Dark
Light

Kenapa Kian Hari Kian Banyak Remake, Remastered, dan Kawan-Kawannya di Industri Game?

8 mins read
August 24, 2020

Kian hari, nampaknya kian banyak game yang dibuat ulang (baik dalam bentuk remastered ataupun remake). Buat gamer console (gamer PC juga harusnya tahu) ada versi remake dari game legendaris, Final Fantasy VII (FFVII). Beberapa waktu yang lalu, ada juga 2 game versi remastered yang dirilis dalam waktu dekat, Mafia II dan Saints Row the 3rd.

Ini kita masih belum berbicara soal Skyrim dan GTA V yang diproduksi ulang sampai berkali-kali ke platform yang lebih baru. Skyrim bahkan punya 3 versi di PC, Skyrim, Skyrim Special Edition, dan Skyrim VR.

Proses reproduksi seperti ini sebenarnya, nyatanya tak hanya terjadi di industri game tetapi juga di berbagai jenis konten seperti lagu ataupun film/serial TV.

Apalagi jika kita berbicara ke game mobile, tidak sedikit juga yang game-game yang mengambil karakter-karakter yang sudah populer sebelumnya untuk dimasukkan ke dalam game baru — baik itu yang resmi ataupun tidak resmi.

Pertanyaan besarnya, kenapa hal ini bisa dan semakin sering terjadi di zaman sekarang?

Ada 5 jawaban dari perspektif berbeda yang sudah saya kumpulkan atas pertanyaan tadi. Jadi, tanpa basa-basi lagi, inilah kelima jawaban tersebut.

 

1. Low Cost and Low-Risk Effort of Business

Jawaban pertama di sini mungkin adalah yang paling gampang dipahami dan ditemukan oleh setiap orang. Semua bentuk usaha bisnis pasti memiliki resiko karena ada modal yang harus digelontorkan tetapi belum tentu laku di pasaran.

Via: Alex Ioana at Medium
Via: Alex Ioana at Medium

Dengan memproduksi ulang ide yang sudah ada, usaha produksi tentunya jadi lebih murah karena tidak butuh keseluruhan aspek untuk dikerjakan dari awal. Versi remastered misalnya, developer tak perlu lagi membayar pembuat plot cerita/storyline, perancang karakter, game designer, pengisi suara, pencipta musik, ataupun yang lainnya karena semuanya sudah ada. Developer hanya perlu meningkatkan kualitas tekstur dan fitur grafis saja di dalam remastered.

Versi remake di sisi lain memang butuh lebih banyak orang, waktu, dan biaya. Seperti saat FFVII dibuat ulang, developer harus membuat ulang game tersebut dari banyak segi namun tetap saja ada satu faktor lagi yang membuatnya lebih rendah resikonya, yaitu pasar (audience).

FFVII adalah salah satu game legendaris dari zaman PlayStation pertama. Justru Anda yang keterlaluan jika Anda belum pernah mendengar game yang satu ini — terlepas pernah memainkannya atau tidak. Dengan begitu, sang developer/publisher tak perlu khawatir akan mencari pasar baru karena sudah terbukti ada.

Borderlands 3. Credits: 2K
Borderlands 3. Credits: 2K

Mencari pasar baru ini memang faktanya tak semudah itu. Gearbox misalnya yang beberapa tahun silam menciptakan Battleborn. Sayangnya, usaha mereka mengenalkan franchise baru tak berhasil. Hal tersebut berarti waktu, usaha, dan modal yang dikeluarkan untuk menciptakan Battleborn jadi tak sepadan dengan keuntungan materiilnya. Gearbox bahkan lebih sukses dengan Borderlands 3 (meski bentuknya sekuel, bukan remake apalagi remastered) karena pasarnya tadi sudah ada sejak BL2 ataupun BL1.

Saya kira hal ini juga yang jadi alasan kenapa banyak game-game mobile yang menawarkan nilai rendah dari aspek autentisitas (meski memang konsep autentisitas/keaslian itu juga bisa diperdebatkan lebih jauh, yang akan kita bahas di bagian terakhir). Dari pengalaman saya memerhatikan industri game mobile, memang nyatanya sebagian besar (jika tidak bisa dibilang semua) game yang ada di sini terinspirasi (atau meniru) dari produk lainnya baik dalam satu aspek atau lebih, dari soal gameplay ataupun karakter.

Sebelum kita pindah ke alasan kedua, yang berasal dari perspektif pengguna, saya ingin menyampaikan bahwa remake, remaster, sekuel/prekuel, spin-off, ataupun yang lainnya yang tidak sepenuhnya orisinal itu belum tentu negatif juga sebenarnya.

Saya juga memainkan kembali saat Bethesda merilis kembali Skyrim Special Edition (berhubung gratis juga buat para pemilik Skyrim awal dengan semua DLC-nya). Saya juga salut dengan usaha Square Enix membuat kembali FFVII Remake.

Meski memang hal-hal yang tak sepenuhnya orisinal itu bisa dibilang lebih murah ongkos produksinya dan lebih aman soal pertaruhan bisnis, kita tidak bisa serta merta memberikan cap negatif juga selama memang implementasinya dikerjakan dengan sangat baik. Sebaliknya, tidak semua hal yang orisinal itu juga pasti bagus.

 

2. Nostalgia, Narsisisme, dan Familiaritas

Semua produk tidak akan bertahan jika tidak ada pasarnya juga. Demikian juga dengan produk-produk remake, remaster, spin-off, sekuel, dkk. tadi. Faktanya, kita sebagai pengguna juga menyukai produk-produk tersebut.

Ada 3 alasan yang saya temukan dari perspektif pengguna yang membuat kita menyukai produk-produk tadi.

Alasan pertama tentunya adalah faktor nostalgia. Siapakah yang tidak suka dengan nostalgia, khususnya untuk kenangan-kenangan manis kita di masa lampau? Saya juga masih ingat kenangan manis saya saat bermain Suikoden 2 ataupun Legend of Dragoon di PSX dan berharap ada versi remake-nya di PC, di masa depan kelak.

Legend of Dragoon. Credits: Sony
Legend of Dragoon. Credits: Sony

Saat kita mendengarkan lagu lawas, menonton film jadul, ataupun bermain game klasik, kita juga terbawa kembali ke kenangan-kenangan indah saat kita masih anak-anak dulu — yang faktanya masa kanak-kanak itu selalu lebih menyenangkan karena saya dulu tak perlu pusing mencari nafkah untuk keluarga, hidup tanpa beban tuntutan yang berarti, ataupun mengingatkan berkali-kali para penulis yang masih sering typo ataupun menuliskan kalimat yang aneh… Wokawoakowkaow

Selain soal nostalgia, produk-produk lama juga bisa digunakan untuk kebutuhan narsisistik. Setiap orang pasti narsis, setidaknya dalam tingkatan yang berbeda-beda. Karena itulah media sosial itu selalu ramai karena, salah satunya, kita ingin mengiklankan diri tentang siapa kita di depan kawan-kawan ataupun di dunia maya.

Game-game, musik, atau film klasik itu bisa jadi salah satu metode memuaskan hasrat narsisistik kita… Jika tidak percaya, silakan tuliskan postingan seperti ini di media sosial, “tuliskan 5 band favorit kamu saat masih sekolah dulu…”

Saya yakin ada banyak orang yang akan menuliskannya dengan senang hati untuk memamerkan selera mereka. Hal yang sama juga terjadi dengan FFVII Remake karena kita bisa pamer bahwa FFVII dulu adalah salah satu game yang mewarnai hidup kita dulu.

Terakhir, alasan yang membuat kita suka dengan produk-produk klasik adalah familiarity principle/mere-exposure effect. Dengan meledaknya popularitas MCU di layar lebar (yang sebelumnya juga sudah memanfaatkan familiaritas dari komiknya), semakin banyak orang yang familiar dengan karakter-karakter dari jagat Marvel. Hal ini yang kemudian dimanfaatkan dengan baik (atau malah terlalu eksploitatif) ke game-game di berbagai platform.

Hal ini juga berlaku di aspek hidup kita lainnya, tak hanya soal konten yang kita konsumsi. Saat kita pindah kantor, misalnya, ada satu kenyamanan juga yang kita dapat saat kita sudah mengenal satu kawan atau lebih sebelumnya di kantor baru.

Saat kita berkendara juga, kita memiliki kecenderungan untuk melewati jalan-jalan yang sudah kita lewati/hafal (familiar juga) sebelumnya.

3 faktor tadilah yang membuat kita sebagai pengguna juga lebih terbuka dengan produk remake, remaster, sekuel/prekuel, spin-off, dan kawan-kawannya.

 

3. Technological Advancements

Satu lagi faktor yang membuat lebih banyak remake, remaster, ataupun kawan-kawannya tadi datang dari perspektif lain yang berbeda. Faktor ketiga datang dari perkembangan cepat teknologi selama beberapa tahun belakangan.

Di 2011, Ray Kurzweil bahkan sempat mengatakan, “jadi kita tidak akan merasakan kemajuan (teknologi) 100 tahun di abad 21 — perkembangannya lebih cocok dibilang setara dengan 20 ribu tahun (dengan kecepatan sekarang).

Salah satu yang membuat kita malas memainkan game-game klasik adalah grafisnya yang terlihat amit-amit jeleknya saat dibandingkan dengan game-game baru. Hal ini juga terjadi karena perkembangan teknologi grafis di game yang begitu cepat. Coba saja kita bandingkan 2 game yang sama-sama besutan Rockstar, yaitu GTA V dan RDR 2. Kedua game ini hanya terpaut 5 tahun tanggal rilisnya. GTA V dirilis di 2013 sedangkan RDR 2 dirilis di 2018. Kebetulan saja, saya memang memainkan kembali GTA V setelah saya menamatkan RDR 2. Jadi, saya melihat begitu jauhnya kecantikan grafik yang ditawarkan oleh RDR 2, dibandingkan GTA V.

Credits: Rockstar
Credits: Rockstar Games

Di era sebelum ini, misalnya di era Super Nintendo (SNES), perkembangan teknologi grafis belum secepat ini. SNES diproduksi pertama kali di tahun 1990 dan berhenti produksi di tahun 2003. Jadi masa hidupnya bisa sampai 13 tahun. PlayStation 4 dirilis 2013 dan tak lama lagi kita akan melihat PlayStation 5, meski masih 7 tahun berselang.

Perkembangan teknologi grafis ini semakin terlihat signifikan jika kita melihat dari platform PC dan mobile. 10 tahun yang lalu, saya kira belum ada game-game mobile yang punya grafis secantik game-game di daftar ini.

Di sisi lain, silakan percaya atau tidak namun kebutuhan perkembangan teknologi itu sangat bergantung pada pengalaman Anda. Misalnya, Anda yang belum pernah menggunakan monitor 120Hz ke atas, mungkin Anda tidak akan merasa butuh. Demikian juga jika Anda hanya menggunakan headset, keyboard, dan mouse di bawah harga Rp100 ribuan. Kemungkinan besar, Anda merasa tidak akan merasa butuh peripheral di atas harga Rp1 jutaan.

Demikian juga soal grafis game. Jika Anda sudah terbiasa bermain game di PC dengan setting mentok kanan plus ReShade ataupun ENB, kemungkinan besar, Anda tidak mau menatap grafis kelas console apalagi mobile… Wkwkwkwk… PC Master Race FTW! 

GTA V. Credits: Rockstar Games
GTA V. Credits: Rockstar Games

Di sisi lain, teknologi juga yang memudahkan proses duplikasi remake atau remastered. Inilah sebabnya juga, menurut saya, Skyrim lebih banyak diproduksi ulang ketimbang Morrowind ataupun Oblivion. Contoh lainnnya, ibaratnya saja seperti ini, musik yang sudah diproduksi zaman digital akan lebih mudah diproduksi ulang ketimbang musik saat masih pakai kaset atau malah masih piringan hitam.

Semakin mudah, kembali lagi, semakin murah juga ongkos yang harus dikeluarkan untuk produksi ulang.

 

4. The industry is about Reproduction

Jika tiga jawaban di atas memang kedengarannya lebih dangkal dan mudah dipahami, dua jawaban terakhir akan lebih dalam atau bahkan mungkin filosofis…

Theodor Adorno dan Max Horkheimer pernah mencetuskan sebuah teori yang disebut dengan culture industry. Teori tersebut mengatakan bahwa film, musik, dan konten-konten lainnya sudah tidak lagi bisa disebut sebuah karya seni, melainkan sebuah produk dari industri. Silakan baca sendiri untuk teori lengkapnya karena akan terlalu panjang untuk dijelaskan semuanya di artikel ini.

Teori Adorno dan Horkheimer tadi memang sedikit berbeda arah dengan yang ingin saya jelaskan di sini namun, satu hal yang pasti, bagi saya teori ini wajib dipahami bagi orang-orang yang bekerja di industri kreatif.

Derivasi dari teori tadi, karena produk-produk konten (termasuk game) tadi sudah tak lagi disebut karya seni, tentunya jadi lebih sah jika diproduksi berulang kali untuk memaksimalkan keuntungan.

Saya yakin tidak banyak yang protes (dengan alasan tidak orisinal) jika sebuah bola lampu diproduksi jutaan kali setiap harinya. Demikian juga dengan bentuk mouse, keyboard, headset, ponsel, dan lain-lainnya yang memang sebagian besar bentuknya sama atau mirip-mirip.

Makanya, produk konten juga bisa saja sah dan tak mengherankan lagi jika direproduksi berulang kali karena sama-sama produk dari industri.

Terlepas dari orang-orang yang ingin memandang sebuah game, musik, ataupun film sebagai sebuah mahakarya, nyatanya konten tersebut (orisinal atau tidak) adalah produk industri yang memang dibuat dengan tujuan mendapatkan keuntungan.

 

5. Originality is overrated

Jawaban terakhir yang mungkin juga filosofis adalah soal mempertanyakan konsep originality.

Mark Twain pernah mengatakan seperti ini, “the kernel, the soul, let us go further and say the substance, the bulk, the actual and valuable material of all human utterances is plagiarism.

Ia percaya bahwa tidak ada yang namanya pemikirian orisinal karena setiap subjek yang ada di dunia sudah dituangkan, ditulis, dan dipelajari. Silakan percaya atau tidak namun cerita tentang perjuangan seorang pahlawan membela kebenaran itu bahkan sudah ada sejak Beowulf dituliskan sekitar 1000 tahun yang lalu. Lagu tentang putus cinta? Saya kira sudah terlalu buanyaaaak lagu-lagu tentang kisah seperti itu dalam berbagai bahasa dari berbagai zaman.

https://youtu.be/Ytcyfe2gbwQ

Kita hidup di zaman modern saat peradaban sudah berusia 6000 tahun. Terlalu arogan atau bisa jadi naif saja jika Anda percaya bahwa ide Anda adalah yang pertama kali di dunia… Bahkan penemuan komputer saja tidak datang dari ide satu orang saja. Semua penemuan dan teknologi sepanjang sejarah manusia itu datang dari kolaborasi ide dan usaha antara kita dan sesama kita.

Dengan demikian, semakin lama peradaban dunia bertahan, semakin banyak pula ide-ide remake, remaster, sekuel, atau apapun itu namanya.

Saya tahu jawaban kelima ini memang sepertinya terlalu melebar dari pertanyaan yang spesifik yang jadi judul artikel ini. Namun demikian, saya kira tidak ada salahnya juga menyadari bahwa originality itu tidak sedangkal yang Anda bayangkan sebelumnya.

Meski begitu, jangan jadikan teori ini sebagai tempat berlindung dari sekadar mencontek atau plagiarisme demi mendapatkan jalan mudah mencari keuntungan ataupun ketenaran juga karena Anda tetap saja akan kelihatan banal dan dangkal jika seperti itu konteksnya…

 

Akhirnya

Itu tadi kelima jawaban yang bisa saya temukan kenapa banyak remake, remastered, dan kawan-kawannya di industri game ataupun bahkan di industri konten kreatif lainnya.

Dari sisi bisnis, pasar, dan teknologi, reproduksi ulang memang sangat masuk akal untuk dijalankan seperti yang sudah saya jabarkan tadi di atas. Sedangkan dari sisi industri dan pemahaman tentang originality, saya kira remake, remaster, spin-off, sekuel/prekuel, dan kawan-kawannya ini memang sudah tak dapat dihindari lagi.

 

Previous Story

Rekap VALORANT Pacific Open 2020: Perjuangan Indonesia dan Kemenangan ahq eSports Club

Next Story

[Review] Realme Smart TV 43″: Kinerja Mumpuni dengan Fitur Lengkap dan Harga Terjangkau

Latest from Blog

Don't Miss

Review Poco X6 5G Hybrid

Review Poco X6 5G, Performa Ekstrem dan Sudah Dapat Pembaruan HyperOS

Poco X6 membawa layar AMOLED 120Hz dengan Dolby Vision lalu

Review Realme 12 Pro+ 5G, Smartphone Mainstream dengan Zoom Periscope Paling Terjangkau

Realme 12 Pro+ 5G merupakan smartphone paling baru dari realme di