Those who cannot remember the past are condemned to repeat it. Karena itulah, sebagian orang berusaha untuk melakukan preservasi pada berbagai media budaya, mulai dari buku, musik, sampai film. Karena, budaya tidak hanya mencerminkan pengetahuan dari sebuah masyarakat, tapi juga seni mereka. Dan selama berpuluh-puluh tahun, akademisi dan praktisi industri game menganggap, game seharusnya dilestarikan, sama seperti media budaya lainnya. Karena, dampak game ke budaya masyarakat tidak kalah penting dari media lain, seperti buku atau film.
Memang, sekarang, seiring dengan semakin banyaknya jumlah gamer, game pun menjadi semakin relevan dengan budaya di dunia. Dan jika media seperti buku, musik, atau film dipelihara dengan harapan generasi muda bisa belajar dan menikmati media-media tersebut bahkan di masa depan, bukan hal yang aneh jika akademisi dan advokat industri game ingin melakukan hal yang sama dengan game.
Apa itu Preservasi Game dan Apa Tujuannya?
Dari segi definisi, preservasi atau pelestarian game sebenarnya sama seperti preservasi dari media lain, seperti pelestarian pustaka. Menurut International Federation of Library (IFLA), pelestarian pustaka adalah semua aspek usaha untuk melestarikan bahan pustaka, keuangan ketenagaan, metode, dan teknik serta penyimpanannya. Sementara itu, pelestarian game atau game preservation adalah langkah-langkah yang diambil untuk memastikan agar game-game lawas tetap bisa diakses dan dimainkan di masa depan.
Lalu, kenapa game harus dilestarikan? Sederhana saja, seiring dengan semakin populernya game dan semakin banyaknya orang yang bermain game, semakin relevan pula budaya game pada budaya masyarakat. Pada 2023, diperkirakan, jumlah gamers akan mencapai lebih dari 3 miliar orang, hampir 40% dari total populasi dunia. Industri game tak hanya berkembang dari segi jumlah pemain, tapi juga dari segi uang yang dihasilkan. Pada 2021, nilai industri game mencapai US$180 miliar. Sebagai perbandingan, nilai industri film dan musik pada 2021 diperkirakan mencapai US$308,97 miliar.
“Sejarah game merupakan bagian dari budaya serta sejarah tentang media dan dunia intelektual,” kata Henry Lowood, kurator untuk koleksi film dan media di Stanford University Libraries, dikutip dari The Washington Post. “Mustahil untuk membahas sejarah tentang budaya dan dunia intelektual secara keseluruhan tanpa mendiskuskikan game yang dibuat sejak tahun 1970-an dan di era setelahnya.”
Kabar baiknya, publisher game biasanya memang akan melakukan preservasi dari game-game yang mereka rilis. Namun, selain publisher, juga ada pihak lain yang tertarik untuk melestarikan game. Salah satunya adalah Library of Congress. Saat ini, mereka punya arsip yang berisi lebih dari 170 juta teks, foto, film, rekaman musik, dan berbagai item lainnya. Tak hanya itu, mereka juga membuka pengajuan copyright atas game sejak akhir 1970-an. Untuk itu, pihak yang hendak mendapatkan hak cipta atas game yang mereka buat hanya perlu mengirimkan video rekaman dari gameplay untuk pengarsipan. Dengan kata lain, Library akan menyimpan video rekaman dari gameplay dan bukannya game yang bisa dimainkan.
David Gibson, salah satu archivist untuk Library of Congress mengatakan, Library punya koleksi berisi lebih dari 7 ribu games yang bisa dimainkan di 27 platform yang berbeda. Koleksi tersebut disimpan di National Audio-Visual Conservation Center, yang terletak di Virginia, Amerika Serikat. Walau jumlah game dalam koleksi Library terkesan sangat banyak, tapi, jika dibandingkan dengan jumlah moving images yang disimpan oleh Library, jumlah game yang mereka simpan sebenarnya sangat sedikit. Sebagai perbandingan, arsip dari moving images terdiri dari 1,5 juta items.
Gibson juga mengaku, koleksi Library masih jauh dari lengkap. Mereka sama sekali tidak memiliki data dari game-game yang dikeluarkan pada era 1980-an. Tak hanya itu, sebagian besar game yang dirilis pada era 1990-an juga tidak ada dalam koleksi Library. Pada 2012, Gibson mengakui, game memang merupakan salah satu media yang paling sulit untuk dilestarikan. Salah satu alasannya, karena untuk bisa memainkan game, seseorang memerlukan hardware dan software yang beragam. Masalah lain yang harus dihadapi dalam preservasi game adalah peraturan tentang hak cipta.
Faktanya, regulasi hak cipta merupakan salah satu tantangan terbesar bagi akademisi yang hendak melakukan prservasi game. Tidak heran, mengingat Entertainment Software Association (ESA) memang enggan untuk memberikan para akademisi izin untuk mengakses game-game lawas. Karena, game-game jadul masih bisa dihidupkan kembali dalam bentuk versi remake atau remaster. Dan argumen ESA memang masuk akal. Buktinya, beberapa tahun belakangan, kita kian sering melihat developer game membuat versi remake atau remaster dari game-game lawas.
Tak hanya itu, ESA juga berargumen, masih ada banyak game-game tua yang masih bisa diakses di platform distribusi game digital, seperti Microsoft Store. Jadi, jika ESA atau perusahaan game memberikan izin pada para archivists untuk mengakses game-game lama tanpa menghiraukan hak cipta, maka nilai ekonomis dari game tua tersebut akan hilang.
Kabar baiknya, sebagian perusahaan game juga peduli akan pelestarian game-game lawas. Jadi, tanpa bantuan atau dorongan dari para akademisi sekali pun, perusahaan-perusahaan game memang akan melestarikan game-game yang mereka buat. Hanya saja, para archivists tidak puas dengan solusi tersebut. Karena, hal itu berarti keputusan untuk menentukan game tua apa yang harus dilestarikan ada di tangan perusahaan game sepenuhnya. Padahal, saat seseorang mempelajari sejarah game, semakin banyak referensi game lawas yang bisa dia dapatkan, maka semakin baik.
Di Amerika Serikat, hukum hak cipta memang menawarkan pengecualian. Jadi, ada sekelompok orang tertentu yang boleh mengakses konten yang dilindungi oleh hak cipta. Contohnya, peneliti yang hendak menggunakan konten yang dilindungi hak cipta sebagai data riset. Pada 2018, para akademisi berhasil mendapatkan izin dari pengadilan untuk melestarikan game-game yang memang sudah tidak dijual. Pada 2021, mereka kembali maju ke pengadilan untuk mendapatkan izin agar mereka bisa mengakses game-game lawas yang tersimpan dalam arsip tanpa harus mendatangi lokasi penyimpanan game-game tua itu. Namun, pengadilan tidak memberikan izin tersebut.
ESA menjelaskan, jika para akademisi mendapatkan hak atas remote access dari game-game yang mereka lestarikan, hal ini bisa menyebabkan kerugian pada publisher. Wai L. Choy, pengacara dan rekan di Proskauer Rose LLP, lembaga hukum yang fokus pada kasus terkait Intellectual Property (IP) mengatakan, salah satu fungsi dari hukum hak cipta adalah untuk mendorong perusahaan agar mereka mau berinvestasi di game. Dan jika perusahaan yang telah menanamkan modal itu ingin untung, maka hukum tentang hak cipta harus ditegakkan.
Bagaimana Cara Melakukan Preservasi Game?
Pada 2016, Assistant Professor Of Computer Science · California State University Channel Islands, Eric Kaltman menulis artikel tentang preservasi game. Salah satu hal yang dia bahas dalam artikel itu adalah tentang cara untuk melestarikan game. Dia menjelaskan, sebelum melakukan preservasi game, seseorang harus menentukan lingkup dari preservasi yang akan dia lakukan, termasuk apa saja komponen dari game yang dianggap harus dilestarikan. Selain itu, pihak yang hendak melakukan preservasi juga harus mendefinisikan objek yang akan digunakan dalam proses preservasi.
Secara umum, dalam preservasi game, ada tiga elemen penting yang harus diselamatkan, menurut Kaltman. Ketiga hal itu adalah versi fisik dari game yang hendak dilestarikan, data yang tersimpan dalam media fisik tersebut, dan terakhir, hardware yang digunakan untuk memainkan game tersebut.
Lebih lanjut, Kaltman menjelaskan, orang-orang yang melakukan preservasi game biasanya fokus pada dua hal. Pertama, mengekstrak data dari media fisik — seperti cartridge atau CD. Kedua, memelihara media dan hardware yang diperlukan untuk menjalankan game yang hendak dilestarikan. Setelah data game diekstrak dari media fisik, game tersebut akan bisa dijalankan di emulator, yang memungkinkan game-game lawas untuk dimainkan di konsol atau komputer modern.
Kaltman menambahkan, sejauh ini, kreator emulator cenderung fokus pada game-game populer. Jadi, satt ini, telah ada emulator untuk game-game PC dan konsol populer sebelum era 2005 dengan performa yang memuaskan. Salah satu proyek pembuatan emulator adalah MAME Project, proyek untuk membuat emulator menggunakan kode open-source yang bisa digunakan secara gratis. Kaltman mengungkap, MAME Project sudah bisa memainkan game dari ratusan game systems. Hanya saja, tidak semua game system bisa berjalan dengan mulus.
Keberadaan emulator memang bisa sangat membantu archivists dalam proses preservasi game. Sayangnya, proses untuk memelihara media fisik dari game lebih sulit. Pasalnya, tanpa proses maintenance yang baik, hardware dan media penyimpanan game akan mengalami degradasi dari waktu ke waktu. Dan pada akhirnya, hardware atau storage game akan rusak dan tidak lagi bisa digunakan. Misalnya, game yang datanya disimpan di magnetic disk atau optical discs bisa menjadi tidak terbaca seiring dengan berlalunya waktu.
Kabar baiknya, konsol yang populer biasanya terjual dalam jumlah banyak. Sebagai contoh, per Juli 2021, total penjualan Sony PlayStation 4 mencapai 116 juta unit. Sementara total penjualan Nintendo Switch adalah 103,54 juta unit. Artinya, konsol-konsol itu akan lebih mudah untuk dicari di masa depan. Karena, jumlah orang yang memilikinya lebih banyak. Selain itu, konsol populer biasanya memiliki komunitas yang mengerti sisi teknis dari konsol tersebut. Jadi, mereka akan bisa mengerti cara memperbaiki atau memulihkan konsol yang telah rusak. Tidak tertutup kemungkinan, mereka bisa membuat alat untuk memainkan game-game dari konsol lawas. Sebagai contoh, saat ini, ada beberapa konsol baru yang didesain untuk memainkan game-game Nintendo Entertainment System (NES).
Tak hanya para akademisi atau peneliti industri game, beberapa perusahaan game besar pun sebenarnya cukup aktif dalam melakukan preservasi game. Pada 2011, manufaktur konsol seperti Microsoft, Nintendo, dan Sony mengungkap pandangan mereka tentang memelihara game tua. Marc Franklin, yang ketika itu menjabat sebagai Public Relations Director dari Nintendo mengungkap bahwa Nintendo mengerti nilai dari game-game tua. Karena, game-game lawas mereka juga punya pengaruh pada game-game baru yang mereka luncurkan.
“Kami memiliki game yang sudah berumur puluhan tahun dan menampilkan puluhan karakter yang masih populer sampai sekarang,” kata Franklin, dalam wawancara dengan Gamasutra. “Selain itu, beberapa game kami bahkan menjadi pelopor dari genre atau teknologi baru yang sekarang banyak digunakan di industri game.” Lebih lanjut dia mengatakan, Nintendo menyimpan banyak informasi dari game-game tua mereka, termasuk dokumen dan sketsa orisinal dari game-game lama mereka. “Menyimpan data dari game-game lawas memungkinkan kami untuk memperkenalkan game itu ke pemain lama dan pada saat yang sama, membiarkan gamers lama mengenang kembali masa-masa mereka memainkan game tersebut.”
Sementara itu, Ken Lobb dari Microsoft Game Studios menjelaskan, Microsoft memiliki departemen khusus untuk menyimpan hardware dan software game tua. Lebih dari satu copy dari setiap game yang Microsoft rilis disimpan di lingkungan dengan suhu dan kelembapan yang terkendali. Copy game tersebut akan disimpan di kantor Microsoft dan di tempat lain. Microsoft juga punya rencana untuk memindahkan data dari game-game yang dirilis sebelum tahun 2000, yang tersimpan di media storage lawas, ke storage yang lebih modern.
“Source code dan semua komponen lain dari game-game yang diluncurkan setelah era 2000 sudah disimpan dalam media storage modern yang bisa diandalkan. Dan game itu disimpan di lokasi yang aman, dengan suhu serta kelembapan yang terkendali,” kata Lobb. “Menyimpan source code dan membuat ulang sebuah game merupakan bagian dari program Business Continuity and Disaster Recovery (BCDR) kami.”
Sony Computer Entertainment of America juga memiliki sistem untuk memelihara game-game lama mereka. Dua divisi Sony yang punya peran penting dalam proses preservasi game adalah IT dan QA (Quality Assurance). Dua departemen itu bertugas untuk menyimpan source code dan aset dari game milik Sony. Selain itu, mereka juga bertugas untuk memindahkan data game ke media storage terbaru. Satu hal yang harus diingat, manajemen storage yang Sony gunakan di setiap region berbeda-beda. Setelah data game dipindahkan ke media storage modern, Sony akan menyimpan storage tersebut di lokasi yang aman dari bencana. Di tempat tersebut, Sony juga menyimpan devkits dan hardware tools.
Proses pemeliharaan game lawas ini berlaku untuk game-game buatan studio internal Sony. Sementara untuk preservasi dari game-game yang dibuat oleh developer pihak ketiga, hal itu akan tergantung pada kontrak yang Sony tanda tangani dengan pihak developer.
Tantangan Dalam Melakukan Preservasi Game
Dalam melakukan preservasi game, Sony mengatakan bahwa mereka menemukan dua tantangan yang harus mereka selesaikan. Pertama, ketika game memerlukan hardware atau software khusus untuk bisa dimainkan. Dalam kasus ini, Sony akan harus mencari cara untuk mempertahankan hardware atau software yang diperlukan. Jika musik atau video dalam game memerlukan card atau aksesori khusus, sementara aksesori itu tidak lagi diproduksi, Sony akan mempelajari apa yang perusahaan lain lakukan untuk menyimpan musik atau video yang memerlukan aksesori khusus tersebut.
Masalah lain yang Sony sering hadapi adalah BIOS dari chipset yang sudah terlalu tua. Karena hal itu bisa menyebabkan masalah pada storage PC atau development tools. Untuk menyelesaikan masalah itu, Sony biasanya akan mencari cara untuk melakukan pemeliharaan atau reflash dari BIOS untuk chipset tua.
Selain dua masalah yang Sony sebutkan, pihak yang hendak melakukan preservasi game masih harus menghadapi sejumlah tantangan lainnya. Salah satunya adalah fakta bahwa game merupakan media yang terus berubah. Seiring dengan berjalannya waktu, akan selalu muncul konsol dan hardware baru untuk memainkan game baru. Hal itu berarti, untuk bisa memainkan game-game lama, para peneliti atau akademisi biasanya harus mencari konsol tua, CD atau cartridge yang masih berfungsi, adapter, atau bahkan onderdil dari konsol lawas. Karena itulah, para archivists ingin agar ESA dan perusahaan game memberikan izin pada para peneliti dan akademisi untuk menggunakan emulator. Pasalnya, emulator bisa menampilkan simulasi dari sistem konsol dan memainkan game dari konsol itu.
“Bermain di emulator memang tidak memberikan pengalaman yang sama dengan memainkan game orisinal,” kata Adrienne Shaw, Associate Professor di Temple University. “Tapi, pengalaman memainkan game tua di emulator sudah cukup baik.” Namun, seperti yang sudah disebutkan di atas, penggunaan emulator biasanya akan memunculkan masalah baru, yaitu pelanggaran hak cipta.
Sebagai contoh, walau para archivists bisa saja melakukan porting dari game Super Mario Bros. untuk NES agar ia bisa dimainkan di browser di internet. Dengan begitu, orang-orang bisa mengakses, meneliti, dan menjadikan game itu sebagai referensi dengan bebas. Hanya saja, melakukan porting game Super Mario Bros. untuk NES ke browser merupakan pelanggaran akan hak cipta atas game tersebut.
Tak berhenti sampai di situ, game-game modern juga menawarkan tantangan unik bagi pihak yang hendak melakukan preservasi game. Karena, banyak game populer — seperti PUBG, Roblox atau Mobile Legends — yang merupakan game online. Jadi, untuk bisa memainkan game itu, seseorang harus terhubung ke server. Masalahnya, ketika publisher sudah menutup sebuah game online, mereka juga akan menonaktifkan server untuk game tersebut.
Faktanya, salah satu alasan mengapa publisher berhenti menyokong game online adalah karena pemasukan yang mereka dapatkan tidak sebanding dengan pengeluaran biaya untuk server. Jadi, jika archivists ingin melakukan preservasi game dan memastikan game-game online populer tetap bisa diakses bahkan setelah ia tidak lagi mendapatkan dukungan dari publisher, mereka harus menyediakan akses ke server online. Padahal, biaya untuk membayar server itu tidak murah.
“Game tidak lagi merupakan obyek yang stagnan,” kata Lowood, kurator di Stanford University Libraries. Dia mengatakan, sekarang, sebuah game terus berubah dan mendapatkan update. Hal ini mempersulit koleganya untuk melakukan preservasi game. “Kami juga ingin mencatat perilaku para gamers dan apa saja yang orang-orang lakukan saat mereka bermain game.”
Kesimpulan
Salah satu hal yang membedakan manusia dengan hewan adalah kemampuan kita untuk belajar dari pengalaman orang tua dan leluhur kita. Dengan begitu, kita bisa menghindari untuk membuat kesalahan yang sama dengan generasi sebelum kita. Setidaknya, secara teori, begitulah seharusnya. Walau pada kenyataannya, kita sebagai manusia sering membuat kesalahan yang sama seperti pendahulu kita.
Terlepas dari semua itu, tidak bisa dipungkiri bahwa sejarah bisa membantu kita dalam membuat keputusan di masa depan. Karena itulah, sejarah menjadi topik penting yang harus kita pelajari. Dan jika kita berbicara tentang sejarah, maka mau tidak mau, kita juga akan membahas tentang budaya masyarakat. Dari masa ke masa, budaya dan norma masyarakat cenderung berubah. Media hiburan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut.
Hal itu tidak aneh, mengingat media hiburan — seperti buku, musik, atau film — memang bisa digunakan untuk menyampaikan ideologi dari kreatornya. Hal ini juga berlaku untuk game. Karena itulah, para akademisi dan peneliti di industri game bersikukuh untuk melakukan preservasi atas game-game lawas.
Sumber header: PC Mag