Industri game dimonopoli oleh beberapa perusahaan besar asal Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang pada abad ke-20. Namun, sejak tahun 2000-an, industri game mulai berubah. Sekarang, developer indie pun bisa menargetkan pasar global. Pasalnya, keberadaan internet dan perangkat mobile memudahkan developer game untuk menyasar gamer global. Beberapa game yang dibuat oleh sebuah tim kecil atau bahkan seorang developer pun terbukti bisa sukses, seperti Flappy Bird atau Among Us.
Meskipun begitu, belum banyak riset yang membahas tentang perkembangan industri dan budaya gaming di Asia. Karena itu, Phan Quang Anh merilis riset berjudul Shifting the Focus to East and Southeast Asia: A Critical Review of Regional Game Research. Studi tersebut membahas tentang industri dan budaya gaming di kawasan Asia, khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara.
Industri dan Budaya Gaming di Asia Timur
Ada beberapa alasan mengapa Asia menjadi semakin penting bagi pelaku industri game. Salah satunya adalah besarnya pasar game di Asia. Baik dari segi pendapatan atau jumlah pemain, Asia merupakan kawasan yang sangat menguntungkan untuk perusahaan game. Selain itu, beberapa negara Asia juga memiliki perusahaan-perusahaan game raksasa, seperti Jepang dengan Nintendo dan Sony, Korea Selatan dengan Nexon, serta Tiongkok dengan Tencent. Terakhir, pemerintah di negara-negara Asia juga cukup punya andil yang cukup besar dalam perkembangan industri game di negaranya masing-masing.
Hanya saja, Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok punya budaya gaming yang berbeda-beda. Misalnya, gamers di Jepang cenderung lebih individualistik. Budaya individualisme di Jepang sendiri mulai muncul pada tahun 1970-an, ketika Sony meluncurkan Walkman. Ekosistem game di Jepang pun tumbuh sesuai dengan budaya lokal. Alhasil, kebanyakan gamers Jepang lebih suka untuk bermain game single-player. Sementara itu, gamers di Korea Selatan dan Tiongkok justru menganggap game sebagai kegiatan sosial. Mereka senang bermain game bersama teman-teman mereka, baik co-op game ataupun competitive game. Faktanya, hal ini menjadi salah satu alasan mengapa ada banyak atlet esports yang datang dari Korea Selatan dan Tiongkok.
Budaya bermain game online di Korea Selatan mulai muncul pada 1998, ketika Blizzard meluncurkan StarCraft. Dan bermain game online dengan cepat menjadi salah satu hobi favorit generasi muda. Pasalnya, bermain game online memang tidak memakan biaya besar. Selain itu, PC bangs — alias warnet — juga menjamur. Budaya kompetitif Korea Selatan juga membuat industri esports berkembang. Di sana, ada televisi yang menyiarkan konten esports dan menjadi pemain profesional merupakan karir yang bisa ditempuh. Fenomena esports ini lalu menyebar ke negara-negara lain di Asia Timur dan Asia Tenggara.
Sama seperti gamers Korea Selatan, gamers Tiongkok juga senang bermain bersama orang lain. Meskipun begitu, pasar game Tiongkok tetap berbeda dari industri game Korea Selatan. Salah satu hal yang membuat pasar gaming Tiongkok unik adalah besarnya peran pemerintah dalam mengembangkan industri game online. Pemerintah tidak hanya membuat regulasi terkait industri game online, tapi juga berusaha untuk memajukan perusahaan-perusahaan game lokal. Perusahaan game dengan ide inovatif akan dibantu sehingga bisa tumbuh. Alhasil, pada 2020, ada 19 mobile game asal Tiongkok yang masuk dalam daftar 100 game dengan pemasukan terbesar di Amerika Serikat.
Industri dan Budaya Gaming di Asia Tenggara
Selain Asia Timur, Asia Tenggara juga merupakan kawasan yang patut diperhitungkan oleh perusahaan game. Menurut Newzoo dan Niko Partners, pertumbuhan mobile game di Asia Tenggara pada 2014-2017 mencapai lebih dari 180%. Dan dalam lima tahun ke depan, industri game Asia Tenggara diperkirakan masih akan tumbuh. Menurut data dari Shibuya Data Count, dalam periode 2020-2025, Compound Annual Growth Rate (CAGR) dari industri game di Asia Tenggara akan mencapai 8,5%. Sementara enam negara yang kini menjadi pasar game terbesar di kawasan Asia Tenggara adalah Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Singapura, dan Filipina.
Salah satu faktor pendorong pertumbuhan industri game adalah pembangunan infrastruktur internet. Dan hal ini terjadi karena kemunculan teknologi 5G pada 2020. Tidak heran, mengingat 5G diperkirakan akan memberikan performa hingga 100 kali lebih baik dari jaringan 4G. Faktor lain yang mendorong pertumbuhan industri game di Asia Tenggara adalah naiknya popularitas esports. Seiring dengan semakin populernya konten esports di platform seperti YouTube dan Twitch, pemasukan perusahaan-perusahaan game pun akan naik. Buktinya, Free Fire berhasil menjadi game yang paling banyak diunduh pada 2019.
Selain itu, keberadaan game free-to-play juga punya peran dalam mendorong pertumbuhan industri game di Asia Tenggara. Dan jika cloud gaming berhasil diadopsi secara besar-besaran di Asia Tenggara, ia akan menumbuhkan industri mobile game di kawasan tersebut. Menariknya, lebih dari 55% mobile gamers di Asia Tenggara berumur lebih dari 55 tahun dan hanya 8% yang merupakan remaja. Alasannya, banyak mobile game yang mengusung genre kasual atau bahkan hypercasual. Kedua genre itu bisa dimainkan oleh semua orang.
Hanya saja, mobile game kasual biasanya tidak bertahan lama. Popularitas mobile game kasual sangat rentan. Padahal, model monetisasi yang biasa digunakan developer adalah iklan. Popularitas mobile game kasual bisa memudar hanya dalam waktu beberapa minggu atau bahkan beberapa hari. Karena itu, memperkirakan tren mobile game di masa depan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan.
Industri Game di Indonesia
Sama seperti Tiongkok, pemerintah dari negara-negara Asia Tenggara juga peduli akan industri game. Hanya saja, peraturan yang ditetapkan oleh negara-negara Asia Tenggara tidak seketat regulasi dari Tiongkok. Dan hal ini bisa menguntungkan perusahaan-perusahaan game asing yang ingin masuk. Tren ini juga berlaku untuk Indonesia.
Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar ke-4 di dunia. Dan jumlah populasi serta pekerja di Tanah Air didominasi oleh generasi muda. Tak hanya itu, para generasi muda ini juga aktif dalam membangun komunitas online. Menurut Newzoo, hal ini merupakan kelebihan pasar game Indonesia. Di Indonesia, mobile game mendominasi pasar game. Kabar baiknya, sekitar 49% dari mobile gamers tidak segan untuk mengeluarkan uang demi membeli item dalam game. Menurut data Newzoo, per tahun, mobile gamer Indonesia rata-rata menghabiskan US$9. Sementara itu, strategi menjadi genre favorit gamers Indonesia. Para pemain game strategi juga merupakan gamers dengan spending terbesar. Sekitar 41% dari mereka rela untuk membeli item dalam game.
Popularitas mobile game merupakan kesempatan emas bagi developer lokal. Alasannya, membuat mobile game membutuhkan dana yang jauh lebih sedikit dari membuat game PC online. Untuk membuat satu mobile game, biaya yang dibutuhkan hanyalah sekitar US$1 ribu. Sementara biaya untuk membuat game PC online lebih dari 10 kali lipat dari biaya tersebut. Karena itu, tidak heran jika kebanyakan developer game di Indonesia memilih untuk membuat mobile game.
Potensi industri game disadari oleh pemerintah Indonesia. Salah satu bentuk dukungan pemerintah pada perusahaan game lokal adalah dengan mengadakan berbagai event game, seperti Game Prime. Selain itu, sejumlah menteri juga menyatakan dukungan pemerintah pada industri game dan esports, seperti Menteri Komunikasi dan Informasi serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sebelum ini, Indonesia juga sukses untuk melobi negara-negara ASEAN untuk memasukkan esports sebagai cabang olahraga eksibisi di Asian Games 2018 dan menjadikan esports sebagai cabang olahraga bermedali pada SEA Games 2019.
Industri Game di Singapura
Menurut Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners, besar spending gamers di negara-negara Asia Tenggara berbanding lurus dengan besar Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita di masing-masing negara. Negara-negara dengan PDB per kapita yang relatif rendah, seperti Indonesia dan Filipina, punya Average Revenue per User (ARPU) sekitar US$4-6 untuk game PC dan US$5-8 untuk mobile game. Sementara negara-negara dengan PDB per kapita tinggi, seperti Malaysia dan Singapura, punya ARPU yang lebih tinggi, mencapai US$15-20 untuk game PC dan US$25-60 untuk mobile game.
Memang, selama ini, Singapura dianggap sebagai pusat ekonomi di Asia Tenggara. Walau jumlah populasi Singapura jauh lebih sedikit dari populasi Indonesia, penetrasi internet di negara itu sangat tinggi, mencapai 80% dari total populasi. Sementara 60% pengguna internet Singapura merupakan gamers yang tidak keberatan untuk menghabiskan US$189 per tahun. Tak hanya itu, kebanyakan warga Singapura juga paham Bahasa Inggris dengan baik. Jadi, bukan hal yang aneh jika Singapura menjadi negara Asia dengan tingkat penetrasi game-game Barat tertinggi.
Pemerintah Singapura sendiri sudah tertarik untuk mengembangkan industri game sejak 1995. Sejak saat itu, mereka mendukung startup yang bergerak di bidang game. Tak hanya itu, mereka juga membuka dan mebiayai berbagai laboratorim riset terkait game. Pemerintah Singapura bahkan meminta bnatuan Jepang untuk melatih Sumber Daya Manusia mereka. Mereka juga menetapkan regulasi yang ketat, termasuk terkait pembajakan. Hukuman yang berat dan denda yang besar membuat masyarakat enggan untuk menggunakan produk bajakan. Hal ini membuat perusahaan-perusahaan asing lebih tertarik untuk berinvestasi dan membuka kantor di Singapura. Beberapa perusahaan game besar yang membuka kantor cabang di Singapura antara lain Ubisoft dan Electronic Arts.