Pada September 2020, Team Liquid memamerkan markas baru mereka di Utrecht, Belanda. Satu hal yang menarik, Team Liquid tidak hanya menyediakan puluhan PC canggih, mereka juga mempekerjakan dua chef untuk menyiapkan makanan bagi para atlet esports mereka.
Sama seperti atlet olahraga tradisional, pemain profesional harus siap menanggung beban mental. Namun, berbeda dengan olahraga konvensional, esports tidak mengadu fisik para pemainnya. Sebaliknya, atlet esports menghabiskan banyak waktu mereka duduk diam di hadapan komputer atau smartphone untuk berlatih dan bertanding. Meskipun begitu, Team Liquid tetap ingin memastikan para pemainnya mendapatkan asupan nutrisi yang memadai. Dan jangan salah, Team Liquid bukan satu-satunya organisasi esports yang memerhatikan pola makan para atletnya.
Pertanyaannya…
Seberapa Penting Kebugaran Fisik dan Pola Makan untuk Atlet Esports?
Ketika ditanya apakah kebugaran fisik dan pola makan seimbang penting bagi atlet esports, Yohannes Siagian, Direktur dari Somniun Esports dan juga Wakil Ketua Bidang Pengembangan Atlet dan Prestasi, PB Esports, menjawab dengan tegas, “Ya. Sangat.” Dia menganalogikan tubuh atlet esports layaknya hardware dari PC. Para pemain profesional selalu menggunakan PC gaming dan aksesori berkualitas tinggi karena semua itu akan berpengaruh pada performa mereka. “Periferal yang bagus akan lebih responsif dalam mengirim sinyal ke gadget atau PC, jadi permainan sang atlet bisa lebih bagus,” kata pria yang akrab dengan panggilan Joey ini.
“Cuma, player suka salah paham. Mereka pikir, periferal dan interface gadget saja yang penting. Padahal, itu baru sebagian prosesnya,” ujar Joey. “Kita tekan tombol di mouse, kirim sinyal ke komputer, upload ke internet, kena server, karakter menembak. Di bagian ini, ‘alat’ yang diperlukan adalah mouse, keyboard, internet, dan lain sebagainya. Kita mau mouse bagus, CPU cepat, dan internet optimal agar ‘perintah’ dari tangan ke karakter bisa disampaikan dengan sebaik mungkin.
“Tapi, kita lupa bahwa perintah itu tidak datang dari tangan kita. Tangan kita juga hanya ‘periferal’ yang melanjutkan sinyal. Sebelum sinyal sampai ke tangan, perjalanan yang dilalui sudah jauh. Situasi diterima dari mata dan telinga ke otak melalui sistem syaraf, diolah, diputuskan langkah terbaik, otak memberi perintah ke badan, sinyal berjalan ke otot, yang bergerak untuk melakukan perintah dan mengklik mouse. Di bagian ini, badan sang atlet menjadi ‘alat’ dan ‘jaringan’. Dari sini, langsung terlihat jelas mengapa kondisi fisik atlet esports sangat penting.”
Yohannes menjelaskan, seorang atlet esports bisa menjaga kebugaran fisik mereka dengan melakukan olahraga, menjaga pola makan serta memastikan asupan nutrisi mencukupi, dan istirahat yang cukup. “Badan sebenarnya adalah salah satu ‘tool‘ yang mendukung interaksi dari ‘otak’ ke ‘karakter’, sama seperti mouse, internet, dan gadget,” kata Joey. “Kalau kita rela keluar uang banyak untuk peralatan demi menaikkan performa, logikanya kita juga akan rela investasi waktu dan usaha untuk menjaga agar kondisi tubuh tetap optimal.”
Atlet Esports vs Atlet Olahraga Tradisional di Indonesia
Lalu, apakah organisasi esports di Indonesia sudah menyadari pentingnya kebugaran fisik dan pola makan sehat bagi para pemainnya? Menurut Yohannes, kebanyakan organisasi esports di Indonesia sudah menyadari hal itu. Sayangnya, mereka belum dapat menjaga kebugaran fisik para pemainnya dengan optimal. Misalnya, organisasi esports telah menyediakan jadwal olahraga untuk para pemainnya, tapi jadwal tersebut masih belum rutin.
Selain olahraga fisik, pola makan juga penting bagi para atlet esports. Ia mengatakan, idealnya, organisasi esports punya ahli gizi untuk memastikan bahwa para pemain profesional mendapatkan asupan gizi yang seimbang. Dia menyebutkan, walau memiliki ahli gizi yang juga paham esports memang ideal, ahli gizi pada umumnya juga bukan masalah.
Memang, di dunia olahraga tradisional, asupan gizi yang diperlukan oleh para atlet profesional berbeda dengan orang biasa. Jumlah kalori, lemak, protein, dan karbohidrat yang dibutuhkan oleh seorang atlet profesional biasanya tergantung pada olahraga dan posisi yang dia pegang. Tidak jarang, seorang atlet puya ahli gizi dan juga dokter spesialis untuk memastikan bahwa dia memiliki diet dan pola makan yang benar. Dokter Spesialis Gizi, dr. Nessa Wulandari, MGizi, SpGK menekankan betapa pentingnya bagi atlet untuk memathui diet yang telah ditentukan.
“Di sini diperlukan komitmen atlet dengan motivasi pribadi pada karirnya,” ujar Nessa, seperti dikutip dari CNN Indonesia. Sang atlet harus sadar bahwa kebugaran tubuhnya akan berdampak langsung pada performa dan keberlangsungan karirnya sebagai atlet. Karena itu, mereka harus menjaga makanan yang mereka makan. Salah satu contoh makanan yang pantang dimakan oleh seorang atlet profesional adalah gorengan. Pasalnya, gorengan mengandung minyak tinggi, yang membuat lemak tak jenuh dalam tumbuh menumpuk.
“Sebagai atlet elit atau profesional, seseorang harus jaga tubuhnya sendiri dan menjadikan tubuhnya sebagai aset untuk karirnya,” ujar Dokter Spesialis Keolahragawan, Dr. Andi Kurniawan. “Kalau asetnya, tubuhnya tidak dijaga, karir tidak akan meningkat, ya percuma. Sebagai atlet harus sadar diri, tidak ada alasan. Kalau tidak dijaga asetnya, pasti asetnya akan kewalahan.” Sayangnya, Andi mengaku, kesadaran atlet Indonesia akan pentingnya pola makan yang sesuai masih kurang. “Di Indonesia, masih sangat minim kepedulian atletnya, bahkan pembinanya. Bahkan, tidak semua tim punya nutrisionis,” ujarnya.
Mengapa Nutrisi Penting untuk Atlet Esports?
Team Liquid bukan satu-satunya organisasi esports yang mempekerjakan chef untuk memastikan timnya mendapatkan asupan nutrisi yang sesuai. Salah satu organisasi esports lain yang juga memiliki chef adalah Counter Logic Gaming (CLG). Organisasi esports asal Los Angeles, Amerika Serikat itu mempekerjakan seorang fine-dining chef, Andrew Tye sebagai Head of Food Operations. Salah satu tugasnya adalah menyiapkan makanan bernutrisi sesuai dengan kebutuhan para pemain. Untuk itu, dia bahkan bekerja sama dengan ahli gizi. Selain itu, dia juga bertanggung jawab atas staf dan kegiatan operasional di dapur.
Tye menjelaskan, saat membuat menu untuk para pemain CLG, prioritasnya adalah untuk memastikan mereka memiliki energi yang cukup sepanjang hari. Memang, para pemain esports tidak dituntut untuk melakukan kegiatan fisik, seperti atlet olahraga tradisional. Namun, mereka tetap harus berkonsentrasi dalam waktu lama. Di musim turnamen, pemain profesional di CLG bisa menghabiskan waktu selama 12 jam untuk berlatih dan berdiskusi tentang performa mereka.
“Inilah alasan mengapa para pemain harus mendapatkan makanan bernutrisi, agar tenaga mereka tetap optimal sepanjang hari,” kata Matt Nashua, Head of Esports, CLG, dikutip dari Men’s Health. “Kami memberikan makanan bernutrisi agar para pemain kami bisa fokus pada latihan.”
Untuk memastikan para pemain punya cukup energi, Tye membuat menu protein tinggi rendah karbohidrat untuk para pemain CLG. “Kami tidak menghilangkan karbohidrat sama sekali karena karbohidrat merupakan salah satu sumber energi utama bagi tubuh kita. Namun, jika seseorang mengonsumsi makanan kaya karbohidrat, hal ini dapat membuat mereka mengantuk, sesuatu yang ingin kami hindari,” katanya.
Sebagai seorang chef, Tye tidak hanya harus membuat makanan dengan nutrisi seimbang untuk para pemain CLG. Dia juga bisa membuat makanan khas sebuah negara demi mengobati homesickness yang dialami oleh para pemain asing. Dia mengungkap, dia terkadang membuat makanan Korea untuk meringankan rasa kangen rumah yang dialami oleh para pemain asal Korea Selatan.
Masalah Nutrisi di Dunia Esports
Sebagai atlet esports, seseorang memang tidak dituntut untuk melakukan kegiatan berbahaya — seperti lineman yang bertugas memperbaiki kabel listrik atau pemadam kebakaran — tapi mereka harus duduk diam dalam waktu lama. Dan hal ini bisa meningkatkan risiko penyakit kronis bagi atlet esports, menurut studi yang diunggah oleh International Journal of Environmental Research and Public Health.
Masalah lain yang biasa dihadapi oleh para atlet esports adalah dehidrasi. Alasannya, merek energy drink, seperti Red Bull, cukup aktif dalam mensponsori organisasi esports. Jadi, banyak pemain profesional yang lebih sering meminum energy drink daripada air. Menurut Lindsey Migliore, dokter spesialis esports medicine, yang juga dikenal dengan nama “GamerDoc”, mengganti air dengan energy drink justru bisa menyebabkan masalah kesehatan pada para atlet esports di masa depan.
“Energy drink mengandung gula, kafein, dan bahan pengawet,” kata Migliore kepada The Esports Observer. “Anda bisa mendapatkan kafein dari secangkir kopi. Jika Anda memerlukan kafein, Anda bisa meminum kopi, tapi berhentilah mengonsumsi minuman yang penuh gula dan bahan pengawet.” Migliore menambahkan, meminum terlalu banyak energy drink dapat membebani ginjal dan justru menyebabkan dehidrasi. Dia menyamakan kebiasaan buruk para atlet esports dengan dokter magang yang bekerja selama 80 jam seminggu dan sering meminum energy drink.
“Studi tentang dokter magang yang bekerja selama 80, 90, sampai 100 jam seminggu menunjukkan, banyak dari mereka yang berpotensi mengalami gagal ginjal karena mereka tidak cukup minum. Mereka terus meminum kopi dan energy drink,” ujar Migliore. “Sayangnya, tidak ada studi yang menunjukkan dampak meminum kopi dan energy drink terus-menerus pada atlet esports. Namun, saya bisa membayangkan, kebiasaan itu akan membebani ginjal Anda.”
Kabar baiknya, organisasi esports kini semakin memerhatikan kesehatan para atletnya, menurut Taylor Johnson, Chief Performance Engineer, Statespace. Dia mengungkap, kesehatan fisik para pemain esports merupakan topik yang semakin sering dibahas. Tak hanya itu, organisasi-organisasi esports juga berlomba-lomba dalam mencari cara terbaik untuk memastikan para atlet mereka mendapatkan asupan nutrisi yang memadai.
Untuk itu, organisasi esports besar, seperti Team Liquid, biasanya akan mempekerjakan chef atau ahli nutrisi. Sayangnya, tidak semua organisasi esports dapat melakukan hal itu, apalagi organsiasi esports yang memiliki dana terbatas. Walaupun begitu, menurut Johnson, peran ahli nutrisi sebenarnya bisa dialihkan ke pelatih. Dia merasa, pelatih tim esports seharusnya tidak hanya paham tentang strategi dalam game, tapi juga bisa membantu para pemain asuhannya untuk membangun gaya hidup yang lebih sehat.
“Di olahraga tradisional, ada pelatih atletis yang bertanggung jawab atas kesehatan para pemain,” ujar Migliore. “Di esports, tugas ini dipegang oleh sang pelatih. Hanya saja, biasanya, pelatih tim esports masih sangat muda. Jadi, mereka mungkin tidak terlalu paham tentang nutrisi seimbang. Organisasi esports sebaiknya memberikan edukasi sederhana pada para pelatih. Misalnya, tentang karbohidrat sederhana dan kompleks, apa yang harus pemain makan saat mereka akan bertanding dan apa yang harus pemain makan saat sedang latihan.”
Kesimpulan
Mens sana in corpore sano. Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat. Sebagai profesional, atlet esports harus menghadapi tekanan mental yang luar biasa. Jadi, tidak aneh ternyata kebugaran fisik mereka juga punya pengaruh yang signifikan pada performa mereka.