Pada 2021, total nilai transaksi merger dan akuisisi di industri game mencapai US$80,4 miliar, menurut data dari InvestGame. Satu bulan memasuki 2022, angka itu sudah terlewati. Sepanjang Januari 2022, total nilai transaksi yang diumumkan di industri game mencapai lebih dari US$85 miliar. Beberapa akuisisi besar yang terjadi pada Januari 2022 adalah rencana akuisisi Activision Blizzard oleh Microsoft senilai US$68,7 miliar, akuisisi Zynga oleh Take-Two Interactive, senilai US$12,7 miliar, dan akuisisi Bungie oleh Sony senilai US$3,6 miliar.
Fakta bahwa tahun 2022 dimulai dengan akuisisi besar-besaran dalam industri game diperkirakan akan mendorong total nilai transaksi sepanjang tahun. Menurut perkiraan Drake Star Partners, pada 2022, total nilai transaksi merger dan akuisisi di industri game akan menembus US$150 miliar, hampir dua kali lipat dari nilai merger dan akuisisi pada tahun lalu. Seperti yang disebutkan oleh VentureBeat, tren akuisisi di industri game akan menciptakan disrupsi. Di satu sisi, disrupsi akan menimbulkan tantangan baru. Di sisi lain, disrupsi juga menciptakan kesempatan baru bagi pelaku dunia game. Berikut tren yang mungkin muncul akibat disrupsi di dunia game.
NFT
Pada 2021, Forte menjadi perusahaan yang berhasil mengumpulkan investasi paling besar dalam satu ronde pendanaan di industri game. Total kucuran dana yang didapatkan oleh perusahaan infrastruktur blockchain game itu adalah US$725 juta. Hal ini menunjukkan besarnya minat pemodal akan blockchain game. Tak berhenti sampai di situ, InvestGame mengungkap, sepanjang 2021, 26% dari total investasi pribadi di industri game — atau sekitar US$3,1 miliar — ditanamkan pada perusahaan yang bergerak di blockchain game.
Beberapa veteran industri game juga menunjukkan ketertarikan akan blockchain game. Misalnya, Head of YouTube Gaming, Ryan Wyatt, Co-founder Zynga Eric Schiermeyer, mantan eksekutif dari Coca-Cola Gaming, Matthew Wolf, designer Sim City Will Wright, mantan Chief Creative Director dari Magic Leap Graeme Devine, dan mantan eksekutif Activision, John Linden. Besarnya modal yang diinvestasikan ke blockchain gaming dan tingginya minat veteran industri game berarti, blockchain games akan punya peran penting dalam industri game di masa depan.
Namun, hal itu bukan berarti tidak ada oposisi untuk penerapan blockchain game. Sejauh ini, integrasi Nonfungible Token (NFT) dalam game masih menuai protes dari para gamers. Grup yang mendukung NFT berargumen, NFT akan menawarkan transparansi dan keamanan digital yang lebih baik. Karena, NFT menggunakan blockchain untuk melakukan otentikasi dari digital item. Sementara kelompok yang kontra dengan NFT mengungkap, alasan mereka tidak ingin mengadopsi NFT adalah karena saat ini, ada banyak penipuan yang melibatkan NFT.
Mekanisme play-to-earn diperkirakan menjadi salah satu faktor yang mendorong adopsi blockchain game. Axie Infinity adalah contoh game yang menerapkan model play-to-earn. Game tersebut begitu populer sehingga ia pernah menjadi mata pencarian bagi sebagian gamers di Filipina dan negara-negara berkembang lainnya. Namun, belakangan, nilai token di Axie Infinity mulai turun, yang mengacaukan perekonomian dalam game tersebut. Kabar baiknya, Sky Mavis segera memikirkan perubahan yang harus mereka implementasikan untuk mempertahankan para pemain mereka.
Regulasi Anti Monopoli
Microsoft siap untuk menghabiskan miliaran dollar untuk mengakuisisi Activision Blizzard. Namun, mereka masih harus menghadapi satu hambatan, yaitu mendapatkan izin dari regulator anti monopoli. Terkait hal ini, Microsoft President, Brad Smith mengatakan, Microsoft akan menyesuaikan diri dengan ketentuan yang regulator tetapkan dan bukannya berusaha untuk melawan regulator.
Satu hal yang pasti, jika Microsoft diizinkan untuk membeli Activision Blizzard, mereka akan bisa memasukkan sejumlah franchise gameternama buatan developer itu ke Xbox Game Pass, mulai dari Call of Duty, Diablo, sampai Overwatch. Tentu saja, hal ini akan membantu Microsoft dalam mengalahkan pesaing mereka. Meskipun begitu, Microsoft harus bisa meyakinkan regualator anti monopoli bahwa mereka akan tetap mengizinkan pesaing mereka, seperti Sony dan Nintendo, untuk mengakses game-game buatan Activision Blizzard.
Selain akuisisi Activision Blizzard, rencana besar Microsoft lainnya adalah membuat universal app store. Sesuai namanya, universal app store akan memungkinkan gamers untuk mengunduh dan memainkan game di platform apapun yang mereka mau, mulai dari mobile, konsol, sampai PC. Dengan begitu, gamers tidak perlu pergi ke toko digital yang berbeda setiap kali mereka hendak membeli game di platform yang berbeda. Jika Microsoft berhasil membuat universal app store, implikasinya, di masa depan, perusahaan game akan terbiasa untuk meluncurkan game di tiga platform yang berbeda sekaligus, yaitu mobile, konsol, dan PC.
Teknologi cloud dibutuhkan oleh perusahaan game untuk meluncurkan game yang platform-agnostic, yaitu game yang bisa dimainkan di berbagai platform. Terakhir, teknologi baru yang menarik perhatian Microsoft saat ini adalah metaverse. Dan Microsoft bukan satu-satunya perusahaan raksasa yang tertarik untuk membuat metaverse. Perusahaan seperti Tencent dan Meta — yang dulunya bernama Facebook — juga menunjukkan minat akan metaverse. Artinya, di masa depan, Microsoft akan berhadapan dengan perusahaan-perusahaan raksasa lain.
Michael Metzger, Partner of Drake Star Partners mengatakan bahwa saat ini, perusahaan yang berminat dengan metaverse sangat aktif dalam melakukan transaksi jual-beli. Dan tampaknya, aktivitas jual-beli perusahaan yang bergerak di metaverse masih belum akan melambat dalam waktu dekat.
Nilai Perusahaan Game yang Meroket
Beberapa tahun lalu, nilai akuisisi sebuah perusahaan game adalah satu atau dua kali lipat dari total pemasukan mereka. Sekarang, Alina Soltys, Co-founder dari Quantum Tech Partners mengungkap, nilai akuisisi perusahaan game bisa mencapai 4,2 kali dari total pendapatan perusahaan.
Hype akan metaverse menjadi salah satu alasan mengapa nilai akuisisi perusahaan game bisa meningkat pesat. Metaverse diperkirakan akan menjadi the next big thing. Jadi, tidak heran jika banyak perusahaan-perusahaan raksasa yang berlomba-lomba untuk mengembangkan metaverse. Ketertarikan mereka di metaverse akan membuat perhatian mereka tertuju pada perusahaan-perusahaan game. Kenapa? Karena metaverse akan dibuat menggunakan game engine. Dan developer game adalah pihak yang paling mengerti cara untuk menggunakan game engines.
Game adalah industri yang kompleks. Dan ketika gamers sudah terpikat hatinya, mereka bisa menjadi fans setia seumur hidup. Masalahnya, memenangkan hati gamers bukan perkara gampang. Buktinya, tidak peduli berapa banyak uang yang Amazon kucurkan untuk membuat game, banyak game dari Amazon yang dianggap gagal. Tidak jarang, mereka bahkan menghentikan pengembangan game di tengah jalan.
Karena membuat game tidak mudah, perusahaan di luar gaming yang mendadak tertarik dengan metaverse akan tergoda untuk mengambil jalan pintas, yaitu mengakuisisi perusahaan game yang sudah ternama. Sebagai contoh, jika sebuah korporasi ingin menjajaki metaverse, daripada memulai dari nol, bukankah lebih mudah bagi mereka untuk mengakuisisi Roblox seharga US$32 miliar? Karena, Roblox adalah perusahaan game yang juga punya pengalaman dalam membuat metaverse.
Tentu saja, perusahaan-perusahaan game besar seperti Nintendo atau Electronic Arts tidak akan mau menjual perusahaan begitu saja. Hanya saja, ketika perusahaan seperti Meta rela untuk menghabiskan US$13 miliar per tahun untuk membangun metaverse, apakah perusahaan game akan tetap punya kemungkinan untuk mempertahankan kemandiriannya?
Sumber header: Polygon