Pada awal September 2021, Agate memperkenalkan program pendanaan untuk developer game lokal, bernama Skylab Fund. Melalui program tersebut, Agate menawarkan investasi sebesar US$100 ribu hingga US$1 juta. Tujuan Agate untuk mengadakan Skylab Fund adalah untuk mendorong pertumbuhan industri game di Indonesia.
Hybrid.co.id mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengan CEO Agate, Arief Widhiyasa, tentang Skylab Fund dan juga industri game di Indonesia secara keseluruhan.
Bagaimana animo akan Skylab Fund?
Sudah heboh bahkan di H-1 sebelum Skylab Fund diumumkan. Di hari H dan H-1, semua orang di industri game Indonesia ngomongin tentang Skylab Fund. Which is good animo for us. Karena target market kita kan memang developer game lokal Indonesia. Biar kita bisa maju bersama dengan fund ini.
Apa target Agate untuk Skylab Fund?
Kita nggak punya target. Karena dari segi fund, kita bisa naikkan jumlah dananya. Yang kami takutkan adalah dananya ada, tapi nggak ada developer untuk diinvestasikan. Kami juga nggak ada target jumlah developer yang harus diinvestasikan. Maunya sebanyak-banyaknya. Saat ini, di pipeline sudah ada satu.
Animo Skylab Fund bagus, tapi Agate tetap khawatir tidak ada developer yang bisa menerima dana. Apa karena jumlah developer lokal sedikit?
Ini masalah ayam dan telur. Kalau nggak ada investasi untuk buat industri game, wajar jika tidak ada orang yang mau menjadi developer game. Selama 10-15 tahun terakhir, investasi di industri game kecil, otomatis, jumlah developer/tim yang ada juga kecil. Makanya, sekarang kita berusaha untuk mengadakan investasi. Biar bisa scale up industri game lokal.
Apa memberikan investasi adalah cara terbaik untuk mengembangkan industri game lokal?
Salah satunya, iya. Jadi, ada dua cara untuk membangun industri game lokal. Pertama, tarik dari atas, yaitu dengan mengucurkan dana. Kedua, dorong dari bawah. Untuk itu, Agate juga punya program akademi. Kita mengajarkan para pelajar yang mau buat game. Kami juga kerja sama dengan universitas yang ingin mengajarkan game sebagai mata kuliah atau sudah punya fakultas khusus game. Kita bantu mereka. Apa yang mereka butuh, kita pasti kasih. Sejauh ini, kita sudah bekerja sama dengan 50-60 universitas.
Kita sudah mulai kerja sama dengan universitas sejak 2011. Saat ini, kita masih melakukan kerja sama dengan universitas. Dan kita bisa menghasilkan sekitar 2-3 ribu alumni per tahun. Kalau mereka sudah lulus dan mau masuk industri game, mereka perlu safety net. Karena itu, kami bekerja sama dengan Telkom untuk membuat Indigo Game, yang menawarkan funding sampai Rp2,7 miliar. Skylab Fund itu ada di atasnya.
Adakah syarat bagi developer game yang ingin mengajukan proposal di Skylab Fund?
Nggak ada. Saat sebuah developer membuat pitch untuk game X, yang perlu kami pastikan adalah di atas kertas, game X memang bagus. Kedua, developer memang bisa membuat game X. Mereka nggak harus punya track record. Bisa saja mereka fresh graduate. Tapi, selama mereka bisa deliver game X, kenapa tidak? Tapi tentu saja, kami akan adakan assessment.
Misalnya, developer mengklaim bahwa game mereka buat bisa dimainkan oleh seribu orang secara bersamaan karena menggunakan teknologi cloud terbaru. Ya sudah, buktikan. Bagaimana caranya? Kita akan mencari seribu orang untuk memainkan game itu secara bersamaan. Kalau hang, ya langsung game over.
Adakah preferensi platform dari Agate?
Multiplatform. Tapi model bisnisnya, kemungkinan besar game-nya harus free-to-play. Seperti Fortnite, revenue-nya kan lebih besar dari PlayStation, walau ia game free-to-play.
Membuat game multiplatform memang pasti lebih sulit. Tapi, semakin sulit endeavor-nya, semakin sedikit saingannya. Kita sengaja cari yang sulit, biar sedikit pesaingnya. Ngapain kita masuk ke space yang sudah banyak pesaingnya?
Untuk Skylab Fund, Agate akan lebih memilih game multiplayer PVE, kenapa?
Kita memilih itu (multiplayer PVE) setelah riset selama 9 bulan. Sampai sekarang, kita lumayan percaya diri dengan hipotesa tersebut. Tapi, industri game itu kan hit driven. Jadi, kita juga sebenarnya nggak yakin kalau hipotesa kita benar. Namun, kita punya chance-lah.
Kenapa Agate enggan menyentuk game PVP?
Membuat game PVP sulit, tidak banyak yang berani melakukan. Salah satu masalah di game PVP adalah matchmaking problem. Misalnya, kamu punya tim berisi tiga orang, levelnya sudah jago. Saya bermain berdua dengan teman, tapi kita masih cupu. Kita berlima nggak boleh di-pair. Karena nanti, experience-nya jelek. Kalian bakal marah terus ke kita berdua karena kita cupu.
Artinya, agar game bisa tetap terus berjalan, developer harus bisa mempertahankan sejumlah pemain yang ada di game. Kalau nggak bisa tahan users-nya, jumlah pemain dari game PVP bisa turun drastis. Contohnya, kita janjian untuk main. Setelah tunggu 15 menit, nggak dapat tim. Kesal, kan? Atau dapat tim, tapi dua orang langsung leave atau AFK (Away From Keyboard). Harus ada sistem ban. Sangat kompleks masalahnya.
Masalah teknis, seperti server, malah justru lebih solvable. Karena buat kita, masalah yang bisa diselsaikan pakai uang justru lebih gampang. Tapi, kita kan nggak mungkin bisa membayar users supaya mereka mau main dan nggak AFK. Memang, ada beberapa game yang bisa maintain users base. Tapi, nggak bisa hanya dengan community management.
Apa tolok ukur Agate untuk mengukur kesuksesan game yang didukung via Skylab Fund?
Revenue per tahun. Saat ini, target utama kami adalah agar ada game yang mendapat pemasukan per tahun sebesar US$1 miliar. Semoga bisa tercapai dalam 10 tahun.
Jika targetnya adalah pemasukan US$1 miliar per tahun, target pasarnya pasti gamers global. Apa kita bisa bersaing di sana?
Harus bisa. Kalau nggak, ngapain ada industri game Indonesia? Ngapain kita investasi umur sekian tahun kalau kita nggak berani maju ke global. Memang, kita seperti tim sepak bola yang mau masuk World Cup. Hampir nggak mungkin. Tapi ya, nggak apa-apa, kita mau mencoba. Karena itu, kita percaya kita bisa.
Kenapa industri game di Indonesia sulit maju?
Kita kalah ekosistem. Industri game kita baru dimulai sekitar 10-15 tahun. Jepang sudah dimulai dari sekitar 40 tahun lalu, dan Amerika Serikat 50-60 tahun lalu. Masalah lainnya adalah kita punya kebiasaan untuk tidak membangun industri sebagai sebuah negara. Kita lebih suka menjual diri sebagai konsumen. Satu-satunya produk Indonesia yang laku di global adalah mi instan. Sisanya, kita hanya menjual raw materials. Soal industri produk yang kompleks, seperti smartphone dan mobil, kita hanya merakit.
Apa kita bisa mengejar ketertinggalan di industri game?
Mudah-mudahan bisa. Tesis terakhir kita itu adalah Skylab Fund. Begitu program ini nggak jalan, kita akan buat studio di luar. We try our best. Analoginya, tim sepak bola kita isinya pemain naturalisasi semua.
Kita memang punya 2-3 ribu dari alumni program akademi kita, tapi mereka levelnya masih mahasiswa. Kalau kita butuh orang yang punya pengalaman 10 tahun… Dari 3 ribu orang yang lulus pelatihan, yang memutuskan untuk masuk ke industri game mungkin hanya 100 orang dan yang keterima bekerja di industri game mungkin hanya 50 orang per tahun. Berapa banyak orang yang tetap bertahan selama 10 tahun dan bisa menjadi semakin jago?
Bagaimana dengan transfer knowledge?
Kita sudah lakukan itu sejak beberapa tahun lalu. Cuma ada masalah di speed. Misal, kita butuh 100 orang yang sudah ahli. Tapi, dalam setahun, kita cuma bisa menghasilkan 5 orang ahli. Masa kita harus menunggu 20 tahun?
Untuk orang yang hendak memulai karir di dunia game, apa sebaiknya dia bekerja di developer game dulu atau langsung mencoba membuat game sendiri?
Tergantung seberapa kuat safety net-nya. Kalau orang itu terlahir sebagai anak orang super kaya, dikasih modal Rp100 miliar dari orang tua untuk buat game, saran saya adalah langsung nyebur, langsung buat game. Terus, cepat-cepat rilis game-nya. Jangan sampai game pertama baru dirilis setelah 3-5 tahun.
Saya lihat, ada beberapa pelaku industri game yang datang-datang bawa modal. Tapi, kesalahan terbesarnya adalah merilis game terlalu lama. Game pertamanya dirilis setelah tiga tahun. Setelah game dirilis, gagal, perusahaannya tutup. Kalau punya modal, sebaiknya dalam 3-6 bulan, langsung rilis game pertama, entah bagaimana caranya. Kalau nggak punya modal, tapi punya ide dan memang prodigy, boleh langsung pitch ke venture capital, biar bisa dapat fund. Kalau nggak, ya opsi terbaik adalah kerja di tempat lain dulu.
Sumber header: Facebook