Dulu, menjadi pemain profesional berarti Anda hanya akan mendapatkan penghasilan dari hadiah turnamen yang Anda menangkan. Sekarang, hal itu tak lagi berlaku. Sama seperti budak korporat, gamer profesional juga mendapatkan gaji bulanan. Gaji para pemain Mobile Legends Professional League Indonesia bahkan melampaui Upah Minimum Regional Jakarta. Jika Anda tertarik untuk menjadi pemain profesional, ada beberapa hal yang bisa Anda lakukan agar dilirik oleh organisasi esports ternama.
Namun, esports telah menjadi industri bernilai triliunan rupiah. Pekerjaan di industri ini tak terbatas pada menjadi pemain profesional. Ada berbagai pekerjaan lain yang bisa Anda lakukan jika Anda ingin memasuki dunia esports, seperti menjadi caster atau bergabung dengan penyelenggara turnamen esports atau media esports. Apa saja yang Anda perlukan sebelum melamar ke perusahaan esports?
Oh iya, sebelumnya, kami juga pernah menuliskan tentang usia ideal untuk terjun ke esports — baik sebagai pro player ataupun pekerja lainnya.
Perlukah Punya ijazah?
“Anda tidak perlu punya gelar di bidang esports,” kata Adam Baugh, Marketing & Community Specialist, Andbox dalam webinar yang diadakan oleh General Assembly pada Jumat, 10 Juli 2020. “Tapi, apakah Anda memerlukan gelar sarjana? Tergantung. Berdasarkan pengalaman saya, punya gelar sarjana memang berguna, tapi yang paling penting adalah Anda punya pengalaman di bidang esports.” Dia menjelaskan, Anda bisa unjuk gigi kemampuan yang Anda miliki dalam portofolio Anda.
Sementara itu, menurut Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer, RevivaLTV, perlu atau tidaknya ijazah tergantung pada posisi yang Anda lamar. “Untuk posisi di depan layar, seperti pro player, live streamer, influencer, host, dan lain sebagainya, tentunya nggak perlu ijazah. Yang dibutuhin adalah skill terkait bidangnya, kayak public speaking, acting, entertaining, dan lain-lain,” katanya saat dihubungi oleh Hybrid melalui pesan singkat. “Namun, untuk posisi di belakang layar, khususnya manajemen, industri kita sudah semakin maju. Dua atau tiga tahun lalu, Anda mungkin bisa join di bidang manajemen dengan dasar membantu teman atau punya passion di esports dan mau belajar. Sekarang, requirement-nya semakin tinggi.”
Gisma “Melondoto” Priayudha memiliki pendapat yang sama. “Waktu aku pertama mulai sih nggak ada. Benar-benar dari passion kemudian jadi bisnis. Untuk sekarang sih, minimal S1 atau D3,” ujarnya. “Jurusan yang diambil bisa beragam, mulai dari desain, manajemen, komunikasi, sampai bisnis. Soalnya, untuk ke depan, jika ada penggiat esports yang punya pendidikan kayak gitu, hal itu juga bagus untuk esports sendiri.”
Sementara menurut Reza Ramadhan, Head of Broadcast and Content, Moonton Indonesia, ijazah tetaplah penting saat Anda hendak melamar pekerjaan ke perusahaan esports. “Karena masih banyak perusahaan yang menjadikan gelar sarjana sebagai salah satu syarat hiring,” akunya. “Tapi, ada juga beberapa perusahaan yang bisa dibilang, tidak terlalu peduli dengan ijazah. Cuma ya, balik lagi. Buat gue, ijazah itu penting. Apalagi kalau mau karirnya terus naik. Suatu saat, pasti ijazah pasti akan jadi requirement.”
Portfolio dan Media Sosial
Soal portfolio, Irli, Melon, dan Reza memiliki pendapat yang sama: portfolio itu penting. Mereka juga menjelaskan, tipe portfolio yang Anda perlukan sebelum melamar pekerjaan di dunia esports tergantung pada jenis pekerjaan yang Anda lamar.
“Portfolio itu macam-macam, bisa dari handle event esports atau bisa juga pernah menulis tentang esports,” ujar Reza. “Ya, balik lagi apa jurusan yang diminati, karena pekerjaan di esports itu juga banyak, ada media, event organizer atau publisher. Selama kalian do good di bidang yang kalian minati, bahkan tanpa pamrih pun, suatu saat akan ada yang notice dan value kalian akan naik.”
Senada dengan Reza, Irli menjelaskan, portfolio bisa menjadi bukti bahwa seseorang bisa mengejarkan sebuah tugas dengan baik. “Misalnya, seseorang yang melamar sebagai content creator, tapi media sosialnya nggak update dan tidak ada portfolio dalam membuat video atau membuat skenario, gimana kita bisa yakin kalau dia bisa handle pekerjaannya dengan baik?” ujar Irli.
“Ini sudah 2020, semua orang, terlepas apa pekerjaan yang dia lamar, pasti akan butuh portfolio,” kata Irli. Dia menjadikan streamer sebagai contoh. Kecakapan seorang streamer biasanya dilihat dari jumlah view serta komentar pada videonya. Tak hanya itu, perusahaan juga memerhatikan konten yang dia unggah atau cara sang streamer “menjual” merek yang menjadi klien mereka.
“Di highlight video Instagram ini, aku coba untuk mengajarkan bagaimana cara untuk jualan,” kata Irli. “Sudah sempurna kah kontennya? Nope. Tapi, konten simpel kayak begitu bisa menunjukkan perangai seseorang. Cara bicaranya seperti apa. Apakah menggunakan font warna-warni? Apakah dia mengerti apa yang dia jelaskan? Bisakah dia memberikan penjelasan yang singkat, padat, dan jelas?”
Sama seperti seorang streamer, caster juga bisa menjadikan video sebagai portfolio. “Kalau portfolio caster sekarang nggak muluk: yang penting ada YouTube channel, sama pernah nge-cast di event apa saja. Kemudian, rekaman saat dia menjadi caster,” ujar Melon. “Beberapa hal yang dinilai adalah suara, pembawaan, serta hiburan yang ditawarkan.” Dia mengungkap, media sosial juga bisa menjadi portfolio bagi seorang caster. “Misalnya, penonton video ramai, tapi media sosial pasif, hal itu bisa berbahaya buat caster.”
Melon menjelaskan, membangun fanbase di media sosial dapat membantu seorang caster untuk mengembangkan karirnya. Misalnya, ketika seseorang diminta untuk menjadi caster, dia juga bisa menawarkan jasa media sosial untuk mendapatkan bayaran ekstra. Tak hanya itu, tak tertutup kemungkinan, sebuah perusahaan ingin agar brand mereka di-endorse melalui media sosial sang caster. Untuk membangun follower di media sosial, Melon mengungkap, seorang caster bisa memanfaatkan ramainya penonton di acara yang dia ikuti.
Sayangnya, media sosial tidak melulu memberikan dampak positif. Jika tidak hati-hati, Anda justru bisa membuat perusahaan menjadi ilfeel. Menurut Irli, ada lima hal yang perusahaan perhatikan dari media sosial pelamar, yaitu reaksi pelamar akan sebuah kejadian, gaya hidup, pandangan akan agama/politik/isu SARA, gaya interaksi dengan audiens, dan apakah gaya sang pelamar cocok dengan perusahaan.
“Pada akhirnya, kalau recruiter bisa melihat hal-hal tersebut di media sosial pelamar, semua orang juga bisa melihat itu, termasuk perusahaan, rekan, dan audiens,” ujar Irli. Mau tidak mau, bagaimana seseorang merepresentasikan dirinya di media sosial akan disangkutkan dengan perusahaan tempatnya bekerja. Jadi, jangan heran jika Anda melihat seseorang dipecat karena mereka mengunggah konten nyeleneh di media sosial. Misalnya, pada Juni 2020, seorang pemain profesional dilarang untuk ikut dalam Capcom Pro Tour seumur hidup karena membuat komentar rasis di Twitter.
Membangun Relasi
Sama seperti industri lainnya, menjalin relasi juga penting dalam dunia esports. Adam menyarankan untuk tidak takut dalam memulai pembicaraan dengan pelaku esports. “Anda juga harus mendukung scene esports lokal,” katanya. Dia percaya, berperan aktif dalam acara esports lokal akan memudahkan Anda untuk bertemu dan menjalin koneksi dengan orang-orang yang menggeluti bidang esports.
Perkataan Adam diamini oleh Sandra Chen, Digital Content Manager, Team Liquid. Dia menceritakan pengalaman pribadinya, bagaimana dia mulai membangun koneksi dengan menghadiri acara esports offline. “Setelah itu, saya bisa melakukan digital networking,” ujarnya. Dia memberikan contoh cara untuk membangun relasi secara online: jika Anda mengikut seminar atau webinar terkait esports, Anda bisa menghubungi sang narasumber via media sosial.
Sandra mendorong seseorang yang tertarik untuk bekerja di dunia esports untuk melakukan riset kecil-kecilan sebelum melamar di sebuah pekerjaan. “Anda juga bisa secara aktif menghubungi perusahaan yang Anda minati. Hal terburuk yang mungkin terjadi adalah mereka tidak menjawab,” ungkapnya.
Bagaimana Cara untuk Tampil Unik?
Pada Februari 2020, situs pekerjaan esports Hitmarker mengeluarkan laporan yang menyebutkan bahwa lowongan pekerjaan di esports naik 87 persen sepanjang 2019 jika dibandingkan dengan pada 2018. Seiring dengan semakin populernya esports, semakin banyak pula orang yang tertarik untuk masuk esports. Lalu, bagaimana Anda bisa tampil menonjol?
Menurut Sandra, kreativitas adalah salah satu hal paling penting yang bisa dimiliki oleh seseorang yang sudah bekerja di bidang esports atau tertarik masuk ke esports. “Banyak orang di dunia esports yang memiliki ide yang sama, membuat mereka melakukan hal yang sama,” kata Sandra. Jadi, menurutnya, seseorang akan tampil menonjol jika dia bisa memberikan ide baru yang unik. Selain itu, mengingat industri esports masih terbilang muda, belum ada metode pasti yang dijamin akan sukses. Dengan begitu, orang-orang yang bisa memberikan ide baru yang unik akan tampil menonjol.
Ketika ditanya tentang karakteristik yang paling dicari dari pekerja dalam dunia esports, Reza menjawab, “Yang paling penting sih mau belajar dan mau berpikir. Esports bisa dibilang something new. Jadi, memang harus mau belajar terus karena indsutrinya juga terus tumbuh dan ada banyak hal-hal yang belum ada ‘benchmark‘-nya. So, inovasi di sini masih sangat banyak untuk digali.” Sementara untuk sukses di dunia esports, dia menyarankan, “Do good and good will come to you.”
Bagi Irli, salah satu karakteristik yang harus dimiliki oleh orang-orang di dunia esports adalah rasa penasaran. “Harus selalu lapar akan hal baru. Mau ngulik, mau belajar, berani bereksperimen. Berani ambil risiko dan tanggung jawab atas keputusan yang diambil,” ujarnya. Pekerja di dunia esports juga membutuhkan berbagai soft skills, seperti kepemimpinan, komunikasi, manajemen waktu, dan disiplin. “Disiplin itu sangat penting, karena banyak orang yang masih menganggap, bekerja di esports seperti dream job yang bisa santai-santai sambil main game,” katanya. Padahal, ada beberapa hal yang harus Anda ketahui jika Anda ingin membangun karir di esports.
Bagi seorang caster atau talent, salah satu karakteristik penting yang harus dimiliki adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri. “Talent itu biasanya ngikutin pasar, yang lagi ramai apa, ya ikutin,” ujar Melon. “Terus, kolaborasi dengan talent atau YouTuber atau selebgram lain. Jadi, nggak cuma diam di tempat saja. Misalnya, jadi caster Dota 2 atau CS:GO terus.” Dia lalu memberikan contoh ketika beberapa caster dari game PC beralih ke mobile game, seperti Riantoro “Pasta” Yogi dan Florian “Wolfy” George di PUBG Mobile, Frans Volva Riyando di Mobile Legends, dan Rere “Bredel” Bintoro di Point Blank dan Mobile Legends.
Tantangan dan Stigma Dalam Dunia Esports
Jika Anda ingin bekerja di dunia esports, tentu saja Anda harus tahu tentang game esports. Namun, hal itu bukan berarti Anda bisa bermain game seharian. Esports juga menawarkan berbagai tantangan tersendiri. Menurut Reza, tantangan dalam bekerja di dunia esports adalah betapa cepatnya industri berkembang.
“Sebelum ke esports, gue kerja di dunia IT. Trait-nya sama, yaitu orang yang lambat bakal ketinggalan,” ujarnya. “Di esports, kita dituntut untuk cepat dan tepat di segala hal. Karena dunianya berkembang pesat dan kompetitif. Jadi, ya harus keep up to date sama yang sedang happening dan jangan pernah malas belajar.”
Walaupun industri esports masih terbilang muda, sudah muncul stigma akan orang-orang yang bekerja di dalamnya. Salah satunya adalah bahwa pekerjaan dari orang-orang yang bekerja di dunia esports hanyalah main game. “Contoh stigma negatif adalah pandangan bahwa kerja di esports gampang banget. Tinggal buat konten dapet duit, nongkrong, main game, dapet duit. Padahal, kita kerja keras banget,” ujar Irli. Dia juga bercerita, ada orang-orang yang menggampangkan pekerjaan di dunia esports. “Ada yang bilang, ‘Gue punya passion, gue mau dong kerja di esports.’ It doesn’t work that way.”
Namun, Irli bercerita, juga ada stigma positif tentang orang-orang yang bekerja di dunia esports. Salah satu stigma positif itu adalah orang-orang yang sukses di dunia esports dianggap lebih “keren” dari orang-orang yang sukses di industri lain. “Kenapa? Karena industri esports ini masih sangat baru,” katanya. Hal itu berarti, orang-orang yang bekerja di dunia esports memang “memulai dari nol”.
Kesimpulan
Pekerjaan di dunia esports tidak terbatas pada pemain profesional. Ada berbagai pekerjaan lain yang bisa Anda ambil, baik di depan layar, seperti caster atau streamer, maupun di belakang layar, seperti videografer atau menjadi bagian dari event organizer. Sayangnya, bekerja di dunia esports bukan berarti Anda hanya bermain game seharian. Sama seperti saat Anda bekerja di bidang lain, Anda harus memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan.
Jadi, masin berminat untuk bekerja di dunia esports?
Sumber header: Gamer One