Terbentuknya kompetisi game menjadi industri esports, telah menurunkan suatu kultur di kalangan komunitas gamers. Kultur tersebut adalah menonton orang bermain game. Walau sebenarnya kebiasaan ini sudah ada sejak lama, perkembangan teknologi internet dan riuh rendah industri esports membuatnya semakin populer. Kalau Anda sempat mengalami masa-masa bermain game di warnet, Anda mungkin pernah mengalami keseruan menonton seseorang memainkan game baru, atau memainkannya sangat mahir.
Seiring perkembangan zaman, teknologi internet kini membantu memfasilitasi kegiatan tersebut, membuatnya jadi lebih mudah dilakukan. Anda tak perlu lagi datang ke suatu tempat untuk menonton orang yang jago tersebut bermain. Anda cukup duduk menatap layar komputer yang sudah terkoneksi internet, untuk menonton sang jagoan main lewat platform berbagi video. Populernya fenomena ini juga menurunkan sebuah pekerjaan yang bernama streamer atau game streamer.
Pada dasarnya streamer dengan esports tak beda jauh; menjadikan kegiatan bermain game jadi varian hiburan baru buat para penontonnya. Bedanya mungkin esports lebih terorganisir dan masif, lebih banyak pemangku kepentingan untuk menyajikan tontonan kepada khalayak gamers. Ditambah lagi, esports biasanya punya aura kompetitif yang lebih kental.
Streamer di sisi lain, biasanya punya skala yang kecil, dengan hanya seorang individu menampilkan wajah, personalitas, dan keahliannya bermain game di dalam platform berbagi video demi memberi hiburan kepada para penontonnya.
Kendati pekerjaan ini lebih sering terlihat sisi menyenangkannya saja, namun bagaimana sebenarnya kenyataan di balik hal tersebut? Bagaimana senang susahnya menggeluti pekerjaan ini? Apakah bayarannya sepadan? Bagaimana dengan keberlanjutan pekerjaan ini di masa depan?
Jadi Streamer, Main Game, Lalu Tiba-Tiba Dapat Uang?
Bicara soal streamer di luar sana, nama yang mungkin langsung terbersit di benak Anda adalah Tyler “Ninja” Blevins atau Michael “Shroud” Grzesiek. Dua nama tersebut berhasil menjadi top of mind khalayak gamers, terutama para pemain game FPS. Kita mungkin melihat mereka mengerjakan pekerjaan impian mereka; cukup main game dengan santai dan dapat uang dari hal tersebut.
Tetapi apa iya menjadi streamer hanya soal main game lalu ketiban rejeki? Tidak sesederhana itu tentunya.
Mengutip dari British Esports Association, streamer game disebut sebagai seseorang yang merekam permainan game, lalu menayangkannya secara langsung lewat platform live-streaming yang ada di internet. Unsur live, adalah garis tegas pembeda antara streamer dengan content creator; atau yang mungkin lebih Anda kenal dengan nama YouTuber. Kalau content creator harus melewati proses editing video agar konten buatannya jadi lebih menarik. Streamer biasanya tidak perlu melewati proses editing video, karena konten yang mereka sajikan sifatnya adalah tayangan langsung.
Oke, kita sekarang sudah paham teknis pekerjaan streamer atau game streamer. Lalu, kalau saya sudah bermain game, menayangkannya secara langsung pada live streaming platform tertentu yang ada di internet, bagaimana cara mendapat uang dari sini?
Ada proses yang cukup panjang untuk sampai akhirnya Anda bisa mendapat uang dari menayangkan permainan Anda di platform streaming yang ada di internet. Pekerjaan ini sebenarnya mirip seperti kebanyak pekerjaan performer (musisi, aktor, artis, dan lain sebagainya) di dunia hiburan. Hal yang perlu Anda ingat, tugas streamer adalah menghibur para penonton. Jadi bisa dibilang, Anda baru bisa mendapatkan sesuatu setelah banyak orang terhibur dengan apa yang Anda tampilkan.
Lalu, apa modal penting yang harus dimiliki seorang streamer agar dapat menggaet para penonton. Apakah seorang streamer harus lucu? Harus jago? Atau harus punya personalitas yang unik?
Bicara soal ini kami bicara dengan Agree Cory, Public Relation & Social Media Executive dari Game.ly. Sebagai salah satu platform streaming yang sedang berkembang di Indonesia, ia sempat menceritakan soal kriteria streamer yang banyak dicari pengguna Game.ly. Menurutnya, selain kriteria-kriteria yang saya sebutkan di atas, seorang streamer juga wajib memiliki passion terhadap game yang dimainkan.
Memang, apapun bidang pekerjaan yang Anda geluti, passion adalah bahan bakar yang membuat Anda tetap punya alasan atas apa yang Anda lakukan. Cory juga melanjutkan bahwa dengan passion, maka kecintaannya terhadap game yang dimainkan akan terpancar lewat cara ia membawakan tayangan live streaming yang sedang dilakoni.
Tetapi lebih lanjut, Cory mengatakan bahwa personalitas adalah salah satu modal penting yang perlu dimiliki seorang streamer. “Tonjolkan kelebihan dari karakter yang dimiliki, keunikan atau ciri khas dari masing-masing diri sendiri tanpa menduplikat orang lain. Sebab, hal itulah yang membuat Anda seorang streamer jadi diingat oleh banyak orang.” Jadi sebenarnya, memang menjadi jago saja tidak cukup untuk menjadi sukses di bidang ini; Anda bisa jadi atlet esports kalau memang Anda hanya modal jago saja.
Kalau Anda sadar, Shroud yang sangat jago sekalipun juga tidak serta merta terkenal karena kemampuannya bermain game saja. Beberapa sifat dan sikap yang dia miliki juga membantunya menjadi dikenal lebih banyak orang. Salah satu yang membuat dirinya jadi semakin dikenal adalah nilai hidup sederhana, jujur, suka membantu orang, dan blak-blakan yang selalu dia pegang teguh.
Nilai hidup tersebut terpancar, sehingga hal tersebut kerap menjadi konten secara spontan, yang berhasil menarik hati para penonton. Contoh nyata hal ini adalah ketika Shroud mendorong para penontonnya untuk berdonasi kepada seorang streamer perempuan yang menampilkan tayangan musik di Twitch, agar sang streamer dapat membayar tagihan pengobatannya.
https://www.youtube.com/watch?v=jC6rIWg1v0w
Jika Anda sudah memiliki penonton setia, sudah semakin dikenal banyak orang, dari titik ini Anda sudah bisa mendapatkan keuntungan dari menjadi seorang streamers. Jalur yang punya pendapatan paling pasti adalah teken kontrak dengan platform streaming tertentu.
Kalau di luar negeri salah satu kontrak kerja sama streaming yang paling menjanjikan adalah dengan Twitch.tv. Selain karena Twitch adalah wadah utama komunitas gamers menyaksikan streamer favoritnya, menjadi Twitch Partner juga akan memberikan keuntungan tertentu seperti: mendapat uang dari setiap iklan yang ditayangkan oleh Twitch kepada para pemirsa, mendapat uang untuk setiap penonton yang subscribe pada kanal streaming milik seorang streamer, dan juga berhak mendapat uang dari setiap Bits (mata uang virtual saweran dari penonton) yang didapatkan.
Kalau di Indonesia, pilihan streaming partner terbilang cukup beragam. Ada Game.ly yang sempat menggelar ajang pencarian bakat dengan hadiah berupa kontrak tahunan. Ada juga beberapa platform streaming lain yang menyediakan kesempatan partnership dengan sang streamer, seperti NimoTV ataupun Facebook (FB) Gaming.
Tetapi, peluang pendapatan Anda tidak berhenti sampai situ saja. Anda bisa juga menerima pendapatan lewat kontrak endorse, iklan, sumbangan dari penonton, atau mungkin menjadi bintang iklan seperti Tyler “Ninja” Blevins.
Suka Duka Menjadi Streamer
Di balik dari keceriaan sang streamer, menyambut dan berinteraksi dengan para penonton, pekerjaan ini tentu bukan melulu tentang tertawa bahagia setiap saat saja. Ada saja sisi sulit atau sisi kelam dari suatu pekerjaan. Salah satu yang paling kelam yang tercatat oleh sejarah adalah, ketika pekerjaan streamer ternyata sempat membuat pelakunya meninggal dunia.
Memang, ide Brian “PoshHybrid” Vigneault menciptakan konten streaming yang menarik agak sedikit berlebihan. Ia melakukan streaming maraton selama 24 jam penuh, demi menggalang dana untuk Make-A-Wish Foundation. Mengutip artikel New York Times terbitan Maret 2017 lalu, tujuan streaming PoshHybrid ternyata tidak tercapai, dan terhenti pada durasi 22 jam. Setelah itu ia menghilang dari stream, baru setelahnya ia ditemukan telah meninggal dunia oleh kepolisian setempat.
Tetapi itu adalah contoh paling ekstrim. Walaupun memang punya tantangannya tersendiri, namun pekerjaan ini tidak akan menyebabkan kematian jika dilakukan sesuai dengan kadarnya.
Membahas topik ini, saya mencoba berbincang dengan Jessica “Jelly” Azali. Anda penggemar esports PUBG Mobile mungkin sudah tidak asing dengan sosok cici cantik yang satu ini. Sosoknya yang ceria kerap membuat pertandingan-pertandingan PUBG Mobile di Indonesia jadi lebih seru lewat komentar-komentar yang diberikannya. Tetapi selain menjadi shoutcaster, kini Jelly juga aktif melakukan streaming lewat platform Facebook, dan juga merupakan streamer partner dari FB Gaming.
Lalu, bagaimana sebenarnya cerita di balik layar dari seorang streamer seperti Jelly ini. Kalau soal suka-duka, ia bercerita bahwa sebenarnya ada banyak hal yang terjadi sepanjang pengalaman dirinya menjadi seorang streamer. “Suka duka sih banyak banget! Kayak roller coaster!” kata Jelly. Namun, dari semua suka-duka tersebut, menurutnya salah satu yang selalu membuatnya bahagia adalah ketika penonton sedang ramai dan kebanyakan mereka memberikan komentar-komentar positif.
“Seneng banget kalau misalnya ketika streaming ramai, udah gitu banyak yang support dan memberi komentar positif.” Lalu bagaimana dengan komentar negatif? Kalau Anda adalah pengguna internet, terutama Facebook, Anda tentu paham bagaimana para warganet itu terkenal buas. Jelly sendiri mengakui kerap menerima komentar-komentar negatif yang bersifat toxic, bahkan kadang komentar-komentar yang dilontarkan menjurus ke pelecehan seksual.
Kendati demikian, Jelly cerita bahwa komentar-komentar tersebut tidak pernah ia terima sampai hati. “Komentar toxic, walaupun ada, tapi itu bukan merupakan duka bagiku, malah jadi hiburan tersendiri. Sebab, kalau ada komentar toxic biasanya malah aku balas lagi jadi komentar lucu-lucu. Intinya sih, kalau jadi streamer memang nggak boleh baper sama netizen.” Jawab Jelly, mencoba melihat sisi positif. Begitupun jika ada komentar-komentar cabul. Jelly tak pernah sampai hati menerima komentar tersebut dan membalasnya dengan becandaan saja.
Jelly, lewat pengalamannya menjadi seorang streamer juga bercerita soal apa-apa saja yang harus ditonjolkan agar penonton tetap tertarik untuk menonton. Kalau bicara soal modal awal, menurutnya jago bisa jadi salah satu hal, tapi bukan satu-satunya hal yang harus ditonjolkan.
“Karena viewer punya selera yang macam-macam, jadi wajar kalau streamer juga biasanya punya modal atau daya jual sendiri-sendiri. Ada yang modal jago, modal cantik atau tampan, atau modal personalitas entah karena dia orang yang jenaka atau memang asik diajak berbincang dengan viewers.” kata Jelly.
“Sementara kalau aku, selama perjalanan menjadi streamer, yang aku fokus adalah menjadi diriku sendiri dan tak lupa selalu berinteraksi sama penonton. Jadi kalau lagi streaming, aku ngelawak iya, becandaan toxic iya, tapi tentunya yang tidak kelewat batas, becandain viewer atau temen main juga suka aku lakukan. Intinya sih memang be yourself, percaya diri, senyum depan kamera, interaksi sama penonton, dan fokus menghibur penonton.” Jelly lebih lanjut menjelaskan senjata utama yang kerap ia gunakan dalam menggaet penonton.
Selain soal sikap yang ceria dan suka berinteraksi, Jelly menambahkan soal pentingnya kreatif berimprovisasi. Ia menceritakan ini lewat satu momen pengalaman ketika tayangan streaming yang ia tampilkan saat itu sebenarnya tidak sebegitu menarik. “Waktu itu aku pernah, 3 jam streaming cuma dapat too soon (mati terlalu cepat di PUBG). Tapi aku nggak sedih atau kecewa, malah hal tersebut aku alihkan menjadi konten. Saat akhir live aku buat kuis, aku suruh penonton hitung, ‘berapa kali Jelly too soon pada live hari ini’. Terus aku suruh penonton untuk DM ke akun Instagramku, nanti yang jawabannya benar dan yang tercepat aku kasih hadiah UC. Alhasil jadinya penonton tetap terhibur, walaupun sebenarnya aku too soon terus selama streaming.”
Now It’s Live! Tapi Bagaimana Masa Depan Menjadi Streamer?
Lalu bagaimana dengan kewajiban seorang streamer yang terafiliasi dengan streaming platform tertentu? Bagaimana juga dengan pendapatannya? Apakah sebanding? Menurut salah satu streamer yang saya wawancarai (yang menolak untuk disebutkan namanya), KPI atau beban kerja seorang streamer sebenarnya lumayan.
Ada seorang steramer yang kewajiban kerjanya adalah melakukan live streaming minimal 20 video atau 20 kali per bulan, dengan durasi 3 jam setiap pada setiap video atau streaming. Angka ini mungkin kurang lebih hampir mendekati seperti kerja kantoran Senin sampai Jumat, hanya bedanya kewajiban ini bisa Anda penuhi dengan lebih fleksibel.
Jadi mungkin Anda bisa saja tidak melakukan streaming pada hari Senin, namun Anda langsung streaming selama 4 atau mungkin 6 jam pada hari esoknya. Lalu, sebenarnya seberapa berat memenuhi kewajiban tersebut? Menurut cerita streamer yang saya wawancara, sebenarnya lumayan berat memenuhi kewajiban tersebut. Jadi agar dapat terpenuhi, Anda harus cermat mengatur waktu dan tentunya juga tidak memaksakan diri untuk streaming, agar nasib Anda tidak seperti sosok PoshHybrid.
Cory dari Game.ly juga turut angkat bicara soal kewajiban streamer dari sudut pandang Game.ly. Menurutnya, streamer yang dikontrak oleh Game.ly punya kewajiban untuk streaming 80-100 jam per bulan (sekitar 3 sampai 3,5 jam setiap harinya).
Tetapi selain itu Game.ly juga punya ketentuan-ketentuan tertentu yang harus dipenuhi oleh sang streamer. Salah satunya seperti memastikan konten streaming bersifat interaktif, tidak boleh bicara SARA, merokok selama live-streaming, dan terakhir juga harus memancarkan aura positif kepada khalayak yang sedang menonton.
Kalau kewajibannya terbilang cukup berat, apalagi Anda harus konsisten terlihat ceria di depan kamera selama kurang lebih 3 jam setiap hari, apakah pendapatan seorang streamer sepadan dengan beban kerjanya? Menurut cerita dari streamer lokal yang saya wawancarai tersebut, ia bisa menerima US$1500 (sekitar Rp21 juta) setiap bulannya. Namun itu belum pendapatan bersih, karena masih dipotong biaya agensi sebesar 30%. Jadi, pendapatan bersih yang ia terima adalah US$1050 (Sekitar Rp14 juta).
Angka pendapatan tersebut cukup mengagumkan bukan? Secara lokal, memang iya. Tetapi secara internasional, angka tersebut seperti butiran debu…
Kalau kita mengacu kepada streamer internasional, hasil yang mereka dapatkan bisa berkali lipat lebih besar dari streamer lokal yang saya wawancara tersebut. Pada salah satu pembahasan Hybrid contohnya, artikel tersebut menyebut Tyler “Ninja” Blevins bisa menerima sampai dengan US$1 juta dalam satu kali kontrak. Itu pun merupakan kontrak jangka pendek yang diterima Ninja ketika ia diminta untuk mempromosikan battle royale besutan EA, Apex Legends.
British Esports Association juga memberi contoh lain, yaitu streamer asal Inggris yang bernama Ali “GrossGore” Larsen. Menurut artikel tersebut, GrossGore bisa menerima sampai dengan 100.000 Poundsterling (sekitar Rp1,8 miliar). Itu pun hanya pendapatan yang berasal dari donasi yang diberikan para penonton saja. Belum termasuk kontrak streaming dengan platform tertentu, ads Youtube, serta banyak kontrak kerjasama lainnya.
Tapi tentunya, pendapatan tersebut hanya diterima beberapa streamer yang memang sangat populer saja. British Esports Association juga mengatakan, bahwa pendapatan sebesar GrossGore hanya diterima oleh streamer yang punya puluhan ribu penonton reguler. Jadi jika Anda baru merintis, jangan harap bisa langsung terima puluhan juta Rupiah setiap bulannya.
Selain soal pendapatan, dalam konteks Indonesia, kekhawatiran dari pekerjaan ini adalah soal infrastruktur internet yang belum sebegitu mapan. Menanggapi soal ini, Cory mengatakan bahwa di sinilah pemerintah berperan penting untuk memajukan dan menjaga kemajuan industri ini. “Pengakuan dan dukungan pemerintah memberi sinyal positif terhadap pertumbuhan industri game dan esports. Karena hal ini, kami juga yakin bahwa pemerintah punya rencana besar untuk industri ini, yang dilakukan seiring dengan terus digarapnya pemerataan infrastruktur internet di Indonesia.”
Membahas soal industri streaming dan infrastruktur internet, saya kembali teringat dengan apa yang dikatakan Izzudin Al-Azzam, CEO Emago Cloud Gaming dalam saat membahas soal Cloud Gaming bersama Hybrid. Ketika itu ia mengutip kata-kata dari Natali Ardianto, ex-CTO Tiket.com, mengatakan bahwa infrastruktur yang belum siap adalah saat yang tepat untuk membangun sebuah industri. Sebab kalau Anda membuat suatu teknologi atau industri saat infrastrukturnya sudah siap, kemungkinan besar Anda sudah telat.
Jadi sebenarnya, membangun brand diri Anda sendiri lewat menjadi streamer di saat infrastruktur internet Indonesia yang belum sebegitu mapan adalah saat yang tepat. Jadi nantinya brand diri Anda akan mapan berbarengan seiring dengan mapannya infrastruktur internet di Indonesia. Siapa tahu, mungkin the next Ninja dari Indonesia.
Jelly juga sempat bercerita bagaimana internet juga menjadi salah satu tantangan baginya ketika melakukan streaming. Jadi walaupun hal tersebut masih jadi kendala sampai sekarang, harapannya adalah industri streaming nantinya bisa mapan berbarengan dengan infrastruktur internet di masa depan.
—
Menutup pembahasan ini, patut diingat bahwa pekerjaan ini seperti banyak pekerjaan depan layar lainnya. Anda bisa dapat keuntungan yang sangat banyak dari pekerjaan ini dalam jangka waktu yang pendek, namun jangan harap popularitas tersebut bisa bertahan dengan sangat lama. Ada masanya ketika brand personal Anda sudah tidak lagi nyambung dengan zamannya.
Maka dari itu, soal nilai kreatif berimprovisasi dari cerita Jelly juga bisa Anda petik untuk menghadapi perubahan zaman yang sangat cepat ini.