Esports kini menjadi semakin populer. Tak hanya itu, esports juga semakin diakui sebagai olahraga. Buktinya, esports dimasukkan ke dalam berbagai ajang olahraga bergengsi, seperti Asian Games 2018 dan SEA Games 2019. Esports bahkan dikabarkan akan masuk dalam Olimpiade.
Dalam olahraga tradisional, kebanyakan kompetisi dipisahkan berdasarkan gender. Salah satu alasannya karena secara fisik, perempuan dan laki-laki memang memiliki kemampuan yang berbeda. Mengingat saat bermain esports para atlet “hanya” harus menatap layar dan menggerakkan mouse atau menyentuh layar smartphone, Anda mungkin berpikir, tidak ada perbedaan signifikan antara performa laki-laki dan perempuan. Namun, benarkah begitu?
Performa Pria dan Perempuan, Apakah Berbeda?
Saat ditanya apakah ada perbedaan antara performa atlet esports perempuan dan pria, Shena Septiani, Digital Marketing Manager, Bigetron Esports berkata, “Menurut saya, perbedaan mekanik dipengaruhi oleh hormon. Keseimbangan estrogen dan progesteron pada perempuan menjadi kunci tentang bagaimana otak dan emosi bekerja.”
Estrogen adalah hormon seks yang lebih dominan pada perempuan. Memang, pria juga memiliki hormon estrogen, hanya saja, tingkat estrogen pada perempuan lebih tinggi dari pria. Fungsi hormon tersebut pada perempuan dan pria juga berbeda. Begitu juga dengan hormon progresteron. Perempuan dan pria memang memiliki hormon tersebut, tapi dalam kadar dan fungsi yang berbeda. Pada perempuan, progesteron memengaruhi siklus menstruasi, kehamilan dan embriogenesis.
“Kedua hormon itu membuat perempuan sulit untuk fokus pada waktu-waktu tertentu,” ujar Shena. “Namun, di situlah pentingnya latihan rutin dan kedisplinan. Buktinya, di Bigetron, ada BTR Alice yang tergabung dalam Bigetron Red Aliens, divisi PUBG Mobile.”
Sayangnya, tidak banyak tim esports yang mencampur pemain pria dan perempuan. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal, menurut Kresna, Project Manager Women Star League. Salah satunya adalah karena kemungkinan, perempuan lebih merasa nyaman bermain dengan sesama perempuan. Begitu juga dengan para pemain laki-laki.
“Selain itu, juga ada anggapan bahwa para pemain perempuan itu kurang pintar dalam bermain game,” ujar Kresna. “Ya bebanlah, ya merepotkanlah, dan lain-lain. Hal itu yang membuat laki-laki cenderung membuat tim bersama pemain laki-laki juga.” Padahal, menurut Kresna, anggapan itu tidak benar. Dia percaya, keberadaan turnamen esports khusus perempuan dapat membantu untuk menghapus stigma tersebut.
Sementara itu, menurut Herry Wijaya, Head of Operation, Mineski Global Indonesia, saat ini, sebagian besar pemain esports perempuan lebih tertarik untuk menjadi influencer daripada menjadi pemain profesional. “Kalau saya boleh mengambil kesimpulan singkat tanpa riset, saya melilhat bahwa pemain perempuan ujung-ujungnya biasanya tidak menjadi pro player. Bahkan setelah menang turnamen esports khusus perempuan, mereka biasanya menjadi influencer,” ujarnya. “Saya tidak melihat ambisi untuk menggeser posisi pemain ternama di organisasi esports besar, seperti Rekt dari EVOS misalnya.”
Seberapa Penting Turnamen Esports Khusus Perempuan?
Menurut Rezaly Surya Afhany, Manager Esports di Telkomsel dan Head of Digital Games Product Management, turnamen esports perempuan cukup penting untuk diselenggarakan, baik oleh publisher maupun pihak ketiga. “Pendapat pribadi saya, ekosistem di industri game akan tumbuh secara organik dan jauh lebih sehat jika memerhatikan kebutuhan para lady gamers ini,” kata Rezaly saat dihubungi melalui pesan singkat. “Salah satunya melalui penyelenggaraan turnamen khusus perempuan.” Dia merasa, saat ini, jumlah turnamen esports untuk para gamer perempuan jauh lebih sedikit daripada turnamen untuk pria, mulai dari kompetisi tingkat grassroot sampai nasional.
“Beberapa publisher besar di Indonesia sudah lama turut mengembangkan ladies tournament, seperti Princess Cup, turnamen Arena of Valor dari Garena atau PINC Ladies, turnamen PUBG Mobile dari Tencent. Walaupun turnamen tersebut masih disajikan sebagai bagian dari pertandingan hiburan,” kata Rezaly. “Menurut saya, perlahan tapi pasti, pasarnya sudah kelihatan, baik dari tim yang ikut serta atau viewership. Selama turnamennya ada, para pro player perempuan ini akan berusaha untuk membentuk tim solid untuk berpartisipasi. Jadi, kualitas pertandingannya ya juga nggak kalah sengit dari pertandingan esports pria.”
Soal kemampuan, Kresna punya pandangan yang lain. “Kalau dari skill, menurut saya, para pemain perempuan belum sama dengan tim Mobile Legends Pro League. Mungkin, kalau dengan Mobile Legends Developmental League masih 50-50. Tapi, kalau dengan tim-tim di luar itu, para ladies yang ada di organisasi esports, skill-nya sudah selevel atau bahkan melebihi tim tersebut,” ujarnya.
Martin Yanuar, Manager Belletron punya pendapat yang sama dengan Kresna. “Menurut kami, skill antara pemain pria dan perempuan tidak akan sama. Karena para pemain perempuan cenderung lebih sulit untuk berlatih full-time,” ujarnya. “Kecuali kalau turnamen ladies memberikan hadiah yang setara dengan turnamen umum senilai ratusan juta.”
Memang, dari segi total hadiah, turnamen esports perempuan biasanya menawarkan hadiah yang jauh lebih kecil daripada turnamen umum yang diikuti oleh pemain pria. Misalnya, juara PINC mendapatkan hadiah sebesar Rp180 juta sementara pemenang PINC Ladies hanya mendapatkan Rp10 juta.
Sebagai bagian dari organisasi esports, Shena mengungkap harapannya, di masa depan, para penyelenggara turnamen esports akan memberikan hadiah yang sama besarnya dengan turnamen umum. “Walau sebenarnya, masalah ini tidak hanya terjadi di esports, tapi juga di dunia olahraga,” ujarnya. “Semoga saja ke depan, turnamen esports bisa lebih setara sehingga para pemain perempuan semakin beregenerasi menjadi lebih hebat lagi.”
Terkait ketimpangan hadiah turnamen antara kompetisi pria dan perempuan, Rezaly merasa, selama pihak penyelenggara dan peserta merasa tidak keberatan dengan total hadiah yang diberikan, maka hal itu seharusnya tidak menjadi masalah. “Besar kecilnya hadiah biasanya digunakan sebagai salah satu cara untuk menarik tim berpartisipasi dalam sebuah turnamen,” katanya. “Jika semua pihak, yaitu penyelenggara dan peserta, merasa sepakat untuk berpartisipasi, maka besar kecil hadiah turnamen perempuan tak lagi relevan sebagai satu-satunya hal yang harus dikejar.”
Sementara saat ditanya apakah kecilnya total hadiah turnamen esports perempuan disebabkan oleh rendahnya minat penonton, Rezaly menjawab, “Bisa jadi, kurangnya minat dari partisipan atau jumlah menonton membuat penyelenggara atau pihak sponsor masih berpikir keras sebelum menyelenggarakan turnamen perempuan, karena ROI (Return of Investment) yang tidak sesuai dari segi pemasukan atau analitik.”
Daya Tarik Turnamen Esports Perempuan
Game dan esports adalah ranah yang identik dengan pria. Jadi, tidak heran jika kebanyakan penonton esports itu laki-laki. Menurut studi yang dilakukan oleh Interpret pada 2019, 70 persen penonton esports merupakan pria, sementara 30 persen sisanya perempuan. Kabar baiknya, jumlah fans esports perempuan terus naik dari tahun ke tahun.
Namun, Herry mengatakan, fakta bahwa sebagian besar audiens esports merupakan laki-laki justru membuat turnamen esports perempuan menjadi digemari. “Karena yang nonton kebanyakan pria, kalau yang bertanding perempuan, sudah pasti viewership akan tinggi, karena ada daya tarik dari lawan jenis,” ujar Herry. Rezaly mengatakan hal serupa. Audiens laki-laki juga senang untuk menonton turnamen perempuan, terutama jika ada pemain yang menjadi idolanya.
Sementara itu, Kresna mengatakan, turnamen khusus perempuan memang masih dapat menjaring penonton. “Tapi, memang tidak sebanyak MPL atau MDL, yang sudah berjalan lama,” ungkapnya. “Hal ini mungkin karena turnamen perempuan cenderung lebih baru dan tidak semua orang tahu.”
Herry berkata, Mineski memang memiliki rencana untuk membuat turnamen khusus perempuan di masa depan. Hanya saja, rencana tersebut mungkin tidak direalisasikan dalam waktu dekat. Pasalnya, jadwal turnamen esports saat ini sudah padat. Jika muncul turnamen baru, tidak tertutup kemungkinan, hal ini justru akan merusak keseimbangan yang sudah tercapai di ekosistem esports di Indonesia sekarang.
“Ada banyak hal yang harus dipikirkan jika kami mau membuat IP baru,” kata Herry. “Jadwal turnamen sudah banyak, bisa jadi justru rebutan jadwal. Dan hal itu tidak bijak. Kami lebih memilih untuk fokus pada turnamen yang sudah ada dengan meningkatkan kualitas turnamen tersebut.”
Kenapa Penyelenggara Mengadakan Turnamen Esports Perempuan?
Women Star League diadakan dengan dua tujuan, jelas Kresna. Pertama adalah untuk membentuk ekosistem esports bagi para pemain perempuan agar mereka bisa berkompetisi dan berkarir di dunia competitive gaming layaknya pria. “Biar para ladies juga tidak dipandang sebelah mata lagi dan bisa menunjukkan bahwa mereka punya skill yang sama dengan para laki-laki,” katanya.
“Yang kedua, dengan mengadakan turnamen esports perempuan, kami mau hal ini menjadi wadah bagi para ladies yang bingung untuk menyalurkan hobi dan bakatnya di dunia esports. Sedangkan untuk bermain bersama pria juga sulit,” ungkap Kresna. “Kami ingin, dengan adanya turnamen esports perempuan, maka akan semakin banyak pemain perempuan baru agar ekosistem esports perempuan di Indonesia menjadi semakin ramai.”
Sama seperti Kresna, Rezaly mengatakan, tujuan penyelenggara seperti Dunia Games (yang ada di bawah Telkomsel) mengadakan turnamen esports perempuan adalah untuk menumbuhan ekosistem esports perempuan. Hal ini pada akhirnya akan membuat industri esports menjadi semakin bernilai.
“Kami percaya, turnamen khusus perempuan akan memunculkan banyak gamer perempuan berprestasi, sehingga akan ada lebih banyak engagement, viewership, lebih banyak produksi konten, dan lebih banyak lowongan pekerjaan baru,” kata Rezaly. “Kami ingin agar ekosistem esports perempuan terbentuk dan bisa berkembang, sama seperti acara olahraga, baik di tingkat nasional maupun global. Dalam acara olahraga tradisional, kan ada perlombaan khusus untuk perempuan. Nah sama seperti itu. Esports kan juga cabang olahraga yang mendapatkan medali, siapa tahu, nanti juga akan juga ada untuk perempuan.”
Namun, Roma tidak dibangun dalam semalam. Begitu juga dengan ekosistem esports perempuan. Untuk mengembangkan ekosistem esports perempuan agar sejajar dengan scene esports untuk pria saat ini diperlukan waktu yang cukup lama. Herry memperkirakan, waktu yang diperlukan untuk mengembangkan ekosistem esports perempuan akan memakan waktu sekitar tiga tahun. Dengan syarat, turnamen esports perempuan diadakan secara rutin. Idealnya, ada dua turnamen setiap tahun.
Kepercayaan diri Herry bukannya tidak beralasan. Dia bercerita, pada awal kemunculan esports Mobile Legends, juga tidak banyak tim dan pemain profesional yang memang mumpuni. “Pada tahun 2017, hanya ada dua tim Mobile Legends yang punya performa baik, yaitu Saint Indo dan Elite8 Esports,” katanya. “Namun, kini, MPL memiliki delapan tim dengan performa yang selevel.” Dia percaya, hal serupa juga bisa terjadi pada ekosistem esports perempuan.
Kesimpulan
Dunia esports memang sudah semakin berkembang. Sayangnya, perempuan masih menjadi kaum minoritas di industri tersebut. Jika dibandingkan dengan jumlah pemain profesional pria, jumlah pemain perempuan jauh lebih sedikit. Tak hanya itu, turnamen esports perempuan juga biasanya menawarkan hadiah yang lebih kecil. Untungnya, ada berbagai pihak yang tetap tertarik untuk menyelenggarakan turnamen esports perempuan.
Keberadaan turnamen esports perempuan bisa menjadi ajang bagi para lady gamers untuk unjuk gigi. Dan jika turnamen tersebut diadakan secara rutin, tak tertutup kemungkinan, ekosistem esports perempuan bisa menjadi sama berkembangnya dengan scene esports pria.
Sumber header: Red Arrow Studio