Game layaknya pedang bermata dua. Di satu sisi, militer Amerika Serikat menggunakan game sebagai alat untuk melatih pasukan mereka. Di sisi lain, studi menunjukkan, bermain game tidak membuat pemainnya mendadak jadi beringas, bahkan jika game yang dimainkan penuh kekerasan sekalipun. Di satu sisi, World Health Organization menyatakan bahwa gaming disorder sebagai gangguan kejiwaan. Di sisi lain, game bisa digunakan oleh tenaga kesehatan untuk mengatasi gangguan kejiwaan. Di satu sisi, orangtua sering protes karena game membuat anak-anak mereka malas belajar. Di sisi lain, game bisa dijadikan sebagai alat pembelajaran.
Seiring dengan meroketnya popularitas game, semakin banyak pihak yang tertarik untuk menggunakan game atau inovasi dalam game ke bidang lain, mulai dari edukasi, kesehatan, sampai militer.
MILITER
Percaya atau tidak, militer AS sebenarnya telah mensponsori developer game sejak lama. Selama lebih dari dua dekade, pada 1960 sampai 1990-an, militer AS cukup aktif untuk mendanai pengembangan teknologi di industri game. Faktanya, Spacewar! — yang dianggap sebagai game pertama — bisa dibuat berkat dana dari Pentagon. Bagi militer dan developer game, kerja sama mereka merupakan simbiosis mutualisme. Bagi developer, jelas keuntungan yang mereka dapat berupa uang. Sementara bagi pihak militer, mereka rela menyokong developer game demi mendapatkan simulasi latihan yang memang berkualitas, seperti yang disebutkan oleh The Atlantic.
Secara garis besar, militer menggunakan game untuk tiga tujuan, merekrut tentara baru, melatih pasukan, dan juga menangani posttraumatic stress disorder (PTSD) pada veteran. America’s Army merupakan salah satu contoh game yang dibuat untuk merekrut anak-anak muda. Game FPS yang dibuat dan dirilis oleh Angkatan Darat AS itu diluncurkan pada 2002 dan bisa dimainkan secara gratis oleh siapa saja. Pada 2008, Richard Beckett — Chief of Advertising and Public Affairs di Angkata Darat AS, yang ketika itu menjabat sebagai Public Affairs Officer — mengatakan bahwa game America’s Army biasanya menjadi bagian dalam berbagai kegiatan sosial, termasuk di LAN parties, yang merupakan bagian dari program “Future Soldier Sustainment” milik Angkatan Darat AS.
“Kegiatan sosial seperti LAN parties sangat bermanfaat, karena kami ingin menunjukkan bahwa para perekrut adalah orang-orang biasa, sama seperti para pengunjung,” kata Beckett pada Ars Technica. Lebih lanjut dia menjelaskan, kegiatan sosial itu juga berfungsi untuk membuat para calon tentara yang sudah lulus boot camp tapi belum mendapat penugasan agar tidak berubah pikiran. Alasannya, setelah selesai boot camp, para calon tentara bisa menunggu hingga lebih dari enam bulan sebelum ditugaskan.
Seiring dengan meningkatnya popularitas siaran konten game, militer AS pun tertarik untuk menjajaki platform streaming game. Sekarang, baik Angkatan Darat maupun Angkatan Laut AS sudah punya channel Twitch. Tujuan militer membuat channel di Twitch bukan untuk merekrut para penonton secara aktif. Sebagai gantinya, mereka menggunakan channel itu untuk meningkatkan eksposur dan berinteraksi dengan penonton — yang kebanyakan merupakan generasi muda. Hanya saja, tidak semua orang senang dengan keberadaan channel Twitch dari Angkatan Darat atau Angkatan Laut AS. Tidak sedikit penonton yang justru memanfaatkan channel Twitch milik militer untuk menanyakan tentang topik sensitif seperti Eddie Gallagher atau kejahatan perang yang dilakukan oleh dan dituduhkan pada tentara AS.
Tak hanya perekrutan, militer AS juga menggunakan game untuk melatih pasukan mereka. Ada beberapa game yang memang khusus dibuat sebagai alat latihan militer. Dan masing-masing game itu punya fungsi masing-masing. Misalnya, DARWARS Ambush digunakan untuk mengajarkan taktik infanteri, operasi konvoi, serta Rules of Engagament aatu Aturan Pelibatan. Menurut laporan GamesIndustry, pada akhir 2008, lebih dari tiga ribu unit DARWARS Ambush telah didistribusikan ke Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, Penjaga Pantai, dan Marinir.
Selain DARWARS, juga ada UrbanSim dan Tactical Iraqi. Kedua game itu fokus untuk mengajarkan kemampuan bahasa asing serta cara melawan pemberontak. Sementara simulator perang seperti Virtual Battlespace 2 memunginkan komandan militer membuat skenario yang mungkin terjadi di garis depan medan pertempuran, mulai dari sergapan musuh, ledakan Improvised Explosive Device (IED), sampai evakuasi medis.
Terakhir, militer menggunakan game sebagai alat untuk mengatasi masalah psikologis yang dialami oleh para veteran, seperti PTSD. Dalam jurnal Virtual Reality Exposure Therapy for Combat Related PTSD, Institute of Medicine menyebutkan bahwa Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dengan exposure therapy merupakan satu-satunya jenis terapi yang direkomendasikan untuk menangani PTSD.
Dalam exposure therapy, penderita PTSD biasanya akan diminta untuk mengingat dan menceritakan kembali kejadian traumatis yang dia alami. Hanya saja, salah satu gejala PTSD adalah keengganan atau ketidakmampuan untuk mengingat kejadian traumatis yang menjadi penyebab PTSD itu sendiri. Jadi, jangan heran jika orang-orang yang punya PTSD tidak mau atau tidak bisa mengingat apa yang terjadi pada mereka. Di sinilah peran VR simulator, yang dapat digunakan untuk mereka ulang kejadian yang menjadi penyebab trauma. Keberadaan simulasi seperti Virtual Afghanistan dapat membantu veteran mengatasi trauma mereka.
Sayangnya, keputusan militer AS untuk aktif di industri game tidak selalu berbuah manis. Salah satu game dari militer yang menuai kontroversi adalah Full Spectrum Warrior. Game yang diluncurkan pada 2003 tersedia dalam dua varian, yaitu varian komersil dan varian militer, yang bisa diakses dengan kode khusus. Walau game itu berhasil memenangkan penghargaan di kategori Best Original Game dan Best Simulation Game di E3 2003, Full Spectrum Warrior tetap menuai kontroversi. Salah satu alasannya adalah karena pada akhirnya, militer AS tetap tidak menggunakan game itu sebagai alat latihan karena dianggap kurang realistis. Selain itu, biaya yang dikeluarkan Angkatan Darat AS untuk mendapatkan game itu juga dianggap terlalu besar.
KESEHATAN
Veteran perang bukan satu-satunya pihak yang mengalami PTSD. Warga sipil pun bisa mengidap PTSD. Karena itu, keberadaan VR Exposure Therapy (VRET) tidak hanya menguntungkan militer, tapi juga tenaga kesehatan. Selain PTSD, VRET juga bisa digunakan untuk mengatasi gangguan mental lain, seperti fobia atau gangguan kecemasan. Bagaimana VRET bisa membantu? Dengan membawa pasien ke dunia virtual untuk menghadapi kejadian atau lokasi yang menjadi sumber trauma atau mengekspos pasien ke sesuatu yang mereka takutkan. Mengingat dunia vritual bisa dikendalikan, penggunaan VR dalam exposure therapy menjamin keselamatan pasien.
Penggunaan game di industri kesehatan tidak terbatas pada disiplin psikologi. Game, khususnya VR, juga bisa digunakan para tenaga kesehatan (nakes) untuk mengasah kemampuan mereka atau mempelajari prosedur baru. Dengan begitu, nakes tak lagi kagok ketika harus melakukan prosedur baru pada pasien. Ada berbagai hal yang bisa nakes pelajari dengan teknologi VR, mulai dari cara melakukan endoskopi sampai simulasi dari ruang operasi, seperti yang disebutkan dalam jurnal Gaming science innovations to integrate health systems science into medical education and practice.
Menariknya, game mobile pun bisa membantu para calon dokter untuk belajar. Ialah game PAtient Safety in Surgical EDucation (PASSED). Game untuk iPad itu dapat menampilkan berbagai skenario kejadian sentinel alias kejadian tak terduga yang menyebabkan cedera serius atau bahkan kematian pada pasien. Melalui game tersebut, para calon dokter akan bisa lebih paham tentang alasan di balik kekhawatiran pasien.
Mencegah lebih baik dari mengobati. Kabar baiknya, game bisa digunakan untuk mendorong pemainnya memulai atau mempertahankan gaya hidup sehat. Misalnya, Pokemon Go, yang mendorong para pemainnya untuk berjalan kaki. Contoh lainnya adalah WiiFit dari Nintendo, yang memanfaatkan Wii Balance Board. Selain mendorong pemain untuk lebih aktif berolahraga, game yang mengharuskan pemainnya melakukan kegiatan fisik juga bisa digunakan untuk mengukur kemampuan fisik pasien. Jadi, nakes bisa mengetahui apakah kemampuan fisik dari pasien membaik atau justru memburuk, khususnya pasien dari penyakit yang membatasi gerakan dan mobilitas, seperti Parkinson, seperti yang disebutkan dalam Innovation in Games: Better Health and Healthcare.
Tantangan sudah pasti menjadi bagian dari game. Namun, game bisa membuat mengatasi tantangan sebagai sesuatu yang menyenangkan. Karena itu, game juga bisa digunakan untuk mengatasi kecanduan, seperti merokok atau berjudi. Salah satu contoh game yang dibuat untuk membantu pemainnya berhenti merokok adalah My Stop Smoking Coach. Dirilis pada 2008, game itu bisa dijalankan di beberapa platform, termasuk iPhone dan Nintendo DS. Escape from Diab dari Archimage Inc. jadi contoh lain dari game yang bertujuan untuk mendorong pemainnya hidup sehat. Game yang dirilis pada 2006 itu merupakan adventure game yang fokus pada pencegahan obesitas dan diabetes tipe 2.
EDUKASI
Game sering dituding sebagai penyebab mengapa murid-murid enggan untuk belajar. Lucunya, studi tentang potensi game sebagai alat pengajaran telah muncul sejak tahun 1980-an. Ketika itu, para peneliti merasa, beberapa game komersil — khususnya game dengan genre strategi, simulasi, atau RPG — telah menggunakan teori pembelajaran untuk mendorong pemain mempelajari gameplay dari game itu sendiri. Menggunakan game dalam dunia pendidikan bukan berarti semua materi dalam kurikulum dikemas dalam “game”.
Menurut Gaming in Education: Using Games as a Support Tool to Teach History, game punya beberapa peran dalam kegiatan belajar-mengajar. Pertama, game bisa digunakan untuk mendorong siswa untuk berpartisipasi. Harapannya, siswa menjadi lebih berani untuk mengaplikasikan secara langsung apa yang mereka pelajari. Kedua, game bisa membantu siswa untuk mengingat pelajaran yang mereka pelajari, khususnya poin-poin penting yang akan muncul di tes atau bagian yang bisa diaplikasikan langsung di dunia nyata. Ketiga, game dapat meningkatkan literasi komputer dan visual. Keempat, game mendorong siswa untuk berpikir kreatif dalam memecahkan masalah. Pada saat yang sama, murid tetap harus mengikuti peraturan yang telah ditetapkan dalam game. Kelima, game bisa mengajarkan berbagai soft skills, mulai dari cara berpikir kritis, berinteraksi dan berkolaborasi dengan teman, dan bahkan sportmanship.
Sementara itu, jurnal Digital Games in Education: The Design of Games-Based Learning Environments membahas tentang bagaimana game bisa memotivasi siswa dan membuat mereka fokus pada tugas yang harus mereka kerjakan.Memang, game punya elemen-elemen yang bisa membuat para pemainnya sepenuhnya fokus dalam menyelesaikan tugas dalam game. Elemen-elemen tersebut antara lain tujuan yang jelas, umpan baik — baik langsung maupun tidak langsung, serta keseimbangan antara tantangan yang diberikan dengan kemampuan pemain. Selain itu, dalam game, pemain juga punya kendali akan apa yang mreeka lakukan. Selain membuat siswa fokus, semua elemen ini juga bisa mendorong murid untuk menjadi lebih interaktif. Dan studi membuktika, tingkat interaksi siswa punya dampak positif akan prestasi mereka.
TEKNOLOGI
Controller merupakan alat input utama untuk kebanyakan konsol. Seiring dengan perubahan konsol, controller pun ikut berevolusi. Namun, hal ini tidak menghentikan perusahaan game untuk bereksperimen dan membuat alat input baru. Pada 2006, Nintendo meluncurkan Wii Remote atau Wiimote bersamaan dengan Nintendo Wii. Salah satu fitur utama dari perangkat tersebut adalah kemampuan untuk mendeteksi gerakan tangan pengguna. Pada 2009, Nintendo meluncurkan penerus dari Wii Remote, yaitu Wii MotionPlus, yang dapat mendeteksi gerakan yang lebih kompleks. Tak hanya Nintendo, Microsoft juga meluncurkan Kinect pada 2010. Dilengkapi dengan kamera RGB, proyektor infrared, dan detector, Kinect dapat mendeteksi gerakan pengguna.
Setelah itu, teknologi motion sensing pun digunakan di bidang di luar gaming. Teknologi pendeteksi gerakan bahkan bisa digunakan dalam aplikasi mobile. Dalam aplikasi mobile, biasanya ia akan memanfaatkan gyroscope pada ponsel untuk mendeteksi gerakan. Salah satu perusahaan yang tertarik untuk menggunakan teknologi sensing motion adalah Limix. Perusahaan asal Italia itu membuat wearable yang disebut Talking Hands. Perangkat itu dapat menerjemahkan bahasa isyarat menjadi suara menggunakan smartphone atau Bluetooth speaker, seperti yang disebutkan oleh HeadStuff. Keberadaan Talking Hands menunjukkan bagaimana teknologi motion sensing bisa digunakan untuk membantu tuna rungu.
Selain itu, game juga menjadi salah satu faktor pendorong perkembangan hardware. Pasalnya, game memang program yang menuntut kinerja tinggi dari komputer. Karena tuntutan gamer yang tidak pernah puas, manufaktur hardware pun mau tak mau harus memenuhi tuntutan tersebut. Kabar baiknya, hardware yang powerful tidak hanya bisa digunakan untuk bermain game, tapi juga untuk melakukan kegiatan lain yang membutuhkan daya komputasi tinggi, seperti mining cryptocurrency. Lucunya, walau telah ada GPU khusus untuk melakukan mining mata uang virtual, tidak sedikit penambang yang lebih memilih untuk menggunakan gaming GPU.
GAMIFIKASI
Sebenarnya, game — baik keseluruhan game atau hanya elemen di dalamnya — tidak hanya digunakan dalam empat industri di atas. Elemen dalam game bisa diterapkan di berbagai lingkup non-gaming. Karena itulah, muncul istilah gamifikasi. Jika Anda lebih tertarik untuk melihat bagaimana gamifikasi diaplikasikan secara nyata dalam industri non-gaming, Anda bisa membacanya di sini.
Komponen dari game yang bisa digunakan di luar lingkup game beragam, mulai dari pemberian poin, badge, penggunaan avatar, adanya leaderboard dan grafik performa, sampai keberadaan rekan satu tim serta narasi atau cerita. Jurnal How gamification motivates: An experimental study of the effects of specific game design elements on psychological need satisfaction membahas tentang bagaimana gamifikasi bisa memotivasi seseorang berdasarkan teori self-determination.
Di teori self-determination, ada tiga kebutuhan psikologis yang harus dipenuhi, yaitu kebutuhan akan kompetensi, otonomi, dan keterhubungan sosial alias social relatedness. Kebutuhan akan kompetensi akan terpenuhi ketika seseorang merasa puas karena tindakan mereka memengaruhi lingkungan mereka. Bagian dari game yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan akan kompetensi adalah pemberian poin dan badge, serta keberadaan leaderboards dan grafik performa. Dalam game, poin berfungsi sebagai feedback langsung. Jika pemain mendapatkan poin ketika dia melakukan kegiatan tertentu, dia akan termotivasi untuk terus melakukan tindakan tersebut demi menambah poinnya.
Sementara grafik performa bisa menunjukkan pencapaian seseorang dalam periode waktu tertentu. Misalnya, di aplikasi Duolingo, setiap minggu, Anda akan mendapatkan laporan berupa grafik akan berapa lama waktu yang Anda habiskan untuk belajar di aplikasi selama tujuh hari terakhir. Dari grafik itu, Anda bisa tahu apakah performa Anda menjadi lebih baik atau justru menunjukkan penurunan. Baik badge maupun leaderboards bisa digunakan sebagai penilaian atas performa seseorang secara keseluruhan. Di game, badge biasanya diberikan sebagai tanda bahwa seseorang telah mendapatkan pencapaian atau target tertentu. Dan leaderboards berfungsi untuk membandingkan performa pemain dengan pemain lainnya. Pada akhirnya, poin, badge, leaderboards, dan grafik performa bisa menjadi bukti akan kesuksesan atau kompetensi seseorang.
Kebutuhan kedua yang harus dipenuhi berdasarkan teori self-determination adalah kebutuhan akan otonomi, yang mengacu pada kebebasan dan kesediaan seseorang untuk menyelesaikan tugas tertentu. Kebutuhan akan otonomi terdiri dari dua aspek, yaitu kebebasan dalam pengambilan keputusan dan rasa puas akan menuntaskan tugas yang berarti. Penggunaan avatar bisa menjadi jalan untuk memenuhi aspek pertama. Memilih avatar — yang merupakan representasi pemain — membuat pemain merasa bahwa mereka punya kendali akan keputusan yang mereka ambil. Sementara aspek kedua bisa dipenuhi dengan narasi atau cerita. Banyak game yang menugaskan para pemain untuk mengalahkan musuh. Dan sering kali, tugas itu berulang: pergi ke desa A, kalahkan musuh X; pergi ke kota B, kalahkan musuh Y; pergi ke kerasaan C, kalahkan musuh Z. Namun, dengan narasi yang berbeda, maka pengalaman yang dirasakan pemain pun menjadi tak sama.
Kebutuhan terakhir yang harus dipenuhi dalam teori self-determination adalah keterhubungan sosial. Kebutuhan ini bisa dipenuhi ketika seseorang merasa bahwa tindakan yang mereka lakukan berdampak pada keadaan/performa grup. Karena itu, dalam game, termasuk game single-player, pemain biasanya tidak sendiri. Biasanya, pemain akan punya tim. Di game multiplayer, pemain membantu pemain lain. Sementara dalam game single-player, rekan pemain adalah NPC. Kebutuhan akan social relatedness juga bisa dipenuhi ketika sekelompok orang punya tujuan yang sama. Di sini, elemen cerita/narasi juga punya peran penting.
Kesimpulan
Saat ini, masih tetap ada asumsi bahwa game tidak lebih dari “mainan anak kecil”. Padahal, industri game lebih besar dari industri film dan musik. Selain itu, game atau inovasi yang muncul karena game ternyata juga menawarkan banyak kegunaan sehingga bisa digunakan di berbagai bidang lain. Jika ada yang berargumen bahwa game punya dampak negatif… Well, segala sesuatu yang tidak digunakan sebagaimana mestinya memang akan selalu membawa masalah. Lagipula, walaupun game hanya punya satu fungsi, yaitu sebagai media hiburan, toh game tetap terbukti punya manfaat. Buktinya, game berhasil membuat orang-orang tetap waras selama pandemi.
Sumber header: Deposit Photos