Riot
Riot Games didirikan pada Agustus 2006 oleh Marc Merrill dan Brandon Beck. Keduanya bukanlah developer game. Faktanya, Merrill dan Beck bertemu ketika mereka masih kuliah di University of Southern California. Mereka menjadi akrab karena mereka senang bermain game, khususnya game multiplayer seperti StarCraft dan EverQuest. Setelah lulus kuliah, Merrill dan Beck menempuh jalannya masing-masing. Beck bekerja di Bain & Company, perusahaan konsultasi ternama, sementara Merrill diterima di US Bank. Meskipun begitu, mereka merasa tidak puas dengan pekerjaan yang mereka tekuni. Tak lama kemudian, keduanya kembali bertemu di Los Angeles.
“Kami tinggal di apartemen kecil di West Hollywood,” kata Beck, dikutip dari Polygon. “Inilah awal mula Riot. Apartemen kami tidak punya banyak furnitur, tidak ada poster di tembok, pigura foto belum dipajang. Tapi, ada dua komputer gaming yang diletakkan di atas dua meja yang membentuk huruf ‘L’.”
Walau telah bekerja, baik Merrill dan Beck masih mencintai game. Mereka menghabiskan banyak waktu mereka bermain game. Tidak hanya itu, mereka juga aktif di forum internet, memberikan kritik atau pujian pada game favorit mereka. Sebagai fans hardcore, terkadang, mereka merasa frustasi ketika developer dari game-game yang mereka sukai tidak mendengarkan pendapat dari para fans. Ini membuat mereka berpikir, salah satu masalah developer game adalah mereka tak terlalu memedulikan game yang telah mereka luncurkan serta komunitas dari game-nya.
“Kami merasa frustasi ketika developer berhenti mendukung komunitas dari game yang kami mainkan,” ujar Beck. “Para developer seolah-olah dikejar untuk mengembangkan sesuatu yang baru. Padahal, kami pikir, mereka tidak perlu melakukan itu dan cukup mempertahankan game yang telah mereka luncurkan. Ada beberapa hal yang bisa mereka perbaiki untuk membuat ekosistem game bertahan lebih lama.” Dua game yang menjadi favorit Merrill dan Beck adalah StarCraft dan Warcraft 3. Memang, Blizzard memberikan dukungan yang cukup lama pada kedua game itu, walau pada akhirnya, fokus mereka pindah ke proyek lain. Uniknya, para fans dari dua game itu tetap aktif, baik dalam bermain ataupun dalam membuat mod. Ada dua mod yang menginspirasi Merrill dan Beck untuk membuat game ber-genre Multiplayer Online Battle Arena, yaitu Aeon of Strife, mod dari StarCraft dan DotA: Allstars, mod dari Warcraft 3.
Ketika Beck dan Merrill memutuskan untuk membuat game sendiri, orang pertama yang mereka rekrut adalah Steve “Guinsoo” Feak, salah satu desainer yang mengembangkan DotA: Allstars. Mereka bertiga lalu merekrut beberapa orang lain yang juga ikut mengembangkan DotA: Allstars. Setelah itu, mereka langsung mencoba membuat game. Game pertama yang Riot buat jauh berbeda dari League of Legends yang ada sekarang. Meskipun begitu, game tersebut sudah memiliki struktur layaknya game MOBA. Ketika itu, Riot menamai game-nya Onslaught.
“Nama game kami sangat jelek,” kata Merrill sambil tertawa. “Kami menjadikan musik metal sebagai background music. Minion terlihat seperti makhluk undead.” Meskipun begitu, Merrill dan tim Riot lainnnya bangga akan game yang mereka buat. Pada 2007, Riot mengikuti Game Developers Conference di San Francisco, membawa demo dari game mereka. Di sana, Merrill dan Beck bertemu dan berdiskusi dengan banyak publisher game. Sayangnya, tidak ada publisher yang mau merilis game buatan Riot.
Namun, diskusi tersebut membantu Merrill dan Beck memahami siklusi penerbitan game. Mereka sadar bahwa publisher biasanya meluncurkan game baru secara rutin. Dalam diskusi dengan Riot, para publisher membahas tentang bagaimana cara agar mereka bisa merilis kelanjutan dari game Riot secara rutin. Ini berbeda dari apa yang Beck dan Merrill inginkan. Riot tak ingin membuat franchise yang akan menelurkan game baru secara rutin. Mereka ingin membuat satu game multiplayer online dan terus mengembangkannya seiring dengan waktu. Mereka juga ingin membuat game gratis dengan model bisnis microtransaction. Meski sekarang game dengan model bisnis microtransaction sudah banyak, pada 2007, tidak banyak publisher game yang tahu tentang model bisnis tersebut. Karena itu, tidak heran jika para publisher menolak untuk merilis game buatan Riot.
“Pada awalnya, kami hanya ingin menjadi developer game,” ungkap Merrill. “Kami tidak berencana untuk masuk ke bisnis penerbitan game. Tapi, ketika kami bertemu dengan para publisher, kami sadar bahwa kami tidak bisa menyerahkan hidup-mati game kami pada mereka.”
Tim Riot lalu kembali ke Los Angeles. Merrill and Beck mengganti fokus mereka, dari mencari publisher menjadi mencari dana investasi. Pada pertengahan 2007, Riot juga memutuskan untuk mengganti nama game mereka, dari Onslaught menjadi League of Legends: Clash of Fates.
Peluncuran League of Legends
Pada 2008, Riot meluncurkan versi pre-alpha dari game mereka, yang ketika itu dinamai League of Legends: Clash of Fates. Di tahun yang sama, mereka juga menandatangani kerja sama dengan Tencent untuk meluncurkan game mereka di Tiongkok. Tidak banyak developer yang langsung bekerja sama dengan publisher asing ketika mereka belum lama berdiri. Namun, Beck dan Merrill memang mengincar pasar internasional dengan League of Legends. Tencent tampaknya mengerti ambisi Riot tersebut. Beck mengungkap, Tencent memiliki filosofi yang sama dengan Riot.
Seiring dengan bertumbuhnya Riot, Merrill dan Beck terus mencari pekerja baru. Saat mencari pekerja baru, keduanya lebih mementingkan passion daripada pengalaman kerja. Para pekerja Riot — yang disebut Rioters oleh Merrill dan Beck — terus mengembangkan League of Legends. Pada pertengahan 2008, mereka menemui masalah. Mereka ingin mengganti platform backend yang telah gunakan selama bertahun-tahun. Merrill bercerita, Riot mau tidak mau membuat platform baru dengan cepat agar mereka bisa meluncurkan game mereka sesuai target, yaitu pada musim gugur 2009. Proses pembuatan platform yang terburu-buru ini akan menyebabkan lebih banyak masalah untuk Riot di masa depan.
Sebelum meluncurkan League of Legends, Riot memutuskan untuk menghapus subtitle “Clash of Fates”. Pada awalnya, mereka ingin menggunakan subtitle untuk menggambarkan isi update konten di masa depan. Namun, pada akhirnya, mereka memutuskan untuk tidak menggunakan subtitle sama sekali.
Beck mengaku, Riot tidak mengira bahwa akan ada begitu banyak gamer yang tertarik untuk memainkan League of Legends. Alasannya, game tersebut sulit untuk dikuasai. “Seorang pemain harus sangat berdedikasi agar bisa menguasai dan menikmati game kami,” ujar Beck. “Fakta bahwa ada banyak orang yang tertarik untuk memainkan game itu, kami sama sekali tidak menduganya.” Dalam waktu dua bulan sejak diluncurkan, League of Legends meraih pencapaian pertama mereka, yaitu dimainkan oleh 100 ribu pemain secara bersamaan. Para Rioters merayakan hal ini, walau mereka tetap bekerja keras untuk memastikan bahwa game dan server berjalan dengan lancar. Seiring berjalannya waktu, jumlah pemain League of Legends terus bertambah.
Riot pun harus menambah karyawannya. Pada 2009, Riot kembali mencari investor. Salah satu perusahaan yang menjadi investor mereka adalah Tencent. Uang yang mereka dapat dari investor lalu digunakan untuk mempekerjakan pegawai baru, memperbaiki bug dan masalah teknis pada game lainnya, serta membuat konten baru.
Setelah League of Legends diluncurkan, Riot sadar bahwa mereka akan harus memberikan update konten secara berkala. Mereka sempat bingung akan konten baru apa yang para pemain inginkan: apakah mereka harus membuat mode single-player ataukah mereka harus menyediakan peta dan mode baru? Pada akhirnya, Riot sadar bahwa para pemain hanya ingin pendalaman dari core gameplay yang telah ada.
Pada 2010 dan 2011, Riot fokus untuk menemukan ritme dalam menyediakan konten baru. Saat ini, mereka juga mulai menyadari bahwa para gamer League of Legends tidak hanya senang untuk bermain, mereka juga senang menonton orang lain memainkan game tersebut.
Kemunculan Esports League of Legends
Selama bertahun-tahun, Merrill dan Beck bermain StarCraft. Jadi, mereka tidak heran dengan keberadaan turnamen untuk game seperti StarCraft. Sebelum mendirikan Riot, keduanya bahkan sempat mempertimbangkan untuk membuat liga esports sendiri, yang akan dinamai Ultimate Gaming League (UGL). Hanya saja, pada 2011, ekosistem esports belum berkembang sepesat sekarang. Saat Riot pertama kali meluncurkan League of Legends, mereka juga tidak berencana untuk mengadakan turnamen sendiri.
Turnamen League of Legends dimulai oleh para fans. Pada musim panas 2010, ekosistem esports League of Legends telah berkembang sedemikian rupa sehingga Riot tak bisa mengacuhkannya begitu saja. Mereka lalu mengumumkan turnamen League of Legends pertama yang disebut “Season One“. Ketika itu, Season One Championship merupakan bagian dari DreamHack Summer 2011, kegiatan esports yang menyertakan kompetisi Counter-Strike: Global Offensive dan StarCraft 2.
“Saya ingat, kami hanya menyediakan 20 kursi lipat. Kami memutuskan untuk menyiarkan pertandingan walau kami tidak tahu apakah akan ada orang yang tertarik untuk menonton,” kenang Beck tentang Season One Championship. “Kami mendapatkan 100 ribu concurrent viewers, yang sangat mengejutkan bagi kami. Saat itulah kami sadar bahwa para pemain League of Legends senang menonton pertandingan esports dan kami mulai memikirkan esports dengan lebih serius.”
Beck, Merrill, dan tim Riot lalu memutuskan untuk mengadakan turnamen sendiri daripada meminta bantuan pihak ketiga. Itu berarti, mereka harus membuat jadwal turnamen selama setahun dan menyiarkan video pertandingan secara rutin. Untuk mengembangkan ekosistem esports League of Legends, mereka sadar bahwa mereka harus menyiapkan dana besar dan siap dalam menghadapi berbagai tantangan.
Satu tahun kemudian, pada Oktober 2012, Riot mengadakan Season Two World Championship. Mereka memutuskan untuk mengadakan pertandingan group stage di ruang terbuka karena dianggap unik. Selain itu, ini juga bisa menarik orang-orang untuk menonton jalannya pertandingan. Terbukti, cukup banyak orang yang menonton turnamen tersebut. Namun, muncul satu masalah tak terduga. Di tengah pertandingan antara Team WE dari Tiongkok dengan Counter Logic Gaming dari Eropa, koneksi internet terputus.
“Kami tidak menggunakan server lokal,” kata Beck menjelaskan. “Ketika itu, kami belum punya server yang bisa kami bawa kemana pun kami pergi.” Mau tak mau, pertandingan pun harus diulang. Sayangnya, hal serupa kembali terjadi. Pada akhirnya, Riot menyerah dan meminta para penonton untuk pulang tanpa menyelesaikan pertandingan. “Rasa bersalah yang kami rasakan — kami benar-benar merasa bersalah pada semua pemain yang turut serta,” ujarnya. Dari sini, Riot belajar bahwa mereka harus selalu menyiapkan rencana cadangan, menghadapi skenario terburuk yang mungkin terjadi.
Kerja keras Riot berbuah manis. Saat ini, League of Legends adalah salah satu game esports paling populer di dunia. Game tersebut juga dianggap sebagai salah satu game paling berpengaruh ke ekosistem esports. Bahkan sekarang (setidaknya sampai artikel ini ditulis), League of Legends memiliki liga di beberapa kawasan, seperti Amerika Utara, Eropa, Korea Selatan, Tiongkok, Asia Pasifik, dan lain sebagainya.
Beberapa liga League of Legends — seperti di Amerika Utara dan Tiongkok — telah menggunakan model franchise. Belum lama ini, Roit mengumumkan rencana mereka untuk menerapkan sistem franchise di League of Legends Champions Korea. Salah satu organisasi esports populer di Korea Selatan, Gen.G, telah memastikan bahwa mereka tertarik untuk ikut dalam liga tersebut.
Apakah ini berarti model franchise akan menjadi masa depan dari esports League of Legends? Dalam email kepada Hybrid.co.id, Chris Tran, Head of Esports, Riot Games, Asia Tenggara, Hong Kong, dan Taiwan menjelaskan, “Penggunaan model franchise memungkinkan tim-tim yang ikut serta, liga, dan rekan untuk bekerja sama mengejar tujuan yang sama, memberikan pengalaman yang memuaskan pada fans, dan memberikan kepastian pada para tim dan pemain. Agar model franchise bisa digunakan, sebuah liga esports harus sudah memiliki ekosistem dan infrastruktur yang memadai, dan mengembangkan dua hal ini memakan waktu yang tidak sebentar.
“Seiring dengan berkembangnya ekosistem esports League of Legends di kawasan lain, tidak terutup kemungkinan, kami akan menggunakan model franchise di kawasan tersebut,” ujar Chris. “Kami ingin membuat esports menjadi olahraga yang bisa bertahan selama beberapa generasi. Menggunakan model franchise adalah salah satu cara yang memungkinkan kami mencapai tujuan tersebut.” Dia mengungkap, model franchise bukanlah sistem baru. Model serupa telah digunakan di olahraga tradisional, termasuk sepak bola.
Game-Game Baru Riot
Oke, Riot memang sukses dengan League of Legends. Namun, selama bertahun-tahun, mereka dianggap sebagai studio one-hit wonder karena tidak meluncurkan game baru selain League of Legends. Hal ini berubah pada 2019. Tahun lalu, Riot mendadak mengumumkan sejumlah game baru, yaitu Teamfight Tactics, Valorant, Legends of Runeterra, dan League of Legends: Wild Rift.
Justin Hulog, General Manager, Riot Games di Asia Tenggara, Hong Kong, dan Taiwan mengungkap, Riot sebenarnya telah mengembangkan beberapa game baru selama beberapa tahun belakangan. Tentu saja, mereka juga tidak lupa untuk membangun League of Legends dan properti intelektual mereka. Dia mengungkap, meski Riot memiliki banyak ide untuk game baru tapi hanya sedikit yang akhirnya mereka realisasikan.
“Tujuan kami adalah untuk memberikan sesuatu yang unik pada genre game yang berbeda-beda. Kami harap, hal ini akan membuat game-game kami disukai oleh para gamers. Kami percaya, dengan memberikan gameplay yang menarik dan komunitas yang sehat, kami akan akan sukses. Tapi, bukan itu tujuan kami.”
Justin mengatakan, ada dua fokus Riot. Pertama, mengembangkan game yang disukai banyak gamer. Kedua, bertahan pada komitmen player-first, yang berarti mereka siap mendengarkan masukan para pemain dan mengembangkan komunitas gamer. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan membuat Dev Diaries. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara, dia mengatakan, Riot sangat aktif di Facebook Page dan server Discord SEA.
Sayangnya, itu bukan berarti tidak ada para pemain League of Legends dan fans Riot yang bersikap toxic. Dalam game, Anda masih akan menemukan orang-orang yang merusak kesenangan bermain pemain lain, baik dengan melontarkan komentar berbau rasis atau seksis maupun mencaci-maki pemain lain. Untuk mengatasi hal ini, Justin menyebutkan, Riot menetapkan metode baru, yang dinamai Player Dynamics, pada bulan lalu. Dia menjelaskan, mereka memelajari perilaku para pemain dan menyediakan alat komunikasi dengan tujuan untuk memberikan pengalaman bermain yang lebih baik.
“Ketika kami meluncurkan game multiplayer baru, kami ingin memastikan bahwa kami telah melakukan semua yang kami bisa untuk memberikan pengalaman terbaik bagi para pemain. Kami akan memerhatikan interaksi antar pemain dalam tahap awal pengembangan game. Jadi, ketika kami akhirnya meluncurkan game baru, kami telah tahu cara memastikan para pemain dan komunitas dapat berkembang dengan baik,” ujar Justin.
Ekosistem Esports dari Game Baru Riot
Mellihat kesuksesan scene esports dari League of Legends, tidak heran jika Riot juga tertarik untuk mengembangkan ekosistem esports dari game mereka yang lain. Belum lama ini, mereka mengungkap skema kompetisi global Teamfight Tactics. Dinamai Teamfight Tactics: Galaxies Championship, kompetisi tersebut akan diikuti oleh 16 pemain dari 8 regional dengan total hadiah Rp3,1 miliar.
Tidak hanya itu, Riot juga telah membahas rencana mereka terkait ekosistem esports dari Valorant. Padahal, game tersebut bahkan belum resmi diluncurkan. Riot mengungkap, mereka tidak akan turun tangan langsung dalam mengembangkan ekosistem esports Valorant, lain halnya dengan League of Legends. Menariknya, beberapa organisasi esports profesional bahkan telah mengadakan turnamen sendiri, seperti 100 Thieves dan T1.
“Semua developer punya mimpi untuk melihat ekosistem esports dari game mereka mencapai tingkat internasional. Namun, kami juga sadar bahwa esports harus melibatkan komunitas agar ia bisa tumbuh dengan saran dan masukan dari para pemain,” ujar Chris. “Kami tidak mau mendikte para pemain dan organisasi esports profesional tentang apa arti esports. Kami ingin memberikan kesempatan pada mereka, yang merupakan rekan kami, untuk mendefinisikan esports. Kami akan belajar dari pengalaman mereka memainkan game kami dan mencari tahu apa yang mereka butuhkan.”
Chris tidak membantah bahwa Riot memang ingin mengembangkan ekosistem esports Valorant. Namun, mereka juga tidak ingin tergesa-gesa. Dia mengungkap, hype akan scene esports Valorant jauh lebih tinggi dari saat mereka mencoba membangun ekosistem esports untuk League of Legends. Karena itu, mereka ingin dapat bekerja sama dengan pihak ketiga. “Pada akhirnya, kami ingin memberikan esports scene terbaik untuk para pemain kami. Dan kami sedang melihat apakah bekerja sama dengan pihak ketiga memang cara terbaik untuk mencapai tujuan itu,” kata Chris.
Keuangan Riot
Kesuksesan League of Legends tidak hanya karena mekanisme dari game tersebut, tapi juga didukung oleh cara Riot menjalankan bisnis mereka. Pada 2011, League of Legends telah terbukti sebagai game populer. Saat itu, Merrill dan Beck ingin mengurangi jumlah investor mereka. Jadi, kedua pendiri Riot tersebut menjual sebagian besar saham perusahaan mereka pada Tencent.
“Investor finansial biasanya memiliki target waktu kembali investasi yang lebih singkat,” kata Merrill. “Kami merasa, lebih baik jika kami hanya memiliki satu pemegang saham, tapi mereka memiliki visi yang sama dengan kami daripada memiliki banyak investor dengan visi yang berbeda-beda.” Walau sempat mengalami masalah dengan Tencent, Riot bisa beroperasi secara mandiri. Beck bahkan menyebutkan, kebanyakan pekerja Riot tidak pernah bertemu dengan perwakilan Tencent. Dengan ini, Riot bisa fokus untuk mengembangkan League of Legends.
Dalam waktu lama, League of Legends adalah satu-satunya game Riot. Namun, game tersebut terbukti mampu menghasilkan pemasukan yang tidak sedikit. Pada 2019, 10 tahun sejak League of Legends diluncurkan, Riot mendapatkan US$1,5 miliar dari game MOBA itu. Ini menjadikan League of Legends sebagai game gratis dengan pemasukan terbesar kedua setelah Fortnite, yang meraup US$1,8 miliar.
Pemasukan Riot dari League of Legends pada 2019 naik jika dibandingkan dengan pemasukan pada 2018, yang hanya mencapai US$1,4 miliar. Meskipun begitu, angka itu masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan pendapatan Riot pada 2017 (sebesar US$2,1 miliar) dan 2016 (sebesar US$1,7 miliar), menurut laporan Dot Esports.
Riot di Asia Tenggara
League of Legends mungkin menjadi salah satu game terpopuler di dunia. Meskipun begitu, game tersebut tidak terlalu terdengar gaungnya di Indonesia. Pada sekitar 2015-2016, Riot Games sempat membuka lowongan untuk posisi Country Manager di Indonesia. Meskipun begitu, tidak ada informasi lanjut tentang keputusan Riot untuk berbisnis di Indonesia. Terkait hal ini, Justin Hulog, General Manager, Riot Games di Asia Tenggara, Hong Kong, dan Taiwan menjelaskan, pada awalnya, Riot memang berencana untuk mencari Country Manager untuk setiap negara di Asia Tenggara. Meskipun begitu, Riot akhirnya memutuskan untuk mengubah strategi mereka dan mengonsolidasi tim mereka di satu tempat.
“Indonesia adalah pasar penting bagi kami. Dalam beberapa tahun ke depan, kami berencana untuk menanamkan investasi dan menumbuhkan bisnis kami di sini, serta memberikan pengalaman bermain game terbaik pada para pemain Indonesia,” ujar Justin. “Sayangnya, itu bukan berarti kami harus membuat tim besar di negara tersebut.”
Justin mengaku, Riot punya rencana yang “ambisius” untuk kawasan Asia Tenggara. Dan saat ini, telah ada banyak Rioters dari seluruh dunia yang mendukung bisnis mereka di SEA, baik dalam bentuk player support, finansial, esports, maupun marketing. “Salah satu fokus utama kami saat ini adalah untuk memberikan game PC dan mobile terbaik untuk gamer Indonesia. Legends of Runeterra adalah salah satu game terbaru kami yang akan diluncurkan pada 1 Mei 2020. Kami harap, para pemain Indonesia akan menyukai game ini,” ujar Justin.
Di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, esports League of Legends juga tidak terlalu populer. Ketika ditanya tentang hal ini, Chris Tran menjelaskan bahwa membangun ekosistem esports memakan waktu yang tidak sebentar. Salah satu bukti komitmen Riot dalam mengembangkan scene esports League of Legends di Asia adalah keberadaan Pacific Championship Series (PCS). Turnamen tersebut merupakan gabungan dari liga League of Legends di kawasan Hong Kong, Taiwan, dan Macau serta liga di kawasan Thailand, Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. “Turnamen ini akan menciptakan infrastruktur esports yang berkelanjutan, membuat persaingan antar tim menjadi semkain ketat dan memberikan kestabilan finansial yang lebih baik,” ujar Chris.
Lebih lanjut, Chris menjelaskan, salah satu cara yang Riot lakukan untuk mempopulerkan game mereka adalah dengan menggandeng perusahaan lokal agar para gamer di satu negara dapat mengakses game mereka dengan lebih mudah. Dia berkata, “Misalnya, kami bekerja sama dengan Redd+E untuk mendistribusikan hak siar PCS di seluruh Asia Tenggara.” Dia juga menyebutkan, ada beberapa turnamen League of Legends yang diadakan di kawasan Asia. Misalnya, Mid-Seasonal Invitational 2019 yang diadakan pada Taiwan, Hyperplay pada 2018 di Singapura, serta eksibisi esports League of Legends pada Asian Games 2018 yang diselenggarakan di Jakarta.
Kesimpulan
Meskipun dengan cara yang tidak biasa — fokus pada satu game selama bertahun-tahun — Riot berhasil mencapai sukses. Selain itu, mereka juga dapat mengambil kesempatan untuk mengembangkan esports dengan cepat. Jadi, tidak heran jika ekosistem esports League of Legends sudah sangat mumpuni. Namun, itu bukan berarti Riot puas dengan apa yang sudah dicapai.
Pada tahun 2019, mereka mengumumkan dua game baru, yaitu Teamfight Tactics dan League of Legends: Wild Rift. Sementara pada tahun ini, mereka berencana meluncurkan dua game lain, yaitu Legends of Runneterra dan Valorant. Mereka juga sudah mempertimbangkan cara untuk mengembangkan ekosistem esports dari game-game barunya. Namun demikian, saat ini kondisinya akan berbeda dengan sebelumnya karena mereka harus menangani lebih dari satu game. Apakah mereka masih bisa menanganinya sebaik mereka mengembangkan LoL? Kita tunggu saja…