Game merupakan salah satu industri yang justru mengalami pertumbuhan selama pandemi. Namun, pada 2022, total spending gamers justru mengalami penurunan sebesar 5,6% dari 2021, menjadi US$175,7 miliar, berdasarkan data dari Niko Partners.
Kabar baiknya, industri game di belasan negara yang menjadi fokus Niko Partners tetap menunjukkan performa yang baik. India, misalnya, menjadi negara dengan pertumbuhan industri game paling besar di Asia. Pada 2022, total spending gamers PC dan mobile di negara tersebut naik 32% dari tahun 2021.
Memasuki 2023, Niko Partners pun membuat perkiraan tren di industri game. Berikut ulasan Tren Industri Game di Asia Pada 2023.
Tren di Industri Game dan Esports
Beberapa tahun belakangan, semakin banyak game yang dirilis di lebih dari satu platform, yang memunculkan tren cross-platform. Seiring dengan semakin populernya tren ini, Niko Partners memperkirakan, developer game juga akan menggunakan model monetisasi campuran.
Sebagai contoh, selama ini, model monetisasi iklan banyak digunakan oleh game mobile. Sekarang, model monetisasi iklan juga mulai diadopsi oleh developer game PC dan konsol. Sebaliknya, semakin banyak game mobile yang menggunakan model monetisasi subscription.
Di sisi game development, proses pengembangan game diperkirakan akan menjadi semakin efektif. Hal ini terjadi berkat teknologi Artificial Intelligence (AI) dan cloud computing yang semakin matang.
Efisiensi proses pengembangan game berarti, developer bisa membuat game yang lebih kompleks dalam waktu yang lebih singkat dengan biaya yang lebih rendah. Meskipun begitu, di 2023, investasi serta merger dan akuisisi (M&A) di industri game diperkirakan akan mengalami penurunan.
Tidak heran, mengingat nilai investasi serta M&A di industri game pada 2021 dan 2022 memang mencetak rekor tertinggi. Tahun lalu, Microsoft mengumumkan bahwa mereka berencana untuk mengakuisisi Activision Blizzard, dengan nilai US$68,7 miliar. Nilai akuisisi yang fantastis pun mendongkrak nilai investasi di industri game untuk 2022.
Tahun ini, kecil kemungkinan ada investasi atau M&A dengan nilai sebesar akuisisi Activision Blizzard oleh Microsoft. Karena itulah, investasi di bidang game diperkirakan akan turun di 2023. Alasan lain mengapa nilai investasi dan M&A di industri game pada 2023 akan turun adalah karena keadaan ekonomi makro yang tidak kondusif.
Pandemi COVID-19 telah semakin teratasi. Turnamen esports global pun mulai digelar secara offline. Namun, 75% turnamen esports di Asia masih diadakan dalam format online. Perbedaan format penyelenggaraan kompetisi esports ini akan memicu penggunaan format campuran, yang menggabungkan format offline dan online.
Penggunaan format campuran akan memudahkan tim esports yang belum bisa berpergian, sehingga mereka tetap dapat bertanding dalam turnamen. Sementara itu, fans akan mendapatkan kebebasan untuk memilih apakah mereka ingin menonton secara online atau offline.
Selama ini, ekosistem esports mobile didominasi oleh game dengan genre MOBA — seperti Mobile Legends, League of Legends: Wild Rift, dan Arena of Valor — atau Battle Royale, seperti PUBG Mobile dan Free Fire. Di 2023, muncul satu genre baru yang akan mendukung pertumbuhan dari ekosistem esports mobile, yaitu game mobile shooter.
Gelar game shooter mobile paling populer masih dipegang oleh Call of Duty Mobile. Kemungkinan, dominasi Call of Duty Mobile baru akan tertantang setelah Riot Games merilis VALORANT Mobile. Saat ini pun, VALORANT telah menjadi game esports PC dengan jumlah turnamen paling banyak di Asia.
Di 2022, semakin banyak gamers yang menggunakan fasilitas dari hotel esports. Dan pada 2023, diperkirakan, jumlah hotel esports di Tiongkok, Korea Selatan, Singapura, dan Malaysia masih akan terus bertambah. Fokus dari hotel-hotel tersebut adalah menyediakan pengalaman bermain kelas atas untuk para gamers.
Tren di Asia Tenggara dan India
Pada 2021 dan 2022, game blockchain eksperimental banyak bermunculan di Asia Tenggara. Contohnya, Axie Infinity. Sayangnya, pertumbuhan game blockchain diperkirakan akan melambat pada 2023.
Beberapa masalah yang menghambat pertumbuhan game blockchain antara lain industri crypto yang tengah tidak stabil, meningkatnya jumlah penipuan dan hack terkait crypto, dan diperkenalkannya regulasi pajak untuk crypto. Kabar baiknya, Asia Tenggara diperkirakan masih akan tetap menjadi pusat dan pasar utama bagi develoepr game blockchain.
Namun, secara umum, industri game secara umum di Asia Tenggara pada 2022 masih menunjukkan pertumbuhan. Dan hal ini menarik perusahaan-perusahaan game besar asal Asia Timur dan Barat untuk membuka cabang atau studio di Asia Tenggara. Kemungkinan, tren ini masih akan berlanjut di 2023.
Di India, pada 2023, akan ada beberapa platform cloud gaming yang dirilis. Memang, industri game di India tumbuh pesat. Meskipun begitu, awalnya, India tidak dilirik oleh penyedia layanan cloud gaming.
Kabar baiknya, seiring dengan digelarnya jaringan 5G di India, negara ini pun mulai menarik perhatian penyedia cloud gaming. Keberadaan cloud gaming akan memungkinkan mobile gamers India untuk meminkan game PC dan konsol dengan kualitas HD.
Hal lain yang menarik untuk disoroti di India adalah regulasi terkait Real Money Games (RMG). Sebelum ini, regulasi mengenai RMG ada di tangan pemerintah negara bagian. Namun, pada Agustus 2022, pemerintah India mengajukan proposal untuk membuat regulasi nasional. Kemungkinan, regulasi itu akan disahkan di 2023.
Regulasi tersebut akan mengatur tentang pengelompokkan dan perpajakan RMG secara nasional. Niko Partners memperkirakan, RMG akan dilegalkan secara nasional di India. Tapi, RMG akan dimasukkan dalam kategori baru yang terpisah dari game dan memiliki regulasi yang lebih ketat dari game non-RMG.
Tren di Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan
Pada akhir 2022, NetEase mengumumkan bahwa Activision Blizzard tidak akan memperpanjang kontrak kerja sama dengan mereka. Bagi gamers Tiongkok, hal ini berarti mereka tidak akan bisa memainkan game-game dari Activision Blizzard, seperti Hearthstone, Overwatch, World of Warcraft, dan lain sebagainya. Kabar baiknya, kemungkinan besar, Blizzard akan mencari rekan publisher baru di Tiongkok.
Masalahnya, semua game yang hendak dirilis di Tiongkok harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah. Keputusan Activision Blizzard untuk mencari rekan baru berarti mereka harus kembali mengajukan lisensi untuk game-game mereka di Tiongkok. Karena itu, kemungkinan, game-game Blizzard tidak akan dirilis ulang di Tiongkok pada 2023.
Kabar baik bagi gamers dan perusahaan game di Tiongkok, Beijing telah membuka kembali proses pengajuan lisensi untuk game baru pada Desember 2022.
Keputusan pemerintah Tiongkok untuk membekukan proses itu sempat menciptakan berbagai masalah pada perusahaan game Tiongkok. Hal ini terlihat dari turunnya jumlah game baru yang dirilis pada 2022 (44 game) jika dibandingkan dengan 2021 (76 game) dan 2020 (97 game).
Niko Partners memperkirakan, proses pengajuan lisensi game baru di Tiongkok akan kembali normal dan di 2023, akan ada 100 game dari luar Tiongkok yang mendapatkan lisensi ISBN.
Sementara itu, di Jepang, VTubers mulai menarik perhatian para perusahaan game. Memang, tahun lalu, keberadaan VTubers menjadi semakin populer. Popularitas VTubers ini membuat perusahaan-perusahaan game tertarik untuk berkolaborasi dengan para VTubers.
Contohnya, di 2022, VTuber hololive, Inugami Korone bekerja sama dengan Sega untuk peluncuran Sonic Origin. Di tahun ini, kemungkinan, akan ada semakin banyak VTubers yang bekerja sama dengan perusahaan game.
Tahun lalu, Game Rating and Administration Committee (GRAC) di Korea Selatan justru sempat terkena masalah dan mendapatkan protes dari para gamers. Pasalnya, mereka mencoba untuk campur tangan dalam menentukan rating game, yang selama ini, merupakan ranah publisher game.
Mereka juga mencoba untuk menetapkan game dari sub-culture tertentu ke dalam kategori game dewasa. Setelah mendapatkan protes dari para gamers, kemungkinan, struktur GRAC akan dirombak dan mereka akan lebih terbuka untuk mendengarkan pendapat para gamers di Korea Selatan.
Sumber header: Pexels