Dark
Light

Gachikun: Pemain Tua Punya Tanggung Jawab Merangkul yang Lebih Muda

3 mins read
November 27, 2019
Gachikun

Bulan Desember semakin mendekat, dan itu artinya puncak kompetisi Capcom Pro Tour (CPT) juga akan segera digelar. Acara puncak itu, Capcom Cup 2019, berlangsung pada tanggal 13 – 15 Desember nanti, bersamaan dengan ajang Street Fighter League World Championship yang mempertemukan jawara Amerika melawan jawara Jepang untuk pertama kalinya.

Pemain yang menjadi sorotan banyak pihak kali ini salah satunya tentu adalah Gachikun alias Tsunehiro Kanamori, juara Capcom Cup 2018 yang terkenal ahli menggunakan karakter Rashid. Saat ini memegang peringkat 15 di CPT Global Leaderboard, Gachikun harus membuktikan apakah ia mampu mempertahankan gelarnya atau harus menyerahkan takhta ke pemain lain.

Baru-baru ini, Gachikun berbincang-bincang dengan media Critical Hit tentang pengalamannya berkarier di dunia esports Street Fighter, perannya sebagai pro player, serta apa yang dibutuhkan oleh fighting game community (FGC) yang sedang tumbuh. Berikut poin-poin menarik yang mereka diskusikan.

Peran para “pemain tua”

Komunitas fighting game secara umum terkenal sebagai komunitas yang selalu passionate terhadap kegemaran mereka. Karena itulah sejak dulu iklim kompetitif sudah ada di komunitas ini. Namun untuk menjadi seorang pemain fighting game yang hebat tidaklah mudah. Butuh latihan, kerja keras, dan ketekunan untuk waktu yang lama. Tidak semua orang betah melakukannya.

Gachikun sendiri pernah merasakan ketika pemain-pemain “hilang” dari komunitas fighting game. Ia merasa bahwa untuk mencegah hal itu terjadi, komunitas harus memastikan bahwa para pemain ini dirangkul, diajak berkomunikasi, serta dilatih. Tanggung jawab ini terutama jatuh pada para anggota komunitas yang sudah senior.

Gachkun saat menjuarai Capcom Cup 2018 | Sumber: Fox Sports Asia
Gachkun saat menjuarai Capcom Cup 2018 | Sumber: Fox Sports Asia

“Ada suatu tanggung jawab yang muncul ketika Anda menjadi salah satu pemain yang telah ‘berhasil’. Kita jujur saja, tanpa ada komunitas yang bisa mandiri maka sebagian besar olahraga akan layu dan mati. Bukan hanya pemain baru yang bertanggung jawab untuk ikut terlibat, tapi juga pada para pemain yang lebih tua untuk mendukung mereka,” ujar Gachikun.

Industri esports bukan bubble?

Saat ini esports tengah menjadi sebuah tren yang ramai, dan banyak gamer bisa sukses menjadikannya lahan mata pencaharian. Namun mereka yang sukses itu jumlahnya sedikit dibandingkan mereka yang ikut berpartisipasi. Tidak semua pemain bisa jadi atlet terkenal, dan ada beberapa pihak khawatir bahwa industri esports saat ini adalah bubble yang bisa pecah sewaktu-waktu.

Akan tetapi, menurut Gachikun kekhawatiran itu tidak benar. Ia merasa bahwa esports ini adalah sebuah perubahan kultur di dunia gaming, terutama di kalangan gamer generasi baru. Bagi para gamer muda ini, game bukan hanya sesuatu untuk dimainkan, tapi juga sesuatu untuk ditonton.

Gachikun berkata, “Saya merasa bahwa di kalangan generasi muda ada sebuah budaya yang kuat tentang menonton siaran internet. Saya rasa hal itu hanya akan tumbuh membesar di masa depan, dan seperti halnya sepak bola atau rugbi, akan ada culture base yang stabil.”

Mengejar ketertinggalan

Walaupun esports sudah menjadi tren, sebetulnya pertumbuhan esports ini masih belum merata di semua negara. Critical Hit adalah media yang berbasis di Afrika Selatan, dan di sekitar mereka, komunitas fighting game masih memiliki skala yang kecil. Sementara genre lain seperti shooter atau MOBA sudah lebih populer. Bagaimana bisa ekosistem seperti ini mengejar ketertinggalannya terhadap negara-negara lain?

Gachikun mengakui bahwa akan sulit bila ingin mengejar popularitas cabang-cabang esports yang lebih mainstream. Tapi menurutnya hal itu tidak membuat fighting game lebih rendah atau inferior dibanding cabang-cabang esports lain. Yang terpenting adalah para penggemarnya mau terus bermain dan bekerja sama untuk membesarkan komunitas.

Ia kemudian bercerita tentang kondisi FGC di Jepang sebelum era esports meledak. “Di Jepang, FGC sudah populer bahkan sebelum istilah esports diciptakan. Ini karena ada banyak lokasi di seluruh Jepang di mana para pemain bisa berkumpul untuk bermain dan berkompetisi di turnamen. Tak peduli sekecil apa pun skalanya, ketika ada event yang digelar untuk menyatukan orang-orang, hal itu akan memotivasi dan merangsang para pemain untuk berpartisipasi secara aktif,” paparnya.

Esports memang punya potensi sebagai sebuah bisnis, tapi sebelum itu, esports adalah ekosistem yang dibangun oleh kekuatan komunitas. Menumbuhkan ekosistem yang besar memang tidak bisa instan, dan bila mengandalkan kekuatan grassroot, bisa jadi prosesnya akan lama. Tapi justru atas dasar kecintaan itulah ekosistem esports bisa menjadi kekuatan yang solid dan tak akan mati walau harus berjuang sendiri.

Saran-saran yang diberikan Gachikun rasanya bisa juga diterapkan di Indonesia, karena di negara ini sudah ada komunitas-komunitas fighting game yang aktif namun statusnya masih niche. Dengan menularkan kegembiraan yang kita rasakan dalam momen-momen kompetitif serta merangkul dan memelihara pemain-pemain baru, mudah-mudahan saja ekosistem fighting game di negara ini nantinya bisa tumbuh besar dan kuat seperti Jepang yang merupakan “kampung halaman” FGC.

Sumber: Critical Hit, Red Bull

Previous Story

TV Premium Samsung The Frame dan The Serif Hadir di Indonesia, Bisa Menggantikan Lukisan!

Next Story

Pada Mahasiswa, Manajemen Team SoloMid Bahas Seluk Beluk Industri Esports

Latest from Blog

Don't Miss

Justin Wong Utarakan Keresahannya Terhadap Masalah Netcode di Game Fighting

Jika Anda pemain game fighting, Anda mungkin sudah tidak asing

Hasil EVO Japan 2020, Dominasi Jepang dan Kemunculan Juara Asia Tenggara Pertama

EVO Japan 2020 telah usai digelar. Petarung dari berbagai belahan