Beberapa tahun belakangan, semakin banyak merek non-endemik yang memutuskan untuk mendukung pelaku esports, termasuk organisasi esports. Ketika sebuah perusahaan menjadi sponsor dari tim esports, salah satu hal yang bisa mereka dapatkan adalah pemasangan logo atau nama perusahaan di jersey pemain, sama seperti yang dilakukan perusahaan ketika mereka mensponsori tim olahraga konvensional. Sayangnya, siaran pertandingan esports jauh berbeda dari kompetisi olahraga.
Saat Anda menonton siaran pertandingan olahraga, Anda akan sering melihat para atlet. Namun, sebagian besar pertandingan esports justru menunjukkan jalannya pertandingan dalam game. Jadi, para pemain justru jarang disorot. Alhasil, nama sponsor yang terpasang pada jersey pemain menjadi kurang terekspos. Karena itu, ada beberapa perusahaan yang memilih untuk menjadi naming sponsor. Dengan begitu, nama perusahaan atau brand mereka akan dipadankan langsung dengan nama tim.
Kontrak Naming Rights dan Organisasi Esports yang Telah Melakukannya
Pada 2020, pemasukan industri esports diperkirakan hampir mencapai US$1 miliar. Sponsorship dan hak siar media memberikan kontribusi hampir 75% dari total pemasukan tersebut. Sementara itu, bagi organisasi esports, sponsorship justru memberikan kontribusi yang lebih besar lagi pada keuangan mereka. Menurut Gaming Street, sekitar 90% dari total pemasukan organisasi esports berasal dari sponsorship.
Tentu saja, ketika perusahaan menjadi sponsor esports, mereka punya tujuan yang ingin mereka capai. Berdasarkan studi Sponsorship in Esports, kebanyakan perusahaan yang menjadi sponsor esports biasanya punya tujuan jangka panjang, yaitu ingin membangun reputasi mereka, khususnya di kalangan fans esports. Para sponsor esports biasanya tidak berusaha untuk mencari Return of Investments (ROI) dalam jangka pendek, seperti peningkatan penjualan.
Memang, menjadi sponsor esports akan membantu perusahaan untuk memenangkan hati para generasi milenials dan Gen Z, yang merupakan demografi penonton esports. Menurut studi Sponsoring Esports to Improve Brand Image, ketika perusahaan menjadi sponsor esports, maka satu per tiga fans esports akan menjadi lebih menyukai brand mereka. Dengan asumsi jumlah audiens esports mencapai 474 juta orang pada 2021, maka sebuah brand akan bisa menjangkau sekitar 158 juta orang ketika mereka menjadi sponsor esports.
Secara garis besar, ada empat jenis sponsorship, yaitu media sponsor, promotional sponsor, in-kind sponsor, dan sponsor finansial. Media sponsor bertugas untuk mengiklankan sebuah acara, baik di media televisi, koran, ataupun channel digital, seperti situs dan blog. Sementara itu, promotional sponsor memiliki tugas yang sama dengan media sponsor. Hanya saja, jika media sponsor biasanya diisi oleh perusahaan media, promotional sponsor biasanya merupakan individu.
In-kind sponsor merupakan sponsor yang memberikan bantuan berupa jasa atau produk yang mereka buat. Misalnya, jika merek minuman menjadi sponsor dari turnamen esports, maka mereka akan menyediakan minuman mereka bagi pemain dan penonton esports yang hadir. Terakhir, sponsor finansial. Dibandingkan dengan tiga jenis sponsorship lainnya, sponsor finansial adalah yang paling sering dibahas. Sesuai namanya, sponsor finansial akan memberikan bantuan berupa uang pada turnamen, event, atau tim yang mereka sponsori.
Salah satu hal yang bisa ditawarkan oleh tim esports pada sponsor mereka adalah memasang logo atau nama sponsor di jersey pemain. Hanya saja, wajah pemain profesional tak terlalu sering disorot kamera, berbeda dengan atlet olahraga konvensional. Karena itu, beberapa perusahaan lebih memilih untuk menjadi naming sponsor. Dengan begitu, nama perusahaan atau brand akan disandingkan dengan nama tim esports. Sejauh ini, ada beberapa organisasi esports yang telah menandatangani kontrak naming rights dengan brand, baik brand endemik maupun non-endemik.
Salah satu organisasi esports yang punya naming sponsor adalah DAMWON Gaming, organisasi esports asal Korea Selatan yang memenangkan League of Legends World Championship pada 2020. Pada Desember 2020, DAMWON mengumumkan bahwa Kia Motor akan menjadi naming sponsor mereka mulai 2021. Nama mereka pun berubah menjadi DWG KIA. Selain itu, mereka juga memperkenalkan logo dan seragam baru untuk pemain League of Legends mereka. Hyugho Kwon, Head of Korea Business Division, Kia Motors menjelaskan, alasan Kia Motors mendukung DAMWON Gaming adalah karena mereka ingin “merevitalisasi” ekosistem esports global. Tak hanya itu, mereka juga ingin mempromosikan merek Kia pada fans esports di seluruh dunia.
Organisasi esports lain yang baru saja menandatangani kontrak naming rights adalah JDG Gaming. Organisasi itu merupakan bagian dari divisi esports milik Jing Dong, perusahaan e-commerce asal Tiongkok. Perusahaan yang menjadi naming sponsor JD Gaming adalah Intel. Melalui sponsorship ini, nama JDG Gaming diubah menjadi JDG Intel Esports Club. Kontrak naming rights ini berlangsung selama dua tahun. Sayangnya, tidak diketahui berapa nilai kontrak naming rights ini.
Team SoloMid (TSM) juga baru saja menandatangani kontrak naming rights pada awal Juni 2021. Perusahaan yang menjadi naming sponsor dari TSM adalah bursa cryptocurrency asal Hong Kong, Future Exchange (FTX). Kontrak naming rights antara TSM dan FTX berlangsung selama 10 tahun dan bernilai US$210 juta. Setelah menandatangani kontrak itu, TSM akan dikenal dengan nama TSM FTX. Tujuan FTX menjadi naming sponsor untuk TSM adalah karena mereka ingin membuat masyarakat Amerika Serikat mengenal brand mereka.
Di Indonesia, juga ada tim esports yang pernah menandatangani kontrak naming rights, yaitu Aerowolf. Pada Mei 2019, Aerowolf mengumumkan bahwa Genflix, platform streaming video lokal, resmi menjadi naming sponsor mereka. Alhasil, mereka mengubah nama mereka dari Aerowolf Roxy menjadi Genflix Aerowolf. Sama seperti FTX, tujuan Genflix menggandeng Aerowolf adalah untuk meningkatkan brand awareness. Hanya saja, Genflix menyasar generasi muda, yang memang merupakan demografi penonton esports.
Untung-Rugi dari Kontrak Naming Rights
Setiap perusahaan pasti ingin punya brand yang kuat dan positif. Alasannya, di tengah ketatnya persaingan, reputasi brand yang positif bisa membuat perusahaan lebih unggul dari persaingannya. Ketika sebuah brand punya reputasi yang baik di mata konsumen, kemungkinan besar produk dari brand tersebut dibeli akan menjadi lebih tinggi. Sponsorship menjadi salah satu cara perusahaan untuk membangun reputasi brand mereka. Menjadi sponsor dari kegiatan atau tim olahraga merupakan salah satu cara terbaik bagi perusahaan untuk membangun brand yang positif, menurut Winnan. Sekarang, perusahaan-perusahaan juga mulai menunjukkan ketertarikan untuk menjadi sponsor dari pelaku esports. Apalagi, ketika perusahaan menargetkan generasi milenial dan Gen Z.
Bagi perusahaan, salah satu keuntungan dari menjadi naming sponsor dari tim esports adalah meningkatkan brand awareness. Saat perusahaan menjadi naming sponsor dari tim esports, brand mereka akan disandingkan dengan nama tim. Dalam siaran kompetisi esports, para pemain memang jarang disorot kamera, membuat logo dan nama pada jersey pemain menjadi kurang terlihat. Namun, lain halnya dengan nama tim. Nama tim esports pasti akan selalu disebut dalam siaran kompetisi esports. Tak hanya itu, selama pertandingan, nama tim juga biasanya ditampilkan pada layar. Jadi, dengan menjadi naming sponsor dari tim esports, perusahaan bisa meningkatkan eksposur konsumen — khususnya penonton esports — akan brand mereka.
Keuntungan lain yang bisa didapatkan oleh perusahaan ketika mereka menjadi naming sponsor dari tim esports adalah kesetiaan para fans. Dalam buku berjudul The eSports Market and eSports Sponsoring, penulis Julian Heinz Anton Stroh, menyebutkan bahwa kebanyakan fans esports sadar, perusahaan yang menjadi sponsor dari tim kesayangan mereka punya tujuan komersil, seperti meningkatkan penjualan. Namun, para fans juga sadar, industri esports membutuhkan para sponsor untuk bisa bertahan. Jadi, komunitas esports biasanya tidak membenci perusahaan yang menjadi sponsor. Sebaliknya, mereka biasanya justru mengapresiasi para sponsor.
Sejumlah studi juga menunjukkan, para fans tidak keberatan jika merek non-endemik yang tidak ada sangkut pautnya dengan game atau esports turut mendukung skena competitive gaming. Studi oleh Stroh menunjukkan, 70% dari fans esports berharap, akan ada semakin banyak merek non-endemik yang ikut mendukung esports. Walau memang, mereka lebih menyukai merek endemik.
Menjadi sponsor esports memang bisa membuat reputasi perusahaan menjadi lebih positif di mata fans. Hanya saja, ada beberapa faktor lain yang juga memengaruhi citra sebuah perusahaan, seperti metode activation yang digunakan oleh sponsor, target audiens, dan produk yang ditawarkan oleh perusahaan. Dan tak bisa dipungkiri, komunitas esports memiliki antusiasme yang tinggi. Jika sebuah brand sukses memenangkan hati mereka, maka mereka akan secara aktif memuju brand di media sosial. Word-of-mouth dari para fans bisa membuat memperkuat reputasi brand di kalangan penonton esports. Sayangnya, antusiasme fans esports ini layaknya pedang bermata dua. Jika pesan yang perusahaan coba sampaikan melalui sponsorship tidak tersampaikan, para fans justru bisa menyebarkan pesat negatif akan brand. Hal ini juga berlaku dalam kontrak naming rights.
Ketika perusahaan menandatangani kontrak naming rights dengan tim esports, brand mereka akan disandingkan dengan nama tim. Jadi, brand dan tim esports yang bekerja sama akan saling diasosiasikan dengan satu sama lain. Hal ini bisa menimbulkan masalah ketika salah satu pihak — baik perusahaan maupun tim esports — terkena skandal. Misalnya, jika sebuat tim esports terbukti pernah bermain curang, maka, tak hanya reputasi tim esports saja yang akan rusak, tapi juga brand yang menjadi sponsor. Begitu juga dengan sebaliknya. Jika sponsor terkena skandal, tak tertutup kemungkinan, tim esports yang bekerja sama dengan perusahaan juga mendapatkan cap negatif dari masyarakat.
Tujuan utama perusahaan menjadi naming sponsor dari tim esports adalah untuk membuat fans mengasosiasikan merek mereka dengan tim. Hanya saja, kontrak naming rights terkadang tidak berlangsung lama. Dan jika nama tim terus berganti, fans justru bisa menjadi tak peduli pada naming sponsor. Kemungkinan lain yang mungkin terjadi adalah fans akan mengingat sponsor lama dari tim karena sudah terbiasa.
Hal ini pernah terjadi pada Candlestick Park, stadion yang menjdi markas dari San Francisco 49ers dan San Francisco Giants, menurut laporan Chron. Stadion itu dikenal dengan nama Candlestick Park sejak 1960. Pada 1995-2002, nama stadion itu berubah menjadi 3Com park. Nama stadion kembali berubah pada 2004-2008, menjadi Monster Park. Namun, pada akhirnya, nama yang diingat oleh fans adalah Candlestick Park. Hal ini menunjukkan, jika kontrak naming rights hanya berlangsung sebentar, ada kemungkinan fans tidak akan mengasosiasikan tim dengan merek sang sponsor. Meskipun begitu, jika kontrak naming rights berlangsung lama — seperti yang terjadi antara TSM dan FTX — hal ini juga bisa merugikan kedua belah pihak.
Keputusan tim esports untuk menjual naming rights pada sponsor bisa dibandingkan dengan keputusan startup untuk menerima tawaran akuisisi dari perusahaan yang lebih besar. Baik kontrak naming rights maupun akuisisi punya potensi untuk kedua belah pihak untung atau buntung. Akuisisi yang menguntungkan bagi perusahaan adalah ketika startup/perusahaan yang diakuisisi bisa memberikan kontribusi pemasukan yang lebih besar dari nilai belinya. Contohnya adalah akuisisi Instagram oleh Facebook. Pada 2012, Facebook membeli Instagram — yang hanya memiliki 13 karyawan — senilai US$1 miliar. Sekarang, Instagram memiliki lebih dari 1 miliar pengguna dan memberikan kontribusi sebesar US$20 miliar pada pemasukan Facebook setiap tahunnya.
Namun, tidak semua startup/perusahaan akan menerima tawaran akuisisi atau merger dari perusahaan yang lebih besar. Biasanya, alasan perusahaan menolak tawaran itu adalah karena mereka percaya, mereka akan bisa tumbuh besar tanpa bantuan dari perusahaan yang ingin mengakuisisi. Atau, mereka percaya, nilai perusahaan mereka di masa depan akan menjadi lebih besar dari nilai tawar saat ini. Contoh perusahaan yang menolak akuisisi perusahaan besar adalah Discord. Microsoft sempat menawarkan US$12 miliar untuk mengambil alih Discord sepenuhnya. Namun, pihak Discord menolak dan memilih untuk fokus melakukan IPO di masa depan, menurut laporan Bloomberg.
Hal yang sama juga bisa terjadi pada kontrak naming rights. Mari kita ambil kontrak naming rights antara TSM dan FTX sebagai contoh. Kontrak yang berlangsung selama 10 tahun itu bernilai US$210 juta. Hal itu berarti, saat ini, nilai merek TSM memang hanyalah US$210 juta. Namun, ke depan, ada kemungkinan TSM akan menjadi organisasi esports yang lebih besar dan dikenal oleh lebih banyak orang, yang berarti, nilai brand mereka bisa naik. Sebaliknya, dalam 10 tahun, tidak tertutup kemungkinan, performa TSM justru menurun, yang menyebabkan nilai atas nama organisasi juga merosot. Dalam kasus ini, maka FTX yang akan dirugikan karena mereka sudah terlanjur membayar ratusan juta di awal kontrak.
Kontrak Naming Rights di Olahraga Konvensional
Tak hanya di esports, kontrak naming rights juga lumrah terjadi di dunia olahraga konvensional. Misalnya, beberapa tim basket di Indonesia telah menjual naming rights pada sponsor. Salah satu tim basket Indonesia yang punya naming sponsor adalah Satria Muda. Sejak didirikan pada 1993, tim Satria Muda telah menandatangani kontrak naming rights beberapa sponsor. Pada 1997, merek AdeS dari The Coca-Cola Company menjadi sponsor utama dari tim basket asal Jakarta tersebut. Alhasl, nama tim pun berubah menjadi AdeS Satria Muda. Satu tahun kemudian, pada 1998, nama tim kembali berubah, menjadi Mahaka Satria Muda. Alasannya, karena sponsor utama tim berubah menjadi PT Abdi Bangsa Tbk milik Erick Tohir.
Tak berhenti sampai di situ, pada 2004, BRI melalui BritAma mensponsori tim Satria Muda. Ketika itu, nama tim pun menjadi Satria Muda BritAma. Tak hanya itu, markas Satria Muda juga dinamai The BritAma Arena. Namun, pada 2015, sponsor utama Satria Muda kembali berganti, menjadi Pertamina. Seiring dengan perubahan itu, nama tim basket tersebut pun berubah menjadi Satria Muda Pertamina. Tim basket nasional lain yang juga punya naming sponsor adalah Amartha HangTuah. Ketika didirikan pada 2003, tim basket itu hanya menggunakan nama HangTuah. Mereka mengganti nama menjadi HangTah Sumsel Indonesia Muda pada 2008. Nama tersebut digunakan hingga 2019, ketika Amartha memutuskan untuk menjadi naming sponsor dari HangTuah. Setelah itu, tim basket tersebut pun dikenal dengan nama Amartha HangTuah.
Tentu saja, tidak semua tim olahraga bersedia menjual naming rights dari tim mereka. Klub sepak bola Eropa misalnya, mereka biasanya hanya menjual naming rights dari stadion yang menjadi markas mereka, tapi tidak naming rights atas klub itu sendiri. Contohnya, maskapai asal Uni Emirat Arab, Emirates, membeli naming rights atas stadion markas Arsenal pada 2004. Diperkirakan, kontrak yang berlangsung selama 15 tahun itu bernilai £100 juta. Selain hak atas nama stadion, Emirates juga mendapatkan placement logo di jersey pemain Arsenal sejak musim 2006-2007. Tahun lalu, Barcelona juga baru menjual naming rights atas markas mereka, Camp Nou. Hanya saja, dana yang Barcelona dapatkan dari penjualan naming rights atas Camp Nou tidak masuk kantong mereka sendiri, tapi akan diberikan untuk kegiatan amal terkait COVID-19.
Sementara itu, alasan mengapa klub sepak bola ternama tidak menjual naming rights atas klub mereka adalah karena nama mereka sudah dikenal banyak orang. Berbeda dengan tim esports yang masih relatif muda, klub-klub sepak bola Eropa sudah berumur lebih dari 100 tahun. Empat klub besar di Inggris didirikan sebelum tahun 1900: Arsenal pada 1886, Liverpool pada 1892, Manchester City pada 1880, dan Manchester United pada 1878. Jadi, kecil kemungkinan mereka akan rela mengganti nama hanyay demi mendapatkan sponsor. Sekalipun ada tim sepak bola yang mau menjual naming rights mereka, belum tentu ada perusahaan yang rela membelinya karena harganya yang pasti mahal. Selain itu, jika sponsor hanya ingin meningkatkan brand awareness, mereka bisa mendapatkannya dengan menjadi sponsor biasa dari tim sepak bola. Toh, penempatan logo atau nama pada jersey pemain bola sudah dapat memberikan eksposur.
Kontrak naming rights tidak hanya terbatas pada tim olahraga atau organisasi esports. Ada juga perusahaan yang bersedia menjadi naming sponsor dari pertandingan olahraga atau kompetisi esports. Contohnya, liga sepak bola nasional Thailand dikenal dengan nama Toyota League Cup karena perusahaan Jepang itu memang menjadi sponsor utama dari liga tersebut. Sementara di esports, salah satu perusahaan yang membeli naming rights atas turnamen adalah Intel, yang memunculkan Intel Extreme Masters dan Intel Grand Slam. Di Indonesia, JD.id merupakan contoh perusahaan yang menandantangai kontrak naming rights dengan turnamen esports, yaitu High School League, yang diadakan oleh Yamisok. Tujuan JD.id menjadi sponsor dari HSL adalah untuk meningkatkan brand awareness di kalangan pemain dan penonton esports SMA.
Penutup
Ketika Anda pergi ke supermarket, ada berapa banyak merek sabun yang Anda lihat? Ketika dua perusahaan menawarkan produk yang sama dengan kualitas dan harga yang mirip, bagaimana Anda akan memilih produk yang akan Anda beli? Di tengah ketatnya persaingan di pasar, salah satu cara bagi perusahaan untuk unggul dari pesaingnya adalah dengan membangun reputasi merek yang baik. Salah satu cara yang bisa perusahaan lakukan untuk membangun reputasi brand adalah dengan menjadi sponsor di bidang olahraga, termasuk esports.
Memasang logo atau nama perusahaan pada jersey pemain merupakan salah satu bentuk sponsorship paling standar. Namun, bagi perusahaan yang ingin mengekspos brand-nya lebih jauh, mereka bisa memilih untuk menjadi naming sponsor dari organisasi esports. Dengan begitu, fans akan mengasosiasikan nama brand dengan tim kesayangan mereka. Hanya saja, jika tidak hati-hati dalam memilih tim esports yang dijadikan sebagai rekan, perusahaan justru bisa terkena masalah.