Dalam bahasa Inggris, ada ungkapan: if you can’t beat them, join them. Hal inilah yang dilakukan oleh klub sepak bola pada esports. Walau pada awalnya dipandang sebelah mata, esports kini telah menjadi industri yang besar. Melihat hal ini sebagai kesempatan, klub-klub sepak bola pun mulai terjun ke dunia esports, baik dengan menggaet pemain profesional, bekerja sama dengan organisasi esports, atau bahkan membuat divisi esports sendiri. Dan fenomena ini juga terjadi di Indonesia.
Klub Sepak Bola Mana Saja yang Telah Menjajaki Esports?
Klub sepak bola pertama yang menjajaki dunia esports, menurut laporan The Esports Observer, adalah Besiktas Istanbul dari Turki. Mereka membuat Besiktas e-Sports Club pada Januari 2015. Sayangnya, tim esports itu tidak bertahan lama. Pada Januari 2016, divisi esports Besiktas dibubarkan. Namun, hal itu tidak mengurungkan niat dari klub sepak bola lain untuk masuk ke dunia esports.
Sejak 2015, ada banyak klub sepak bola yang masuk ke dunia esports. Dan masing-masing klub sepak bola punya pendekatan yang berbeda-beda. Misalnya, ketika memasuki dunia esports pada 2015, VFL Wolfsburg — klub sepak bola yang berlaga di Bundesliga, Jerman — memilih untuk menggandeng pemain FIFA, Benedikt “Salz0r” Saltzer. Wolfsburg bukan satu-satunya klub sepak bola yang memilih pendekatan ini. Pada Mei 2016, West ham United juga bekerja sama dengan Sean “Dragonn” Allen. Pada tahun yang sama, Manchester City juga menarik pemain FIFA profesional Kieran “Kez” Brown.
Di Indonesia, kebanyakan klub sepak bola yang masuk ke esports mengambil pendekatan ini. Sebut saja PERSIJA dan klub-klub sepak bola lain yang ikut serta dalam Indonesia Football e-League (IFeL), Liga 1 versi virtual. Para gamer profesional yang digaet oleh klub-klub sepak bola ini juga bukan pemain sembarangan. Kebanyakan dari mereka sudah berhasil menorehkan prestasi di skena esports PES, seperti Rizal “Ivander” Danyarta yang mewakili PERSIJA, Rizky Faidan yang membawa nama PSS Sleman, atau LuckyMaarif yang mewakili PERSIK Kediri.
Pendekatan lain yang biasa klub sepak bola lakukan ketika mereka hendak masuk ke dunia esports adalah dengan menggandeng organisasi esports. Strategi ini masuk akal. Jika Anda hendak terjun ke industri baru yang tidak terlalu dipahami, daripada harus belajar dari nol dan melakukan segala sesuatunya sendiri, lebih mudah untuk bekerja sama dengan pihak yang sudah berkecimpung di industri tersebut.
Klub sepak bola pertama yang menggunakan strategi ini adalah Santos FC. Pada Agustus 2015, klub asal Brasil itu menggandeng Dexterity Team, yang memiliki roster di League of Legends, Counter-Strike: Global Offensive, Battlefield 4, dan Heroes of the Storm. Pada tahun berikutnya, Clube do Remo, yang juga berasal dari Brasil, menggaet Brave e-Sports, yang berlaga di Hearthstone, Heroes of the Storm, dan SMITE.
Belum lama ini, pada November 2020, AC Milan mengumumkan kerja sama mereka dengan tim esports lokal Qlash. Sementara itu, Juventus menunjuk Astralis — yang dikenal dengan tim CS:GO mereka — untuk mewakili mereka di liga PES eFootball musim 2019/2020.
Ada juga klub sepak bola yang memilih untuk membentuk divisi esports sendiri, seperti Arsenal. Namun, mereka tidak memegang manajemen dari divisi tersebut. Arsenal menyerahkan tanggung jawab penuh atas divisi esports mereka Esports Gaming League, mulai dari pencarian talenta, wawancara dengan calon pemain, sampai tanda tangan kontrak.
Menariknya, kesertaan klub sepak bola di industri esports tidak terbatas pada liga sepak bola virtual. Ada beberapa klub sepak bola yang membuat tim yang berlaga di game esports lain selain FIFA dan PES. Contohhnya adalah Schalke 04. Tim sepak bola Jerman itu membeli slot liga League of Legends Eropa dari tim esports Elemenets pada 2016. Sampai sekarang, tim esports Schalke masih berlaga di League of Legends European Championship. Pada LEC Summer 2020, mereka berhasil duduk di peringkat lima dan memenangkan US$14.802.
Contoh lainnya adalah Paris Saint-Germain. Saat ini, mereka punya tim yang bertanding di tiga game esports, yaitu Dota 2, League of Legends, dan Brawl Stars. Sebelum ini, PSG juga pernah mencoba masuk ke Mobile Legends dengan menjalin kerja sama dengan RRQ. Sayangnya, kerja sama itu hanya bertahan selama satu setengah tahun.
Kenapa Klub Sepak Bola Tertarik Masuk ke Esports?
Sebelum ini, Hybrid pernah membahas betapa pentingnya regenerasi pemain di dunia esports. Saya percaya, di dunia sepak bola, regerasi juga sama pentingnya, baik regenerasi pemain maupun fans. Menurut data perusahaan marketing, CSM Sport & Entertainment, umur rata-rata fans Premier League adalah 42 tahun. Sebagai perbandingan, umur rata-rata penonton esports adalah 26 tahun, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Paper Money Grading pada 2018. Jadi, jika ditanya apa alasan klub sepak bola berbondong-bondong masuk ke dunia esports, salah satu jawabannya adalah darah muda.
“Fakta bahwa umur rata-rata fans sepak bola terus naik memaksa tim-tim sepak bola untuk memikirkan cara agar mereka bisa bertahan dan tetap relevan bagi fans generasi berikutnya. Apa yang harus klub sepak bola lakukan untuk memastikan mereka tetap menarik bagi para sponsor?” ujar Corporate Strategy Director, CSM Sport & Entertainment James Gallagher-Powell dalam ESI Digital Summer, seperti dikutip dari Insider Sport. “Melalui esports, klub sepak bola bisa membuat fans muda tertarik untuk menonton pertandingan sepak bola, yang merupakan bisnis utama mereka. Jadi, mereka bisa memastikan bahwa mereka tetap populer di generasi muda sehingga mereka tetap bisa mendapatkan untung di masa depan.”
Hal serupa diungkapkan oleh Chairman dari European Club Association dan Chairman dari Juventus, Andrea Agnelli. Tahun lalu, dia mewanti-wanti, industri sepak bola harus siap bersaing dengan industri game dan esports dalam memperebutkan hati penonton.
“Sekarang, kebiasaan para fans mulai berubah,” ujar Agnelli, lapor Goal. “Kita kini menghadapi ‘Gen Z’, digital natives yang kini mulai beranjak dewasa. Kita harus tahu bagaimana kebiasaan mereka. Kita harus sadar, kita tidak hanya bersaing dengan klub sepak bola lain, tapi juga esports, League of Legends, dan Fortnite. Ke depan, merekalah yang harus kita hadapi.”
PENONTON
Penonton bukan satu-satunya keuntungan yang bisa didapatkan oleh klub sepak bola ketika mereka masuk ke dunia esports. Menurut Gallagher-Powell, esports bisa menjadi sumber pemasukan baru bagi klub sepak bola di masa depan. Dia menyadari, biaya franchise liga esports besar kini ada di rentang harga US$10-50 juta, sama seperti nilai liga sepak bola Eropa sekitar 20 tahun lalu.
Memang, pada 2018, slot di League of Legends European Championship dihargai US$13 juta. Di tahun yang sama, Activision Blizzard mematok harga slot Overwatch League di US$20 juta untuk 12 tim pertama. Mereka kemudian menawarkan slot ekstra yang dihargai sekitar US$30-60 juta.
Klub sepak bola juga bisa menjadikan esports sebagai alat marketing, menurut Co-founder dan Managing Director Esports Insider, Sam Cooke. Klub yang berhasil melakukan ini adalah Manchester City. Pada September 2019, Manchester City mengumumkan kerja samanya dengan FaZe Clan. Melalui kerja sama ini, keduanya akan membuat merchandise co-branded edisi terbatas. Tak hanya itu, Manchester City juga punya pemain profesional yang mewakili mereka dalam pertandingan FIFA. Dengan begitu, para fans esports akan menjadi familier dengan nama Manchester City.
Hanya saja, esports dari game olahraga seperti FIFA dan PES masih kalah populer dari game esports MOBA dan FPS, seperti Dota 2 atau CS:GO. Menurut Remer Rietkerk, Head of Esports at Newzoo, tiga game esports yang paling populer adalah League of Legends, CS:GO, dan Dota 2. Di YouTube dan Twitch, total watched hours dari ketiga game itu mencapai 845 juta jam pada 2019. Sebagai perbandingan, total watched hours FIFA 19 hanya mencapai 8 juta jam dan FIFA 20 hanya 3 juta jam.
“FIFA adalah game yang bagus dan banyak orang yang memainkan game itu. Tapi, tidak ada fans hardcore esports yang akan setia menonton game itu selama bertahun-tahun,” kata Carlos Rodriguez, pendiri G2 Esports, dikutip dari Financial Time.
Hal yang sama diungkapkan oleh Account Director, CSM Sport & Entertainment, Debs Scott-Bowden. Aktif dalam skena esports FIFA dan PES memang bukan langkah yang buruk bagi klub sepak bola, karena mereka dapat memberikan eksposur ekstra pada sponsor. Namun, jumlah penonton game esports bola memang tidak sebanyak game esports MOBA dan FPS.
⭐
WE ARE @BrawlStars WORLD CHAMPIONS
3-0 @NovaEsportsTeam
3-0 @SKGaming
3-0 @INTZWhat an AMAZING RUN
250.000$
#ICICESTPARIS pic.twitter.com/J7x3qzUIYE
— PSG Esports (@PSGeSports) November 22, 2020
Jadi, bagi klub sepak bola yang terjun ke esports demi menjangkau audiens lebih luas, mereka sebaiknya menyeburkan diri ke skena esports dari game yang lebih populer, seperti League of Legends dan CS:GO. Dan saat ini, sudah ada beberapa klub sepak bola yang telah melakukan hal ini, seperti Schalke 04, PSG, dan FC Copenhagen. Di Indonesia, contoh tim sepak bola yang melakukan ini adalah Bali United (IOG Esports), yang memiliki tim Free Fire dan Mobile Legends.
“Strategi ini memiliki risiko yang lebih tinggi daripada sekadar masuk ke esports game olahraga, tapi keuntungan yang ditawarkan juga lebih besar,” kata Gallagher-Powell. “Game esports non-sepak bola memiliki jumlah fans yang jauh lebih banyak dari fans esports dari FIFA dan Rocket League. Jika sebuah klub ingin menjangkau audiens baru, mereka sebaiknya membuat divisi esports dari game-game yang lebih populer.”
Biaya besar jadi salah satu kendala yang harus dihadapi oleh klub sepak bola jika mereka ingin membuat tim esports dari game yang populer. Ketika tim sepak bola ingin ikut masuk dalam liga esports dengan sistem franchise — seperti yang dilakukan oleh Schalke 04 — maka mereka harus membayar biaya yang tidak kecil. Tak hanya itu, gaji dari para pemain esports League of Legends, Dota 2, atau CS:GO juga lebih mahal dari pemain FIFA atau PES. Gallagher-Powell memperkirakan, gaji seorang pemain League of Legends kelas atas bisa digunakan untuk membiayai keseluruhan tim esports FIFA.
Bagaimana dengan Indonesia?
Di Indonesia, klub sepak bola dan pemain esports profesional dipertemukan dalam Indonesia Football e-League (IFeL). Putra Sutopo, Head of IFeL bercerita, “Ide awal untuk IFeL itu sebenarnya karena iri dengan negara tetangga yang punya Liga 1 virtual sendiri, sementara di Indonesia belum ada. Padahal, Liga 1 di Thailand itu diikuti oleh pemain-pemain dari Indonesia. Peringkat satu sampai lima saja rata-rata didominasi oleh pemain Indonesia.”
Putra mengaku heran dengan fenomena ini. Pasalnya, dia merasa, fans sepak bola di Indonesia tidak hanya banyak, tapi juga fanatik. Dari sana, dia lalu mengambil inisiatif untuk mengajak klub-klub sepak bola Liga 1 untuk ikut serta dalam IFeL. “Respons dan hasilnya di luar ekspektasi kita,” ujarnya. “Viewers-nya banyak banget, bahkan liga tetangga saja nggak seramai itu.”
Baik tim sepak bola maupun pemain profesional tentunya memiliki fans sendiri-sendiri. Putra mengungkap, penonton IFeL adalah gabungan dari keduanya. Dia juga yakin, liga sepak bola dan liga esports bisa berjalan berdampingan, tanpa harus khawatir akan saling berebut penonton. “Kita justru bakal jadi pre-event-nya,” ujar Putra. “Misalnya, pertandingan jam 7 malam, kita bakal tanding di jam 5.”
Menurut Putra, kerja sama antara tim sepak bola dengan pemain profesional merupakan simbiosis mutualisme. Industri esports akan diuntungkan karena semakin banyak pihak yang ikut serta dalam mengembangkan industri itu, khususnya skena sepak bola virtual.
“Selain itu, karena semakin banyak klub bola yang terjun ke industri esports, hal ini juga bakal buat PSSI melek akan industri sepak bola virtual,” ungkapnya. “Menurutku, ini langkah awal yang baik untuk industri sepak bola virtual, mengingat negara kita sebenarnya masih ketinggalan sama negara tetangga dalam hal pengembangan industri esports sepak bola virtual.”
Bagi pelaku industri esports, khususnya game sepak bola, ada keuntungan lain yang bisa didapat dengan melibatkan klub sepak bola dalam liga esports, ungkap Rizki Darmawan, CEO dan Founder dari IVPL. Keuntungan itu adalah ikatan emosional. Saat ini, dia menjelaskan, alasan kebanyakan orang menonton konten game atau pertandingan esports sepak bola adalah karena mereka ingin tahu tentang tips dan trik dalam bermain atau karena mereka tertarik dengan sang pembuat konten atau pemain yang bertanding. Mereka kurang tertarik pada konten esports sepak bola itu sendiri.
Lain halnya dengan fans klub sepak bola, ujar Rizki. Mereka biasanya punya ikatan emosi yang kuat pada klub, sehingga mereka akan tetap setia mendukung tim favoritnya, tak peduli apakah tim itu menang atau kalah. Dengan melibatkan klub sepak bola di liga sepak bola virtual, diharapkan, para penonton juga menjadi lebih setia pada game sepak bola virtual itu sendiri. Karena itulah, IVPL berencana untuk bekerja sama dengan tim-tim Liga 2.
“Kami ingin tap in ke Liga 2 agar muncul emotional bond. Karena kalau sudah suka, meskipun klubnya papan bawah, seorang fan akan tetap dukung klub itu. Kami ingin memanfaatkan kedekatan emosi ini untuk sesuatu yang berbeda,” ujar Rizki. Dia membandingkan ikatan emosi antara fans klub sepak bola dengan fans seorang artis. “Apapun yang sang artis lakukan, para fans akan mau tahu. Itu formula yang ingin kami gunakan.”
Satu hal yang membedakan IFeL dan IVPL adalah IFeL fokus pada pertandingan 1v1 di PES, sementara IVPL fokus pada laga 11v11 di FIFA. Rizki mengungkap, tujuan jangka panjangnya adalah untuk membuat tim nasional sepak bola virtual.
Ketika ditanya apa keuntungan yang didapatkan oleh klub sepak bola jika mereka terjun ke esports, Rizki mengungkap, “Mereka akan mendapatkan fans baru, sumber pemasukan baru, dan bisa jual merchandise baru.” Dia menambahkan, mengurus liga virtual juga relatif lebih mudah. Alasannya, pertandingan bisa dijalankan dan ditonton dari rumah. “Jadi, Anda tidak harus datang ke kota tempat pertandingan diadakan. Hal ini akan menghemat biaya. Nanti, tinggal bagaimana cara me-manage turnamen,” ujarnya.
Senada dengan Rizki, Putra menyebutkan, masuk ke esports akan memungkinkan klub sepak bola untuk memperluas pasar mereka dan menjangkau generasi milenial. “Kalau mereka bisa memanfaatkan ini dengan baik, esports bisa jadi metode bisnis baru yang mengguntungkan untuk para klub bola,” ungkapnya. “Sayangnya, belum banyak klub-klub sepak bola di Indonesia yang mengerti bisnis model esports.”
Lebih lanjut Putra menjelaskan, ketika klub sepak bola membuat tim esports dan merekrut pemain profesional, mereka akan bisa membuat tim tersebut untuk ikut dalam pertandingan esports. “Hal ini bisa jadi pemasukan untuk klub,” katanya. “Sponsor? Karena merek mereka sudah besar, tidak begitu sulit bagi mereka untuk mendapatkan sponsor demi manajemen esports.” Dia menambahkan, klub juga bisa mendapatkan untung dari penjualan atau peminjaman pemain profesionalnya.
Untuk masalah ketidaktahuan klub sepak bola akan esports, Putra merasa, masalah ini bisa diselesaikan dengan membuka wawasan tim-tim sepak bola tentang industri esports. “Mereka seperti itu karena belum tahu bagaimana sistem bisnisnya. Makanya, perlahan dengan adanya IFeL, terbukti ada beberapa klub yang buka tim esports, seperti PERSITA,” ungkap Putra.
Kesimpulan
Ada beberapa alasan kenapa sepak bola bisa menjadi salah satu olahraga paling populer di dunia. Salah satunya adalah peraturan yang mudah. Alasan lainnya adalah karena bermain bola tidak memerlukan peralatan khusus. Anda hanya memerlukan bola, tempat yang cukup luas, dan tentu saja, teman bermain. Namun, sekarang, hal-hal tersebut semakin sulit untuk didapatkan. Sebaliknya, smartphone justru semakin mudah didapatkan. Tak hanya itu, ada banyak game yang bisa dimainkan dengan gratis. Jadi, jangan heran jika sebagian orang lebih memilih untuk bermain game daripada sepak bola.
Kabar baiknya, sepak bola dan game serta esports, sebenarnya tidak harus saling bermusuhan. Keduanya bisa berdiri berdampingan. Buktinya, selama pandemi virus corona, berbagai liga sepak bola dialihkan menjadi pertandingan sepak bola virtual, seperti liga di Singapura dan Malaysia.
Kolaborasi antara klub sepak bola dengan pemain esports juga terbukti menguntungkan kedua belah pihak. Jadi, daripada saling menyerang satu sama lain dan membuat perebutan penonton sebagai zero-sum game, tidak ada salahnya jika pelaku industri esports dan sepak bola justru saling membantu satu sama lain.
Feat Image: Deposit Photos