Jika dibandingkan dengan olahraga tradisional, esports memang lebih inklusif. Mengingat esports tidak mengadu kekuatan fisik secara frontal, pemain laki-laki dan perempuan seharusnya bisa bermain dan bertanding bersama. Idealnya. Sayangnya, kita hidup di dunia yang jauh dari ideal. Dan sampai saat ini, industri esports masih didominasi oleh laki-laki.
Meskipun begitu, dunia esports tetap punya peran untuk perempuan. Pelaku esports juga terus berusaha untuk membuat industri ini menjadi semakin inklusif. Misalnya, dengan mengadakan kompetisi esports khusus perempuan untuk mengembangkan ekosistem esports perempuan. Namun, tentunya, dominasi pria di esports juga menimbulkan masalah sendiri. Salah satunya adalah pelecehan seksual.
Apa Itu Pelecehan Seksual dan Kenapa Masalah Ini Penting
Menurut Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan alias Komnas Perempuan, pelecehan seksual adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korbannya. Sementara dalam jurnal The Psychology of Sexual Harassment disebutkan bahwa pelecehan seksual terjadi ketika seseorang mendapatkan komentar, gerakan, atau tindakan seksual yang tidak mereka inginkan karena gender mereka.
Para psikolog tertarik untuk meneliti masalah pelecehan seksual karena keberadaannya merupakan bukti dari ketidakadilan sosial. Selain itu, pelecehan seksual juga menyakiti sang korban, karena pelecehan membuat korban merasa sedih, malu, marah, kecewa, takut, dan stres. Korban bahkan bisa merasa kehilangan harga dirinya sebagai manusia karena dilecehkan. Semua hal ini bisa berujung pada korban mengidap Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Seolah hal itu tidak cukup buruk, pelecehan seksual juga bisa membuat korban memiliki membenci tubuhnya sendiri atau menjadi memiliki eating disorder atau gangguan makan.
Di dunia kerja, pelecehan seksual bisa membuat korban merasa tidak nyaman dan aman di lingkungan kerja, yang berakhir pada penurnan performa. Pelecehan juga bisa merusak kepercayaan diri korban. Dan ketika korban merasa dia harus mengundurkan diri karena lingkungan kerja yang tidak bersahabat, hal ini akan menyebabkan korban kehilangan karirnya.
Berdasarkan studi Fitzgerald et al (1997), pelecehan seksual bisa dikelompokkan menjadi tiga grup: gender harassment, unwanted sexual attention, dan sexual coercion. Gender harassment atau kekerasan berbasis gender mencakup perkataan atau tindakan bersifat menghina yang didasarkan pada gender seseorang. Contohnya adalah perkataan seksis yang disamarkan sebagai “bercanda” atau mengirimkan konten seksual pada seseorang tanpa persetujuan orang tersebut.
Sementara itu, secara harfiah, unwanted sexual attention berarti perhatian seksual yang tidak diinginkan. Catcalling adalah contoh paling sederhana dari perhatian seksual yang tidak diinginkan. Memberikan komentar menjurus innuendo tentang tubuh seseorang — tidak peduli positif atau negatif — juga masuk dalam kategori unwanted sexual attention. Tak terbatas pada lisan, unwanted sexual attention juga bisa mencakup tindakan, seperti meraba, mencubit, atau menggerayangi tubuh seseorang. Terus menerus mengajak seseorang pergi kencan — atau melakukan hal-hal lain dengan rating 18+ — walau orang tersebut telah menolak berkali-kali, hal ini juga masuk dalam unwanted sexual attention. Kunci dari jenis pelecehan ini adalah pada “tidak diinginkan”. Sebuah pujian yang menjurus ke innuendo pun bisa masuk dalam kategori pelecehan jika hal itu tidak diinginkan oleh korban.
Kategori terakhir adalah sexual coercion. Pada dasarnya, sexual coercion terjadi ketika seseorang mengiming-imingi orang lain dengan sesuatu agar dia mau melakukan tindakan seksual. Misalnya, seorang bos menjanjikan karyawannya kenaikan pangkat jika sang pekerja mau tidur dengan sang bos. Selain bujukan, sexual coercion juga mencakup saat seseorang memaksa orang lain melakukan tindakan seksual melalui ancaman. Sebagai contoh, ketika dosen pembimbing mengancam akan mempersulit proses bimbingan mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas akhir jika sang mahasiswa tidak mau menuruti keinginan dosen melakukan hal seksual.
Apakah Pelecehan Seksual Terjadi di Esports?
Iya. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pelecehan seksual yang terjadi di dunia esports, saya menghubungi dua caster perempuan ternama: Icha “Mocchalatte” Annisa dan Veronica “Velajave” Fortuna. Keduanya setuju, jenis pelecehan yang paling sering terjadi adalah pelecehan seksual verbal. Mereka juga mengatakan, walau seorang perempuan telah mengenakan pakaian tertutup — seperti blazer — hal ini tidak menjamin tidak ada orang yang akan melontarkan pelecehan seksual.
Dan jangan salah, pelecehan seksual verbal tidak melulu harus frontal, berupa ucapan yang tidak senonoh. Tanpa konteks, kata-kata yang diucapkan pelaku pelecehan verbal bisa terdengar seperti sesuatu yang diucapkan dalam percakapan sehari-hari, seperti: “Enak nih.” Contoh lainnya adalah “Ada yang menonjol tapi bukan bakat” — kalimat yang pernah dilontarkan oleh Rama Sugianto ketika dia sedang menjadi komentator dalam pertandingan sepak bola di TV nasional. Selain itu, pelecehan seksual verbal juga bisa secara langsung merendahkan fisik seseorang, baik terlalu kurus atau terlalu gemuk.
Komentator TV dengan ucapan sekelas alay Instagram. Memalukan. https://t.co/s3jyFQm8jG
— Ernest Prakasa (@ernestprakasa) March 8, 2020
“Yang terlalu kurus dibuang dari event, tanpa menilai kemampuannya. Yang gendut dijadikan bahan bercanda di belakang. Yang penampilannya kurang, dijadikan bahan bully dan gosip. Yang punya dada besar, jadi bahan obrolan yang tidak pantas. Yang pakai baju tertutup dibilang munafik, yang pakai baju terbuka dibilang pelacur,” cerita Vela saat dihubungi melalui pesan singkat. “Kita sebagai perempuan direndahkan. Walau aku ngomong ini secara umum, karena pria juga banyak direndahkan dan dilecehkan, tapi dalam konteks ini, aku benar-benar membahas dari sisi perempuan.”
Walau pelecehan seksual verbal “hanya” berupa kata-kata, hal ini tetap bisa menjatuhkan mental korban. Icha mengaku bahwa dia pernah mengalami hal tersebut. “Dulu, pernah down banget, sampai nangis, padahal kerjaan belum selesai,” ungkapnya. “Tapi, ya gimana ya, kita nggak bisa buat mereka berhenti. Mereka begitu juga karena minim edukasi dan karena tidak ada sanksi yang menghukum mereka. Misal, kalau mereka komentar tidak enak pun, paling hanya di-ban saja sama admin.
“Tapi, mereka juga bisa langsung menyerang media sosial pribadi. Ya, memang mereka bisa diblokir, tapi ya hanya sebatas itu saja. Tidak ada sanksi apa-apa lagi untuk mereka,” jelas Icha. “Esports masih belum punya badan hukum yang melindungi para esports enthusiasts dari harassment. Satu-satunya sanksi yang mereka dapatkan cuma sanksi sosial saja.”
Jadi, ya, pelecehan seksual masih menjadi masalah yang di dunia esports Indonesia. Untuk mengatasi — atau setidaknya meminimalisir — masalah tersebut, saya akan mencoba untuk menguraikan beberapa alasan mengapa pelecehan seksual bisa terjadi.
Kurang Edukasi
Seperti yang disebutkan oleh Icha, salah satu alasan mengapa seseorang melakukan pelecehan seksual adalah karena ketidaktahuannya akan pelecehan seksual. Terkadang, pelaku pelecehan tidak sadar sedang melakukan pelecehan. Atau, dia menganggap, apa yang dia lakukan tidak termasuk sebagai pelecehan seksual. Contohnya, catcalling. Ketika seorang laki-laki melakukan catcalling dengan memanggil seorang perempuan “cantik”, bisa jadi, sang pelaku justru merasa bahwa dia memberikan “pujian”. Padahal, seperti yang dibahas di atas, ketika seseorang memberikan perhatian seksual yang tidak diinginkan — tidak peduli apakah perhatian itu positif atau negatif — maka hal itu sudah masuk dalam kategori pelecehan seksual.
Di negara-negara berkembang seperti Amerika Serikat, perusahaan terkadang memberikan sensitivity training untuk para pekerja baru. Tujuannya adalah untuk mengajarkan cara memperlakukan orang lain, khususnya orang-orang yang masuk dalam golongan minoritas. Seseorang bisa menjadi golongan minoritas berdasarkan ras, gender, warna kulit, agama, orientasi seksual, dan lain sebagainya. Namun, di Indonesia, khususnya di bidang esports, belum ada sensitivity training yang mengajarkan tentang cara memperlakukan orang lain, dalam kasus ini perempuan, dengan patut.
Jika ketidaktahuan menjadi akar masalah, maka edukasi menjadi solusi. Sayangnya, melakukan edukasi massal pada pelaku dan penonton esports bukanlah perkara gampang. Icha menyebutkan, saat ini, sudah ada cukup banyak webinar edukatif tentang pelecehan seksual. Namun, jumlah peminatnya tidak banyak. Artikel ini pun sebenarnya bagian dari edukasi. Hanya saja, saya ragu bahwa semua orang yang mengklik berita ini akan membacanya sampai habis. Ketika ditanya tentang cara edukasi yang efektif, Icha menjawab, salah satu cara efektif untuk mengajarkan masyarakat akan pelecehan seksual adalah dengan mengadakan seminar offline.
“Acara face to face memang sudah yang paling tepat,” ujar Icha. “Tapi, saat pandemi seperti ini susah.” Dia bercerita, sebelum pandemi, dia pernah menjadi pembicara dalam gerakan edukasi untuk siswa SMA dan mahasiswa yang diadakan oleh Kaskus. “Yang aku tahu, anak-anak ini bisa lebih paham dan bisa tanya-tanya ketika mereka memang nggak paham materinya. Menurut aku, itu edukasi yang cukup efektif, apalagi untuk daerah-daerah yang jauh dari kota.”
Karena, Icha percaya, orang-orang yang tinggal jauh dari kota biasanya belum terlalu aktif di media sosial. Jadi, mereka belum terpapar pada perilaku netizen Indonesia — yang merupakan paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Harapannya, setelah diberi pemaparan, mereka akan berlaku dengan lebih baik saat mereka akhirnya aktif di media sosial atau platform streaming.
CEO Morph, Yohannes “Joey” Siagian mengatakan, saat ini, telah mulai muncul usaha untuk memberikan edukasi tentang pelecehan seksual secara terkoordinir di dunia esports. Sebelum ini, memang sudah ada usaha untuk memberikan edukasi di tingkat individual. Namun, terkadang, orang yang mencoba untuk memberi edukasi justru dilawan.
Absennya Konsekuensi
Kenapa koruptor — ahem, maling, maksudnya — tidak pernah jera? Ketika tertangkap pun, para maling masih bisa tertawa dan melambai ke kamera. Salah satu alasannya adalah karena hukuman yang ringan. Padahal, salah satu tujuan pemberian hukuman adalah untuk menimbulkan efek jera pada pelaku. Selain itu, hukuman juga berfungsi sebagai pencegah. Misalnya, jika ditetapkan bahwa hukuman untuk maling uang rakyat adalah hukuman mati, harusnya, orang-orang yang tergoda untuk korupsi akan berpikir dua kali sebelum mencuri.
Namun, di industri esports, belum ada lembaga khusus yang menangani masalah pelecehan seksual. Jadi, belum ada hukuman yang jelas untuk pelaku pecehan seksual. Dan ketiadaan hukuman ini menjadi salah satu alasan mengapa pelecehan seksual masih terjadi di esports.
“Ini (hukuman) sesuatu yang berpengaruh banget,” kata Joey saat dihubungi oleh Hybrid.co.id. “Tapi, sebenernya, menurut aku, untuk talent dan content creator yang melakukan hal seperti ini, jelas kok konsekuensinya apa: nggak ada. Karena selama mereka menghasilkan dana, nggak akan ditegur. Kecuali ada yang angkat bicara dan angkat suara. Tapi, itupun jarang terjadi.”
Seolah hal itu tidak cukup buruk, ketika korban pelecehan melaporkan kasus pada pihak berwenang — seperti manajemen tim atau eksekutif EO — dia justru dipersulit. Vela menceritakan pengalamannya terkait hal ini. “Hukum tentang harassment memang ada,” ungkapnya. “Aku pernah lapor, tapi pelaporannya sangat sulit. Ketika dilaporkan, cuma diterima, tapi nggak ada follow up, nggak ada updates.” Masalah pelecehan seksual akan menjadi semakin runyam ketika pelaku punya jabatan atau popularitas.
Lalu, siapa yang seharus memberikan hukuman pada pelaku pelecehan? Menurut Icha, jawaban dari pertanyaan ini tergantung pada siapa yang menjadi pelaku pelecehan. “Kalau pelaku adalah pemain, ya dari pihak manajemen,” katanya. “Pelaku jangan hanya disuruh minta maaf saja, tapi juga bisa dilakukan pemutusan kontrak kalau kasusnya memang sudah parah. Untuk freelancer, mungkin teguran halus, teguran kasar, dan sampai larangan untuk bisa bekerja di tempat tersebut.”
Icha menjadikan kasus Listy Chan sebagai perbandingan. Pada akhir 2020, muncul kabar bahwa Listy Chan berselingkuh dengan Ericko Lim. Skandal tersebut berakhir dengan pemecatan Listy Chan dari EVOS Esports. “Dia bikin kasus yang merugikan pihak manajemen, dan kontraknya langsung di-cut. Nah, kenapa pelaku pelecehan nggak diperlakukan dengan sama?” Icha bertanya. “Apalagi kan banyak tuh, kasus laki-laki melakukan pelecehan ke pemain atau talent perempuan.”
Ketika pelaku pelecehan seksual bisa terhindar dari hukuman, maka sanksi sosial bisa menjadi alternatif untuk membuatnya kapok. Sayangnya, karena minimnya edukasi, tidak banyak orang yang peduli akan pelecehan seksual. Icha bercerita, seorang Liaison Officer (LO) pernah melakukan pelecehan verbal padanya di hadapan rekan kerja mereka. Namun, tidak ada satu pun orang yang menegur sang pelaku. Menurut Icha, hal ini terjadi karena pelecehan yang dilakukan oleh sang LO dianggap sebagai “candaan tongkrongan” yang memang sudah lumrah.
Jika korban ingin tetap memberikan sanksi sosial pada pelaku pelecehan, dia bisa menggunakan media sosial; biarkan netizen Indonesia yang mencabik, memakan bulat-bulan, menghabisi memberikan efek jera pada pelaku. Vela bercerita, Monica “MomoChan” Mariska pernah membantunya melawan pelecehan seksual dengan mengunggah kasus tersebut ke media sosial. “MomoChan, dia pernah bantu aku, dia fight, fansnya bantu kasih sanksi sosial,” ujar Vela. “Pernah juga di-up ke Lambe MOBA, langsung banyak yang nyerang. Tapi, hal itu sebenarnya masuk ke ranah bullying. Orang banyak yang malah senang karena namanya dikenal.”
Senada dengan Vela, Icha juga mengatakan, jika seorang pelaku pelecehan seksual diviralkan di media sosial, dia tetap bisa mendapatkan untung, berupa banyak orang yang menjadi follower-nya. “Sanksi sosial memang cukup efektif. Pihak korban bisa mendapat permintaan maaf dan pelaku di-bully netizen,” kata Icha. “Tapi, pelaku tetap bisa dapat follower banyak. Jadi, belum tentu memberikan efek jera pada pihak lain.”
Di era remaja berani bertaruh nyawa — lari di hadapan truk yang tengah melaju kencang — demi membuat konten TikTok, saya tidak heran jika ada orang yang senang karena dia “populer” sebagai pelaku pelecehan seksual. Jika tidak percaya lihat saja salah satu selebriti yang baru saja keluar penjara namun dipuja-puja sejumlah media.
Bandwagon Fallacy
Bandwagon fallacy merupakan salah satu kesalahan pola pikir. Dalam bandwagon fallacy, seseorang mendasarkan argumennya berdasarkan opini populer. Dalam kasus ini, pelecehan seksual dianggap sebagai “hal biasa” karena banyak orang yang melakukannya. Joey menjelaskan, para kreator konten di dunia esports Indonesia pun sering membuat konten yang bersifat melecehkan.
“Kreator konten, baik manajemen ataupun individu, laki-laki dan perempuan, seolah menormalisasi perlakuan yang melecehkan,” kata Joey. “Kreator konten laki-laki membuat konten yang melecehkan perempuan. Sementara kreator konten perempuan juga tidak sedikit yang memanfaatkan seksualitas untuk mencari perhatian dan popularitas. Manajemen konten pun menggunakan paras cantik sebagai salah satu strategi mencari perhatian.” Lebih lanjut dia menjelaskan, “Kalau idola membuat perilaku tersebut seakan-akan it’s okay, ya, fans akan mengikuti. Apalagi fans yang masih berada di umur pembentukan identitas dan jati diri. Pada umur segitu, perilaku dan values masih sangat dipengaruhi oleh idola dan panutan.”
Dalam jurnal The Psychology of Sexual Harassment, dijelaskan bahwa dari sudut pandang biologi, seorang pria melakukan pelecehan pada perempuan karena dia berusaha untuk menunjukkan ketertarikannya. Hanya saja, sang perempuan yang tidak tertarik dengan sang laki-laki menyalahartikan usahanya itu sebagai pelecehan. Sementara dalam kasus pelecehan pada pria, hal itu ditujukan untuk merendahkan sang korban. Tujuannya adalah agar “nilai” sang korban sebagai pasangan akan jatuh.
Jurnal tersebut juga membahas tentang alasan di balik pelecehan seksual dari segi sosial-budaya. Di jurnal itu, tertulis bahwa pelecehan seksual terjadi karena proses sosial akan peran dari masing-masing gender. Secara tidak langsung, masyarakat mendukung dominasi laki-laki dan mewajarkan objektivikasi akan perempuan. Hal lain yang mendorong pelecehan seksual adalah karena budaya masyarakat yang cenderung menormalisasi kekerasan pada perempuan. Pelecehan seksual juga bisa digunakan sebagai alat untuk “menghukum” orang-orang yang berusaha untuk melakukan sesuatu yang berbeda dari gender norm. Misalnya, seorang perempuan yang punya aspirasi untuk menjadi pemimpin politik mungkin akan menjadi korban dari pelecehan seksual.
Penurunan Kualitas Konten
Di atas, sudah dijelaskan bagaimana konten yang dibuat kreator konten bisa memengaruhi pemikiran para penontonnya. Sekarang, pertanyaannya, kenapa para kreator konten membuat konten yang mengandung pelecehan seksual? Jawabannya sederhana, karena konten seperti itu laku. Salah satu sumber pemasukan kreator konten adalah dari iklan. Semakin banyak view dari konten yang sang kreator buat, semakin banyak pihak yang mau memasang iklan atau semakin mahal iklan yang bisa ditawarkan. Sayangnya, popularitas tidak menjamin kualitas.
Saat ini, semakin banyak orang yang tertarik untuk menjadi kreator konten, baik di YouTube, TikTok, atau platform lainnya. Masalahnya, jumlah kreator konten meningkat dengan lebih pesat daripada jumlah penonton atau lama waktu yang penonton bisa habiskan untuk menonton konten. Toh, waktu yang penonton bisa habiskan untuk menonton konten memang terbatas. Dalam sehari, kita hanya punya waktu 24 jam untuk melakukan kewajiban dan hobi kita. Hal ini berarti, persaingan antara kreator konten pun semakin ketat. Jadi, tidak heran jika sebagai kreator konten ingin mengambil jalan pintas dan fokus untuk membuat konten yang viral dan bukannya konten berkualitas. Dan konten berbau seksual menjadi salah satu jenis konten yang menjual.
“Sex sells,” ujar Joey gamblang. “Lebih gampang untuk mendapatkan audiens dengan belahan dada dan suara sugestif. Tapi sebenarnya, ada banyak hal lain yang juga menjual, selain seks. Hanya saja, seks menjual dan mudah untuk dieksekusi.”
Kecenderungan untuk mendewakan view atau popularitas punya dampak buruk lain. Karena, mendorong orang-orang yang ingin populer untuk melakukan apa saja, walau mereka harus melakukan hal-hal berbahaya atau menjurus pada pornografi. Masalah ini juga diperburuk dengan betapa cepatnya penyebaran informasi di internet terjadi. Jadi, walau seseorang menjadi viral karena terlibat dalam sebuah kasus, kesalahannya bisa dilupakan setelah masalah viral baru muncul.
Mari kita lihat Logan Paul, seorang vlogger, sebagai contoh. Dia pernah mengunggah video kontroversial yang menampilkan jenazah dari orang yang meninggal karena bunuh diri di Jepang. Dalam video tersebut, Paul menunjukkan perjalanannya bersama teman-temannya ke hutan Aokigahara, yang memang dikenal sebagai tempat bunuh diri, seperti yang disebutkan oleh BBC. Jadi, tidak aneh ketika dia dan teman-temannya menemukan jenazah dari seseorang yang melakukan bunuh diri. Masalahnya, Paul dan teman-temannya sama sekali tidak berusaha untuk menghargai jenazah sang korban dan justru bercanda dengan satu sama lain.
Video Paul memicu kemarahan dari para netizen. Setelah itu, dia pun menghapus videonya dan mengunggah video baru, yaitu video permintaan maaf. Ketika itu, pada 2018, Paul punya subscribers sebanyak 15 juta. Sekarang, jumlah subscribers-nya justru bertambah menjadi 23,2 juta orang. Hal ini menunjukkan, meskipun seorang kreator konten membuat konten yang bermasalah dan mendapat hujatan netizen, pada akhirnya, kesalahannya akan dilupakan.
Power Corrupts…
Berdasarkan studi dalam ilmu ekonomi, seseorang bisa mendapatkan kekuasaan ketika dia memberikan sumber daya pada orang lain dan membuat mereka sejahtera, menurut Dacher Keltner, dosen psikologi di University of California, Berkeley. Dia juga menyebutkan, jika seseorang berlaku rendah hati, maka orang-orang akan cenderung menghormati orang tersebut. Dan rasa hormat inilah yang menjadi awal dari kekuasaan seseorang.
“Ketika kita merasa berkuasa, dopamin akan mengalir ke otak kita. Kita merasa seolah-olah kita bisa melakukan apapun,” ujar Keltner dalam wawancaranya dengan PBS. Dopamin merupakan hormon yang punya banyak fungsi, mulai dari mengendalikan emosi, rasa senang, konsentrasi, dan juga rasa sakit. “Di sinilah paradoks akan kekuasaan muncul. Ketika kita merasa berkuasa, hal ini justru membuat kita menyalahgunakan kekuasaan.”
Keltner bercerita tentang apa yang terjadi ketika sekelompok orang dibawa ke laboratorium dan salah satu dari mereka ditunjuk untuk menjadi pemimpin. Orang yang tiba-tiba punya kuasa punya kecenderungan untuk bertindak secara impulsif: mereka mengambil lebih banyak sumber daya dari yang seharusnya.
“Mereka akan mengambil uang. Mereka menjadi kehilangan moral. Mereka berpikir bahwa tindakan amoral bukan masalah selama mereka yang melakukan tindakan tersebut,” ujar Keltner. “Mereka akan punya kecenderungan untuk mempercayai stereotipe. Kemungkinan, mereka juga tidak lagi memikirkan apa yang diperlukan oleh orang lain.” Lebih lanjut dia berkata, “Hal inilah yang disebut sebagai paradoks dari kekuasaan. Kita bisa mendapatkan kuasa dengan berlaku baik, tapi, ketika kita sudah mendapatkan kuasa, kita cenderung melakukan hal buruk.”
Keltner juga menyebutkan bahwa kutipan “power corrupts and absolute power corrupts absolutely” ada benarnya. Orang-orang yang punya kuasa punya kecenderungan untuk berbicara tidak sopan, selingkuh, dan mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Dia lalu menjelaskan tentang studi yang dia lakukan untuk memperkuat argumennya.
Dalam studi yang dia namai “Cookie Monster Study”, Keltner membagi para peserta eksperimen ke dalam grup berisi tiga orang. Salah satu dari tiga orang tersebut akan dipilih untuk menjadi pemimpin. Pemilihan pemimpin tersebut bersifat acak. Ketiga peserta kemudian ditugaskan untuk membuat regulasi akan sebuah universitas. Dan mereka bisa bekerja bersama dengan baik. Beberapa saat kemudian, Keltner bercerita, para peneliti akan memberikan makanan pada ketiga orang tersebut, yaitu lima potong kue.
“Dan di sinilah penelitian yang sebenarnya dimulai,” kata Keltner. “Masing-masing peserta mengambil satu potong kue. Mereka memakan kue itu dan merasa senang. Semua kelompok yang kami teliti biasanya tidak memakan potongan kue kelima. Karena, mereka tidak ingin mengambil makanan terakhir yang tersisa. Jadi, pertanyaannya, siapa yang memakan potongan kue keempat? Biasanya, orang yang ditunjuk sebagai pemimpinlah yang akan mengambil kue tersebut.” Keltner mengatakan, memang, sang pemimpin tidak selalu mengambil potongan kue keempat (yang berarti ia mengambil jatah lebih banyak dibanding yang lain). Tapi, kemungkinan sang pemimpin mengambil kue keempat adalah dua per tiga.
Keltner menjelaskan, ketika seseorang memegang kuasa, hal ini akan memengaruhi moralnya, serta tindakannya terkait orang lain. “Ketika saya punya kuasa, saya merasa bahwa saya boleh memakan kue lebih banyak. Saya boleh memaki rekan kerja saya. Saya boleh menyentuh orang lain, selama saya senang, tanpa perlu memikirkan apakah orang yang saya sentuh juga senang. Pada akhirnya, kuasa membuat seseorang merasa bahwa dia punya hak atas lebih banyak sumber daya.”
Penutup
Ketika ditanya apakah pelecehan seksual di esports bisa hilang sepenuhnya, Joey menjawab dengan lugas: tidak. Menurutnya, berkaca pada sejarah, hal-hal yang dianggap buruk oleh masyarakat sekalipun — seperti rasisme — tidak bisa sepenuhnya hilang. Namun, dia menambahkan, jika masyarakat tidak lagi menganggap pelecehan sebagai hal yang lumrah dan komunitas esports bisa meregulasi diri sendiri terkait masalah ini, pelecehan seksual mungkin bisa diatasi.
Sebagai media, Hybrid.co.id bisa saja mengangkat topik pelecehan seksual dengan membahas drama atau skandal seputar pelecehan yang terjadi di dunia esports. Namun, kami lebih memilih untuk menggali faktor-faktor yang menjadi akar permasalahan dari pelecehan seksual itu sendiri. Karena, mengidentifikasi masalah dan mencari tahu penyebab masalah bisa jadi langkah pertama untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tentu saja, saya tidak delusional dan percaya bahwa artikel ini akan serta-merta bisa menyelesaikan masalah pelecehan seksual di dunia esports Indonesia. But hey, you can’t say we didn’t try…
Sumber header: Vox