Dark
Light

Investasi untuk Developer Game, Seberapa Penting?

2 mins read
November 24, 2021
Sesi IGDX tentang pendanaan untuk developer game. | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Sebanyak 67,8% developer game di Indonesia menggunakan dana pribadi sebagai dana operasi, menurut survei yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Asosiasi Game Indonesia (AGI) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Hal ini menunjukkan, pendanaan masih menjadi salah satu masalah bagi developer lokal.

Kabar baiknya, skema pendanaan untuk developer game lokal saat ini sudah jauh lebih baik dari 10 tahun lalu. Ada beberapa program pendanaan yang bisa developer incar jika mereka memang membutuhkan kucuran dana segar. Beberapa program tersebut antara lain:

Toge Game Fund Initiative (TGFI), hingga US$10 ribu (sekitar Rp143 juta)
Bantuan Insentif Pemerintah, hingga Rp200 juta
Indigo Game Startup Incubation (IGSI), hingga Rp2 miliar
Agate Skylab Fund, hingga US$1 juta (sekitar Rp14,3 miliar)

BIP merupakan program dana untuk 9 subsektor industri kreatif. | Sumber: Kemenparekraf

Seberapa Penting Modal untuk Developer Game?

Dalam Indonesia Game Developer Exchange (IGDX), Kris Antoni Hadiputra, CEO dan pendiri Toge Productions, mengatakan bahwa bagi developer game, pendanaan itu memang punya peran penting, tapi bukan yang paling penting. Dia bercerita, hanya dengan modal sebesar Rp5 juta dan 1 komputer, dia sudah bisa memulai studio game-nya sendiri. Menurutnya, bagi pendiri studio, memiliki mindset yang tepat justru lebih penting. Sementara modal uang akan berfungsi layaknya safety net.

“Di Indonesia, kita tidak punya mentor. Jadi, semua harus belajar sendiri,” kata Kris. “Kalau punya dana, kita punya waktu lebih lama untuk gagal sebelum membuat produk yang memang sesuai dengan market.” Sementara setelah perusahaan berjalan, dana investasi akan dibutuhkan untuk memperbesar skala perusahaan. Pada dasarnya, semakin besar sebuah perusahaan, semakin besar pula modal yang dibutuhkan.

Sementara itu, CEO Agate International, Arief Widhiyasa bercerita, pada awal berdiri, Agate juga tidak langsung mencari dana investasi. Mereka justru melakukan bootstrapping, yaitu membangun bisnis dengan modal milik sang pemilik, tanpa harus meminjam uang dari bank. Ketiadaan modal memang bukan jaminan kegagalan. Namun, Arief merasa, tanpa modal, kemungkinan perusahaan game gagal juga menjadi lebih besar.

“Analoginya, tanpa modal itu seperti kalau kita main suit, tapi kita cuma punya dua jurus,” ujar Arief. “Kalau batu itu mental fortitude, gunting itu capability, kita nggak pernah punya kertas, yaitu modal. Jadi, kita tidak bisa menampar pasar dengan marketing besar-besaran.”

TGFI tawarkan dana hingga US$10 ribu. | Sumber: Toge Productions

Sementara ketika ditanya kapan waktu yang tepat bagi developer untuk mencari dana investasi, Arif mengatakan bahwa waktu yang tepat adalah ketika developer sudah bisa memperkirakan besar dana yang diperlukan untuk membuat sebuah game. “Ketika tim sudah punya kemampuan untuk deliver game, ketika tim sudah tahu betul funding yang didapat akan digunakan untuk apa dan bisa mempertanggungjawabkan investasi yang didapatkan,” ujar Arif.

Kris menambahkan, jika developer mencari dana tanpa punya rencana yang matang akan penggunaan investasi tersebut, hal ini justru berpotensi membuat uang terbuang sia-sia. “Kadang-kadang, banyak startup yang baru mulai yang mengira kalau mendapatkan funding adalah tujuan akhir,” kata Kris. Padahal, bagi developer game, tujuan akhir mereka tetaplah mendapatkan untung dengan menjual game yang mereka buat. Dan keuntungan yang didapat dari penjualan game itu, idealnya, lebih besar dari dana investasi yang didapatkan perusahaan.

Model Bisnis Apa yang Ideal untuk Developer Game?

Secara garis besar, ada empat model bisnis yang biasa digunakan developer game Indonesia. Setiap model bisnis punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kris mengatakan, karena setiap developer game punya situasi yang berbeda — dengan kemampuan dan minat yang juga berbeda-beda — maka tidak ada model bisnis ideal yang bisa digunakan oleh semua developer game untuk sukses. Namun, dia tetap memberikan saran dalam memilih model bisnis yang tepat untuk sebuah developer game.

“Pertama, know your limit. Saya ini kemampuannya bagaimana, lebih suka game apa, apakah mobile atau PC,” jelas Kris. “Lalu, start small. Mulai aja dulu, membuat game kecil-kecilan. Jangan langsung mau membuat game seperti Mobile Legends. Terlalu mengawang-awang. Kemungkinan gagalnya sangat besar.”

Lebih lanjut Kris menjelaskan, setelah mencoba untuk membuat game, developer bisa mencoba menggunakan model bisnis yang dianggap sesuai. Kemudian, developer bisa mengamati apakah model bisnis yang dipilih memang bisa menghasilkan uang atau tidak. Karena developer harus melakukan trial-and-error, penting bagi mereka untuk tidak membuat game terlalu besar yang membutuhkan waktu pengembangan yang lama. Dengan menekan waktu pembuatan game, diharapkan, sekalipun game gagal, developer akan bisa menyesuaikan diri dengan cepat dan mengubah model bisnis yang mereka gunakan.

Instellar Indonesia
Previous Story

Peran Instellar Mendukung Ekosistem Startup Berdampak di Indonesia

Next Story

Pintek Secures Nearly 100 Billion Rupiah Series A Funding to Enhance SME Financing for Educational Purposes

Latest from Blog

Don't Miss

Sambut Hari Gim Indonesia (HARGAI) 2024, Agate Akan Rilis Game Baru

Dalam rangka peringatan Hari Gim Indonesia (HARGAI) 2024, Agate International

Garena Peringati Hari Game Nasional Lewat Event Gameseed 2024

Sebagai salah satu pengembang dan penerbit game paling populer di