Amazon Game Studios (AGS) baru saja mengumumkan bahwa mereka telah membatalkan pengembangan game MMO dari Lord of the Rings. Pertama kali diumumkan pada 2019, game yang ditujukan untuk PC dan konsol itu dikembangkan oleh AGS dengan bantuan Athlon Games dan Leyou.
Namun, AGS akhirnya memutuskan untuk menghentikan pengembangan dari game itu karena mereka punya beda pendapat dengan Tencent, yang mengakuisisi Leyou pada Desember 2020. Game Lord of the Rings ini bukanlah game pertama yang pengembangannya dibatalkan oleh AGS. Faktanya, sejak didirikan pada 2012, mereka belum berhasil membuat game yang sukses.
Dalam TwitchCon pada 2016, AGS mengungkap bahwa mereka tengah mengembangkan tiga game, yaitu Breakaway, Crucible, dan New World. Saat itu, mereka juga mengembangkan Nova, game MOBA yang serupa dengan League of Legends dari Riot Games, walau mereka tidak mengungkapnya ke publik. Dan sekarang, New World jadi satu-satunya game yang masih AGS pertahankan. Memang, game shooter Crucible sudah dirilis pada Mei 2020. Sayangnya, dua bulan sejak diluncurkan, game itu justru ditarik dari publik dan kembali masuk ke tahap closed beta. Pada Oktober 2020, pengembangan dari game tersebut resmi dihentikan.
Padahal, selama empat tahun pengembangan Crucible, AGS dikabarkan telah menghabiskan dana sekitar US$300 juta. Dana AGS untuk mengembangkan game-game lain juga tidak kecil, mencapai sekitar US$500 juta per tahun. Tak hanya itu, AGS juga mempekerjakan beberapa veteran ternama di dunia developer games, seperti Kim Swift, designer dari Portal dan Clint Hocking, Director dari Far Cry 2. Lalu, kenapa AGS belum dapat meluncurkan game yang sukses?
Pemimpin yang Tidak Paham Pengembangan Game
Amazon Game Studios dipimpin oleh Mike Frazzini. Walau dia telah bekerja di Amazon sejak lama, dia tidak punya pengalaman dalam membuat game. Namun, hal itu bukan berarti dia sama sekali buta akan potensi industri game. Faktanya, dia adalah orang yang mendorong Amazon untuk mengakuisisi Twitch, yang terbukti merupakan keputusan tepat. Di bawah kepemimpinannya, AGS juga mengakuisisi beberapa studio game. Tak berhenti sampai di situ, dia juga berhasil menarik sejumlah veteran ternama di dunia game, termasuk Richard Hilleman, kreator dari game american football Madden dan John Smedley, co-founder dari Verant Interactive Inc. yang kemudian menjadi Sony Online Entertainment setelah diakuisisi oleh Sony Pictures Entertainment. Sekilas, AGS punya semua hal yang diperlukan untuk membuat game AAA yang sukses: dana yang tak terbatas, developer berbakat, dan infrastruktur yang mumpuni.
Hanya saja, walau Frazzini mempekerjakan sejumlah veteran industri game ternama, dia sering mengacuhkan nasihat mereka. Hal ini dikemukakan oleh banyak pekerja dan mantan pegawai AGS pada Bloomberg. Frazzini juga sering menegaskan bahwa game buatan AGS harus sukses menjadi franchise bernilai miliaran dollar. Pada saat yang sama, banyak proyek ambisius AGS yang kekurangan staff. Fakta bahwa Frazzini tidak punya pengalaman dalam membuat game juga membuatnya kesulitan dalam memberikan kritik dan saran pada para developer dalam sesi review game. Seorang pegawai AGS yang tak mau disebut namanya bercerita, Frazzini bahkan tidak bisa membedakan antara footage game dan live gameplay.
Membuat game AAA untuk PC atau konsol bisa memakan waktu yang tidak sebentar. Rata-rata, pengembangan game AAA membutuhkan tim berisi 150-200 orang dan waktu sekitar 2-3 tahun. Namun, dalam meeting, Frazzini sering meminta timnya untuk membuat game yang tengah populer. Alhasil, tim AGS tidak bisa fokus dan hanya berusaha meniru game yang sedang naik daun. Misalnya, AGS pernah ingin membuat game MOBA serupa League of Legends. Proyek yang dinamai Nova itu akhirnya dihentikan pada 2017. Sementara Fortnite dari Epic Games menginspirasi AGS untuk membuat game berjudul Intensity. Namun, game itu juga dibatalkan pada 2019. AGS terinspirasi untuk membuat Crucible karena Overwatch dari Activision Blizzard. Sayangnya, pengembangan game itu akhirnya dihentikan beberapa bulan setelah ia dirilis.
Budaya Perusahaan di AGS
Jason Child, mantan pegawai AGS di departemen finansial yang telah bekerja selama lebih dari 10 tahun mengungkap, salah satu karakteristik utama yang Amazon pertimbangkan ketika mereka memilih pemimpin dari sebuah proyek adalah apakah orang itu mengerti tentang prinsip Amazon sebagai perusahaan. “Amazon memang mempekerjakan para ahli dari berbagai industri, tapi mereka ingin agar orang-orang itu yang menyesuaikan dengan budaya perusahaan Amazon,” ujar Child, seperti dikutip dari Bloomberg.
Masalah lainnya adalah AGS terlalu ambisius. Di satu sisi, mereka ingin membuat game yang bisa dimainkan oleh banyak orang. Pada saat yang sama, mereka ingin agar game itu tetap terasa fun saat dimainkan sendiri. Mereka juga ingin membuat game yang sukses seperti franchise Call of Duty, tapi game itu juga harus inovatif dan unik. Bagi para developer, membuat game dengan semua kriteria itu adalah sesuatu yang mustahil.
Insentif menjadi masalah lain di AGS. Kebanyakan perusahaan game biasanya akan memberikan insentif pada karyawan mereka berdasarkan kesuksesan dari game yang mereka rilis. Hal ini akan mendorong para pegawai untuk membuat game sebaik mungkin. Namun, AGS tidak menerapkan sistem insentif ini. Sebagai gantinya, mereka memberikan insentif berupa saham Amazon yang akan diberikan berdasarkan lama waktu seseorang bekerja di AGS. Alhasil, sebagaian pegawai fokus untuk menghindari konflik dan menyenangkan hati para atasan, seperti Frazzini, agar mereka bisa tetap bekerja di AGS.
Hal lain yang menjadi masalah di AGS adalah seksisme. Sama seperti kebanyakan perusahaan game, AGS juga menerapkan “bro culture”, yang mengutamakan pekerja laki-laki. Empat developer perempuan di AGS mengungkap, budaya seksis di AGS sangat parah. Mereka bercerita, pekerja perempuan sering diacuhkan atau disepelekan oleh para eksekutif, yang mendorong para developer perempuan untuk keluar.