Dark
Light

Menilik Solusi Cloud Sebagai Platform Gaming Masa Depan dan Menakar Implikasinya Bagi Industri

7 mins read
May 4, 2019

Impian manusia buat menikmati video game tanpa repot-repot menyiapkan hardware telah ada lebih dari satu dekade silam. Saat membahas konsep ini, nama OnLive mau tak mau akan disebutkan karena ia merupakan pionir penyedia cloud gaming kelas konsumen. OnLive memang sudah berhenti beroperasi, namun ada banyak perusahaan yang mengadopsi model bisnisnya, termasuk produsen console Sony Interactive Entertainment.

Nama PlayStation Now mungkin tak asing lagi di telinga Anda. Dalam membangun layanan cloud khusus gamer console current generation-nya, Sony memanfaatkan aset OnLive serta infrastruktur Gaikai yang mereka ambil alih sebagai pondasinya. Seiring berjalannya waktu, mulai banyak bermunculan pula platform-platform gaming on demand sejenis, termasuk brand-brand yang dikembangkan oleh developer lokal seperti gameQoo (dulu bernama Emago) dan Skyegrid.

Meski begitu, tema cloud gaming baru betul-betul lepas landas dan menjadi perhatian publik ketika sejumlah raksasa teknologi mengonfirmasi rencana untuk turut menggarapnya, yakni Google serta Microsoft (termasuk Amazon, menurut rumor yang beredar). Kedua perusahaan memiliki pengalaman panjang di ranah penyediaan platform gaming dengan arahan yang berbeda: Google sebagai ‘penguasa’ mobile, sedangkan Microsoft sudah lama berbisnis di segmen PC gaming serta Xbox. Google resmi memperkenalkan Stadia di GDC 2019, dan Microsoft berjanji  buat mengungkap xCloud lebih jauh di E3 2019.

Gears of War 4

 

Kondisi saat ini

Sejauh ini, penghalang terbesar bagi adopsi layanan cloud gaming adalah ketersediaan sambungan internet yang memadai. Sebetulnya, kendala itu tidak hanya dirasakan oleh konsumen negara berkembang (seperti Indonesia), tapi juga di negara maju. Sebagai jalan keluarnya, perusahaan biasanya membatasi jangkauan servis. Hingga sekarang, PlayStation Now baru hadir di 19 negara; lalu GeForce Now cuma dapat diakses dari Amerika, Kanada, dan sejumlah kawasan Eropa.

Beberapa platform lain yang lebih kecil – misalnya Shadow – bahkan dikhususkan ke satu wilayah saja (Perancis). Strategi serupa juga dilakukan oleh pengembang platform on demand lokal. Demi menjamin kelancaran penyajian, server telah dilokasikan di Indonesia, lalu developer tak lupa mematok kecepatan internet minimal yang diperlukan agar servis berjalan optimal.

Semuanya memang terdengar menjanjikan, tetapi pada kenyataannya, banyak orang tetap merasa skeptis cloud gaming akan betul-betul menggantikan penyuguhan video game secara konvensional. Saya sempat membaca testimoni PC Gamer dan GameSpot soal tingginya latency Google Stadia di GDC 2019 yang mempengaruhi kenyamanan bermain.

Di sisi lain, beberapa tahun silam saya pernah merasakan langsung mulusnya Nvidia Grid (sekarang dikenal sebagai GeForce Now) via Nvidia Shield: Borderlands 2 dijalankan di sebuah lobby hotel di kota Taipei dengan server yang berada di Jepang. Saya juga menjadi salah satu orang yang cukup beruntung menjajal Rise of the Tomb Raider di Skyegrid beberapa bulan sebelum peluncurannya. Sensasinya luar biasa. Saya membayangkan, mungkin seperti inilah pengalaman blockbuster gaming di masa depan.

Memuluskan koneksi dan memangkas latency sudah pasti jadi perhatian utama penyedia jasa gaming on demand. Tapi saya melihat adanya masalah besar lain: konten. Mayoritas platform cloud gaming di Indonesia belum mempunyai permainan eksklusifnya sendiri. Saat ini mereka baru menyiapkan wadah untuk bermain tanpa perangkat gaming dedicated (walaupun brand seperti Skyegrid punya keinginan buat menjadi publisher game lokal).

Doom Eternal

Sejatinya, Skyegrid merupakan ekspansi dari library game Anda. Memang ada banyak permainan gratis yang dapat segera dimainkan pelanggan (misalnya Dota 2, Apex Legends, Fortnite), namun kita harus tetap memiliki/membeli game-game premium (Resident Evil 2 remake, Grand Theft Auto V, Fallout 4) terlebih dulu agar bisa mengaksesnya via cloud.

Bukan cuma mengandalkan konten dari developer third-party, Skyegrid juga bersandar pada platform distribusi berbeda – contohnya Steam, Origin,  Uplay dan Microsoft Store. Dukungan nama-nama populer ini memang terdengar positif, namun bayangkan apa yang terjadi jika salah satu (atau beberapa) di antara brand tersebut turut meluncurkan jasa on demand-nya sendiri?

Jika hal ini terjadi, tidak ada alasan kuat bagi pengguna untuk meneruskan langganannya.

gameQoo sendiri punya strategi bisnis yang cukup berbeda, dan sejujurnya, lebih simpel dari Skyegrid. Dengan jadi pelanggannya, kita tidak perlu lagi membeli permainan. Semua game di sana merupakan buah dari kolaborasi langsung bersama publisher. Namun kelemahannya bisa segera Anda temui begitu membuka daftar permainan: jumlah judul populernya lebih sedikit dari Skyegrid, dan jarang ada permainan yang betul-betul baru. Dengan begitu, kesempatannya untuk menarik perhatian kalangan mainstream jadi lebih kecil.

Stellaris.

 

Kata para penyedia jasa cloud gaming lokal

Lewat app messaging, CEO gameQoo Izzuddin Al Azzam mengungkapkan bahwa tantangan terbesar yang perusahaannya hadapi dalam menggaet pelanggan bukan disebabkan oleh kendala teknis, tetapi lebih dikarenakan karakteristik konsumen di Indonesia. Hingga sekarang, gameQoo terus berupaya untuk mengubah pola pikir gamer agar tidak lagi membajak permainan. Jika belum mampu membeli secara sah, akan lebih baik bagi mereka buat beralih ke layanan berlangganan.

Dalam kiprahnya, Emago yang terlahir dari program inkubasi Digital Amoeba gagasan Telkom memutuskan untuk bergabung menjadi bagian dari operator seluler tersebut karena munurut  Izzuddin, kunci dari kesuksesan jasa cloud gaming terletak pada kemitraan dan networking. Menurutnya, Telkom merupakan pemegang jaringan komunikasi terluas di Indonesia, dan hal ini dapat memberikan gameQoo keunggulan.

CEO Skyegrid Rolly Edward punya pandangan lain mengenai tantangan utama penetrasi cloud gaming di nusantara. Baginya, edukasi mengenai teknologi cloud harus dilakukan secara bertahap dan memang membutuhkan waktu, apalagi gaming on demand ialah sebuah gagasan baru. Bahkan penyedia jasa kelas global menghadapi kendala serupa. Namun sejauh ini, proses yang developer lalui berjalan cukup baik meski sedikit meleset dari perkiraan sebelumnya.

Rolly menganalogikan cloud gaming dengan ATM. Kira-kira perlu satu dekade bagi nasabah bank untuk terbiasa menggunakan mesin perbankan otomatis buat bertransaksi. Sekali lagi ia berargumen soal pentingnya pengenalan oleh berbagai pihak – baik penyedia maupun media secara bersama-sama – demi mempersingkat waktu adopsinya. Melihat dari perspektif ini, Rolly dan tim Skyegrid sangat antusias menyambut kehadiran Google Stadia, Apple Arcade serta Microsoft xCloud.

Dengan berkecimpungnya nama-nama besar tersebut, pemain lokal tentu saja perlu mengantisipasi kompetisi yang tak bisa dihindari. Skyegrid sudah menyiapkan strategi pemasaran dan langkah-langkah untuk meningkatkan pengalaman penggunaan, termasuk memudahkan transaksi. Satu keunggulan yang dimiliki developer cloud gaming lokal adalah mereka lebih mengenal karakteristik gamer di Indonesia.

Menurut Rolly, setidaknya ada dua aspek yang menjadi pertimbangan utama konsumen di Indonesia: harga terjangkau dan kepuasaan pemakaian. Hal-hal inilah yang jadi fokus bagi tim Skyegrid. Buat sekarang, platform telah mendukung konten-konten Steam dan Origin, dan developer sedang dalam tahap merangkul Epic Games Store dan Uplay. Mereka berharap prosesnya dapat rampung di tahun ini juga.

Sang CEO Skyegrid punya pendapat senada Izzuddin soal pentingnya kolaborasi. Ini yang mendorong mereka untuk bekerja sama dengan Telkom. Skyegrid memiliki agenda buat meluncurkan ‘sesuatu yang baru’ bersama perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia itu. Rolly pribadi melihat gameQoo sebagai kawan seperjuangan – bukan sekadar kompetitor. Baginya, kedua brand bisa sama-sama berjuang mengedukasi pasar.

Apex Legends.

 

Melihat ke depan

Meningkatnya kompetisi menandai pegerakan ke arah yang tepat dan  gelombang cloud gaming kian terasa di tahun ini. Setelah gameQoo dan Skyegrid, ada peluang besar kita akan menyaksikan kelahiran layanan-layanan on demand lain, boleh jadi mengusung model bisnis berbeda. Dalam bincang-bincang kami, Rolly Edward mengutip sebuah pandangan dari boss Ubisoft: diprediksi hanya akan ada satu generasi console lagi sebelum kita semua beralih ke game streaming.

Skenario ini mengagumkan sekaligus mengerikan. Mengagumkan, karena kemudahan akses ke konten hiburan memungkinkan semua orang jadi gamer tanpa hambatan modal. Mengerikan, karena perubahan masif dari cara orang mengonsumsi konten memaksa perusahaan-perusahaan teknologi merombak strategi bisnis. Dengan merakyatnya gaming on demand, para produsen hardware akan kesulitan untuk menjual produknya secara tradisional.

Revolusi bukanlah hal baru di ranah video game. Di tahun 70- sampai 80-an, permainan-permainan elektronik cuma bisa dinikmati dengan datang ke arena arcade. Namun semuanya berubah ketika console diperkenalkan dan mempersilakan kita bermain di rumah. Beberapa tahun sesudahnya, kehadiran internet dan platform digital juga berdampak pada bisnis distribusi game. Mayoritas gamer di PC telah mengucapkan selamat tinggal pada versi fisik permainan serta merangkul metode digital, dan perusahaan console  mulai mengikuti tren ini.

Beralih ke masa kini, lepas landasnya konsep streaming game ditanggapi pemilik platform dan console maker secara berbeda. Lewat PlayStation Now, Sony memanfaatkan metode cloud berbayar sebagai ekspansi layanan PlayStation. Tapi sejauh yang sudah diketahui, console next-gen mereka terhidang secara tradisional, dititikberatkan pada peningkatan performa dan kualitas konten. Microsoft sendiri telah mengonfirmasi pengembagan Xbox ‘Scarlett’, kemungkinan disajikan dalam beberapa varian, salah satunya dikabarkan berupa set-top box pendukung streaming game.

Forza Horizon 4

Sebagai perusahaan yang terbilang lebih konservatif dibanding Microsoft dan Google, Sony mengakui bagaimana cloud gaming berpeluang mengancam bisnisnya. Namun mereka juga berpendapat masih butuh waktu cukup lama hingga para penyedia menemukan model bisnis ideal dalam menyuguhkan layanan streaming game. Sampai saat itu tiba, memiliki perangkat gaming tradisional ialah cara paling mudah untuk menikmati permainan video.

Di PC, potongan kecil dari teknologi cloud sebetulnya sudah lama dimanfaatkan di platform-platform distribusi semisal Steam, EA Origin dan Uplay. Satu contohnya ialah pemanfaatan sistem cloud save, berperan untuk memastikan progres dan achievement permainan tersimpan aman ‘di awan’, serta dapat dilanjutkan dari mana pun ketika Anda menginginkannya. Menakar dari momentumnya, PC dan perangkat mobile akan jadi ladang paling subur bagi persebaran layanan on-demand.

Sejumlah ahli memprediksi bahwa bisnis gaming on demand akan melesat naik begitu 5G tersedia secara luas. Dan kabar gembiranya, 5G tidak lagi berada di luar genggaman kita. Perangkat-perangkat pendukung konektivitas baru tersebut mulai bermunculan di tahun ini, dan data terbaru Qualcomm mengindikasikan proses adopsi serta penyebaran yang jauh lebih cepat dibanding 4G. Yang membuatnya lebih menarik lagi: Skyegrid akan dilibatkan dalam demonstrasi 5G oleh ‘mitra telekomunikasi dalam negeri’.

Transisi dari platform gaming tradisional ke jasa on demand juga sempat diungkapkan oleh tim analis Jon Peddie Research belum lama ini. Mereka memperkirakan akan ada jutaan gamer PC – khususnya pengguna sistem entry-level hingga kelas menengah dengan hardware seharga US$ 1.000 ke bawah – beralih menjadi penikmat ‘TV gaming‘. Uniknya, mereka tak hanya hijrah jadi pemain console – sebagian diprediksi memilih buat berlangganan layanan streaming game.

Resident Evil 2

 

Penutup

Suka tidak suka, cloud gaming akan tiba dan kehadirannya dipastikan akan mereformasi cara kita mengonsumsi konten hiburan serta bagaimana publisher/developer mendistribusikannya. Di perspektif pengguna, beragam kemudahan ditawarkan olehnya: selama berlangganan layanan tersebut, tak ada lagi game yang tidak bisa Anda mainkan. Selain itu, sistem cloud juga menyederhanakan implementasi update atau patch. Karena semuanya dilakukan di sisi server, kita tidak perlu lagi menunggu prosesnya hingga selesai.

Dan tanpa halangan berupa keterbatasan hardware di sisi pengguna, produk-produk digital para developer bisa sampai di tangan lebih banyak konsumen, dan keadaan ini sudah pasti berdampak positif bagi pemasukan mereka. Tersedianya cloud gaming secara masif juga mempersilakan studio-studio kecil buat menyodorkan kreasinya langsung ke gamer dan berperan sebagai dongkrakan buat bersaing dengan developer-developer kelas AAA. Terbuka peluang besar bagi tim indie untuk berjaya di era gaming on demand.

Doom Eternal

Dalam wawancara bersama Eurogamer (via Gamasutra), game director sekaligus penulis veteran Amy Hennig (berjasa dalam pengembangan seri Legacy of Kain, Jak and Dexter, Uncharted) menyampaikan bahwa layanan-layanan streaming sejenis Stadia akan memberikan developer kebebasan finansial, dan mendorong mereka untuk mengambil resiko demi mengeksekusi ide-ide baru di gaming.

Sekali lagi, era cloud gaming tak bisa dielakkan. Pertanyaannya kini ialah: seberapa siap kita untuk menyambutnya?

Terima kasih kepada Rolly Edward dan tim Skyegrid serta Izzuddin Al Azzam dan tim gameQoo.

Investasi MNC ke iflix
Previous Story

Setelah Emtek, Giliran MNC Terlibat dalam Pendanaan iflix

Nikon-Z-Series
Next Story

Mengenal Sistem Full Frame Nikon Z dan Dua Lensa Nikkor Z Series Terbarunya

Latest from Blog

Don't Miss

POCO Jawab Tantangan Kompetitor Ponsel Gaming dengan Performa dan Harga Ekstrem

POCO kembali menantang pasar smartphone dengan meluncurkan lini produk berperforma

HP OMEN Transcend 14, Laptop Gaming 14 Inci yang ‘Padat’ dengan Intel Core Ultra 9

Seperti apa perangkat gaming idaman Anda? PC gaming atau konsol?