Salah satu pertanyaan yang seringkali saya dengar adalah “bagaimana caranya agar saya bisa berkarier di esports?” Beberapa kali saya mendapatkan pertanyaan ini baik ketika saat saya jadi pembicara ataupun melalui chat.
Di sisi lain, jika pertanyaan tadi mungkin lebih sering dilontarkan bagi mereka-mereka yang baru lulus ataupun belum pernah bekerja sama sekali, saya juga beberapa kali menemukan beberapa profesional dari industri lain yang bergeser ke industri esports namun beranjak keluar lagi dari industri ini meski baru sebentar.
Karena itulah artikel ini saya buat untuk membantu mereka-mereka, baik yang belum pernah bekerja ataupun para pekerja dari industri lain, lebih jauh mengenal industri esports — sebelum terlanjur basah.
Oh iya, artikel ini ditujukan buat Anda yang ingin membangun karier di esports namun bukan sebagai pro player. Anda bisa membaca artikel kami lainnya jika cita-cita Anda adalah menjadi pemain profesional dan direkrut tim esports.
Terakhir, sebelum kita masuk ke pembahasan, sebagian besar dari artikel ini adalah opini saya pribadi namun saya juga meminta pendapat dari beberapa kawan saya tentang perjalanan karier mereka di esports. Namun saya tidak akan menyebutkan nama mereka di sini karena mungkin sensitif dengan perkembangan kariernya masing-masing.
1. It’s not always rainbows and butterflies
Saya kira inilah hal pertama yang harus disadari buat semua orang, termasuk buat mereka yang di luar industri esports dan game. Faktanya, bagi saya pribadi, tidak ada pekerjaan yang mudah dan menyenangkan layaknya surga yang penuh dengan bidadari.
Kenapa? Karena yang namanya pekerjaan pasti ada target yang harus dicapai dan tantangan yang harus diselesaikan. Jika Anda merasa pekerjaan Anda saat ini mudah, menyenangkan, dan tanpa tantangan, kemungkinan besar Anda bekerja seenak perut… Pasalnya, saya percaya bahwa pekerja yang baik adalah mereka-mereka yang mencoba melampaui capaian-capaian terbaik mereka sebelumnya.
Sedangkan spesifik untuk industri esports dan game, berhubung saya memang dari zaman fresh graduate di tahun 2008 sudah bekerja di media & game, lontaran yang paling sering saya dengar adalah “enak ya kerja di industri game. Kerjanya main game.” Silakan percaya saya atau tidak namun kenyataan itu tak pernah seindah yang dibayangkan. Jangankan industri game, industri pornografi juga tidak seindah yang kelihatannya… Kayaknya sih… Wkwkkwakawk…
Hal ini saya taruh pertama karena saya tahu kebanyakan orang berkecimpung di sini karena memang suka dengan game dan esports. Saya sendiri juga gamer dan masih bermain game 2-4 jam setiap harinya. Namun bermain game dengan tujuan sekadar bermain dan dengan tujuan review ataupun riset itu nyatanya memang berbeda rasanya.
Memang, saya tidak menihilkan juga kesenangan dan nikmat yang bisa didapat saat bisa bekerja di industri yang sesuai hobi. Namun seperti kata Maroon 5, “it’s not always rainbows and butterflies.” Inilah yang penting untuk disadari pertama kali buat semua yang ingin membangun karier di esports. Jika Anda hanya ingin bersenang-senang tanpa berupaya sekuat tenaga di sini, industri esports dan game tidak butuh Anda. Plus, kemungkinan besar, Anda juga tidak akan sukses di sini.
2. Pick your poison, with passion
Saya sebenarnya pernah menuliskan ini panjang lebar sebelumnya. Namun saya kira hal ini juga masih penting untuk disadari buat yang ingin membangun karier di sini. Tidak sedikit orang-orang yang terjun ke esports dengan hanya bermodal passion, tanpa tujuan expertise yang jelas.
Sebelum salah kaprah, saya juga tidak menihilkan pentingnya peranan passion dalam membangun karier. Nyatanya, ketika kita suka dengan seseorang, tanpa dibayar ataupun bahkan dilarang, kita biasanya nekat untuk mendekati atau setidaknya memelajari orang tersebut lebih jauh. Demikian juga dengan bidang yang kita geluti secara profesional. Meski begitu, passion hanyalah fondasi dasar semata dalam membangun karier. Tak sedikit juga orang-orang yang bahkan tidak menyarankan untuk menggeluti karier yang berbasis pada passion.
Saya kira hal ini juga berlaku (dan mungkin berguna) di semua aspek hidup, sering-seringlah menyadari hidup agar tak terdampak dengan keterasingan diri. Bagi saya, menyadari kelebihan dan kekurangan diri adalah hal penting yang harus dilakukan di setiap aspek hidup.
https://www.youtube.com/watch?v=6MBaFL7sCb8
Sayangnya, di esport, tidak sedikit pekerja, pencari kerja, ataupun malah pemberi pekerjaan yang hanya menitikberatkan pada ketertarikan di game dan esports tanpa tuntutan keahlian yang jelas atau spesifik.
Di sisi lain, saya juga sebenarnya percaya setiap manusia sebenarnya bisa belajar keahlian apapun yang kita inginkan. Namun, setiap orang butuh waktu yang berbeda-beda untuk memelajari keahlian yang berbeda-beda. Padahal, waktu beradaptasi dan belajar adalah tuntutan profesional yang, bagi saya, jadi salah satu prioritas tertinggi. Dengan kata lain, jika Anda lamban belajar di satu bidang, mungkin baiknya Anda mencari profesi lain yang sesuai dengan keahlian.
3. Behind the bling-bling of esports
Dengan megahnya panggung, gemerlap lampu, dan dentuman suara kencang di setiap event esports, mungkin memang membuat industri esports terlihat lebih megah dari aslinya. Padahal, di balik megahnya setiap event esports, ada orang-orang yang dibayar dengan tarif recehan — seperti observer dan referee yang pernah saya tuliskan beberapa waktu yang lalu.
Tidak sedikit juga kawan-kawan saya di sini yang memang gajinya sangat terbatas, di bawah atau di kisaran UMR Jakarta meski sudah beberapa tahun di sini. Di satu sisi, survivorship bias itu memang selalu ada di industri mana pun. Kita memang lebih cenderung melihat dan mengambil contoh dari orang-orang yang sukses di industri tersebut dan tak melihat berapa banyak yang gagal.
Namun di sisi lain, kenyataannya, industri esport saat ini memang belum memiliki sumber pendapatan yang sustainable. Sebagian besar atau bahkan sepenuhnya (jika di Indonesia), pendapatan di industri ini datang dari sponsor. Makanya, perputaran uang di industri ini memang masih belum luas dan cepat. Douglas Rushkoff percaya bahwa kunci sukses sebuah industri adalah velocity of the money (bagaimana caranya agar uang terus berputar antar pelaku satu dengan yang lain) dan saya mengamini hal tersebut. Nilai industri ini di Indonesia juga sebenarnya masih kalah jauh dengan industri lain yang sudah lebih dulu matang.
Memang, satu hal yang tak kalah penting untuk disadari, sama seperti layaknya industri lainnya — setidaknya dari industri yang legal di Indonesia — jangan berharap Anda bisa tiba-tiba kaya raya dari industri esports. Jangan berharap juga Anda bisa mendapatkan gaji besar jika pengalaman Anda masih minimalis atau posisi Anda buat perusahaan masih gampang tergantikan.
4. There is no such thing as easy kills
Selain soal ‘enak’ tadi, tidak sedikit juga orang-orang awam yang menganggap industri game dan esports itu mudah. Menurut saya pribadi, faktanya, tidak ada yang mudah jika pembelajarannya ingin ke tingkat profesional — baik itu dari sisi industri yang digeluti ataupun profesinya.
Misalnya soal cakupan wilayah esports. Banyak orang mungkin belum sadar bahwa esports tidak bisa disamakan dengan satu cabang olahraga. Esports itu sendiri adalah olahraga yang punya banyak cabang/game.
Dari platform-nya saja sudah ada 3, yaitu PC, console, dan mobile. Belum lagi jika kita berbicara soal game esports-nya yang sampai puluhan jumlahnya dari LoL, Dota 2, R6S, Assetto Corsa, rFactor 2, Tekken, Street Fighter, FIFA, PES, MLBB, FreeFire, PUBGM, dan kawan-kawannya.
Mungkin memang platform mobile yang saat ini sedang naik daun namun bukan berarti yang lain tidak penting untuk dipelajari. Selain itu, banyak juga yang mungkin tidak menyadari bedanya industri game dan esports — meski memang keduanya terkait erat. Saya bahkan mendengar salah satu tokoh politik yang mengatakan bahwa pemain esports mencapai 60 juta orang (saat diwawancarai salah satu televisi swasta).
Buat yang belum tahu, faktanya, pasar esports itu berbeda dengan pasar gamer. Sedangkan angka 60 juta tadi adalah jumlah pasar gamer (menurut data dari Statista). Padahal jumlah pasar esports itu lebih kecil dari pasar gamer — setidaknya Lucas Mao, Director of Operations dari Moonton yang juga Commissioner of MPL Indonesia juga setuju dengan hal ini.
Dari sisi game sendiri juga ada banyak kategori seperti game singleplayer dan multiplayer yang membuat tujuan bermain game-nya juga jadi berbeda. Saya menyebutnya dengan istilah competitive vs. leisure. Itu tadi masih secuil dari segudang pengetahuan yang, idealnya, harus dipahami buat mereka-mereka yang ingin terjun di sini.
Belum lagi soal skill dan expertise bidang yang Anda geluti. Berhubung saya memang sudah jadi penulis/jurnalis sejak 2008, tidak sedikit yang berkata ke saya, “menulis itu kan mudah…” Nyatanya, sekali lagi jika boleh saya tekankan, tidak ada yang skill yang mudah jika ingin dikuasai.
Jika yang dimaksud menulis adalah kemampuan dasar seperti yang Anda pelajari di SD, mungkin memang hanya sekitar 4% penduduk Indonesia yang buta huruf — setidaknya dari data tahun 2017. Namun menulis secara profesional bukanlah hanya sekadar memahami arti kata ataupun kalimat… Keahlian lain, memasak, misalnya, juga tidak semudah yang dibayangkan. Masak air atau mie instan itu mungkin memang sederhana namun tentu akan berbeda tuntutannya untuk jadi koki hotel atau bahkan sekelas Gordon Ramsay ataupun Joël Robuchon.
5. Stairway to heaven or highway to hell?
Setelah 4 hal yang perlu disadari tadi, saya juga akan memberikan ‘bocoran’ ke kantor mana Anda bisa memulai membangun karier di esports. Satu hal yang pasti, bagian kali ini memang sepenuhnya pendapat pribadi saya, berdasarkan pengalaman saya juga mengenal sekian banyak orang-orang yang bekerja di industri ini.
Jika Anda adalah seorang fresh graduate atau bahkan masih kuliah, Anda bisa mencoba ke RevivalTV. Pasalnya, kawan-kawan saya di sana memang ada yang masih kuliah ataupun belum pernah kerja kantoran di industri lain sebelumnya. RevivalTV juga punya banyak divisi mulai dari event organizer, media, ataupun talent management.
https://www.youtube.com/watch?v=ozYHpJNmMTw
Sebaliknya, jika Anda sudah mengantongi pengalaman bekerja di luar industri esports, mungkin Anda lebih cocok bergabung bersama MET Indonesia. Karena, tidak banyak kawan-kawan saya di MET yang masih kuliah ataupun fresh graduate seperti di RevivalTV tadi. Selain sebagai event organizer, MET Indonesia juga punya talent management.
Pertimbangan tadi memang hanya sebatas kawan-kawan saya yang saya tahu bekerja di sana. Karena, asumsi saya saja, Anda yang sudah punya pengalaman profesional mungkin akan lebih cocok bekerja dengan rekan yang juga punya pengalaman. Namun, bisa jadi asumsi saya salah dan Anda punya preferensi yang berbeda.
Lalu bagaimana jika Anda ingin bekerja di tim esports? Nah, kalau ini saya tidak terlalu tahu perbedaan yang mencolok antar tim-tim esports di Indonesia seperti halnya antara RevivalTV dan MET. Soal fresh graduate atau tidak untuk di tim esports, sepertinya tergantung dengan posisi yang ingin Anda tuju. Namun demikian, ada beberapa informasi yang saya tahu dari beberapa tim esports yang mungkin bisa Anda jadikan pertimbangan.
EVOS Esports adalah organisasi esports dengan karyawan terbanyak di Indonesia. Sedangkan RRQ merupakan organisasi esports yang berada di bawah naungan MidPlaza Holding. Di sisi lain, Aura Esports mendapatkan modal awalnya dari Wicaksana Group. BOOM Esports adalah yang paling ‘idealis’ dengan PC gaming dan fokus pada game-game esports yang mainstream di barat (Dota 2, CS:GO, R6S). Sedangkan pemilik tim Alter Ego juga pemilik event organizer bernama Supreme League.
Lalu bagaimana caranya mendapatkan informasi lowongan pekerjaan di esports? Sayangnya, informasi lowongan kerja di esports memang masih sedikit di situs-situs lowongan kerja. Saya hanya menemukan 15 lowongan di JobStreet, 7 lowongan di Kalibrr, 6 lowongan di Glints, dan 4 lowongan di LinkedIn (setidaknya saat saya menulis artikel ini). Sosial media masing-masing pelaku industri esports juga beberapa kali membuka lowongan lewat sana. Jadi, Anda yang tertarik bekerja juga bisa mulai follow akun-akun tersebut.
Mungkin memang esports sendiri belum terlalu banyak menyerap tenaga kerja seperti industri lainnya namun tidak sedikit juga lowongan kerja di esports yang hanya lewat belakang, alias dari mulut ke mulut.
Lalu bagaimana dengan mereka-mereka yang ingin memulai bisnis sendiri di esports? Apakah kelihatannya menjanjikan? Apalagi mengingat belakangan ada banyak tim-tim esports baru bermunculan seperti The Pillars besutan Ariel Noah ataupun Team Elvo dari Andrew Tobias. Mungkin lain kali kita akan bahas hal itu dan saya akan mengajak beberapa owner tim esports untuk berbagi pendapatnya.
6. Roles in the META
Setelah tempat bekerja, posisi apa saja yang tersedia di industri esports Indonesia jika Anda ingin berkarier di sini?
Well, buat yang belum menyadarinya, esports juga bisa dibilang sebagai industri hiburan. Jadi, pekerjaan-pekerjaan untuk produksi konten selalu dibutuhkan di setiap pelaku industri esports — dari tim, event organizer, publisher, apalagi media. Konten video mungkin jadi format paling favorit saat ini, mengingat semua orang nampaknya ingin kaya raya dari YouTube. Konten gambar (image) juga selalu diproduksi oleh semua pelaku industri esports — mengingat setiap mereka pasti punya media sosial yang kebanyakan isinya gambar-gambar.
Bagaimana jika Anda suka atau bisa menulis? Selamat, Anda adalah anak tiri di industri konten jaman milenial dengan pasar Gen Z… Wawkwakwakaw… Selain direndahkan oleh orang-orang yang bahkan tidak bisa membedakan antara kata depan dan kata keterangan ataupun antara frasa dan kalimat, kemungkinan besar, Anda akan dibayar murah — sebelum mungkin akhirnya menemukan orang-orang yang menghargai keahlian menulis Anda tadi. Jadi, selamat berjuang kawan! Nyahaha…
Selain para pekerja kreatif pembuat konten, event mungkin bisa dibilang sebagai hasil produksi esports yang paling besar biayanya dan juga usaha yang dibutuhkan. Jadi, event juga, setahu saya, membutuhkan banyak para pekerja; mulai dari mereka-mereka yang menjalankan dari sisi turnamennya, memastikan semuanya berjalan tanpa kendala saat di acara, ataupun bertugas menayangkan turnamen tersebut.
Selain itu, profesi-profesi lain yang memang butuh keahlian spesifik juga sebenarnya masih banyak dibutuhkan — seperti orang-orang (digital) marketing yang tahu lebih dari sekadar eksploitasi gadis-gadis cantik sebagai penarik massa, orang-orang sales, bisnis, humas, SDM (HRD), ataupun posisi-posisi lainnya yang bertugas layaknya kantor di luar esports. Namun demikian, menurut saya, posisi-posisi tadi tidak menarik SDM sebanyak untuk event ataupun konten.
7. Esports is young and dangerous?
Terakhir, industri esports di Indonesia adalah industri yang sebagian besar diisi oleh anak-anak muda generasi milenial. Hal ini jadi memberikan keuntungan dan kekurangan tersendiri.
Salah satu kekurangan terbesarnya adalah, karena usia para pekerjanya yang masih muda dan hanya mengenal industri esports, masih banyak wawasan dan keahlian yang bisa digali dari luar ataupun dalam industri esports. Harus disadari juga bahwa keahlian dan wawasan tadi tidak sedangkal yang dibayangkan. Baik dari pencari kerja ataupun pemberi kerjanya, saya kira kita harus sudah mulai menyadari betapa krusialnya keahlian dan wawasan terhadap keberlangsungan sebuah indsutri — selain soal passion.
Namun demikian, jika melihat kondisi saat ini dengan keterbatasan wawasan dan keahlian tadi, potensi esports Indonesia berarti juga bisa dibilang besar — selama memang kekurangan tadi disadari dan dibenahi.
Di sisi lain, ada yang bilang juga esports is meritocratic. Industri yang diisi dengan banyak generasi muda seperti esports memang cenderung menggunakan sistem meritokrasi. Sistem seperti ini memang jadinya mendegradasi nilai-nilai lama seperti senioritas, latar belakang pendidikan, dan kawan-kawannya. Belum lagi, di jaman post-postmodernism ini, meragukan expertise (atau bahkan merasa jadi expert dengan mengomentari segala fenomena yang terjadi lewat sosial media) seakan jadi tren filosofi baru buat generasi muda.
Saya pribadi juga setuju dengan sistem meritokrasi, selama masing-masing dari kita bisa meminimalisir bias-bias kognitif yang mungkin terjadi saat kita menilai sesuatu dan mengambil keputusan. Apalagi, faktanya, tidak semua nilai-nilai lama itu harus ditinggalkan dan tidak semua yang tua itu sudah tidak punya nilai pragmatis.
Sebagai penutup, mungkin memang saya old-school soal ini namun, saya mengamini betul jika salah satu tolak ukur untuk menakar kesuksesan karier ataupun industri adalah dengan usia seberapa lama ia bisa bertahan.
Bagi saya, orang yang sukses bukanlah orang yang bisa jadi hype sesaat, punya jutaan followers, subscribers, atau apapun namanya; namun kemudian tak relevan lagi 10 tahun ke depan. Demikian juga dengan industri esports ini. Segala macam gegap gempita dan hedonisme yang bisa disuguhkan, tak akan ada artinya jika ia tak bisa terus bertahan untuk waktu yang lama.
Sumber header: GGEngine