Dewasa ini bila kita mendengar nama Rainbow Six, biasanya judul game yang dimaksud adalah Tom Clancy’s Rainbow Six: Siege. Tapi mereka yang mengikuti perkembangan dunia game sejak lama tahu, bahwa dulu sebenarnya franchise Rainbow Six punya karakteristik yang jauh berbeda dari Rainbow Six: Siege.
Rainbow Six dulu dikenal sebagai franchise yang berasal dari novel karangan Tom Clancy berjudul sama, yang menceritakan tentang unit anti terorisme internasional dengan nama tim “Rainbow”. Karena diangkat dari novel, seri game Rainbow Six pun umumnya punya fokus yang besar di porsi permainan single player, lengkap dengan cerita yang unik di setiap entrinya. Ketika Rainbow Six: Siege diluncurkan tahun 2015, banyak penggemar kaget karena unsur naratif ternyata dihilangkan.
Gameplay inti Rainbow Six: Siege memang mendapat banyak pujian, namun kurangnya konten single player serta model bisnis game as a service (GaaS) membuat Rainbow Six: Siege kurang diminati di pasaran. Tapi Ubisoft tidak menyerah. Mereka terus mendukung game ini, dan perlahan tapi pasti, Rainbow Six: Siege tumbuh menjadi salah satu esports paling populer dunia.
Mengapa Ubisoft tidak putus asa ketika Rainbow Six: Siege kurang laku, dan bagaimana strategi mereka membesarkan Rainbow Six: Siege dari game yang tidak laku menjadi esports besar? Polygon baru-baru ini mengadakan wawancara dengan Che Chou, Senior Director of Esports di Ubisoft, tentang rahasianya.
Percaya pada sebuah visi
Untuk mencari akar kesuksesan Rainbow Six: Siege, kita harus menengok cukup jauh ke belakang, yaitu ketika pertama kali Rainbow Six: Siege dikembangkan pada tahun 2013. Game Designer Rainbow Six: Siege, Andrew J. Witts, pernah mengatakan bahwa proyek pengembangan game ini lahir dari sebuah studi mendalam yang diadakan dengan tujuan mencari inti seri Rainbow Six yang paling mendasar, baik dari segi setting maupun gameplay. Pada akhirnya Ubisoft Montreal menyimpulkan bahwa inti seri Rainbow Six adalah tentang merasakan keseruan dan ketegangan menjadi Operator alias agen anti terorisme terbaik di dunia, bekerja sama dengan tim, serta menjalakan misi-misi berbahaya di berbagai negara.
Konsep tersebut kemudian menjadi visi utama dalam pengembangan Rainbow Six: Siege. Ubisoft Montreal sendiri mengakui bahwa mereka cukup was-was ketika mengumumkan game ini, karena perubahannya cukup drastis dibanding seri sebelumnya. Apalagi Rainbow Six: Siege sebetulnya merupakan “sisa” dari pengembangan game lain berjudul Tom Clancy’s Rainbow Six: Patriots yang dibatalkan. Franchise Rainbow Six sendiri pun merupakan salah satu seri paling terkenal yang dimiliki Ubisoft, jadi proyek ini adalah sebuah pertaruhan besar.
Meski ada rasa was-was, Ubisoft Montreal tetap teguh pada pendirian. Mereka kemudian menciptakan suatu “core loop experience” yang pada dasarnya menyerupai sebuah kompetisi atau olahraga. Memang kesuksesannya tidak datang secara instan. Namun berkat komunitas yang loyal, serta perilisan konten dan Operator baru secara rutin, pelan-pelan Rainbow Six: Siege mulai diakui sebagai sebuah olahraga sungguhan.
Karena dari awal Rainbow Six: Siege dirancang sebagai sebuah esports, mereka harus bisa menciptakan gameplay yang seimbang. Che Chou berkata, filosofi yang dipegang oleh tim developer Rainbow Six: Siege adalah bahwa game yang dimainkan di level kasual serta level profesional haruslah merupakan game yang sama. “Pada akhirnya tujuan akhir kami bukan untuk komunitas esports dan komunitas Rainbow Six kasual. Kami ingin semua pemain Rainbow Six untuk bermain bersama dan mengenal satu sama lain,” ujarnya.
Masukan dari para pro player memang menjadi salah satu pertimbangan, namun Ubisoft tidak hanya memfasilitasi kebutuhan pro player saja. Mereka ingin supaya setiap permainan terasa nyaman. Ketika seseorang memainkan Rainbow Six: Siege, ia akan bermain di level yang sesuai dengan kemampuan dia, merasakan bahwa ini benar-benar sebuah game PvP, dan merasa dirinya mengalami peningkatan skill perlahan-lahan.
Anda yang main Rainbow Six: Siege tentu tahu bahwa game ini punya sistem Matchmaking yang unik. Contohnya larangan bermain Ranked Match sebelum pemain mencapai level yang cukup tinggi, sistem “playlist” yang membuat pemain hanya bisa mengakses map tertentu tergantung mode yang dipilih, dan sebagainya. Bahkan konten single player yang ada di dalamnya pun sebenarnya merupakan tutorial terselubung yang dirancang untuk mengajari pemain memahami gameplay Rainbow Six: Siege secara menyeluruh.
Setiap cabang esports punya karakter berbeda
Rainbow Six: Siege bukanlah cabang esports terbesar di dunia. Malah tergolong kecil jika dibandingkan dengan judul-judul lain seperti Overwatch atau League of Legends. Tapi bagi Ubisoft ini bukan masalah. Justru bagi mereka memang esports Rainbow Six: Siege lebih cocok dengan gaya seperti ini, setidaknya untuk sekarang.
“Salah satu hal yang Anda pelajari seiring Anda menggeluti industri ini seperti saya adalah bahwa sebenarnya tidak ada formula yang cocok untuk semua cabang esports. Semua sangat bergantung pada game itu sendiri, komunitasnya, dan apa yang bisa mereka lakukan. Untuk kami, cara kami menangani Rainbow Six adalah dengan mengembangkan akar rumput. Jantung dari dukungan yang kami dapat datang dari komunitas; justru esports adalah komunitas itu sendiri. Jadi kami ingin memastikan kami punya fondasi yang kuat untuk para pemain di komunitas-komunitas kompetitif, dan kami mendukung mereka dalam semua ini,” papar Chou.
Kepedulian yang kuat pada komunitas itu bisa dilihat dari struktur liga dan turnamen Rainbow Six: Siege yang diterapkan Ubisoft. Mereka memang memiliki kompetisi terbuka di mana semua orang bisa berpartisipasi, tapi mereka juga melakukan pendekatan untuk memunculkan suatu “cerita” atau hiburan tersendiri bagi komunitas Rainbow Six. Karena itulah mereka menciptakan sistem Pro League yang menyerupai liga olahraga tradisional.
Dalam sistem Pro League, tim-tim profesional bisa dipastikan akan tetap ada dalam kompetisi, namun mereka memberi ruang bagi tim-tim penantang baru untuk berjuang dan masuk ke dalam sistem. Chou berkata, “Siklus pemain baru sangat vital di dalamnya. Siklus itu vital untuk terus mendorong pergerakan akar rumput dan mendorong pemain untuk mengincar level yang lebih tinggi.” Berbeda dengan cabang-cabang esports yang mementingkan pertumbuhan cepat, Rainbow Six sejak awal sudah mengutamakan masalah regenerasi dan sustainability—dua hal yang belakangan malah baru disentuh oleh banyak cabang esports lainnya.
Ini bukan berarti Rainbow Six: Siege akan terus menggunakan pendekatan yang sama. Tergantung dari besarnya peminat dan viewership, bisa saja Ubisoft nanti menerapkan strategi berbeda. Tapi dengan ukuran esports Rainbow Six: Siege sekarang, menurut mereka taktik seperti ini adalah taktik paling cocok. Ubisoft mengerti bahwa tidak semua game harus menjadi raksasa. Di tengah demografis penggemar shooter yang begitu besar, ada ruang untuk shooter kasual seperti Fortnite maupun shooter hardcore seperti Rainbow Six: Siege.
Dari setting militer berevolusi ke fantasi
Faktor komunitas selalu menjadi perhatian besar bagi Ubisoft. Ini bukan hanya soal memanfaatkan komunitas untuk melariskan produk, tapi juga soal membuat mereka nyaman sehingga mereka menjadi basis penggemar yang loyal. Ubisoft terus bekerja untuk mengatasi masalah-masalah dalam komunitas, seperti burnout, perilaku toxic, sportivitas, hingga kesejahteraan para pemain profesional.
Chou tidak menjelaskan strateginya secara mendetail, namun yang pasti adalah bahwa Ubisoft selalu bekerja sama secara erat dengan organisasi-organisasi esports partner mereka. Ubisoft terus memastikan bahwa organisasi-organisasi tersebut paham tentang standar sportivitas serta perilaku yang mereka inginkan. Oleh karena itu, di ekosistem Rainbow Six: Siege, sikap positif pemain profesional adalah salah satu unsur penting untuk menjadikan mereka brand ambassador.
Di sisi kesejahteraan, sudah bukan rahasia bila Ubisoft sangat getol mengadakan program revenue sharing dengan tim-tim profesional. Penjualan item kosmetik, pembagian keuntungan, hingga program sponsorship kolektif adalah sebagian cara Ubisoft untuk memastikan bahwa atlet-atlet Rainbow Six: Siege punya taraf hidup yang layak. Ubisoft juga terbuka akan kemungkinan adanya atlet-atlet yang mendirikan perserikatan, namun belum merancang wujud kerja sama pasti bila itu terjadi.
Ada satu hal unik yang membedakan Rainbow Six: Siege dari game bergenre military shooter lainnya, terutama dalam dua tahun terakhir. Sebetulnya, mungkin tanpa disadari oleh para penggemar, Ubisoft telah mengganti arahan nuansa Rainbow Six: Siege dari sebuah game yang serius menjadi game yang mendekati fantasi. Ini dapat dilihat dari desain para Operator yang semakin bergaya, semakin punya karakter unik, dan semakin fiktif. “Saya mengibaratkannya seperti G.I. Joe, yaitu sebuah koalisi ‘pelangi’ berisi para prajurit yang menarik dan beraneka warna, yang berlatih bersama-sama,” cerita Chou berkelakar.
Evolusi ke arah fantasi berhasil menjadikan Rainbow Six: Siege game yang lebih aksesibel. Desain estetika di dalamnya menjadi lebih beragam, sehingga dapat menarik pemain dari lebih banyak kalangan. Ini tercermin dalam komunitas penggemar Rainbow Six: Siege secara langsung. Misalnya bila kita pergi ke acara Rainbow Six, kita akan melihat adanya komunitas-komunitas penggemar yang terdiri dari para cosplayer perempuan. Banyak pemain Rainbow Six: Siege perempuan yang sangat passionate terhadap game ini, dan hal itu bukan hal yang lazim kita temui dalam sebuah komunitas penggemar first person shooter yang taktis dan serius.
Rainbow Six: Siege saat ini telah menginjak tahun keempat. Sebagai sebuah produk, Rainbow Six: Siege telah tumbuh menjadi game yang sangat kompleks, dengan 46 Operator serta lebih dari 20 map berbeda. Sebagai cabang esports, game ini juga masih terus tumbuh, dengan turnamen yang kian besar serta jumlah penggemar yang kian banyak.
Dalam perjalanannya Ubisoft pasti akan menemukan berbagai tantangan baru, dan mungkin mereka butuh gebrakan besar untuk menghadapinya. Kita tidak tahu akan seperti apa ekosistem esports Rainbow Six: Siege dalam satu atau dua tahun ke depan. Akan tetapi selama Ubisoft terus berpegang teguh pada visi mereka, dan terus menaruh perhatian besar pada kebutuhan komunitas baik kasual maupun profesional, saya rasa kita bisa optimis bahwa Ubisoft pasti bisa menanganinya dengan baik. Semoga saja Indonesia dapat menjadi salah satu negara yang memiliki iklim esports Rainbow Six: Siege yang sehat, dan menghasilkan tim-tim berprestasi baik di tingkat lokal ataupun internasional.
Sumber: Polygon