Bagi banyak kreator, keberadaan sistem royalti merupakan salah satu alasan utama mereka terjun ke dunia NFT. Berkat royalti, kreator NFT bisa mendapat keuntungan dari hasil karyanya secara kontinu dan tidak harus bergantung pada laba yang didapat dari penjualan perdana saja. Pertanyaannya, memangnya seberapa besar keuntungan yang bisa kreator NFT dapatkan dari sistem royalti?
Analisis yang dilakukan oleh Galaxy Digital baru-baru ini menunjukkan bahwa total royalti yang dibayarkan oleh berbagai marketplace NFT kepada kalangan kreator sejauh ini telah menembus angka $1,8 miliar. Angka tersebut mereka dapatkan dari hasil mengolah data yang ada pada platform analitik Flipside Crypto.
Menariknya, sekitar 27% dari semua itu mengalir ke kantong milik 10 entitas saja. Di posisi teratas, ada Yuga Labs yang sejauh ini tercatat telah menerima total pembayaran royalti sebesar $147,6 juta dari Bored Ape Yacht Club (BAYC) maupun koleksi-koleksi NFT elit lain besutannya, disusul oleh proyek NFT generatif Art Blocks di peringkat kedua dengan nilai pendapatan royalti sebesar $82 juta.
Beberapa koleksi NFT populer lain seperti Azuki, Moonbirds, Doodles, dan VeeFriends juga termasuk dalam 10 besar entitas penerima royalti terbesar. Kalau ditotal, kesepuluhnya membukukan pendapatan royalti dengan nilai setara $489,7 juta. Kalau dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, setidaknya 80% dari total royalti yang dibayarkan berasal dari 482 koleksi NFT yang berbeda.
Merujuk ke sumber data yang berbeda, Galaxy Digital menemukan bahwa brand-brand besar yang terjun ke ranah NFT juga banyak diuntungkan oleh sistem royalti. Nike misalnya, diestimasikan telah menerima untung sebesar $91,6 juta dari royalti semata. Brand lain seperti Adidas dan Gucci pun juga tercatat telah menerima pembayaran royalti senilai jutaan dolar.
Singkat cerita, royalti terbukti mampu mendatangkan keuntungan yang signifikan bagi kreator NFT, meski memang hanya untuk sebagian kecil saja. Lalu apakah tren ini akan terus berlanjut ke depannya? Jawabannya jauh dari kata simpel.
Polemik seputar royalti di dunia NFT
Dalam beberapa bulan terakhir, royalti terus menjadi topik perdebatan yang hangat di dunia NFT. Banyak pihak yang pro dengan keberadaan sistem royalti di ranah NFT, tapi tidak sedikit juga yang keberatan. Untuk bisa mendapatkan gambaran yang jelas mengenai polemik royalti di dunia NFT, kita perlu memahami sejarah singkatnya terlebih dulu.
Perlu diketahui, royalti bukanlah parameter yang tercatat di dalam smart contract suatu NFT. Setidaknya sampai saat ini, royalti masih merupakan elemen ekstra yang ditambahkan oleh pihak marketplace NFT. Itulah mengapa setiap marketplace NFT memiliki kebijakannya sendiri-sendiri soal royalti.
Di OpenSea, kreator bisa menetapkan royalti sebesar 2,5%—10% dari angka penjualan NFT. Jadi selain dipotong tarif platform sebesar 2,5%, uang yang diterima dari hasil menjual NFT di OpenSea juga akan dipotong tarif royalti yang ditetapkan oleh masing-masing kreator. Lain ceritanya dengan x2y2, yang tidak mewajibkan kreator menetapkan royalti pada koleksi NFT yang dijual di marketplace-nya..
Royalti juga bukan sesuatu yang eksis sejak awal kemunculan NFT. CryptoPunks, salah satu koleksi NFT Ethereum pertama yang sudah ada sejak 2017, tidak pernah punya mekanisme royalti. Tren royalti justru baru populer semenjak kehadiran koleksi NFT Bored Ape di pertengahan tahun 2021.
Untuk setiap transaksi secondary sale NFT Bored Ape, Yuga Labs menerima 2,5% dari nilai penjualannya. Ide tersebut terbukti brilian: sejauh ini, Yuga Labs tercatat telah menerima royalti sebesar $54 juta dari koleksi NFT Bored Ape. Angka itu jauh lebih besar dari yang Yuga Labs dapatkan saat berhasil menjual habis koleksi NFT Bored Ape (sekitar $2,2 juta).
Sejak itu, kreator-kreator lain pun mulai mengikuti jejak Yuga Labs. Tidak sedikit pula yang bahkan mencoba menaikkan persentase royaltinya menjadi 5% atau bahkan lebih. Situasinya mulai berubah semenjak kemunculan marketplace NFT SudoSwap. Merekalah yang memulai tren anti-royalti dengan tujuan untuk meningkatkan likuiditas.
SudoSwap dengan cepat menjadi populer di kalangan penjual NFT. Pasalnya, selain tidak menerapkan sistem royalti, tarif platform yang SudoSwap tetapkan juga relatif kecil di angka 0,5%. Ini berarti pendapatan bersih yang diterima penjual NFT di SudoSwap hanya akan dipotong 0,5% saja, sementara di OpenSea potongannya bisa sampai 12,5% (tarif platform 2,5% + royalti 10%).
Karena potongannya kecil, penjual NFT di SudoSwap pun berani menawarkan harga yang relatif lebih terjangkau daripada di marketplace lain, dan pihak konsumen jelas akan mencari harga yang termurah untuk produk yang sama yang dijual di lebih dari satu tempat. Alhasil, SudoSwap lebih sering menjadi marketplace pilihan bagi konsumen yang membeli NFT melalui platform agregator, dan inilah yang memicu marketplace-marketplace lain seperti x2y2 atau Magic Eden untuk tidak mewajibkan sistem royalti di platformnya.
Argumen pro dan kontra mengenai keberadaan sistem royalti di dunia NFT
Dalam pengamatannya, Galaxy Digital menemukan bahwa kubu yang pro dan yang kontra terhadap sistem royalti NFT masing-masing bisa diwakili oleh satu argumen. Kubu yang pro khawatir tren anti-royalti dapat membawa struktur insentif di ranah NFT kembali ke era ekonomi kreator tradisional. Di sisi lain, kubu yang kontra menilai sistem royalti tidak sejalan dengan prinsip desentralisasi yang era Web3 tawarkan.
Kedua argumen sama-sama valid dan mempunyai bobotnya masing-masing. Bagi kubu yang pro, keberadaan royalti pada dasarnya merupakan cara untuk menghindarkan artis dari nasib naas seperti yang dialami Vincent Van Gogh, salah satu pelukis paling tenar yang sebenarnya hidup miskin sampai akhir hayatnya. Andai kata Van Gogh masih hidup dan menerima royalti dari penjualan karya-karya lukisannya, bisa dibayangkan betapa kaya raya pelukis berdarah Belanda tersebut.
Di sisi sebaliknya, kubu yang kontra mengatakan bahwa sistem royalti tidak akan bisa diterapkan tanpa mengorbankan sejumlah elemen desentralisasi. Pasalnya, dalam penerapannya, sistem royalti memerlukan satu pihak untuk berperan sebagai perantara yang memantau aktivitas wallet dan kepemilikan aset. Bukan cuma itu, pihak perantaranya juga harus punya hak untuk mencabut fitur dari aset yang disimpan pengguna berdasarkan perilaku mereka. Dalam konteks ini, perantara yang dimaksud biasanya adalah pihak marketplace NFT.
Selagi perdebatannya terus berlangsung, beberapa pihak mencoba menawarkan solusi. Beeple, artis di balik karya NFT termahal “Everydays: The First 5000 Days” yang terjual seharga $69 juta, mengusulkan untuk membebankan tarif royalti kepada pembeli ketimbang penjual NFT. Istilahnya buyer’s premium, sebab pada kenyataannya memang pihak pembelilah yang akan menikmati manfaat atau utilitas dari suatu NFT (misalnya akses ke server Discord privat, atau akses ke event tatap muka eksklusif).
https://twitter.com/beeple/status/1581351398259597312
Bicara soal utilitas, Galaxy Digital juga membayangkan aspek ini sebagai salah satu solusi. Jadi untuk NFT yang menawarkan utilitas ekstra yang bisa didapat secara off-chain (akses Discord dsb. tadi), manfaat-manfaatnya baru akan bisa dinikmati apabila pihak pembelinya membayar royalti. Selama tarif royaltinya belum dibayar, maka NFT-nya tidak akan memberikan manfaat apa-apa kepada pemiliknya.
Satu hal yang pasti, menghapuskan royalti berarti kreator NFT akan kehilangan satu sumber pendapatan pasif, yang dalam kasus tertentu bahkan bisa mencapai angka puluhan hingga ratusan juta dolar.