Eksploitasi Industri Esports Terhadap Para Pekerjanya

Tidak semua pelaku industri esports bisa mendapatkan uang dan popularitas.

Gamer mana yang tidak pernah bermimpi untuk menjadi pemain profesional, menjadikan hobinya sebagai mata pencaharian? Memang, sekarang, menjadi atlet esports tak sekadar mimpi di siang bolong, mengingat pesatnya perkembangan industri esports. Masalahnya, menjadi pemain profesional tidak mudah. Ada berbagai masalah yang harus siap dihadapi. Selain itu, umur karir pemain profesional juga relatif pendek.

Untungnya, ada berbagai lowongan pekerjaan lain di industri esports, mulai dari manager tim, analis, sampai caster. Menurut data dari Hitmarker, jumlah lowongan pekerjaan di indsutri esports pada 2019 naik hingga 87 persen jika dibandingkan dengan pada 2018. Tak berhenti sampai di situ, dalam waktu dua tahun belakangan, total investasi yang telah ditanamkan di industri esports oleh investor dikabarkan mencapai US$6,5 miliar. Sementara Forbes memperkirakan, secara total, 10 organisasi esports terbesar dunia memiliki nilai sampai US$2,4 miliar.

Inilah mengapa banyak generasi muda yang tertarik untuk terjun ke dunia esports. Bekerja di dunia competitive gaming memang terkesan indah. Namun, kenyataannya tidak semanis itu.

Berkarir di dunia esports tidak mudah

Saya pernah bertanya pada Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer dan Co-Founder dari RevivalTV tentang apa yang diperlukan untuk memulai karir di dunia esports. Ketika itu, dia mengungkap bahwa untuk bekerja dan bertahan di dunia esports, memiliki passion saja tidak lagi cukup. “Ini bukan lagi masalah passion atau keinginan untuk berkontribusi dalam esports,” katanya. “You need skills and determination to survive here. Nggak ada yang instan di sini dan industrinya masih belum stabil. Jadi, jika mau terjun ke sini, harus komitmen.” (Pst, kami juga pernah membahas soal itu di sini.)

Ada banyak hal yang dipersiapkan untuk menggelar turnamen esports besar. | Sumber: ESL via Inven Global

Irli bercerita, tidak jarang dia harus bekerja hingga larut malam. Selain harus siap untuk bekerja keras, masuk ke dunia esports juga tidak serta merta membuat Anda mendapatkan gaji tinggi. Tidak semudah itu, Ferguso. Uang yang berputar di dunia esports memang besar. Sayangnya, hanya segelintir orang saja yang bisa mendapatkan uang besar dari industri esports. Orang-orang itu antara lain investor, eksekutif publisher game, dan sejumlah pemain profesional yang bermain di game esports populer.

Lalu, bagaimana dengan orang-orang di balik layar yang bekerja keras untuk memastikan turnamen esports berjalan lancar? Yah, mereka harus puas dengan gaji pas UMR (Upah Minimum Regional) atau bahkan lebih rendah dari itu.

Ialah Ryan Mejia, pria yang memilih untuk menjadikan penyelenggara turnamen esports sebagai pekerjaan tetapnya sejak 2016. Dia telah turun tangan dalam beberapa acara esports terbesar, seperti Evolution Championship Series. Di acara ini, ribuan orang bertanding di game arcade klasik seperti Street Fighter dan Mortal Kombat. Total hadiah yang ditawarkan mencapai US$200.000. "Saya merasa istimewa karena saya bisa melakukan ini. Dan ketika saya masih menjadi penyelenggara turnamen esports, saya masih tinggal bersama orangtua saya," katanya, dikutip dari The Nation.

Ketika Mejia bekerja untuk menyelenggarakan Evolution Championship Series, dia mendapatkan bayaran beberapa ratus dollar per hari selama akhir pekan. Oh, itu mungkin terdengar besar, tapi, angka itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan total pemasukan turnamen tersebut. Pada Evolution Championship Series yang digelar tahun lalu, setidaknya ada 9.000 orang yang menjadi peserta. Masing-masing peserta harus membayar uang registrasi sebesar US$90. Artinya, total pemasukan Evolution Championship Series mencapai setidaknya US$810 ribu, tak termasuk uang yang didapatkan dari kerja sama dengan perusahaan seperti Samsung dan PlayStation.

Evolution Championship Series alias EVO. | Sumber: VG274

Selain ikut turun dalam penyelenggaraan Evolution Championship Series dan berbagai turnamen lokal di Miami, Amerika Serikat, Mejia juga pernah bekerja di ESL, salah satu perusahaan esports terbesar di dunia. Ini seharusnya menjadi bukti bahwa karir Mejia sebagai penyelenggara turnamen esports sukses. Namun, uang yang dia dapatkan masih tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah dia tak lagi tinggal bersama orangtuanya, dia harus menggantungkan diri pada pemasukan kekasihnya untuk membayar biaya sewa rumah. "Pekerjaan saya di esports seperti pekerjaan semiprofesional," ungkapnya, "karena uang yang saya dapat tidak cukup untuk membayar keperluan saya."

Eksploitasi pekerja lepas di dunia esports

Data is the new oil. Jika sebuah perusahaan bisa mengumpulkan data dan menganalisanya, mereka bisa memanfaatkan insight yang mereka dapat untuk menekan biaya operasional atau meningkatkan pendapatan perusahaan. Di dunia esports, data bisa dianalisa baik untuk mengetahui kebiasaan musuh atau untuk kepentingan pembuatan konten. Di organisasi esports, analis bisa membantu tim untuk mengetahui pola permainan musuh atau kebiasaan buruk musuh yang bisa dieksploitasi. Ketika dua tim yang sama-sama mumpuni bertemu, maka hal-hal kecil, seperti kebiasaan buruk musuh, menjadi faktor penentu siapa yang keluar sebagai juara. Dan analis bisa membantu sebuah tim esports untuk menemukan detail kecil ini.

Walau memiliki peran penting, gaji seorang analis tim esports bisa sangat tidak manusiawi, hanya ratusan ribu rupiah di Indonesia. Keadaan di Amerika Serikat masih lebih baik. Seorang analis yang menjadi pekerja lepas dari salah satu tim League of Legends mengatakan, dia mendapatkan gaji US$2.000 per bulan. Menurut CNBC, gaji rata-rata seorang pekerja tetap di AS adalah US$3.600 per bulan. Namun, gaji rata-rata juga dipengaruhi oleh umur sang pekerja. Untuk remaja pada rentang umur 16-19 tahun, gaji rata-rata per bulan hanyalah US$1.840. Sementara gaji rata-rata pekerja pada rentang umur 20-24 tahun mencapai US$2.356 per bulan.

Meskipun begitu, analis yang enggan untuk disebutkan namanya ini mengaku bahwa gaji yang dia dapatkan tidak mencukupi kebutuhan hidupnya jika dia tidak tinggal bersama orangtuanya. "Ketika itu, saya pikir bahwa pekerjaan sebagai analis hanyalah batu loncatan untuk mendapatkan karir yang lebih baik di industri esports," akunya. Pada akhirnya, dia merasa tidak bisa meneruskan pekerjaannya sebagai analis dan memutuskan untuk mencari pekerjaan di bidang lain. Selain gaji yang dianggap kurang memadai, alasan lain dia mencari pekerjaan lain adalah karena bekerja sebagai analis membuatnya merasa terisolasi.

Analis di League of Legends. | Sumber: Dot Esports

Tak berhenti sampai di situ, wartawan esports pun mengalami masalah serupa. Taylor Cocke, mantan jurnalis esports, mengatakan bahwa dia telah melihat banyak pekerja lepas yang masuk dan keluar dari industri esports. "Ketika Anda melihat perusahaan esports, kebanyakan wartawan esports, kebanyakan pemain profesional, umur mereka rata-rata sekitar 24-25 tahun," kata Cocke. "Alasannya karena tidak semua orang bisa bertahan di industri esports dalam jangka waktu lama. Misalnya, setelah bekerja sebagai wartawan esports selama lima tahun, saya sudah dianggap sebagai senior."

Masalahnya, ketika para pekerja senior hengkang, pelaku industri dituntut untuk melatih kembali para pekerjanya. Saat ini, jika ada pekerja di dunia esports yang pindah dan bekerja di bidang lain, mungkin mudah untuk mencari penggantinya. Tapi, jika budaya eksploitasi pekerja dibiarkan, apa akan ada pekerja yang mau berkarir di esports?

Oke, esports memang bukan satu-satunya industri yang memanfaatkan pekerja lepas, menggaji mereka dengan upah minimum tanpa keuntungan lain seperti asuransi. Namun, saat ini, esports adalah industri yang mendulang untung besar dari eksploitasi pekerja muda yang masih punya idealisme untuk bekerja di bidang yang memang mereka sukai. Selain itu, hanya karena industri lain juga mengeksploitasi para pekerjanya, bukan berarti mengeksploitasi pekerja boleh saja dilakukan.

Eksploitasi pemain profesional

Dulu, pemain profesional menggantungkan diri pada hadiah turnamen untuk menyambung hidup. Namun sekarang, selain hadiah turnamen, pemain profesional juga mendapatkan gaji dari organisasi esports yang merekrutnya. Dan gaji bulanan yang diterima oleh pemain esports tidak kecil, apalagi mereka yang bermain di game yang scene esports-nya yang diatur ketat oleh sang publisher. Misalnya, Activision Blizzard menetapkan bahwa gaji minimal pemain Overwatch League adalah US$50.000 per tahun. Selain itu, tim esports juga harus menyediakan asuransi kesehatan, tempat tinggal, serta uang pensiun bagi pemain.

Contoh pemain esports yang sangat sukses adalah Lee “Faker” Sang-hyeok. Dia tidak hanya bisa mendapatkan gaji besar -- dikabarkan, ada tim yang menawarkan cek kosong -- tapi dia juga akan mendapatkan saham atas tim esports tempatnya bernaung, T1, setelah dia pensiun.

Lee "Faker" Sang-hyeok dianggap sebagai salah satu pemain League of Legends terbaik di dunia.

Sayangnya, tidak semua pemain esports seberuntung itu. Karena, ada juga game esports yang tidak mendapatkan dukungan dari publisher, seperti Super Smash Bros. Untuk mengetahui bagaimana dukungan publisher bisa memengaruhi scene esports sebuah game, Anda bisa membandingkan total hadiah dari turnamen Super Smash Bros. dengan turnamen esports lain. Smash Summit 5, turnamen Smash Bros. dengan total hadiah tertinggi, hanya menawarkan total hadiah sebesar U$83.758. Sementara Fortnite World Cup memiliki total hadiah US$100 juta. Ini menunjukkan bagaimana total hadiah turnamen Super Smash Bros. jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan turnamen esports bergengsi lainnya. Dan ini tentu saja berdampak pada kehidupan para pemain profesional.

Avery "Ginger" Wilson telah menjadi pemain profesional Super Smash Bros. Melee selama dua setengah tahun. Dalam Genesis 6, turnamen Smash Bros. Melee terbesar pada 2019, Wilson duduk di peringkat 7 dan dia hanya mendapatkan US$300. Sebagai perbandingan, tim yang ada di peringkat 7-8 dalam The International mendapatkan US$858.252. Sementara tim yang duduk di peringkat 5-8 dalam League of Legends World Championship 2018 mendapatkan hadiah US$258.000.

Selain itu, ketika Wilson direkrut oleh tim esports, dia tidak dianggap sebagai pekerja tetap. Sebagai gantinya, lama waktu dia bertahan di sebuah organisasi esports tergantung pada kontrak. Paling singkat, kontrak dengan sebuah tim esports hanya berlangsung selama empat bulan. Untuk hidup, Wilson menggantungkan diri pada pendapatan yang dia dapatkan dengan melakukan streaming di Twitch.

"Pendapatan saya dari streaming biasanya lebih besar dari uang yang saya dapatkan dari bermain Smash," kata Wilson. Karena sumber pendapatannya dari streaming, dia harus membagi perhatiannya antara mengikuti turnamen esports dan membuat konten. "Agak sulit untuk tahu apa yang akan saya lakukan di masa depan karena saya ada di industri yang masih belum stabil," kata Wilson.

Avery "Ginger" Wilson. | Sumber: Twitter

Di Indonesia, gaji pemain esports juga tidak bisa dipukul rata. Atlet esports yang bermain di game-game populer seperti Mobile Legends atau Free Fire dan berhasil memenangkan berbagai turnamen mungkin bisa dengan mudah mendapatkan gaji di atas UMR (Upah Minimum Regional). Jika pintar mengelola uang yang didapat, mereka bisa membeli mobil atau rumah. Namun, tidak semua pemain esports seberuntung itu.

Bagi seorang pemain baru yang belum memiliki nama dan prestasi, mereka bisa saja digaji dalam rentang ratusan ribu rupiah. Untungnya, jika pemain berhasil membuktikan diri -- membawa timnya menang di sebuah turnamen misalnya -- dia bisa mendapatkan kenaikan gaji yang signifikan. Tentu saja, gaji dan insentif yang diterima pemain tergantung pada kontrak yang pemain buat dengan tim.

Kesimpulan

Di balik gemerlap dunia esports, ada sisi gelap yang tidak diketahui banyak orang. Salah satunya adalah eksploitasi para pekerja di dalamnya. Memang, esports bukan satu-satunya industri yang melakukan itu. Namun, hanya karena ada banyak pihak melakukan eksploitasi pekerja, ini tidak membenarkan tindakan eksploitasi itu sendiri. Selain itu, jika masalah ini tidak diselesaikan, cepat atau lambat ini justru akan menghancurkan industri esports, layaknya luka yang tak pernah diobati dan menjadi terinfeksi.

Apa ini berarti esports adalah industri jahat yang tidak seharusnya didukung? Tidak juga. Walau berpotensi besar -- Newzoo memperkirakan bahwa nilai industri esports akan mencapai US$1 miliar pada tahun ini -- esports adalah industri yang masih relatif muda, jadi tidak heran jika masih ada berbagai masalah yang harus dihadapi oleh para pelakunya. Namun, selama para pelaku industri esports -- mulai dari pemain, pemilik organisasi esports, penyelenggara turnamen, bahkan hingga pemerintah -- bahu-membahu untuk menyelesaikan masalah yang ada, esports bisa tumbuh menjadi industri yang besar, merealisasikan potensi yang ada.

Sumber header: Inven Global