Bagi Anda pemerhati industri ataupun fans esports Indonesia, Anda mungkin akan menemukan sejumlah foto ataupun video gadis-gadis cantik yang mendapat predikat Brand Ambassador (BA) di media sosial tim-tim esports dalam negeri.
Jika Anda cukup kritis, Anda mungkin akan menyadari bahwa tren ini anomali karena tidak ada gadis-gadis berparas rupawan yang diberi label BA esports tadi di media sosial tim-tim besar luar negeri (seperti Fnatic, Team Liquid, SKT T1, Astralis, dkk.). Di tim sepakbola Indonesia, seperti Persija dan Persib, tren ini juga tidak ditemukan. Di tim olahraga luar negeri pun (macam Juventus, Barcelona, ataupun LA Lakers) saya tidak menemukan penampakan gadis-gadis muda yang jadi bintang iklan tim tersebut di media sosialnya masing-masing.
Sebelum lebih jauh, saya ingin katakan terlebih dahulu bahwa tulisan ini ditujukan untuk mempertanyakan signifikansi tren gadis-gadis yang jadi BA esports ke ekosistem kita di Indonesia.
Namun demikian, berhubung saya juga tidak ingin meremehkan ataupun mencederai intelektualitas Anda, saya telah menghubungi berbagai pihak terkait untuk menjawab kenapa tren ini ada di Indonesia sebelum mencoba mengurai signifikansinya.
Kali ini, saya telah menghubungi Justin W (Managing Director untuk ONIC Esports), Yohannes Siagian (Vice President EVOS Esports), Gary Ongko (Owner/CEO dari BOOM ID), dan Agustian Hwang (Country Manager untuk MET Events) untuk mencoba memahami tren ini dari perspektif yang berbeda-beda.
Definisi BA Esports
https://www.youtube.com/watch?v=PQWW2BulQg0
Jujur saja, dari awal saya katakan, saya sebenarnya kurang setuju dengan istilah brand ambassador untuk kebanyakan gadis-gadis yang saya maksud di atas. Pasalnya, brand ambassador harusnya lebih dari sekadar jadi bintang iklan.
Icha “Mochalatte” Annisa, salah satu talent untuk MET Events dan dikenal sebagai shoutcaster untuk PUBGM dan Free Fire, juga sempat saya tanyai pendapatnya saat bertandang ke kantor Hybrid. Icha juga mempertanyakan kualifikasi apa yang membuat seseorang bisa disebut jadi BA tadi? “Apakah cukup dengan cantik dan hobi bermain game? Mungkin sebenarnya lebih tepat disebut sebagai talent saja, seperti saya di MET Events.” Ujar gadis cantik yang lebih memilih berperan sebagai shoutcaster ini.
Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat Icha tadi. Pasalnya, memang ada tokoh-tokoh di ekosistem kita yang memang sudah layak disebut BA untuk timnya masing-masing. Icha sendiri menyebutkan nama Audrey dari FFGaming sebagai contoh. Sedangkan saya menambahkan nama Richard Permana dari TEAMnxl.
Menurut Justin, ONIC Esports juga sebenarnya tidak mengenal posisi BA esports. Ia berpendapat bahwa BA esports itu deskjob nya tidak jelas. “Kalau dari kita, ga bisa nemuin (deskjob-nya) itu. Mungkin tim lain ada ya. Mungkin dari tim lain ada ya. Kalau kita ga ada. Kita bisa aja punya talent cewek dan dianggap BA sama khalayak luas. Namun, internally, kita sendiri enggak pakai istilah BA.” Ujar sang Managing Director yang timnya baru saja memenangkan MSC 2019.
Dengan demikian, gadis-gadis yang tadi saya sebut sebagai BA tadi, selanjutnya akan saya sebut sebagai talent di artikel ini. Lalu pertanyaannya, kenapa ada tren talent gadis-gadis cantik di Indonesia? Inilah 3 jawaban yang saya dapatkan.
1. Jalan pintas menuju popularitas
Buat Anda yang cukup kritis memperhatikan postingan di media sosial, Anda akan melihat bahwa akun gadis-gadis cantik memang lebih mudah mendapatkan angka engagement tinggi. Mereka-mereka yang berparas pas-pasan mungkin harus punya prestasi tersendiri untuk menyamai tingkat engagement yang sama dengan postingan selfie mereka yang rupawan.
Padahal, punya prestasi di bidang apapun itu faktanya tidak mudah dan tidak murah. Demikian juga dengan tim-tim esports. Jadi juara tingkat Minor ataupun kompetisi tingkat internasional itu jelas lebih sulit ketimbang membayar gadis-gadis ABG sebagai model iklan.
Membangun tim yang mampu menjuarai kompetisi tingkat internasional jelas tidak murah karena butuh pemain-pemain berbakat, manajemen yang baik, ataupun pelatih juga yang jelas tidak murahan. Ditambah lagi, butuh waktu juga untuk mengasah kemampuan para pemainnya. Sedangkan membayar gadis-gadis untuk jadi talent itu sebenarnya bisa dibilang jauh lebih murah.
Menurut cerita-cerita yang saya dengar langsung dari orang-orang belakang layar, para gadis yang jadi bintang iklan tim esports tadi range gajinya mulai dari bayaran setingkat UMR sampai belasan juta Rupiah. Sedangkan membangun tim juara ongkosnya bisa mencapai puluhan atau bahkan ratusan juta Rupiah.
Ditambah lagi, uang itu juga mudah dicari. Sedangkan pengalaman itu tak hanya butuh uang tapi juga butuh waktu yang tidak sebentar.
2. Kondisi pasar esports Indonesia
https://www.youtube.com/watch?v=WkB0Q42PZdw
Faktanya, segala sesuatu yang berhubungan dengan eksploitasi asmara atau bahkan seksualitas itu punya peluang besar untuk laris manis di pasaran, di berbagai penjuru dunia. Namun bedanya, para pejuang feminisme di komunitas barat itu jauh lebih agresif dari pada di Indonesia.
Hal itu juga yang dipercayai oleh Yohannes Siagian. Menurutnya, jika tren ini dilakukan di tim-tim luar, hal tersebut justru malah bisa mendatangkan kritikan.
“Kalau melihat situasi entertainment dan celebrity dunia dengan adanya gerakan #metoo dan aksi-aksi lain yang mengedepankan kesetaraan hak wanita dan menuntut tidak adanya diskriminasi terhadap wanita, bisa saja sebuah tim esports atau franchise olahraga lain di USA atau Eropa justru mendapat backlash yang negatif apabila mereka mempromosikan seorang BA berdasarkan kecantikan atau penampilannya.” Jelas Yohannes yang juga merupakan Kepala Pengembangan Program Esports Sekolah PSKD.
Di sisi lain, selain soal budaya massa pasar esports Indonesia, jumlah pasar esports Indonesia sendiri juga sebenarnya tidak sebesar yang dibayangkan. Padahal, jumlah fans-fans atau follower inilah yang biasanya dilihat dan dihitung oleh sponsor. Tim-tim mancanegara (macam Fnatic, Liquid, Astralis, dkk.) mungkin memang kelihatannya besar jumlahnya namun, faktanya, fans mereka tidak hanya berasal dari satu negara.
Hal inilah mungkin yang tidak disadari banyak orang melihat jumlah fans tim-tim esports internasional. Jumlah fans dari berbagai negara itulah yang membuat jumlahnya besar. Sedangkan fans-fans tim esports dalam negeri biasanya berasal dari Indonesia, mengingat kebanyakan konten media sosial tim-tim esports dalam negeri memang masih berbahasa Indonesia.
Gary Ongko, bos besar dari BOOM ID juga sudah menyadari hal ini. “Masalahnya sekarang kan tim-tim Indonesia belum rutin masuk kompetisi internasional (Minor, Major, ESL Pro League, dkk.). Mungkin nanti gayanya (pakai talent-talent gadis cantik) bisa berubah kalau udah rutin ikut turnamen-turnamen besar (tingkat dunia).”
3. Paradigma industri di usia remaja
https://www.youtube.com/watch?v=US9Cfy3WI8U
Industri digital di Indonesia sendiri memang mungkin masih remaja. Karena itulah, para pelakunya juga mungkin masih sangat terpaku pada tolak ukur kuantitas user semata dalam waktu secepat-cepatnya.
Khusus untuk poin ketiga, pendapat ini merupakan hasil dari pengamatan saya pribadi sebagai orang berkecimpung di industri game dan media dari tahun 2008. Tolak ukur kesuksesan yang terpaku pada sebatas kuantitas dan serba instan ini bisa ditemukan di semua sisi pelaku industrinya, mulai dari media, content creator, tim esports, event organizer, dan juga sponsor.
Memang, saya juga tidak menafikkan bahwa sudah ada juga yang mulai menyadari pentingnya mengejar tolak ukur lain seperti kualitas user (karena faktanya memang ada yang namanya good quality user) ataupun kualitas content. Ada juga yang menyadari bahwa kesuksesan itu butuh waktu dan proses yang tidak sebentar.
Saya pribadi pun sebenarnya tidak bisa menyalahkan paradigma tadi karena saya kira proses pendewasaan industri memang harus melalui fase itu. Ibaratnya, kebanyakan kaum muda itu ya memang maunya jadi selebriti yang tenar dan dikagumi semua orang dalam waktu sesingkat-singkatnya. Namun seiring waktu kita jadi dewasa, kita tahu bahwa ada banyak hal lain yang seharusnya dikejar selain soal ketenaran. Semakin dewasa, saya kira kita juga semakin sabar menjalani proses.
Sebelum ada yang protes, saya pakai kata ‘dewasa’ ya; bukan tua…
Idealnya, bagi saya pribadi, kualitas dan kuantitas (baik itu user ataupun content) itu berbanding lurus. Namun demikian kesulitannya adalah standar kualitas itu juga yang mungkin berbeda-beda, sesuai dengan pengalaman masing-masing individunya.
Saya juga sebenarnya percaya bahwa industri (baik pelaku ataupun pasar) apapun itu juga lambat laun akan semakin dewasa, yang membedakan hanyalah soal waktu; siapa sajakah yang lebih dulu dewasa. Namun demikian, kita sebagai bagian dari pelaku ataupun pasar esports Indonesia, kita juga bisa memilih untuk mengambil peran dalam mendewasakan industri.
4. Skill komersial pemain masih yang perlu diasah
Seperti yang pernah saya tuliskan juga saat saya mencoba mengurai permasalahan ekosistem Dota 2 di Indonesia, tren gadis-gadis yang jadi pemandu sorak di ekosistem esports Indonesia ini juga terkait dengan minimnya skill komersial para pro player esports di Indonesia.
Pasalnya, di luar negeri, peran-peran brand ambassador itu justru tidak jarang juga dipanggul oleh para pemain timnya. Gary mencontohkan jika Fnatic punya pindaPanda dan iceiceice yang bisa mempromosikan brand tim tersebut. Mereka bisa jadi icon tim tersebut meski jabatannya bukan BA. Sedangkan Yohannes juga menambahkan para icon dari tim olahraga yang juga bisa memainkan peran sebagai BA, seperti Ronaldinho untuk Barcelona ataupun Magic Johnson untuk LA Lakers.
Di Indonesia sendiri, memang sayangnya belum banyak para pemain yang punya kemampuan dari sisi komersial tadi. Jika saya harus memberi contoh, 2 nama pemain Indonesia yang langsung muncul di kepala saya adalah Richard Permana dari TEAMnxl> dan JessNoLimit dari EVOS Esports. Keduanya berperan aktif berinteraksi dengan komunitas ataupun media membawa bendera timnya masing-masing, sebagaimana peran BA yang semestinya – bukan hanya sebatas jadi bintang iklan.
Agustian Hwang, yang merintis perjuangan MET di Indonesia sampai sebesar sekarang ini, mengatakan, “Kesulitannya dari para player yang existing mayoritas belum fokus pada pengembangan diri dari sisi komersialnya.”
Saya tahu memang sebenarnya tidak mudah menemukan individu-individu yang punya kapasitas di dua hal yang berbeda, misalnya punya paras yang rupawan tapi juga cukup lincah bermain game seperti ohbaby dari IOG ataupun cukup pintar berbicara seperti Mochalatte di atas. Ataupun, jago bermain game tetapi juga pandai bersikap terhadap media ataupun fans.
Namun demikian, saya sungguh percaya bahwa skill itu bisa dilatih asalkan ada yang mau mengajarkan dan individunya sendiri mau belajar.
Tilikan signifikansi tren gadis-gadis yang jadi BA esports
Setelah tadi saya mencoba menjabarkan kenapa tren ini ada di Indonesia, izinkan saya memberikan opini saya terhadap dampak yang mungkin terjadi.
Pertama, jika boleh saya memberikan masukan, titel BA seharusnya tak lagi diberikan dengan mudah buat yang hanya sekadar jadi bintang iklan. Kenapa? Karena sebutan BA bisa jadi titel dengan kasta tertinggi buat individu-individu yang memang pintar membawa nama baik brand-nya masing-masing.
Dengan jenjang yang jelas untuk orang-orang yang memang serius di sisi branding dan komersialisasi, menurut saya, mereka akan lebih terpacu untuk meningkatkan skill-nya dan lebih aktif berinteraksi (tidak hanya sekadar duduk di pojok ruangan seorang diri atau sekadar foto bersama fans).
Faktanya, justru karena saya percaya ranah ini juga tidak mudah untuk dipelajari, mengumbar titel dengan terlalu mudah justru malah mengurangi keseriusan untuk belajar ataupun malah melecehkan mereka-mereka yang benar-benar punya kapasitas soal ini. Misalnya saja seperti titel wartawan atau jurnalis yang seolah diobral murah meriah buat mereka-mereka bahkan tak tahu kaidah-kaidah jurnalistik yang benar.
Kedua, seperti yang saya ungkapkan di bagian pertama, penggunaan para gadis sebagai talent itu memang berguna sebagai jalan pintas menuju popularitas. Nah, ketakutan saya, jalan pintas ini bisa dianggap jadi solusi permanen.
Misalnya saja, sebuah tim jadi tak lagi fokus mengejar prestasi karena sudah merasa mendapatkan cukup popularitas dan pendapatan dari memanfaatkan kecantikan talent mereka. Sponsor pun juga bisa merasa tak perlu lagi mencari tim berprestasi selama mereka punya gadis cantik yang dilabeli BA tadi.
Memang, faktanya, mengejar prestasi dan popularitas bisa dikerjakan secara bersamaan dan paralel; selama punya sekumpulan sumber daya manusia yang memang punya kapasitas di dua hal tadi. Selain itu, sampai hari ini, menurut saya sendiri kebanyakan tim-tim besar esports Indonesia memang masih mencoba menjalankan keduanya beriringan bersama.
Namun sekali lagi, jalan menuju juara di tingkat internasional itu penuh liku dan jurang terjal. Sebaliknya, ada banyak sekali gadis-gadis muda yang selalu siap diorbitkan jadi selebriti media sosial. Buat saya pribadi, aneh dan ironis saja dilihat jika ada tim esports yang akhirnya hanya sekadar jadi sekumpulan selebriti sosmed namun nihil prestasi.
Ditambah lagi, saya kira perkembangan esports Indonesia juga tidak akan beranjak ke mana-mana jika sudah tidak ada lagi tim-tim yang peduli dengan prestasi di tingkat internasional.
Semoga saja, saya yang terlalu paranoid…