Dark
Light

Keuntungan dan Tantangan Dalam Membuat Game Sekuel

4 mins read
June 3, 2022
Overwatch 2 dianggap mengecewakan oleh sebagian fans.

Riot Games meluncurkan League of Legends pada 2009. Selama 10 tahun ke depan, mereka hanya fokus untuk memberikan update dari game tersebut. Usaha Riot untuk mengembangkan League of Legends sebagai franchise bukan dengan membuat sekuel dari game tersebut. Tapi, mereka membawa League of Legends ke media lain, mulai dari komik sampai grup musik virtual.

Sekarang, League of Legends bukan satu-satunya game di bawah naungan Riot. Pada Juni 2020, developer asal Amerika Serikat itu meluncurkan VALORANT. Mereka juga bekerja sama dengan developer pihak ketiga untuk membuat spinoff dari League of Legends, seperti Song of Nunu dan Conv/rgence. Meskipun begitu, tampaknya, Riot tidak tertarik untuk membuat sekuel dari League of Legends itu sendiri.

Strategi Riot ini agak berbeda dengan Blizzard, yang memilih untuk kukuh mengembangkan Overwatch 2, di tengah menjamurnya live games. Overwatch 2 sendiri telah dikembangkan selama sekitar 3 tahun. Sekarang, versi beta dari game itu sudah bisa dimainkan. Sayangnya, tidak semua fans puas dengan game tersebut. Sebaliknya, cukup banyak fans yang justru kecewa.

Padahal, membuat sekuel seharusnya memudahkan developer untuk mendapatkan gamers. Karena, game tersebut sudah memiliki fanbase. Namun, keberadaan Overwatch 2 menunjukkan, tidak semua game sekuel pasti akan disukai oleh penggemar game pertama. Karena itu, kali ini, saya tertarik untuk membahas tentang pro dan kontra bagi developer game untuk membuat sekuel/spinoff dari sebuah game.

Apa Bedanya Sekuel dan Spinoff

Sekuel dan spinoff itu serupa, tapi tak sama. Sederhananya, sekuel adalah film atau game yang ceritanya melanjutkan film/game sebelumnya. Biasanya, sekuel akan menggunakan angka pada judulnya. Misalnya, Assassin’s Creed 2, Silent Hill 2, Street Fighter 2, Red Dead Redemption 2, dan seterusnya. Terkadang, sekuel juga punya subjudul, seperti Uncharted 2: Among Thieves. Tentu saja, developer tidak melulu menggunakan angka pada judul pada sebuah game sekuel. Ada juga game sekuel yang judulnya sama sekali tidak menggunakan angka, seperti Batman: Arkham City, yang merupakan penerus dari Batman: Arkahm Asylum.

Jika sekuel bertujuan untuk melanjutkan cerita utama — dan biasanya menampilkan karakter-karakter yang sama — spinoff justru berusaha untuk menampilkan cerita dari tokoh-tokoh yang bukan karakter utama. Sebagai contoh, dalam trilogi Despicable Me, minions hanyalah kaki tangan dari Gru. Namun, film Minions justru menjadikan keroco berwarna kuning itu sebagai sorotan utama. Contoh lainnya, Suikogaiden adalah spinoff dari seri Suikoden. Suikogaiden Vol. 1 menampilkan Nash Latkje sebagai tokoh utama. Padahal di Suikoden 3, Nash hanyalah salah 1 dari 108 karakter yang harus Anda rekrut demi mendapatkan happy ending.

Sekuel dan spinoff juga berbeda dari remake. Sebuah game remake biasanya memiliki karakter dan cerita yang persis sama dengan versi orisinal. Hanya saja, versi remake biasanya memiliki grafik atau teknologi yang lebih canggih. Karena, kebanyakan remake dibuat lama setelah versi orisinal diluncurkan. Sebagai contoh, versi orisinal dari Final Fantasy 7 dirilis pada 1997. Sementara versi remake dari game tersbut baru diluncurkan pada 2020 untuk PlayStation 4.

Fitur Ekstra Pada Sekuel

Sebelum ini, Hybrid.co.id pernah membahas tentang keuntungan dari membuat remake atau remastered dari game-game lawas. Salah satunya, developer tidak lagi perlu repot untuk mencari calon gamers. Karena, game yang hendak dibuat ulang biasanya sudah punya fanbase sendiri. Dengan begitu, developer bisa meminimalisir risiko kerugian. Sekuel dan spinoff memang berbeda dari versi remake atau remastered. Tapi, membuat game sekuel dan spinoff juga menawarkan keuntungan yang sama, yaitu keberadaan fanbase.

Setelah sukses dengan DreadOut, Digital Happiness tahu bahwa ada gamers yang senang dengan game horror bertema Indonesia. Jadi, ketika membuat sekuel atau spinoff dari DreadOut, Digital Happiness bisa memberikan vibe serupa demi menargetkan penggemar game horror bercita rasa lokal. Meskipun begitu, sekuel tetap harus punya perbedaan dengan game orisinal. Karena itulah, pada DreadOut 2, Digital Happiness menambahkan beberapa elemen baru ke game tersebut.

“Ketika membuat DreadOut 2, kita mau inovasi, mencoba untuk membuat game yang non-linear,” ujar . Rachmad Imron, CEO Digital Happiness dalam wawancara melalui telepon. “Kami ingin membuat versi toned-down dari open world. Jadi, pemain bisa memilih kemana dia pergi.” Dia menjelaskan, dalam DreadOut pertama, para gamers harus menyelesaikan level yang ada satu per satu. Sementara dalam DreadOut 2, pemain menjadi lebih bebas dalam menjelajah dunia game itu. Mereka bisa kembali ketempat yang sebelumnya pernah mereka datangi. Dengan membuat game yang non-linear, Digital Happiness mencoba untuk menciptakan dunia yang lebih besar.

Hal lain yang membedakan DreadOut 2 dari pendahulunya adalah adanya fitur melee attack. Jadi, di sekuel itu, Linda, sang tokoh utama, bisa menggunakan senjata pisau dan kapak. “Linda jadi lebih menyerupai demon hunter,” jelas Rachmad. “Hal ini adalah salah satu perbedaan yang mendasar.” Keberadaan fitur melee attack membuat DreadOut 2 lebih menyerupai game action horror daripada game horror.

Masalahnya, tidak semua fans DreadOut senang dengan keputusan yang diambil oleh Digital Happiness.

Tantangan Dalam Membuat Sekuel

Rachmad bercerita, perubahan yang diterapkan pada DreadOut 2 mendapatkan sambutan yang beragam. Sebagian gamers merasa senang, sementara sebagian yang lain justru tidak suka. Dia mengungkap, salah satu tantangan dalam membuat game sekuel memang mengantisipasi harapan dari gamers. Pasalnya, ketika memainkan sebuah sekuel, gamers pasti sudah akan punya ekspektasi akan game tersebut.

“Ketika kita membuat game, kita harus bisa memenuhi antisipasi gamers, tapi sebagai perusahaan, kita juga harus berinovasi,” ujar Rachmad. Selain itu, menurutnya, hal lain yang menjadi tantangan dalam membuat game sekuel adalah mempertahankan hype dan kualitas dari game itu sendiri.

DreadOut: Keepers of the Dark. | Sumber: Steam

DreadOut pertama dirilis pada 2014. Sementara sekuelnya baru diluncurkan pada 2020. Enam tahun bukanlah waktu yang sebentar. Apalagi ketika ada banyak game baru yang dirilis setiap harinya. Untuk mempertahankan hype dari DreadOut, Rachmad mengungkap, salah satu strategi yang mereka gunakan adalah dengan merilis spinoff dan film adaptasi dari game horror tersebut.

“Kita merilis DreadOut: Keepers of the Dark pada 2016 dan DreadEye VR pada 2017,” jelas Rachmad. “Film adaptasinya dirilis pada 2019. Dan pada 2020, DreadOut 2 diluncurkan. Kami berusaha untuk konsisten dalam membangun hype demi mempertahankan fanbase yang sudah ada.”

Alasan Membuat Sekuel

Ketika ditanya apa alasan Digital Happiness membuat sekuel dari DreadOut, Rachmad mengatakan, mereka memang punya komitmen untuk mempertahankan intelectual property (IP) mereka. Sebelum merilis DreadOut 2 pada 2020, Digital Happiness juga meluncurkan adaptasi film dari game tersebut pada 2019. Tujuannya, Rachmad mengungkap, adalah untuk mengetahui apakah masyarakat masih tertarik dengan DreadOut sebagai IP.

Rachmad bercerita, developer besar — seperti Riot Games misalnya — punya kebebasan untuk membawa IP mereka ke media apapun yang mereka mau, seperti komik atau animasi. Namun, Digital Happiness tidak bisa melakukan hal serupa. Karena, mereka punya keterbatasan, baik dari segi dana maupun sumber daya. “Kalau mau meluncurkan game baru, kita harus hati-hati,” ujar Rachmad. “Easy bet-nya, kita teruskan DreadOut.” Harapannya, DreadOut akan bisa berdiri mandiri sebagai franchise.

Sementara itu, Adario Strange mengatakan, dalam industri film, uang mejadi alasan utama mengapa sebuah studio membuat sekuel dari sebuah film. Strange sendiri adalah jurnalis di Quartz. Dia juga merupakan penulis dan sutradara.

“Idealnya, Hollywood akan membuat film dengan alasan altruistis, seperti, ‘Kita harus menampilkan pesan ini pada para penonton.’ Dan terkadang, ada sutradara atau director yang memang punya tujuan seperti itu. Tapi, pada akhirnya, uang adalah tujuan utama,” ujar Strange, dikutip dari Quartz. “Ketika kita sudah memutuskan untuk membuat sekuel, kita tinggal memutuskan apakah film ini hanya usaha untuk mendulang uang atau kita memang membuatnya layaknya karya seni.”

Previous Story

18 Negara Eropa Serukan Larangan Loot Box dalam Video Game

Next Story

Artpedia Looks to Set Itself Apart from Other Indonesian NFT Marketplaces By Focusing on Ethereum L2s

Latest from Blog

Don't Miss

H3RO Land dari Bima+, Teman Mabar Anak Esports

Salah satu bentuk dukungan untuk perkembangan esports di tanah air
Review Poco X6 5G Hybrid

Review Poco X6 5G, Performa Ekstrem dan Sudah Dapat Pembaruan HyperOS

Poco X6 membawa layar AMOLED 120Hz dengan Dolby Vision lalu