Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Newzoo dengan Crypto.com, sebanyak 40% gamers di Amerika Serikat, Inggris, dan Indonesia tertarik dengan game blockchain dan berencana untuk mencobanya di tahun ini. Namun, hanya 5% gamers yang mengaku sangat tertarik dengan game blockchain.
Sementara 35% gamers lainnya mengatakan, mereka hanya cukup tertarik saja. Tapi, hal ini tidak menyurutkan semangat sejumlah developer game Indonesia untuk mengembangkan game blockchain.
Keadaan Industri Game di Indonesia
Pada 2018, total pemasukan industri game di Indonesia mencapai US$1,1 miliar, berdasarkan data dari Newzoo. Sementara pada tahun lalu, total spending gamers Indonesia mencapai US$1,9 miliar.
Hal ini menunjukkan besarnya potensi industri game di Indonesia. Sayangnya, dari total belanja gamers Indonesia, developer lokal hanya mendapatkan US$7 juta, ungkap Arief Widhiyasa, Chairman dari Agate pada GamesBeat.
Pemerintah Indonesia sendiri menunjukkan minat untuk mengembangkan ekonomi digital di Tanah Air, termasuk di ranah game.
Sejauh ini, Indonesia bahkan telah berhasil menelurkan 14 unicorns, yaitu startup yang memiliki valuasi lebih dari US$1 miliar. Hal itu berarti, 38% dari total unicorn di Asia Tenggara berasal dari Indonesia. Hanya saja, tidak ada satu pun unicorn itu yang berasal dari industri game.
Padahal, jika sukses, perusahaan game juga bisa memberikan kontribusi besar ke ekonomi sebuah negara. Contohnya, Supercell dari Finlandia. Pemerintah Finlandia pernah memberikan pinjaman sebesar US$400 ribu pada Supercell. Dan pada 2018, Supercell membayar pajak sebesar US$122 juta dalam setahun setelah sukses dengan Clash of Clans.
Secara total, industri game Finlandia memiliki total pemasukan sebesar US$3 miliar dan mempekerjakan sekitar 3,6 ribu orang. Sebagai perbandingan, di Indonesia, hanya ada lebih dari 25 perusahaan game yang mempekerjakan lebih dari 2 ribu staff.
Potensi Game Blockchain di Indonesia
Popularitas cryptocurrency seperti Bitcoin dan Ethereum membuat masyarakat luas semakin kenal dengan blockchain. Dan sekarang, perusahaan game Indonesia tampaknya ingin menggunakan teknologi blockchain untuk mendisrupsi industri game lokal.
Setidaknya, begitulah yang diungkapkan oleh Ivan Chen, CEO dari Anantarupa, kreator dari Lokapala. Dia mengatakan, kebanyakan gamers lokal sudah memiliki cryptocurrency. Hal itu membuatnya optimistis, gamers di Indonesia akan memiliki pikiran yang terbuka untuk mencoba game blockchain.
“Di pasar lokal, saya tidak melihat adanya masalah,” kata Diana Paskarina, COO dan Co-founder dari Anantarupa, dikutip dari GamesBeat. “Saya rasa, orang-orang mengerti bahwa ketika Anda mendapatkan sesuatu di game tradisional, mereka tidak benar-benar memiliki items tersebut. Tapi, dengan blockchain dan NFT, Anda akan mendapatkan nilai lebih banyak dan masyarakat memahami itu.”
“Tren yang kami lihat di Asia Tenggara, orang-orang lebih mau untuk mencoba sesuatu yang baru,” kata Wei Zhou, CEO dari Coins.ph, bursa crypto di Filipina.
“Sebagian besar populasi di ASEAN masih muda dan kebanyakan dari mereka tidak memiliki rekening bank. Semua hal ini membentuk dinamika yang unik. Para developers akan muncul dari Asia Tenggara, yang menciptakan produk untuk konsumen Asia Tenggara. Di era Web2, kamilah yang menghabiskan uang untuk perusahaan-perusahaan game. Dengan Web3, saya mulai merasa bahwa transaksi ekonomi yang terjadi bersifat dua arah.”
Sementara itu, Yat Siu, Executive Chairman dari Animoca Brands, mengatakan, jika dibandingkan dengan gamers asal Amerika atau Eropa, gamers di Asia tidak terlihat memiliki kebencian yang amat sangat pada game blockchain. Faktanya, Axie Infinity bisa begitu populer di 2021 karena game tersebut dimainkan oleh banyak gamers asal Asia Tenggara, termasuk Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia.
Pada saat yang sama, Siu melanjutkan, tidak bisa dipungkiri, ada banyak gamers yang sudah terlanjur tidak suka dengan game blockchain. Kekhawatiran mereka akan adanya game blockchain yang bertujuan untuk menipu pemainnya juga merupakan ketakutan yang nyata.
Tantangan di Industri Game Blockchain
Sebagai industri yang relatif baru, game blockchain menawarkan tantangan tersendiri untuk para perusahaan yang berkutat di dalamnya. Melalui blog-nya, Adam Ardisasmita, CEO Arsanesia dan VP dari Asosiasi Game Indonesia (AGI), mencoba untuk menjabarkan beberapa masalah yang ada pada game blockchain saat ini.
Menurut Adam, salah satu masalah utama dari game blockchain adalah model bisnis yang digunakan, yaitu model money game atau Play-to-Earn (P2E).
Alasannya, model money game membuat gamers tertarik untuk memainkan game bukan karena game itu menyenangkan, tapi karena mereka ingin mendapatkan uang dari game tersebut. Padahal, ada saja developer yang tidak memprioritaskan konsep gameplay dari game P2E itu sendiri.
“Yang penting adalah kita beli NFT dari game tersebut. Lalu, waktu yang kita gunakan untuk bermain menggunakan NFT itu bisa digunakan untuk mendapatkan reward,” tulis Adam.
Lebih lanjut, Adam menjelaskan, game blockchain atau game NFT bisa memberikan reward pada pemain berkat konsep tokenomic. “Semakin tinggi demand akan NFT dan token di game, maka harga token juga akan semakin mahal,” katanya.
Namun, konsep ini akan menciptakan dua masalah. Pertama, ketika developer kurang memikirkan konsep game, maka gameplay dari game yang mereka buat akan terasa kurang menyenangkan. Alhasil, motivasi utama gamers untuk bermain adalah untuk mendapatkan uang dan bukannya untuk bersenang-senang.
Masalah kedua, reward dalam game akan tergantung dari demand. Dalam game seperti Axie Infinity, demand akan NFT memiliki kaitan langsung dengan jumlah pemain baru. Karena, pemain barulah yang harus membeli NFT karakter untuk bisa bermain.
Dengan begitu, demand akan NFT atau token hanya akan naik ketika ada gamers baru. Saat jumlah gamers stagnan, maka demand pun tidak akan bertambah. “Model ini tidak sustainable,” ujar Adam. “Gamers ataupun spekulan tidak akan bertahan dalam jangka waktu lama untuk memainkan game dengan model ini.”
Menurut Adam, masalah lain yang sering ditemui di proyek game blockchain adalah developer mulai menjual NFT sebelum menciptakan gameplay dari game yang hendak mereka buat.
Dia menyebutkan, proyek seperti ini hanya akan menarik para spekulan, yaitu orang-orang yang ingin mendapatkan untung dengan membeli NFT di awal dan menjualnya dengan harga lebih mahal di masa depan. Padahal, tidak tertutup kemungkinan, proyek game tersebut akan dihentikan. Dan sekalipun proyek itu dilanjutkan sampai selesai, tetap ada kemungkinan gameplay dari game blockchain yang developer buat kurang menarik. Hal ini bisa berujung pada sedikitnya jumlah pemain dan turunnya harga NFT dalam game.
Adam mengungkap, dua masalah itu akan bisa diselesaikan jika developer fokus untuk membuat game yang memang menarik. “Developer tidak usah berbicara tentang tokenomic atau whitelist atau minting NFT dulu. Mereka harus fokus untuk membuat game yang memang seru untuk dimainkan,” ujarnya. Dia mewanti-wanti akan bahaya dari proyek game blockchain yang sudah menjajakan NFT sebelum game selesai dibuat.
“Beneran nggak tuh timnya passionate dan memang mau menyelesaikan game-nya? Karena, banyak juga yang cuma rugpull,” jelas Adam. “Begitu NFT-nya terjual, tidak tahu kapan game-nya akan dijual. Jadi, sangat penting untuk melihat rekam jejak dari studio game.”
Harapan Developer Indonesia
Sejauh ini, telah ada beberapa developer game Indonesia yang telah membuat game blockchain atau game NFT. Salah satunya, Agate International. Bermarkas di Bandung, Agate telah sukses merilis beberapa game ke pasar internasional. Contohnya, Valthirian Arc: Hero School Story. Kini, mereka juga sibuk untuk mengembangkan game blockchain mereka, Mythic Protocol.
“Saya rasa, jika kita tahu cara untuk membuat game dalam skala yang lebih besar, Web3 bisa menjadi jawaban dari masalah yang ada,” kata Arief pada GamesBeat. “Kami ingin memberikan nilai ekonomi bagi semua orang yang ikut berpartisipasi.”
Tak hanya Agate, Anantarupa Studios merupakan perusahaan game lokal lain yang menunjukkan ketertarikan untuk membuat game blockchain. CEO Chen percaya, setelah teknologi blockchain dikenal luas, kesempatan untuk tumbuh di industri ini akan semakin besar.
Chen mengaku, dia mulai tertarik dengan teknologi blockchain sejak 2016. Dia percaya, timnya akan bisa menjembatani era Web2 dengan Web3. Dia ingin membuat ekosistem yang seimbang.
Untuk merealisasikan hal itu, game blockchain memang harus memiliki gameplay yang menyenangkan dan NFT dalam game memang sebaiknya punya fungsi lain, selain sebagai koleksi. Hal ini berlaku di luar industri game. Sebagai contoh, di industri media massa, Kompas Gramedia mengungkap, betapa pentingnya untuk memberikan utilitas pada NFT secara komersial.
Walau game blockchain memiliki potensi di Indonesia, ia juga punya risiko tersendiri. Hal ini terbukti dari kasus Axie Infinity dari Sky Mavis. Sangat populer di 2021, Axie Infinity memungkinkan para gamers asal Filipina untuk mendapatkan pemasukan tetap.
Ribuan gamers di negara tersebut dapat menghasilkan pemasukan beberapa kali lipat dari Upah Minimal Regional (UMR) di sana. Sayangnya, seiring dengan jatuhnya harga token Axie Infinity, ketertarikan gamers untuk memainkan game itu pun turun. Alhasil, gamers mulai kesulitan untuk mendapatkan uang dari memainkan Axie Infinity.
“Kita harus mencari cara untuk membuat segala sesuatunya menjadi seimbang,” kata Chen. “Inti dari game blockchain itu sendiri harus sustainable.”
Sementara itu, Arief percaya, kunci agar industri game blockchain tidak hanya bisa bertahan, tapi juga bertumbuh adalah investasi yang memadai. Sekarang, jumlah modal yang dikucurkan untuk industri pengembangan game di Indonesia tidak mencapai US$3 juta per tahun. Kabar baiknya, Arief mengatakan, gamers di Asia Tenggara cenderung lebih bersedia untuk mencoba game-game baru, termasuk game blockchain.
“Semua orang tidak suka kalau mereka harus mengeluarkan uang saat bermain game. Tapi, jika Anda bisa menemukan model bisnis yang tetap, seperti Free-to-Play, saya rasa, kita bisa melakukan hal itu lagi,” ujar Arief.