Pada 2018, esports jadi bagian dari Asian Games yang diadakan di Jakarta, Indonesia; walau hanya sebagai pertandingan eksibisi. Dalam SEA Games yang diadakan di Filipina tahun 2019, esports menjadi cabang olahraga bermedali. Indonesia mendapatkan dua medali perak berkat esports. Salah satu streamer Fortnite terpopuler, Tyler “Ninja” Blevins bahkan percaya, hanya masalah waktu sebelum esports masuk ke Olimpiade. Terkait hal ini, International Olympic Committee mengatakan, mereka hanya akan mempertimbangkan untuk memasukkan game esports yang merupakan simulasi dari olahraga tradisional, seperti sepak bola atau basket. Semua ini menunjukkan bahwa esports semakin dianggap sebagai olahraga. Karena itu, tidak heran jika banyak orang yang membandingkan keduanya seperti dalam total hadiah.
Membandingkan esports dengan olahraga tradisional juga memudahkan para pelaku atau penggemar esports — yang biasanya merupakan anak muda — untuk menjelaskan bahwa industri esports kini telah semakin berkembang dan tak lagi bisa dipandang sebelah mata. Newzoo memperkirakan, industri esports telah bernilai US$1,1 miliar pada tahun 2019. Sementara dari segi penonton, turnamen esports kini mendapatkan viewership hingga jutaan. Tak berhenti sampai di situ, kota tempat diselenggarakan turnamen esports juga mendapatkan untung karena turnamen esports terbukti memberikan dampak ekonomi positif pada perekonomian lokal.
Mantan pemilik Echo Fox dan pemain profesional NBA, Rick Fox membandingkan turnamen esports dengan liga american football. Pada TMZ, dia berkata bahwa jumlah penonton esports kini mulai menyaingi Super Bowl, turnamen american football tahunan yang diadakan oleh NFL (National Football League). “Di Amerika Utara, american football memang populer, tapi olahraga ini tidak ada di level internasional,” kata Fox pada TMZ. “League of Legends adalah acara global. Jumlah penontonnya mulai menyaingi Super Bowl… dan angka ini terus naik setiap tahun.”
Fox bukanlah satu-satunya orang yang membandingkan esports dengan olahraga tradisional. Memang, Fox tidak salah dengan mengatakan bahwa pertumbuhan esports sangat pesat. Sayangnya, membandingkan esport dengan olahraga tradisional, dalam kasus ini american football, tidak memberikan gambaran keadaan industri esports yang akurat.
Membandingkan industri esports — misalnya dari segi jumlah penonton — dengan olahraga tradisional memang akan memudahkan pelaku untuk meyakinkan investor atau sponsor untuk mendukung organisasi atau turnamen esports tertentu. Masalah muncul ketika seseorang atau sebuah perusahaan memilah data yang mereka berikan pada calon investor, membuat industri esports terlihat lebih besar dari sebenarnya, demi mendapatkan investasi. Ini justru bisa melukai reputasi esports sebagai industri, membuat para investor dan sponsor menjadi kehilangan kepercayaan pada para pelaku industri esports.
Esports dan olahraga tradisional terkadang tak bisa dibandingkan
Fox membandingkan League of Legends, salah satu game esports paling populer di dunia (walau tak terlalu terdengar gaungnya di Indonesia), dengan Super Bowl. Menurut data Riot Games, developer League of Legends, jumlah penonton League of Legends World Championship (LWC) pada 2018 mencapai 99,6 juta orang. Sementara penonton Super Bowl pada tahun yang sama mencapai 103,5 juta orang. Itu artinya, esports League of Legends — game yang baru merayakan ulang tahunnya ke-10 pada Oktober 2019 — dapat menyaingi liga american football yang telah berumur puluhan tahun. Tentu saja hal ini sangat membanggakan untuk League of Legends.
Namun, menurut VPEsports, LWC tidak seharusnya disandingkan dengan Super Bowl karena LWC adalah liga tingkat dunia, sementara Super Bowl hanya mencakup satu negara, yaitu Amerika Serikat. Super Bowl seharusnya dibandingkan dengan League of Legends Championship Series (LCS), liga League of Legends untuk kawasan Amerika Utara. Pada puncaknya, jumlah penonton LCS hanya mencapai 494 ribu orang, jauh lebih rendah dari 103,5 juta orang penonton Super Bowl. Sementara pada tingkat global, LWC seharusnya dibandingkan dengan Piala Dunia. Penonton Piala Dunia mencapai 3,5 miliar orang, setengah dari populasi dunia. Ini akan membuat jumlah penonton LWC menjadi tidak terlihat ada apa-apanya.
Tebang pilih data
Kalau Anda sering mengikuti berita, Anda pasti familier dengan berita berjudul “clickbait“. Fenomena ini tidak hanya terjadi di media berita mainstream, tapi juga media esports. Masalahnya, “wartawan” yang membuat berita sensasional biasanya tidak segan-segan untuk tebang pilih data demi menampilkan berita yang fantastis nan bombastis. Dan ini bisa membuat salah persepsi tentang industri esports.
Kita ambil League of Legends World Championship sebagai contoh. Riot mengklaim bahwa ada 99,6 juta orang yang menonton babak final LWC, dengan 44 juta penonton menonton saat momen puncak. Namun, menurut Esports Charts, pada titik puncak, hanya 2 juta orang — sekitar 4 persen dari total 44 juta orang — yang berasal dari platform di luar Tiongkok. Sementara 96 persen sisanya merupakan penonton dari Tiongkok, yang biasanya memiliki data yang kurang akurat. Ini menunjukkan bahwa, di luar Tiongkok, penonton League of Legends jauh lebih sedikit dari penonton Super Bowl.
Tak hanya itu, data yang muncul tentang esports juga tak selamanya seragam. Misalnya, Newzoo mengatakan bahwa nilai industri esports pada 2022 akan mencapai US$1,8 miliar, sementara Goldman Sachs memperkirakan bahwa nilai industri esports akan mencapai US$3 miliar pada tahun yang sama. Hal ini juga lah yang mendorong perusahaan seperti Riot Games dan Activision Blizzard untuk bekerja sama dengan perusahaan analitik dan intelijen pihak ketiga, seperti Nielsen. Organisasi esports sekalipun, seperti Astralis Group juga tertarik untuk bekerja sama dengan Newzoo demi memastikan bahwa data yang mereka dapatkan tentang industri esports memang akurat.
Sekalipun tidak ada masalah pada data esports saat ini, meskipun esports memang ditonton ratusan juta orang, ada satu masalah lain yang harus dipertimbangkan: popularitas tak menjamin keuntungan/pendapatan.
Populer =/= untung
Di Indonesia, Mobile Legends jadi salah satu game esports yang paling populer. Moonton juga serius dalam mengembangkan ekosistem esports game mobile tersebut. Total hadiah Mobile Legends Professional League Season 4 mencapai US$300 ribu, membuatnya menjadi turnamen esports dengan hadiah terbesar di Indonesia pada 2019. Tim-tim yang bertanding di MPL juga tim terbaik. Karena itu, jangan heran jika pengunjung MPL selalu ramai.
Meskipun begitu, pada MPL Season 3, jumlah pengunjung turun drastis. Alasannya? Karena tiketnya berbayar. Memang, masyarakat Indonesia sangat sensitif terhadap harga. Di industri lain, seperti smartphone misalnya, harga juga masih menjadi salah satu pertimbangan utama dalam membeli smartphone. Dari sini, kita bisa tarik kesimpulan bahwa esports mungkin memang populer, jumlah fansnya banyak dan masih muda, tapi popularitas tadi tidak serta merta membuatnya jadi mudah untuk menarik pendapatan dari pasar ini.
Sementara itu, di kancah global, Riot mendapatkan US$1,4 miliar dari esports League of Legends sepanjang tahun. Mereka juga mengaku, bagi mereka, esports tak sekadar menjadi alat marketing, tapi sudah menjadi salah satu pilar bisnis mereka. Dari berbagai liga regional League of Legends, dua di antaranya bahkan telah menghasilkan untung, yaitu League of Legends Professional League di Tiongkok dan League of Legends Korea Championship (LCK) untuk Korea Selatan. Namun, ada beberapa turnamen League of Legends yang tak terlalu sukses sehingga memaksa Riot untuk melakukan konsolidasi.
Anda mungkin berpikir, jumlah yang dihasilkan oleh esports League of Legends sudah besar, tapi, angka itu masih jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan pendapatan atau keuntungan yang didapat turnamen olahraga akbar. Piala Dunia 2018 misalnya, meraih pendapatan sebesar US$5,3 miliar dan mendapatkan untung US$3,5 miliar. Sementara pasar liga sepak bola di Eropa memiliki pendapatan sampai US$31,6 miliar. Ini menunjukkan bahwa esports memang masih belum bisa menyaingi olahraga tradisional, seperti sepak bola.
Namun, itu bukan berarti esports tak memiliki potensi. Jika dibandingkan dengan sepak bola, umur esports jauh lebih muda. League of Legends, salah satu game esports terbesar di dunia, diluncurkan pada 2009. Turnamen untuk game tersebut dimulai pada 2011. Sementara kompetisi esports pertama, yaitu Space Invaders Championship yang diadakan oleh Atari, diadakan pada 1980. Sebagai perbandingan, Premier League pertama kali diadakan pada 1992, La Liga pada 1929, dan Piala Dunia telah diadakan setiap empat tahun sekali sejak 1930. Jadi, jangan kecil hati jika esports saat ini masih belum bisa menyamai industri sepak bola. Dari segi umur, industri esports ibarat masih sedang imut-imutnya.
Kesimpulannya…
Sekarang, Anda mungkin mulai meragukan potensi industri esports; mulai berpikir, kalau esports tak lebih dari sekadar hype. Membuat Anda ragu akan potensi esports, bukan itu tujuan dari tulisan ini. Saya percaya, esports memiliki potensi untuk berkembang. Mengingat umur industri esports yang masih muda, tak aneh jika pendapatannya masih belum sebanding dengan industri olahraga tradisional yang telah lama ada. Namun, itu bukan berarti esports tak berpotensi untuk tumbuh besar. Startup seperti GoJek telah membuktikan bahwa startup yang masih muda pun bisa bersaing dengan perusahaan tua seperti BlueBird.
Hanya saja, dalam era post-truth seperti sekarang, Anda bisa mengakses informasi apapun yang Anda mau dengan mudah. Masalah yang ada adalah memastikan Anda tahu informasi secara menyeluruh. Half-truth is more dangerous than a lie. Ketika Anda menemukan informasi baru, pastikan bahwa Anda mendapatkan informasi yang lengkap. Anda harus memastikan bahwa gambar yang Anda lihat memang gambar yang utuh dan bukan satu potong gambar yang sudah dibingkai oleh pihak ketiga.
Sumber header: Colin Young-Wolff/Riot Games via The Washington Post