Nilai industri game di Indonesia pada 2018 mencapai US$1,1 miliar (sekitar Rp15,7 triliun), menurut data dari Newzoo. Dengan begitu, Indonesia menjadi salah satu negara dengan pasar game terbesar di Asia Tenggara. Mengetahui besarnya nilai industri game Indonesia, pemerintah tertarik untuk mendukung para pelaku industri game lokal, termasuk developer game lokal.
Kolaborasi Pemerintah dengan AGI
Belakangan, ada beberapa menteri yang menunjukkan ketertarikan akan industri game dan esports. Salah satunya adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Dia mengatakan, pemerintah ingin agar gamers di Indonesia juga memainkan game-game buatan developer lokal. Tak hanya Luhut, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekfraf) Sandiaga Uno juga pernah angkat bicara. Dia menyebut esports sebagai “pandemic winner“. Alasannya, karena industri competitive gaming tetap bisa tumbuh di tengah pandemi virus corona.
Pemerintah mengatakan bahwa mereka akan mendukung para pelaku industri game. Pertanyaannya, apa saja yang sudah pemerintah lakukan untuk mendukung pelaku industri game lokal? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya menghubungi Program Manager, Asosiasi Game Indonesia (AGI), Febrianto Nur Anwari. Ketika ditanya tentang kapan pemerintah mulai menunjukkan ketertarikan dengan industri game, pria yang akrab dengan panggilan Febri ini menyebutkan, pemerintah sebenarnya sudah mulai peduli dengan industri game sejak lama.
“Dulu sejak zaman Menteri Pariwisatanya Bu Mari Eika Pangestu,” kata Febri ketika dihubungi melalui pesan singkat. Untuk informasi, Mari Eika Pangestu menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia pada 2011-2014, ketika Susilo Bambang Yudhoyono masih menjabat sebagai Presiden Indonesia. Lebih lanjut, Febri mengungkap, “Dukungan pemerintah semakin besar sejak ada Bekraf.”
Didirikan pada 2015, Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Bekraf) merupakan lembaga pemerintah non-kementerian yang ada di bawah tanggung jawab presiden. Pada 2019, Bekraf dilebur kembali ke Kemenparekraf. Meskipun begitu, pemerintah tetap menunjukkan keseriusan mereka untuk mengembangkan industri game di Indonesia.
Febri bercerita, saat ini, ada banyak rencana yang hendak AGI realisasikan bersama dengan Kemenkominfo dan Kemenparekraf. Salah satunya, AGI bersama Kemenparekraf membantu developer lokal untuk bisa ikut di eksibisi game yang diadakan di luar negeri, seperti DevCom di Jerman dan Tokyo Games Show di Jepang. Selain itu, bersama dengan Kominfo, AGI juga akan menggelar Indonesia Game Developer Exchange (IGDX). Febri mengungkap, IGDX akan punya empat fokus, yaitu Akademi, Bisnis, Konferensi, dan Karir.
“IGDX 2021 merupakan upaya meningkatkan kapasitas pelaku industri game dalam negeri dan mendorong industri game lokal untuk go global. Sehingga industri game Indonesia semakin hari semakin meningkat, baik dari sisi produsen maupun penggunanya,” jelas Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, dikutip dari situs resmi Kominfo.
“Saat ini, kita juga sedang diskusi intens dengan beberapa kementerian untuk merancang roadmap industri game sampai 2024,” ujar Febri. Dia lalu menjelaskan tentang alur kerja sama antara AGI dan pemerintah. “Biasanya, pemerintah akan reach out ke AGI, kira-kira apa sih yang dibutuhkan industri game Indonesia untuk berkembang,” jelasnya. “AGI lalu membuat proposal dan menyodorkannya ke pemerintah; kebutuhan dan juga program apa yang bisa dilakukan. Dari sini, AGI dan pemerintah terus berdialog untuk mewujudkan program tersebut.”
Febri mengungkap, waktu yang diperlukan untuk merealisasikan program AGI — dari diskusi sampai program berjalan — membutuhkan waktu yang beragam, tergantung pada skala program itu sendiri. “Kalau program besar seperti IGDX, kita biasanya membuat rencana satu tahun sebelumnya,” katanya. “Tapi, kalau yang kecil-kecil, ya sekitar 2-4 bulan. Kalau program yang berulang setiap tahun, biasanya persiapannya hanya perlu 1-2 bulan.”
Masalah SDM di Industri Game
Dalam wawancara dengan Hybrid.co.id, CEO Agate, Arief Widhiyasa mengatakan bahwa salah satu alasan mengapa industri game Indonesia belum semaju Jepang atau Amerika Serikat adalah karena industri game kita memang masih jauh lebih muda. Dia juga menyebutkan, kelangkaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berpengalaman merupakan salah satu masalah yang harus diatasi. Terkait hal ini, Febri menyebutkan, AGI sudah punya program untuk meningkatkan kualitas SDM di industri game.
“Untuk saat ini, kita coba untuk level up SDM yang sudah ada melalui IGDX Academy,” kata Febri. “Program itu adalah program mentoring selama 13 minggu yang menghadirkan banyak mentor, baik dari dalam maupun luar negeri. Sedangkan untuk pencetakan talenta baru, kami juga punya beberapa program seperti aliansi dengan kampus lewat Game Talent ID. Dan kini, AGI dengan dukungan Kominfo sedang merancang Standar Kompetisi Kerja Nasional (SKKNI) di bidang game development. Seharusnya, dalam waktu dekat, program itu masuk ke fase konvensi, sebelum disahkan.”
Dalam peluncuran Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI), Luhut mengatakan bahwa impor game di Indonesia mencapai 97%. Ketika itu, dia mengimplikasikan harapannya agar gamers Indonesia juga memainkan game-game lokal. Meskipun begitu, ARPU gamers Indonesia relatif lebih kecil dari negara-negara lain yang memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita lebih tinggi. Hal itu berarti, developer bisa mendapatkan pemasukan lebih besar dengan menyasar pasar game global. Namun, tentu saja, pasar global juga lebih menantang.
Tentang target pasar, Febri mengatakan, AGI tidak pernah mengarahkan developer lokal untuk menyasar pasar game lokal ataupun global. “Tergantung game dan developer-nya ya,” ujarnya. Sementara ketika ditanya soal target pemerintah tentang berapa besar pangsa pasar yang dikuasai developer lokal, dia menjawab, “Idealnya, kita bisa setidaknya impas, baik itu dari pasar sendiri ataupun melalui ekspor.”