Tencent, Sony, dan Nintendo adalah tiga perusahaan game terbesar pada 2021. Microsoft ada di peringkat empat. Namun, jika Microsoft berhasil mengakuisisi Activision Blizzard, maka mereka akan menggeser Nintendo dan menjadi perusahaan game terbesar ketiga. Tidak tanggung-tanggung, Microsoft siap mengeluarkan US$68,7 miliar demi mendapatkan Activision Blizzard.
Seolah tak mau kalah, tak lama setelah Microsoft mengumumkan rencana mereka untuk mengakuisisi, Sony mengungkap bahwa mereka sedang mengakuisisi Bungie, developer dari Destiny. Tak hanya itu, pada Januari 2022, Take-Two Interactive juga baru saja membeli Zynga. Dengan tiga akuisisi besar tersebut, jangan heran jika total nilai transaksi akuisisi dan merger di dunia game pada Januari 2020 menembus US$85,4 miliar (sekitar Rp1.225 triliun).
Banyaknya perusahaan game yang melakukan akuisisi atau merger menunjukkan bahwa industri game kini ada di tahap konsolidasi. Dan sama seperti segala sesuatu yang ada di dunia ini, konsolidasi di industri game punya dampak positif dan negatif. Artikel ini dibuat untuk membahas bagaimana konsolidasi akan mempengaruhi perusahaan game serta para gamers.
Apa Saja Perusahaan Game yang Ada di Bawah Naungan Tencent, Sony dan Microsoft?
Sebelum membahas tentang pro dan kontra dari konsolidasi di industri game, saya akan menjabarkan daftar perusahaan game yang dimiliki oleh Tencent, Sony, dan Microsoft; tiga perusahaan game terbesar saat ini.
Jika dibandingkan dengan Sony dan Microsoft, Tencent-lah yang paling aktif dalam membeli saham dari perusahaan-perusahaan game. Hanya saja, biasanya, skala investasi Tencent di sebuah perusahaan game cenderung lebih kecil daripada Microsoft, yang rela menghabiskan miliaran dollar untuk mendapatkan perusahaan game ternama. Selain itu, Tencent juga tidak melulu membeli perusahaan game sepenuhnya. Tidak jarang, mereka hanya membeli saham — minoritas atau mayoritas — dari sebuah perusahaan game.
Sejauh ini, ada empat perusahaan game yang 100% sahamnya dipegang oleh Tencent. Keempat perusahaan itu adalah:
1. Riot Games, developer dari League of Legends, Wild Rift, dan VALORANT.
2. Funcom, developer dari Conan Exiles.
3. Sharkmob, developer dari Vampire: The Masquerade – Bloodhunt, game battle royale yang bisa dimainkan dengan gratis. .
4. Leyou, perusahaan induk dari Digital Extremes, developer Warframe dan Splash Damage, developer dari Dirty Bomb.
Sementara itu, ada lima perusahaan game yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh Tencent, seperti yang disebutkan oleh Rock Paper Shotgun. Kelima perusahaan itu antara lain:
1. Grinding Gear Games, developer dari Path of Exile.
2. Supercell, kreator dari Clash of Clans, Clash Royale, Brawl Stars, dan lain sebagainya.
3. Yager Development, developer dari Spec Ops: The Line.
4. 10 Chambers Collective, developer dari GTFO.
5. Klei Entertainment, developer dari Don’t Starve.
Tak cukup sampai di situ, Tencent juga punya saham minoritas (kurang dari 50%) di berbagai perusahaan game. Berikut perusahaan-perusahaan game yang pernah menerima investasi dari Tencent:
1. Roblox. Sebanyak 49% saham Roblox dipegang oleh Songhua, salah satu anak perusahaan Tencent.
2. Epic Games, developer dari Fortnite dan Unreal Engine. Tencent menguasai 40% saham Epic.
3. Fatshark, developer dari Warhammer: Vermintide. Tencent memiliki sekitar 36% dari saham Fatshark.
4. Marvelous, kreator dari franchise Story of the Season, yang dulu dikenal dengan nama Harvest Moon. Tencent membeli 20% saham Marvelous pada 2020.
5. Bluehole/Krafton, developer dari PUBG. Dikabarkan, Tencent menguasai sekitar 10% dari keseluruhan saham Bluehole.
6. Frontier Developments, developer dari Elite Dangerous dan Planet Zoo. Tencent memiliki 9% saham Frontier.
7. Sumo Digital, developer dari Crackdown 3, Team Sonic Racing, dan Sackboy: A Big Adventure.
8. Activision Blizzard. Tencent membeli 5% saham dari Activision Blizzard pada 2016.
9. Ubisoft. Pada 2018, Tencent mengakuisisi 5% saham dari Ubisoft, membantu kreator franchise Assassin’s Creed dan Rainbow Six itu untuk menghindari takeover oleh Vivendi.
10. Paradox, developer dari Crusader Kings dan Europa Universalis. Tencent membeli 5% saham Paradox pada 2016.
11. Remedy Entertainment, kreator dari Control dan Alan Wake. Tencent membeli 3,8% saham dari Remedy pada Mei 2021.
12. Dontnod Entertainment, developer dari seri Life Is Strange. Tencent menghabiskan EUR30 juta (sekitar Rp488,5 miliar) untuk mendapatkan saham minoritas di Dontnod.
13. Bohemia Interactive, developer Arma. Tencent mengakuisisi saham minoritas dari Bohemia pada Februari 2021.
14. Platinum Games, developer dari Bayonetta. Platinum mendapatkan “investasi kerja sama” dari Tencent. Sayangnya, nilai investasi itu tidak diketahui.
15. OtherSide Entertainment. Tencent tidak mengumumkan berapa besar uang yang mereka keluarkan untuk OtherSide. Satu hal yang pasti, mereka menyebutkan, mereka akan “bertanggung jawab atas franchise System Shock” pada awal 2020.
Tak hanya developer atau publisher game, Tencent juga tertarik dengan perusahaan non-developer/publisher yang bergerak di industri game, seperti:
1. Discord. Tencent menanamkan modal sebesar US$150 juta untuk Discord pada 2018.
2. Huya, platform streaming game di Tiongkok.
3. Douyu, platform streaming game di Tiongkok.
Pada akhir 2020, Tencent sempat berencana untuk melakukan merger untuk Huya dan Douyu. Sayangnya, mereka tidak bisa merealisasikan rencana tersebut karena larangan dari regulator. Alhasil, Tencent memutuskan untuk fokus mengembangkan Penguin Esports, divisi mereka yang bertanggung jawab atas platform streaming game. Selain itu, Tencent juga punya beberapa divisi yang bergerak di industri hiburan lain selain game, seperti Tencent Music Entertainment, Tencent Video, dan Tencent Picture.
Sekarang, mari beralih ke Sony. Jumlah studio internal yang Sony miliki memang tidak sebanyak jumlah perusahaan game yang mendapatkan investasi dari Tencent. Namun, semua studio internal Sony merupakan perusahaan game yang telah mereka akuisisi. Berikut 18 studio game milik Sony:
1. Polyphony Digital, developer dari franchise game balapan, Gran Turismo.
2. Team Asobi, developer dari Astro Bot Rescue Mission untuk PSVR dan Astro’s Playroom untuk PS5.
3. Firesprite, developer dari The Presistence dan membantu Sony untuk membuat The Playroom dan The Playroom VR.
4. Guerrilla Games, developer dari franchise Killzone dan Horizon Zero Dawn. Mereka juga membuat Decima Engine, yang digunakan untuk membuat Horizon Zero Dawn.
5. Housemarque, developer dari Super Stardust HD, Resogun, dan Returnal. Diakuisisi oleh Sony pada 2021.
6. London Studio, salah satu developer di bawah Sony Interactive Entertainment. London Studio dikenal sebagai developer di balik game ramah anak, SingStar dan EyePet. Mereka juga membuat game PSVR, Blood & Truth.
7. Media Molecule, developer dari franchise LittleBigPlanet. Diakuisisi oleh Sony pada 2010.
8. Nixxes Software. Dikenal sebagai developer yang ahli dalam melakukan porting game dari konsol ke PC.
9. XDev, developer yang berfungsi sebagai support studio. Sebelum ini, mereka telah bekerja sama dengan Supermassive Games untuk membuat Until Dawn dan berkolaborasi dengan Quantic Dream dalam pengembangan Detroit: Become Human.
10. Bend Studio, yang diakuisisi oleh Sony pada 2000. Bend pernah membuat Bubsy 3D untuk PSone. Pada awalnya, Bend fokus untuk membuat game portable. Mereka juga pernah mencoba untuk membuat game AAA dengan merilis Days Gone di PS4.
11. Bluepoint Games, developer yang dikenal berkat kesuksesan mereka dalam membuat remakes atau remasters dari game-game klasik PlayStation, seperti Uncharted: The Nathan Drake Collection, Shadow of the Colossus, dan Demon’s Souls. Diakuisisi oleh Sony pada 2021.
12. Insomniac Games, developer dari berbagai game eksklusif PlayStation, termasuk Ratchet & Clank dan Resistance. Mereka juga merupakan kreator dari Marvel’s Spider-Man dan Marvel’s Spider-Man: Miles Morales. Sony mengakuisisi Insomniac pada 2019.
13. Naughty Dog. Menurut laporan Push Square, Naughty Dog bisa dianggap sebagai studio milik Sony yang paling populer. Naughty Dog dikenal setelah sukses membuat game Crash Bandicoot, Jak & Dexter, Uncharted, dan The Last of Us. Diakuisisi oleh Sony pada 2001.
14. PixelOpus, developer indie yang membuat Entwined dan Concrete Genie.
15. San Diego Studio. Studio internal Sonya yang satu ini dikenal sebagai kreator dari seri MLB The Show. San Diego Studio juga berfungsi sebagai support studio. Mereka juga pernah bertanggung jawab untuk membuat game seperti The Mark of Kri dan Pain.
16. Santa Monica Studio, kreator di balik franchise God of War. Mereka juga merupakan support studio yang bertugas untuk membantu developer eksternal dalam membuat game-game eksklusif PlayStation.
17. Sucker Punch Studio, developer dari Ghost of Tsushima. Diakuisisi oleh Sony pada 2011. Mereka juga pernah meluncurkan Sly Cooper dan inFAMOUS.
18. Valkyrie Entertainment, support studio yang telah membantu Sony dalam meluncurkan sejumlah game penting, termasuk God of War. Diakuisisi oleh Sony pada akhir 2021. Sekarang, Valkyrie sedang membantu Santa Monica Studio untuk mengembangkan God of War Ragnarok.
Setelah Tencent dan Sony, sekarang, saya akan membahas tentang perusahaan-perusahaan game yang dimiliki oleh Microsoft. Jika dibandingkan dengan dua pesaingnya, Microsoft tidak terlalu sering melakukan akuisisi atau membeli saham perusahaan game. Namun, biasanya, perusahaan Amerika Serikat itu akan membeli perusahaan game yang memang sudah besar dan memiliki banyak franchise populer, seperti Activision Blizzard. Sebelum ini, Hybrid juga pernah membahas tentang perbedaan strategi Tencent dan Microsoft dalam mengakuisisi developer atau publisher game.
Berikut developer dan publisher yang dinaungi oleh Microsoft:
1. ZeniMax Media, perusahaan induk dari delapan studio game: Bethesda Game Studios, ZeniMax Online Studios, id Software, Arkane Studios, Machine Games, Roundhouse Studios, dan Alpha Dog Games. Beberapa franchise populer milik ZeniMax antara lain Doom, Dishonored, Fallout, The Elder Scroll, The Evil Within, Quake, dan Wolfenstein.
2. Activision Blizzard, perusahaan yang membawahi Blizzard, Treyach, Infinity Ward, High Moon Studios, Toys for Bob, Raven Software, Sledgehammer Games, Beenox, Radical Entertainment, dan Vicarious Visions. Activision Blizzard punya sejumlah franchise ternama, seperti Call of Duty, Candy Crush, Diablo, Guitar Hero, Hearthstone, Overwatch, Skylanders, Spyro the Dragon, Starcraft, Tony Hawk’s Pro Skater, dan World of Warcraft.
3. Rare, developers dari GoldenEye 007, Perfect Dark, Banjo Kazooie, Viva Pinata, Sea of Thieves, dan Battletoads.
4. 343 Industries, developer dari franchise Halo.
5. The Coalition, developer dari franchise Gears of War.
6. Mojang, developer dari Minecraft dan Minecraft Dungeon.
7. Ninja Theory, developer dari DmC: Devil May Cry, Disney Infinity. Heavenly Sword, dan Hellblade: Senua’s Sacrifice.
8. Playground Games, developer dari Forza Horizon dan Forza Motorsport.
9. Undead Labs, developer dari franchise State of Decay.
10. Compulsion Games, developer dari Contrast dan We Happy Few.
11. Obsidian Entertainment, developer dari Fallout: New Vegas, Grounded, Neverwinter Nights 2, Pillars of Eternity, South Park: The Stick of Truth, Star Wars Knights of the Old Republic 2: The Sith Lords, dan The Outer Worlds.
12. InXile Entertainment, developer dari Torment: Tides of Numenera, Wasteland 2, dan Wasteland 3.
13. Double Fine, developer dari Broken Age, Brutal Legend, Costume Quest, Grim Fandango Remastered, dan Psychonauts.
Selain itu, Microsoft juga pernah mencoba untuk membeli Discord senilai US$12 miliar. Namun, Discord menolak tawaran Microsoft. Microsoft juga pernah tertarik untuk membeli Square Enix. Lagi, tawaran ini ditolak. Square Enix mengatakan, mereka sedang tidak mencari perusahaan untuk mengakuisisi mereka, seperti yang dilaporkan oleh PC Gamer.
Argumen Pro Konsolidasi Industri Game
Ada beragam alasan mengapa perusahaan melakukan konsolidasi, mulai dari karena perusahaan ingin mendorong pemasukan, memangkas biaya operasional, sampai karena perusahaan ingin mencaplok pesaing. Dan jenis konsolidasi itu sendiri beragam. Dalam artikel ini, konsolidasi yang saya maksud adalah ketika sebuah perusahaan game mengakuisisi atau membeli saham dari perusahaan game lain untuk memperkuat posisi mereka di industri game.
Bagi perusahaan yang diakuisisi, salah satu keuntungan yang mereka dapat adalah kemudahan untuk menerima modal. Hal ini adalah kabar baik, khususnya bagi developer indie. Karena, biasanya, dana merupakan salah satu masalah yang harus dihadapai oleh developer. Dan, tidak mudah bagi developer game untuk mendapatkan pinjaman dari bank. Pasalnya, developer game tidak punya aset berwujud.
Masalah lainnya, tidak semua developer memiliki staf yang mengerti tentang bisnis. Seperti yang disebutkan oleh Jason Della Rocca, mantan Executive Director dari International Game Developers Association, Chapter Montreal, kebanyakan developer baru ingin fokus membuat game. Jadi, biasanya, tim inti developer hanya berisi programmer, designers, dan artists. Artinya, tidak ada orang yang mengerti tentang sisi bisnis dari industri game di developer tersebut.
“Biasanya, jabatan CEO akan diisi oleh seorang programmer, yang fokus untuk membuat game,” kata Della Rocca, dikutip dari Games Industry. “Programmer yang menjadi CEO tidak fokus tentang cara bagi developer untuk mendapatkan untung. Padahal, idealnya, orang yang menjabat sebagai CEO atau Presiden perusahaan, dia bertugas untuk memastikan model bisnis perusahaan memang menguntungkan dan menjamin keberlangsungan operasional perusahaan. Seorang CEO atau Presiden seharusnya tidak lagi perlu khawatir tentang membuat game.”
Menurut Della Rocca, karena kebanyakan developer muda tidak memiliki orang yang mengerti bisnis, maka mereka biasanya menjadi kebingungan dalam menghadapi investor dan mencari investasi. Jadi, ketika perusahaan game diakuisisi oleh perusahaan yang lebih besar dan mereka mendapatkan akses ke pendanaan, idealnya, hal ini akan membuat mereka bisa fokus untuk membuat game yang kreatif dan inovatif.
Karena developer tidak lagi perlu khawatir soal dana dan bisa fokus pada game yang hendak mereka kembangkan, seharunya, mereka juga bisa fokus untuk mengalahkan pesaing mereka yang memiliki game serupa. Sebagai contoh, Destiny merupakan franchise utama Bungie. Mengingat Destiny merupakan game FPS, maka mau tidak mau, Bungie pasti harus bersaing dengan 343 Industries, kreator dari franchise Halo. Masalahnya, 343 Industries punya dukungan dari Microsoft. Tanpa dukungan Sony — yang bisa berhadapan dengan Microsoft — Bungie mungkin akan kesulitan untuk menyaingi 343 Industries.
Selain modal, keuntungan lain yang didapatkan oleh perusahaan yang diakuisisi adalah akses ke pengetahuan yang dimiliki oleh pengakuisisi. Game adalah industri yang sangat besar. Setiap perusahaan biasanya punya keahlian khusus masing-masing. Sebagai contoh, Tencent tahu seluk-beluk tentang mobile game, khususnya game dengan model bisnis free-to-play. Sementara Sony cenderung lebih fokus pada game konsol dan belakangan, mereka juga semakin tertarik untuk merilis game di PC.
Jadi, ketika sebuah developer diakuisisi oleh korporasi yang lebih besar — seperti Tencent atau Sony atau Microsoft — developer itu akan bisa mendapatkan akses ke expertise dari perusahaan yang mengakuisisi mereka. Misalnya, kebanyakan game yang Riot Games buat adalah game untuk PC. Selama bertahun-tahun, Riot bahkan hanya fokus untuk mengurus League of Legends. Setelah diakuisisi oleh Tencent, Riot bisa mendapatkan akses ke pengetahuan Tencent tentang industri mobile game. Hal ini akan memudahkan Riot ketika mereka memutuskan untuk merilis mobile game mereka sendiri.
Terakhir, keuntungan yang bisa didapatkan oleh perusahaan yang diakuisisi adalah mereka bisa memanfaatkan network milik perusahaan pengakuisisi untuk melakukan ekspansi dan membawa franchise game mereka ke media lain. Sekarang, ada banyak game yang diadaptasi ke film atau menjadi animasi. Dan korporasi seperti Sony atau Tencent biasanya punya anak perusahaan yang bergerak di bidang hiburan selain game. Dengan begitu, ketika developer ingin membawa game mereka ke media lain — film, misalnya — mereka bisa memanfaatkan koneksi milik perusahaan pengakuisisi.
Lalu, apa keuntungan yang didapatkan oleh gamers? Karena developer tidak perlu lagi khawatir akan dana dan bisa fokus pada proyek yang sedang mereka buat, seharusnya mereka bisa menghasilkan game dengan kualitas yang lebih baik. Dan hal ini merupakan keuntungan yang didapat oleh gamers.
Argumen Kontra akan Konsolidasi Industri Game
Tentu saja, konsolidasi perusahaan game tidak melulu membawa dampak positif, tapi juga dampak negatif. Dan dampak negatif tersebut bisa langsung dirasakan oleh gamers. Karena, salah satu dampak buruk dari konsolidasi adalah hilangnya game-game unik.
Salah satu tujuan perusahaan mengakuisisi perusahaan lain adalah untuk mendapatkan konsumen baru dan pada akhirnya, meningkatkan pemasukan. Dari segi keuntungan, game AAA tentu lebih menguntungkan daripada game dengan skala yang lebih kecil. Jadi, jika tujuan perusahaan adalah untuk memaksimalkan keuntungan, maka jangan heran jika mereka lebih fokus dalam membuat game AAA. Dikabarkan, Sony memang sudah mengadopsi strategi tersebut pada tahun lalu.
Lalu, apa masalahnya jika perusahaan sebesar Sony hanya fokus pada game AAA? Game yang mereka hasilkan akan memiliki “rumus” yang sama. Membuat game AAA memakan biaya yang tidak kecil dan waktu yang tidak sebentar. Tentu saja, developer akan berusaha meminimalisir kemungkinan game itu menjadi game gagal. Alhasil, mereka akan menggunakan rumus yang sudah terbukti sukses; mereka akan cenderung membuat sekuel dari franchise yang memang sudah punya fans atau justru membuat remake dan remaster dari game-game lama. Atau, developer akan membuat game dengan gameplay yang begitu-begitu saja, karena khawatir, jika mereka mencoba untuk merilis game yang berbeda dari game-game sebelumnya, game itu tidak diterima dengan baik.
Tentu saja, tidak semua perusahaan pengakuisisi mengambil alih manajemen perusahaan yang mereka akuisisi. Tencent biasanya membiarkan developer beroperasi seperti biasa, bahkan setelah mereka mengakuisisi developer tersebut. Namun, biasanya, perusahaan game besar akan menetapkan proses Quality Assurance (QA), rencana marketing, siklus editing dan struktur manajemen yang sama. Jadi, tidak peduli game seperti apa yang dihasilkan oleh sebuah developer, ketika mereka melakukan prosedur yang sama, hasil akhirnya kemungkinan akan begitu-begitu saja, seperti yang disebutkan oleh Engadget.
Memang, proses QA diadakan untuk memastikan bahwa kualitas dari game yang dirilis sebuah developer akan sesuai dengan standar. Dan perusahaan seperti Tencent, Sony, atau Microsoft pasti punya standar yang tinggi. Tapi, ketika gamers disajikan dengan game yang memiliki struktur yang serupa, lagi dan lagi dan lagi, pada akhirnya gamers akan merasa bosan — atau justru muak — dengan game tersebut. Hal ini sesuai dengan Hukum Gossen, yang menyebutkan bahwa jika konsumen memuaskan keinginannya terus-menerus, kenikmatan yang dia rasakan akan terus berkurang, sampa pada akhirnya, dia sampai di titik jenuh.
Kabar baiknya, tidak semua perusahaan game punya pola pikir seperti Sony, yang memilih untuk sepenuhnya fokus dalam membuat game AAA. Electronic Arts, misalnya, juga tertarik untuk merilis game-game dengan gameplay yang lebih eksperimental. Walau hal itu bukan berarti EA akan melupakan game-game AAA mereka. EA tetap akan merilis game-game seperti FIFA, Madden, dan Apex Legends — yang memberikan kontribusi besar pada pemasukan mereka — tapi mereka juga akan merilis game-game berskala lebih kecil. Hanya saja, game-game eksperimental itu akan dirilis di bawah nama EA Originals.
EA memulai program EA Originals pada 2017, seperti yang disebutkan oleh VentureBeat. Vice President dan General Manager, EA Originals, Rob Letts mengatakan, misi utama EA Originals adalah “bekerja sama dengan studio game terbaik di dunia, tidak peduli apakah mereka adalah studio besar atau kecil”. Hal itu berarti, EA Originals akan bersedia merilis game-game yang mungkin tidak akan dilirik oleh publisher yang fokus pada game AAA. Contohnya adalah dua game buatan Hazelight: A Way Out dan It Takes Two. Dan tampaknya, keputusan EA berbuah manis. Buktinya, It Takes Two berhasil memenangkan Game of the Year di The Game Awards 2021.
Masalah lain yang mungkin muncul karena konsolidasi perusahaan-perusahaan game adalah keterbatasan akses. Menawarkan game eksklusif adalah salah satu strategi Sony dan Microsoft untuk membuat para gamers membeli konsol buatan mereka. Karena itu, ketika Microsoft membeli ZeniMax, muncul kekhawatiran bahwa game-game dari franchise ZeniMax hanya akan tersedia di Xbox dan PC. Ketika itu, Microsoft meyakinkan bahwa game-game buatan studio-studio di bawah ZeniMax akan tetap bisa dimainkan di berbagai platform, termasuk PlayStation.
Namun, sekarang, satu tahun setelah Microsoft mengakuisisi ZeniMax, Head of Xbox, Phil Spencer mengatakan, Xbox adalah platform terbaik untuk franchise seperti The Elder Scroll. Dia mengimplikasikan The Elder Scroll VI hanya akan tersedia di Xbox. Selain itu, Starfield — sci-fi RPG dari Bethesda — sudah pasti akan menjadi game eksklusif untuk PC dan Xbox Series X/S. Karena itu, ketika Microsoft mengungkap rencana mereka untuk membeli Activision Blizzard, muncul kekhawatiran bahwa game-game sepert Call of Duty dan Diablo hanya akan tersedia di PC atau Xbox.
Activision Blizzard adalah salah satu publisher terbesar di dunia. Jadi, sebelum ini, mereka punya opsi untuk menawarkan kontrak eksklusif dari game-game yang mereka buat ke Microsoft atau Sony. Biasanya, Activision Blizzard akan memilih untuk meluncurkan game di semua platform yang tersedia, demi memaksimalkan jumlah pemain. Namun, jika Microsoft mengakuisisi Activision Blizzard, maka mereka tidak akan lagi punya kebebasan untuk memilih platform bagi game mereka. Bagi gamers, hal ini berarti, akan ada game-game dari franchise kesayangan mereka yang tidak bisa mereka mainkan karena game tersebut tidak tersedia di platform yang mereka miliki.
Terakhir, dampak buruk yang mungkin muncul akibat konsolidasi perusahaan-perusahaan game adalah sirkulasi uang yang menjadi semakin sempit. Jika sebagian besar developer dan publisher game ada di bawah Tencent, Sony, atau Microsoft, maka hal itu berarti, tidak peduli game apa yang sukses di pasar, maka ketiga perusahaan itulah yang akan menuai untung. Masalahnya, perusahaan tidak bisa terus tumbuh. Ada kalanya, perusahaan tak lagi bisa tumbuh, karena perusahaan sudah menajdi terlalu besar.
Salah satu alasan mengapa perusahaan tidak bisa tumbuh terus-menerus adalah law of large numbers. Sederhananya, semakin besar sebuah perusahaan, semakin sulit pula bagi perusahaan untuk tumbuh. Mari kita jadikan Sony dan Nintendo sebagai contoh. Pada 2021, pemasukan Sony mencapai JPY9 triliun (sekitar Rp1.118 triliun), sementara pemasukan Nintendo adalah JPY1,8 triliun (sekitar Rp223 triliun).
Jika Sony ingin pemasukan mereka tumbuh 1%, mereka harus bisa mendapatkan pemasukan ekstra sebanyak JPY90 miliar (sekitar Rp11,2 triliun). Sementara itu, Nintendo hanya perlu mendapatkan JPY18 miliar (sekitar Rp2,2 triliun) jika mereka ingin bisa mengalami pertumbuhan sebesar 1%. Hal ini menunjukkan, karena ukuran Sony yang lebih besar, maka jika mereka ingin tumbuh, mereka harus bekerja jauh lebih keras daripada Nintendo.
Alasan lain mengapa perusahaan tidak bisa tumbuh tanpa henti adalah karena industri yang memang sudah matang. Menurut laporan Forbes, semakin matang sebuah industri, perilaku konsumen juga menjadi semakin bisa ditebak. Biasanya, konsumen akan setia ke sejumlah brands tertentu. Hal ini akan membuat harga produk di industri tersebut menjadi stabil. Artinya, perusahaan tidak lagi bisa mendorong pemasukan dengan menaikkan harga produk mereka.
Penutup
Ketika Anda memegang kendali atas perusahaan sebesar Tencent, Sony, atau Microsoft, apa yang akan Anda lakukan untuk bisa membuat perusahaan terus tumbuh? Mengakuisisi perusahaan lain bisa menjadi salah satu opsi yang bisa Anda ambil. Karena, akuisisi bisa memiliki dua fungsi. Pertama, memperluas konsumen yang bisa dijangkau. Kedua, menghilangkan kompetisi.
Masalahnya, perusahaan tidak bisa terus tumbuh tanpa batas. Seorang penulis dan aktivis lingkungan, Edward Abbey, mengatakan: “Growth for the sake of growth is the ideology of the cancer cell.”
Apa yang akan perusahaan lakukan ketika mereka tidak lagi bisa tumbuh? Dalam kasus perusahaan game, kemungkinan, mereka akan melakukan ekspansi ke tipe media lain, seperti film atau animasi. Dan tren ini memang sudah muncul. Dalam beberapa tahun belakangan, cukup banyak game yang diangkat ke film, seri TV, atau animasi, sebut saja The Witcher, Dota 2, dan League of Legends dengan Arcane.
Sumber header: Tom’s Guide