JIka dibandingkan dengan olahraga tradisional, seperti sepak bola atau basket, bermain game sebenarnya menghabiskan energi yang jauh lebih sedikit. Memang, kebugaran fisik tetap penting bagi atlet esports. Namun, karir atlet esports tidak sepenuhnya tergantung pada kemampuan fisinya. Menariknya, walau kebugaran fisik bukan segalanya bagi atlet esports, pemain profesional justru biasanya pensiun lebih cepat dari atlet olahraga.
Karena itu, kali ini, saya akan mencoba untuk membahas mengapa atlet esports cenderung pensiun dini?
Berapa Lama Umur Karir Atlet Esports?
Salah satu alasan kenapa pemain esports cenderung pensiun di usia muda adalah karena mereka memang memulai karir mereka ketika mereka masih belia. Menurut Esports Lane, kebanyakan atlet esports memulai karirnya di usia 16-18 tahun dan pensiun di umur 22-24 tahun. Sementara berdasarkan studi, pemain profesional biasanya bisa berkarir selama sekitar 5-10 tahun.
Untuk mengetahui berapa lama pemain profesional bermain bersama dengan satu tim, saya mengobrol dengan beberapa pelaku industri esports di Indonesia, seperti Pendiri dan CEO BOOM Esports, Gary Ongko Putera, COO Alter Ego, Indra Hadiyanto, Vice President of EVOS Performance, Aldean Tegar Gemilang alias Dean, dan CEO Morph Team, Yohannes “Joey” Siagian.
Dean mengaku, rata-rata, pemain profesional EVOS Esports akan bertahan di sana selama 2-3 tahun. Senada dengan Dean, Indra mengungkap, kebanyakan pemain Alter Ego akan mengenakan seragam tim tersebut selama lebih dari 2 tahun. Sementara untuk pemain Morph, Joey mengungkap, kebanyakan dari mereka bisa bertahan selama sekitar satu season atau lebih dari satu tahun. Menurutnya, salah satu alasan mengapa hal ini terjadi adalah karena umur Morph yang relatif muda. Selain itu, perubahan roster di tim esports memang cenderung lebih cepat dari olahraga lain.
Saat membahas tentang berapa lama pemain BOOM bertahan, Gary mengatakan, rata-rata, pemain BOOM Esports akan bermain untuk tim selama 1-2 tahun. Namun, dia menegaskan, ketika seorang pemain memutuskan untuk keluar dari BOOM, hal itu bukan berarti dia akan pensiun. Bisa jadi, dia akan terus melanjutkan karirnya di tim profesional lain. Dan ketika ditanya apakah pemain keluar atas keinginan pemain sendiri atau karena keputusan BOOM, Gary menjawab, “A bit of both. Standar esports/olahraga saja. Players come and go.”
Selama ini, turunnya reaction time seiring dengan bertambahnya umur diduga sebagai salah satu alasan mengapa pemain profesional cenderung pensiun dini. Apalagi karena jika reaction time seseorang sudah turun, maka dia tidak akan bisa memulihkannya kembali. Tentang hal ini, Gary menganggap bahwa asumsi itu tidak sepenuhnya benar. Dia mengatakan, pemain profesional tidak akan kehilangan kemampuannya begitu saja hanya karena usianya bertambah. Menurutnya, apa yang terjadi adalah anak-anak muda dapat mengasah kemampuan bermain mereka dengan begitu cepat sehingga mereka bisa menyaingi kemampuan para pemain lama.
“Jadi, misalnya, di tahun pertama sebuah game diluncurkan, akan ada 10 orang yang bisa menjadi pemain jago. Di tahun kedua, akan ada pemain baru yang bisa melihat replay dari 10 pemain jago di tahun pertama,” jelas Gary, saat dihubungi melalui pesan singkat. “Dengan begitu, para pemain baru bisa belajar dengan lebih cepat. And it repeats. Alhasil, dalam 1-2 tahun, biasanya, akan muncul ‘pemain bintang’ baru. Karena, bahan yang bisa dipelajari untuk bisa menjadi jago juga semakin banyak.”
Gary menjadikan VALORANT sebagai contoh. Ketika game itu baru dirilis oleh Riot Games pada Juni 2020, tidak banyak referensi gameplay yang ada dari game FPS tersebut. Jadi, saat itu, untuk mengetahui apakah seorang pemain VALORANT jago atau tidak, tolok ukur yang digunakan hanyalah pure raw aim.
Lebih lanjut Gary menjelaskan, setelah kompetisi VALORANT profesional mulai digelar, maka para pemain akan punya referensi tentang gameplay dan strategi yang bisa mereka pelajari. Karena referensi yang ada sudah lebih banyak, pemain baru akan bisa dengan cepat mengasah kemampuan mereka dalam bermain. Sehingga, dalam waktu singkat, mereka akan bisa memiliki kemampuan yang tidak kalah dari pemain lama. “Terus, karena mereka masih muda, jadi refleks mereka lebih bagus begitu,” ungkap Gary. “Kemungkinan, mereka bisa menjadi ‘dewa’ hanya dalam waktu 1-2 tahun.”
Sementara itu, Indra mengatakan, ada banyak alasan mengapa seorang pemain profesional memutuskan untuk mundur. “Bisa karena ingin pensiun, tidak cocok dengan teammates, ingin menjadi content creator, ingin meneruskan pendidikan, atau bekerja,” ujarnya. “Tak hanya itu, ada juga yang mengundurkan diri karena masa kontrak yang telah habis dan pemain tersebut tidak mau memperpanjang kontrak.”
Menurut Joey, alasan seorang pemain profesional mengundurkan diri memang beragam. “Paling sering karena mau melanjutkan pendidikan, karena keluarga, atau faktor eksternal,” ujarnya. “Kadang, juga karena mereka ingin pindah ke tim lain atau karena sudah jenuh.”
Walau umur karir pemain profesional tidak lama, kabar baiknya, setelah pensiun, mantan atlet esports masih akan bisa mencari nafkah di industri esports. Misalnya, dengan menjadi analis atau pelatih tim. Selain itu, mantan pemain profesional juga bisa bergabung dengan penyelenggara turnamen atau menjadi kreator konten, seperti yang disebutkan oleh Indra.
Menurut Gary, apa yang dilakukan oleh pemain profesional setelah dia pensiun tergantung pada individu masing-masing. “Kemungkinan besar ya, transisi ke pekerjaan biasa,” katanyanya. “Mungkin, untuk pemain yang memang sangat sukses, bisa investasi atau membuka perusahaan.” Satu hal yang pasti, hampir mustahil bagi pemain profesional yang pensiun dari skena esports untuk pindah haluan ke game esports lain. “Kalau kita menjadi pemain Dota 2 profesional, terus Dota 2 mati, kan kita belum tentu bisa menjadi pemain CS:GO, karena skill-nya berbeda. Jadi kemungkinan besar ya, bekerja seperti biasa.”
Menjadi streamer atau kreator konten adalah salah satu opsi bagi pemain profesional yang telah pensiun. Terkait hal ini, Gary juga menyebutkan, tidak semua mantan pemain profesional tertarik untuk menjadi streamer atau kreator konten. “Ya tergantung orangnya,” ungkapnya. “Karena, menjadi pemain profesional dan menjadi streamer adalah dua pekerjaan yang berbeda.”
Sementara itu, di EVOS, Dean bercerita, tidak banyak pemain profesional mereka yang mengajukan pengunduran diri. Kebanyakan dari mereka hanya meminta waktu untuk rehat.
Kenapa Pemain Profesional Pensiun?
Melihat banyaknya kejuaraan yang dimenangkan oleh para pebulu tangkis Indonesia, tidak heran jika ada banyak anak yang bercita-cita untuk menjadi seperti Susi Susanti atau Taufik Hidayat. Namun, menjadi pebulu tangkis profesional bukanlah perkara gampang.
Menurut Olahragapedia, salah satu cara bagi seseorang untuk bisa menjadi pemain bulu tangkis profesional adalah dengan mengikuti pembinaan dini. Pembinaan dini itu bisa diikuti oleh anak dan remaja berumur 6-14 tahun Dari sini, terlihat bagaimana orang-orang yang ingin menjadi pebulu tangkis profesional harus rela menghabiskan waktu selama bertahun-tahun untuk berlatih dan mempersiapkan diri.
Sementara itu, di esports, seseorang tidak perlu menghabiskan waktu selama bertahun-tahun untuk bisa menjadi pemain profesional. Bukan berarti saya mengatakan bahwa menjadi atlet esports profesional adalah hal yang mudah — sebelum ini, Hybrid.co.id pernah membahas berbagai pengorbanan yang harus dilakukan oleh pemain profesional. Namun, jika dibandingkan dengan waktu yang harus dikorbankan seseorang untuk menjadi atlet olahraga tradisional profesional — seperti bulu tangkis — waktu yang dibutuhkan bagi seorang gamer untuk bisa menjadi pemain profesional relatif lebih singkat.
Pertanyannya: apakah keputusan pemain profesional untuk pensiun dini dipengaruhi oleh fakta bahwa waktu yang dia perlukan untuk bisa menjadi atlet esports relatif singkat? Menurut Indra, jawabannya adalah iya. Karena waktu yang diperlukan untuk menjadi pemain profesional relatif lebih singkat dari menjadi atlet olahraga tradisional, maka ara pro player pun cenderung rela untuk pensiun dini. Dia mengaku, tidak sedikit pemain profesional di Indonesia yang “easy come, easy go“.
“Ada yang sudah mendapatkan achievement, lalu pensiun dan menjadi kreator konten,” ujar Indra. “Tapi, kembali lagi, setiap individu memiliki sudut pandang dan background hidup yang berbeda-beda.” Dia lalu menjelaskan, menjadi kreator konten adalah pekerjaan yang lebih individualistis daripada menjadi pemain profesional. Ketika seseorang menjadi kreator konten, dia tidak perlu khawatir apakah dia akan bisa berbaur dengan rekan satu timnya. Selain itu, potensi pemasukan yang bisa didapat oleh kreator konten juga lebih besar dari pemain profesional.
“Semakin rajin dan aktif seseorang di komunitas esports, maka semakin besar pula pendapatan yang bisa dia dapat dengan menjadi kreator konten, dari ad sense, endorsement, maupun dari platform streaming,” kata Indra. “Sedangkan, untuk menjadi pro player, banyak sekali yang harus dikorbankan. Salah satunya adalah waktu.”
Indra bercerita, sebagai pemain profesional, seseorang harus rela berkumpul di gaming house dan siap melakukan latihan intensif selama sekitar 4 bulan dalam 1 season besar di Indonesia. “Namun, untuk menjadi kreator konten yang bisa disukai dan memiliki pengikut yang setia, salah satu caranya adalah dengan melewati fase sebagai pro player. Dan dari sana, dia baru bisa dikenal di kalangan esports,” ujarnya. “Karena, kembali lagi ke individu para pemain masing-masing. Ada yang realistis, ada yang masih penasaran untuk bisa mendapatkan achievement dalam hidupnya.”
Sementara itu, Dean percaya, tidak seimbangnya pemasukan sebagai kreator konten dan pemain profesional menjadi salah satu alasan mengapa sebagian pro players tergiur untuk pensiun dan meniti karir sebagai kreator konten.
“Bisa jadi, masalah utama yang ada adalah karena pendapatan di luar pemain profesional lebih besar,” kata Dean. “Dan beban kerjanya lebih mudah daripada menjadi pro player yang jadwalnya padat dan juga lelah secara fisik dan mental.” Namun, dia menekankan, hal ini tidak terjadi pada semua pemain, khususnya para pemain yang sudah pernah bertanding di level tertinggi.
Joey menganggap, karena waktu yang diperlukan untuk menjadi pemain profesional relatif singkat, maka sebagian orang menganggap bahwa melepas kesempatan itu bukan masalah besar. Namun, menurutnya, salah satu alasan utama mengapa karir pemain profesional cenderung singkat adalah karena esport merupakan cabang olahraga yang relatif baru.
“Sains esports belum berkembang sesuai dengan perkembangan ekosistemnya,” ujar Joey. “Dan juga, belum ada best practice untuk memperpanjang karir pemain, baik dari segi mental maupun fisik. Sehingga, karir atlet esports relatif lebih pendek.” Lebih lanjut dia menjelaskan, alasan lain mengapa pemain profesional cenderung tidak punya karir panjang adalah karena pekerjaan sebagai atlet esports masih punya stigma negatif.
“Esports masih belum dianggap sebagai pekerjaan ‘benar’ oleh banyak orang, bahkan oleh atlet esports sendiri,” kata Joey. “Sehingga, seringkali ada dorongan atau keinginan untuk mencari profesi yang lebih diterima.”
Gary memiliki pandangan yang berbeda dari Indra, Dean, dan Joey. Menurutnya, esports dan olahraga adalah dunia yang “top heavy“. Dan dia merasa, tidak semua orang bisa menjadi atlet esports terbaik.
“Jadi, mungkin, para ‘pro player‘ sebenarnya tidak profesional banget,” ungkap Gary. “Kalau berbicara soal pemain profesional yang memang pro banget, ya contohnya seperti blaZek1ng.” Pemain yang dia maksud adalah Gary “blaZek1ng” Dastin, pemain CS:GO Indonesia yang kini bermain untuk tim VALORANT BOOM Esports. “Dia sudah menjadi pemain CS:GO profesional sejak sekitar 2016. Jadi, sudah hampir 6-7 tahun menjadi pemain profesional. Tapi, ya, that’s best of the best.”
Gary menyebutkan, pemain profesional yang memutuskan untuk penisun muda, mungkin saja mereka memang tidak memiliki kemampuan untuk menjadi pemain yang terbaik. Kemungkinan lainnya adalah dia memang tidak memiliki “drive” atau keinginan untuk mendapatkan gelar “terbaik”. “Dan mungkin, di dunia nyata, they need to grow up and the can’t keep up.”
Lalu, apakah padatnya jadwal turnamen juga menjadi faktor yang mendorong pemain profesional untuk pensiun dini? Dean mengatakan, di skena mobile esports, setiap tahun, akan ada dua liga major lokal dan dua international events. “Cuma ya, seperti yang saya sebutkan sebelumnya, dibandingkan dengan jadwal dari kreator konten atau streamer, jadwal para pemain profesional itu membuat lelah fisik dan mental,” katanya.
Apa yang Bisa Buat Karir Sebagai Pemain Profesional Panjang?
Tidak semua pemain profesional mau pensiun dini. Sebagian dari mereka juga ingin memiliki karir yang panjang. Karena itu, sekarang, saya akan membahas tentang apa saja yang seseorang harus lakukan jika dia ingin berkarir sebagai pro player dalam waktu lama. Menurut Gary, elemen paling penting yang harus dimiliki seseorang untuk bisa menjadi pemain profesional adalah dedikasi.
“Ketika seseorang mau jadi pro player, pada awalnya, mungkin dia memang bisa. Tapi, apa dia akan tetap termotivasi dalam 2-3-4-5 tahun kemudian?” ujar Gary. “Saat ada game baru, saat dia punya pacar, apa dia akan tetap berdedikasi? Di saat dia sudah menjadi juara, apakah dia tetap mau menjadi juara atau satu juara saja sudah cukup?”
Senada dengan Gary, Indra mengatakan, memiliki tujuan bisa membantu seseorang untuk membangun karir sebagai pemain profesional yang panjang. “Kalau punya tujuan, pasti akan lebih fokus untuk mengejar suatu target,” katanya. “Pasti tahu do’s dan don’ts-nya.” Dia menambahkan, hal lain yang harus dimiliki oleh pemain profesional adalah perilaku yang baik. “Karena kemampuan untuk bisa nge-tim adalah salah satu hal yang bisa membuat karir pemain profesional bertahan lama.”
Terakhir, Indra mengungkap, karir seseorang sebagai pemain profesional akan bisa menjadi lebih lama ketika dia punya personal brand. “Karena kita hidup di industri hiburan. Punya branding yang memang unik, sehingga punya followers, yang tentunya berguna untuk karir ke depan, setelah pensiun sebagai pemain profesional,” tutup Indra.
Kesehatan fisik juga menjadi hal lain yang harus diperhatikan oleh pemain profesional jika dia ingin memiliki karir yang panjang. Tidak sedikit atlet olahraga yang harus pensiun karena cedera. Atlet esports bukan pengecualian. Pemain profesional bisa menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk berlatih. Karena itu, jika tidak hati-hati, mereka bisa mengalami cedera atau masalah kesehatan lainnya. Cedera pada pergelangan tangan adalah salah satu masalah yang paling sering dihadapi oleh pemain profesional, menurut Clutch Point.
Selain cedera, masalah kesehatan lain yang bisa dihadapi oleh pemain profesional adalah diabetes. Salah satu profesional yang mengalami hal ini adalah Jian “Uzi” Zihao. Dalam sebuah wawancara dengan Nike, Uzi mengatakan, dia terkena diabetes tipe-2 karena selama bertahun-tahun, dia selalu tidur larut, memakan makanan yang banyak lemak, dan terus ada di bawah tekanan.
Memang, diet yang seimbang juga penting bagi pemain profesional. Karena itu, sebagain organisasi esports besar bahkan mempekerjakan chef demi memastikan para pemainnya mendapatkan makanan dengan gizi dan nutrisi seimbang. Dua contoh organisasi esports yang memiliki chef adalah T1 dan Team Liquid. Jika pemain profesional tidak memperhatikan diet mereka, bisa jadi, mereka akan terkena penyakit yang bisa membahayakan karirnya.
Kesimpulan
Sekilas, menjadi pemain profesional adalah pekerjaan yang mudah: Anda “hanya” perlu bermain game. Namun, pada kenyataannya, menjadi atlet esports tidak segampang yang dikira oleh banyak orang. Pada akhirnya, menjadi pemain profesional tetaplah sebuah pekerjaan. Karena itu, seorang atlet esports bisa saja merasa jenuh dengan aktivitasnya, apalagi jika bermain game merupakan hobinya. Selain itu, pemain profesional juga bisa saja tergoda untuk mencari pekerjaan lain, seperti menjadi kreator konten. Tentu saja, mereka juga bisa memutuskan untuk berhenti karena mereka ingin melanjutkan pendidikan mereka atau mencari pekerjaan yang lebih konvensional.
Jika pemain profesional cenderung pensiun lebih cepat dari pekerja kantoran atau bahkan atlet olahraga tradisional, hal ini terjadi karena atlet esports biasanya memang memulai karirnya ketika mereka masih sangat muda. Selain itu, esports memang cabang olahraga yang relatif muda jika dibandingkan dengan olahraga tradisional, seperti sepak bola atau basket. Karena itu, banyak pelaku industri esports, termasuk pemain profesional, yang masih “coba-coba” untuk mencari tahu cara terbaik untuk melakukan sesuatu di industri competitive gaming.
Sumber header: Red Bull