Dark
Light

[Opini] Apex Legends Mengembalikan Rasa Cinta Saya pada First-Person Shooter

7 mins read
February 21, 2019
Apex Legends - Lifeline

“Ada yang nembakin gua! Dari atas!”

Suara teman saya—sebut saja namanya Rocky—berseru di voice chat, menandakan adanya bahaya dari tempat tak terlihat. Tak lama kemudian terdengar dua, tiga tembakan, dan layar menunjukkan notifikasi bahwa Rocky telah knocked down. Sementara di ujung layar yang satu lagi terpampang tulisan, “2 Squads Left”.

Saya melihat sekeliling. Arena pertarungan tersisa begitu kecil karena kini kami sudah nyaris memasuki ronde terakhir permainan. Di tepi sungai tempat kami mendapatkan serangan musuh hanya ada satu bangunan, yaitu sebuah rumah panggung yang terdiri dari dua lantai. Bila Rocky menyebut kata atas, pasti di rumah itulah musuh berada. Tapi ada masalah besar. Saya tidak tahu berapa jumlah musuhnya.

Saya punya tiga pilihan. Menyerang musuh, menghidupkan Rocky kembali, atau menyelamatkan diri saya sendiri. Sesaat saya sempat ragu, tapi kemudian saya melihat Rocky bergerak untuk berlindung ke bawah rumah. “Bila musuh ada di dalam rumah, mereka tidak akan bisa menembak kami di sini,” pikir saya. Saya pun ikut berlindung, menghidupkan Rocky, kemudian menjaganya selagi ia menyembuhkan diri.

Setelah merasa siap untuk bertarung lagi, kami berpencar. Rocky menyerang dari luar, sementara saya mencari kesempatan untuk masuk ke rumah. Berbekal light machine gun M600 Spitfire (salah satu senjata terbaik di Apex Legends menurut saya), saya cukup percaya diri bila harus berhadapan satu lawan satu dengan musuh. Saya membuka pintu masuk ke dalam rumah, dan di situlah saya melihatnya. Seorang Bloodhound tak dikenal sedang berlari menuju lantai dua.

Apex Legends - Bloodhound
Sumber: EA

Split second

Apa yang Anda lakukan bila melihat musuh sedang sendirian dalam jarak begitu dekat? Mungkin langsung menembak, ya? Sama, saya pun biasanya akan mengambil keputusan demikian. Tapi sebelum jari telunjuk saya menarik tombol trigger, saya menyadari sesuatu yang aneh. Pandangan mata si Bloodhound sama sekali tidak mengarah ke saya.

Apakah dia takut kepada saya, sehingga memilih kabur ke lantai dua? Ataukah dia ingin mendapat high ground agar bisa bertarung di posisi yang lebih menguntungkan? Saya tidak tahu, dan selagi saya ragu itu si Bloodhound sudah berlari menghilang dari pandangan. Kemudian saya mendengar suara tembakan. Bloodhound rupanya sedang bertarung dengan Rocky yang ada di luar.

Mengapa bukannya mengincar saya, ia malah mengincar Rocky yang jelas-jelas punya posisi lebih jauh dan lebih susah dibidik? Saya mencoba berpikir sambil berlari mengejar ke lantai dua. Kemudian saya menyimpulkan satu hal yang saya rasa agak konyol, tapi tidak mustahil terjadi: Bloodhound tidak sadar bahwa ada saya di dekatnya.

Apex Legends memiliki satu fitur (atau lebih tepatnya, keputusan desain) yang bagi saya cukup aneh. Suara langkah kaki di game ini sangat kecil bila dibandingkan dengan suara tembakan atau dialog-dialog para karakternya. YouTuber populer Drift0r menyebut desain ini sebagai “audio yang terlalu realistis”, karena memang di dunia nyata suara letusan senjata jauh lebih keras dibandingkan langkah kaki. Tapi efek buruknya, bila kita bermain dalam volume menengah, di mana suara senjata tidak begitu keras, kemungkinan besar kita bahkan tidak bisa mendengar langkah kaki orang lain karena suaranya terlalu pelan.

Di tengah pertarungan ronde terakhir yang begitu hectic, masalah desain audio ini kembali teringat di kepala saya. Desain tersebut membuat saya berani untuk mengejar Bloodhound ke lantai dua, karena saya tahu bahwa meski saya berlari cepat, dia tetap tidak akan sadar akan keberadaan saya. Benar saja, di loteng lantai dua, saya melihat ia sedang asyik menembaki Rocky yang ada di luar. Saya pun berdiri di belakang Bloodhound, memberondong dia dengan satu magasin peluru Heavy Rounds, dan setelah ia roboh, muncullah tulisan indah di layar.

“You are the Champion of the Arena.”

Cerita tentang Apex Legends di atas, yang terdiri dari 570 kata, mungkin terasa panjang bila dibaca. Padahal sebenarnya ketika di dalam game seluruh kejadiannya berlangsung cepat. Tidak sampai satu menit, malah mungkin lebih singkat lagi. Tapi satu menit itu terasa seperti lama sekali ketika Anda sedang berada dalam kondisi menegangkan dan harus membuat banyak keputusan penting.

Apex Legends bukan hanya soal reflek jari. Game ini mendorong Anda untuk selalu berpikir, membuat rencana, dan yang paling penting, berkomunikasi. Terkadang rencana itu gagal, terkadang kita bisa mati dengan cepat karena musuh datang dari arah tak terduga. Namun ketika rencana itu—baik yang dirancang secara hati-hati ataupun hasil dari keputusan-keputusan cepat—berjalan lancar, ada perasaan nikmat yang luar biasa.

Apex Legends - Bangalore
Sumber: EA

Clockwork

Saya sebetulnya tidak suka dengan genre battle royale. Jangankan battle royale, secara umum saya juga tidak begitu suka dengan first-person shooter (FPS). FPS favorit saya adalah Deus Ex: Human Revolution dan Overwatch, dua-duanya bisa dimainkan tanpa menembak sama sekali (hidup Torbjorn!). Diingat-ingat lagi sekarang sebetulnya ini agak aneh, karena dulu saya pernah suka sekali first-person shooter.

Ketika duduk di bangku SMA, 16 tahun yang lalu, saya sangat suka memainkan Counter-Strike 1.6 bersama teman-teman sekolah. Menggunakan nicknameVash the Stampede”, hobi saya adalah mengincar headshot sambil menggunakan Dual Beretta. Orang-orang bilang ini senjata terburuk dalam game, tapi saya tidak peduli. Yang penting saya merasa keren. Lagi pula asal mendapatkan kill, tidak akan ada yang protes saya memakai senjata apa.

Namun seiring waktu berjalan, saya kehilangan minat pada kesukaan tersebut. Tanpa saya sadari, begitu saya lulus kuliah, saya telah berubah dari seorang gamer yang suka mengincar kejayaan menjadi gamer yang lebih suka mendukung permainan orang lain. Dan ini tercermin dalam semua game yang saya mainkan. Ketika hero signature Anda di Dota berubah, dari Traxex menjadi Keeper of the Light, masuk akal bila dibilang bahwa kepribadian Anda di dunia nyata pun telah berubah juga.

Sayangnya, kebanyakan game bergenre shooter (baik first-person atau third-person) tidak memfasilitasi gaya permainan saya tersebut. Memang di game seperti Counter-Strike juga ada beragam role, namun pada akhirnya akurasi menembak tetap jadi aset utama seorang pemain. Tidak seperti RPG di mana seorang White Mage boleh fokus pada penyembuhan saja, Counter-Strike mewajibkan seorang White Mage untuk juga jago memukul musuh. Tentu hasilnya tidak memuaskan.

Di sinilah Apex Legends berbeda. Mirip seperti perasaan yang saya dapatkan ketika memainkan Overwatch, Apex Legends adalah permainan dengan fokus kuat pada kerja sama tim. Memang tidak seratus persen persis dengan Overwatch—di Apex Legends mau tak mau Anda tetap harus menembak—tapi inti idenya sama: bahwa kontribusi apa pun yang kita lakukan akan mengantar tim kita selangkah lebih dekat menuju kemenangan.

Apex Legends - Caustic
Caustic membangkitkan sedikit jiwa sadis dalam diri saya | Sumber: EA

Mungkin di sebuah pertarungan melawan tim lain saya tidak mendapat kill, namun jebakan yang saya taruh sebagai Caustic bisa memberi tahu kawan di mana musuh berada. Atau mungkin permainan telah mendekati ronde akhir, dan Lifeline Package yang saya jatuhkan ternyata berisi Body Shield Level 4 dan Phoenix Kit. Tim dalam Apex Legends bagaikan sebuah jam mekanik, dan saya adalah salah satu roda gigi yang memastikan jarum jam terus berputar. Posisi roda giginya bisa di mana saja, asalkan saya mendukung tim saya mencapai tujuan untuk menjadi Champion of the Arena.

Saya rasa inilah alasan mengapa banyak orang yang dulunya tidak suka battle royale, kini jadi suka gara-gara Apex Legends. Bila Anda membaca komentar-komentar di akun Twitter resmi Apex Legends, Anda akan menemukan pernyataan seperti ini tidak hanya datang dari satu atau dua orang. Battle royale sering kali membuat kita merasa tak berdaya, tegang, bahkan takut. Tapi game ini berbeda. Apex Legends ini membuat Anda merasa bahwa apa pun yang Anda lakukan berharga, dan itu adalah emosi positif yang sangat adiktif.

Sekian lama saya tidak main first-person shooter, kemampuan membidik saya jelas menurun drastis. Apalagi saya bermain di console dengan DualShock 4, lebih sulit dibandingkan PC dengan mouse dan keyboard. Ketika dulu saya mencoba bermain Fortnite, saya pasrah saja dengan bidikan yang jelek itu. Tapi bermain Apex Legends membuat saya merasa lebih dihargai, dan ini mendorong saya untuk berlatih dan agar bisa membantu tim lebih banyak lagi.

Dibanding ketika pertama kali mencoba Apex Legends, lambat laun saya dapat merasakan bahwa akurasi bidikan saya meningkat. Belum bisa dibilang jago sih, tapi setidaknya saya merasa cocok dengan beberapa senjata, dan bila berhasil menemukan senjata-senjata tersebut saya sudah jauh lebih percaya diri untuk bertarung melawan musuh. Bila sedang beruntung, kadang saya bisa mendapatkan jumlah kill terbanyak di tim, atau melakukan last hit yang mengantar tim menjadi Champion.

Bagian terbaiknya, sebesar apa pun kontribusi saya, saya tetap tidak merasa bahwa sayalah satu-satunya orang yang mendapat keberhasilan. Saya tahu bahwa hasil itu diraih karena kerja sama semua roda gigi yang berputar kompak. Meski kontribusinya sekadar berupa memberi Med Kit ketika kawan membutuhkan, itu sudah merupakan aspek krusial yang dapat mengubah nasib tim dari terdesak menjadi menang. Berkontribusi di game ini rasanya sangat menyenangkan, dan rasa senang itu saya balas dengan kemauan untuk belajar memberikan kontribusi yang lebih besar.

Apex Legends - Gibraltar
Sumber: EA

Superhero

Bukan hanya membuat kita merasa berharga, Apex Legends juga membuat kita merasa kuat dan keren. Salah satunya memang karena game ini memiliki karakter-karakter yang dapat melakukan gerakan superhuman. Tapi tidak hanya itu. Malah, aksi-aksi superhuman itu hanyalah landasan untuk melakukan aksi-aksi lain yang lebih keren lagi.

Saya merasa bahwa Respawn Entertainment merancang Apex Legends dengan mekanisme gameplay yang senantiasa mendorong pemainnya untuk “mendobrak batas”. Banyak aspek-aspek menarik yang dapat dieksploitasi, dan karena tutorial dalam game ini sangat minim, komunitas Apex Legends selalu ramai ketika mereka menemukan teknik dan trik-trik baru.

Game ini punya begitu banyak dinding untuk dipanjat, pintu untuk didobrak, bukit untuk diperosoti, dan zipline untuk digelantungi. Serunya, satu aksi saja bisa memiliki beberapa variasi yang akan memberikan hasil berbeda. Aksi memukul misalnya, bila dilakukan sambil melompat, akan berubah menjadi sebuah tendangan. Atau bila dilakukan sambil sliding, hasilnya adalah sebuah uppercut. Anda bisa mendobrak pintu dengan cara memukulnya, tapi memukul pintu sambil berdiri dengan sambil berlari pun akan menghasilkan hasil berbeda.

Anda yang sudah main Apex Legends cukup lama pasti tahu “teknik tangga” yang bisa digunakan untuk melakukan gliding lebih jauh dan cepat dari biasanya. Tapi tahukah Anda bahwa Anda teknik lain yang dapat membuat Anda gliding sangat jauh dengan memanfaatkan perubahan animasi ketika karakter berada di dekat dinding? Teknik ini dikenal dengan sebutan “super glide”, dan dapat memberikan mobilitas luar biasa tinggi bila berhasil dilakukan.

Masih banyak lagi eksploitasi lain dalam Apex Legends, seperti teknik Grappling Hook milik Pathfinder, teknik sliding cepat, teknik Decoy milik Mirage, dan lain-lain. Terkadang rasanya seperti memainkan fighting game saja, karena kombinasi berbagai tombol atau aksi bisa memunculkan aksi lain yang bervariasi. Dan sepertinya Respawn sengaja tidak mengikutsertakan terlalu banyak tutorial, apalagi “command list”, karena dengan demikian justru komunitas Apex Legends punya banyak kesempatan untuk menciptakan konten tentang teknik-teknik tersebut.

Semakin banyak Apex legends dimainkan, mungkin akan ada titik di mana tidak ada lagi teknik baru yang ditemukan oleh komunitas. Tapi untuk mencapai titik itu mungkin butuh waktu lama sekali. Apalagi Respawn akan terus meluncurkan konten-konten baru, entah itu karakter, senjata, dan mungkin arena baru. Konten-konten baru itu bisa saja mengubah teknik yang sudah ada, atau memunculkan teknik lain yang lebih aneh.

Saya tidak tahu kapan saya akan bosan dengan Apex Legends. Mungkin nanti, bila saya sudah sangat sering menang sehingga tidak penasaran lagi. Mungkin bila Respawn melakukan kesalahan dalam strategi monetisasinya sehingga saya kehilangan minat untuk mendukung game ini. Yang jelas, untuk saat ini, Apex Legends telah berhasil membuat saya kembali menikmati first-person shooter setelah bertahun-tahun meninggalkannya.

Berikutnya mungkin saya harus coba Titanfall 2.

Previous Story

Fitur Timeline Windows 10 Kini Bisa Tampilkan History Chrome

Next Story

Samsung Resmi Umumkan Galaxy S10 Series, Total Ada 5 Varian

Latest from Blog

Don't Miss

Review Poco X6 5G Hybrid

Review Poco X6 5G, Performa Ekstrem dan Sudah Dapat Pembaruan HyperOS

Poco X6 membawa layar AMOLED 120Hz dengan Dolby Vision lalu

Review Realme 12 Pro+ 5G, Smartphone Mainstream dengan Zoom Periscope Paling Terjangkau

Realme 12 Pro+ 5G merupakan smartphone paling baru dari realme di