Cinta Segitiga antara Game, Anime, dan Esports

Team Liquid telah membuka jalan dengan mengadakan kolaborasi bersama Naruto Shippuden

Di Jepang, anime biasanya dibuat berdasarkan pada manga yang populer. Dan jika sebuah manga memang sangat populer, tidak tertutup kemungkinan ia akan diangkat ke media lain, seperti game. Misalnya, Dragon Ball. Ada berapa banyak anime dan game yang dibuat berdasarkan seri legendaris buatan Akira Toriyama itu? Sekarang, industri game juga terikat erat dengan industri lain yang sama sekali baru, yaitu esports. Mengingat eratnya hubungan antara industri game dan anime, apakah hal itu berarti sudah pasti ada tempat untuk esports?

 

Antara Game, Anime, dan Esports 

Minggu lalu, Team Liquid mengumumkan bahwa mereka punya koleksi pakaian baru. Berbeda dengan merchandise mereka lainnya, koleksi pakaian terbaru Team Liquid merupakan hasil kolaborasi dengan Naruto Shippuden. Di Twitter, pengumuman kolaborasi Team Liquid dengan Naruto mendapatkan sambutan meriah, terbukti dengan 7 ribu retweets dan 29 ribu likes. Sebagai perbandingan, ketika LA Thieves mengumumkan seragam baru mereka di Twitter, mereka hanya mendapatkan 268 retweets dan 3,2 ribu likes. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa fans esports sangat menyukai anime.

Sayangnya, hubungan antara pelaku industri esports dan anime layaknya cinta bertepuk sebelah tangan. Saat ini, tidak banyak kolaborasi antara industri esports dengan anime. Padahal, esports punya kaitan erat dengan industri game dan kolaborasi antara industri game dan anime telah berlangsung sejak lama. Anime pertama yang diadaptasi dari game adalah Super Mario Bros.: Peach-Hime Kyushutsu Dai Sakusen! Anime berdurasi 1 jam tayang pada 1986.

Sementara itu, pada 1988, game Astro Boy -- yang didasarkan pada anime dengan judul yang sama -- dirilis untuk platform PC. Game itu merupakan salah satu game yang diadaptasi dari anime pertama. Sejak saat itu, ada banyak game yang diangkat dari anime populer, seperti Dragon Ball, Evangelion, Fullmetal Alchemist, Inuyasha, Initial D, Naruto, One Piece, dan bahkan Doraemon. Jumlah anime yang didasarkan pada game juga tidak kalah banyak, di antaranya adalah Devil May Cry, Fatal Fury, Kingdom Hearts, Street Fighter, Virtua Fighter, dan Final Fantasy XV.

Tak berhenti sampai di situ, jumlah anime yang mengangkat tema game, termasuk trope masuk ke dalam dunia game, juga tidak sedikit. Sebut saja Overlord, Sword Art Online, Log Horizon, No Game No Life, serta .hack. Dan walaupun gamer anime tidak masuk dalam dalam daftar anime paling populer, anime Sword Art Online masih berlanjut hingga sekarang. Padahal, season pertama dari anime Sword Art Online ditayangkan pada 2012. Hal ini menunjukkan, selama 8 tahun, anime Sword Art Online -- yang merupakan gamer anime -- masih cukup diminati.

Selain game, anime juga sering mengangkat tema olahraga, mulai dari olahraga populer, seperti sepak bola, basket, dan baseball, sampai olahraga yang tak terlalu diminati, seperti voli, balap sepeda, atau bahkan american football. Dan esports sendiri kini semakin diakui sebagai olahraga. Meskipun begitu, hampir tidak ada anime yang mengangkat tema esports. Sejauh ini, satu-satunya anime yang mengambil tema esports adalah High Score Girl. Anime itu dirilis pada 2018. Hanya saja, anime tersebut mengambil setting pada 1991. Jadi, jangan harap Anda akan melihat ekosistem esports yang sudah berkembang seperti sekarang.

Saat ini, satu-satunya animasi yang bercerita tentang pemain esports adalah Quan Zhi Gao Shou atau The King's Avatar. Hanya saja, The King's Avatar -- yang tersedia dalam bentuk komik, animasi, dan bahkan live action -- merupakan produk buatan Tiongkok. Di sisi lain, Netflix juga baru saja mengumumkan seri animeDota: Dragon's Blood. Seri yang didasarkan pada Dota 2 itu akan diluncurkan pada 25 Maret 2021. Meskipun diklaim sebagai "anime", Dragon's Blood ditangani oleh Studio MIR, studio asal Korea Selatan yang juga pernah membuat The Legend of Korra dan Voltron: Legendary Defender.

Dua contoh di atas menunjukkan, jika dibandingkan dengan Jepang, Tiongkok dan Korea Selatan lebih cepat mengadopsi budaya esports, termasuk dalam membuat komik dan animasi bertema competitive gaming. Tak hanya masyarakatnya, pemerintah Jepang juga terbilang lambat untuk mendukung indsutri esports. Mereka baru mengungkap rencana mereka untuk mengembangkan industri esports pada Mei 2020.

"Kota Esports" yang dibuat oleh pemerintah Hangzhou. | Sumber: Esports Insider

Sebagai perbandingan, Hangzhou -- kota di Tiongkok yang dikenal dengan industri pariwisatanya -- telah membuka "kota esports" pada November 2018. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah Hangzhou menghabiskan RMB2 miliar (sekitar Rp4,3 triliun) untuk membuat kota esports seluas 3,94 juta kaki persegi itu. Tak hanya pemerintah kota, pemerintah pusat Tiongkok juga menunjukkan kepedulian pada esports. Pada Februari 2019, Beijing mengakui pemain esports sebagai profesi resmi. Di Indonesia, pada April 2019, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pemerintah akan mendukung industri esports dengan membangun infrastruktur digital. Dalam Piala Presiden 2019, esports juga sudah menjadi salah satu cabang yang diadu.

Kenapa Jepang lambat mengadopsi budaya esports padahal jumlah gamer mereka mencapai lebih dari setengah populasi? Salah satu alasannya adalah karena kebanyakan game yang dimainkan oleh gamer Jepang -- baik pemain mobile maupun konsol -- adalah game single-player. Karena kebanyakan game yang dimainkan oleh pemain Jepang adalah game single-player, maka pertumbuhan ekosistem esports di sana pun tidak sepesat di negara-negara lain yang para gamers-nya hobi bermain game multiplayer kompetitif.

Jumlah gamer profesional bisa menjadi salah satu tolok ukur untuk melihat pertumbuhan ekosistem esports di sebuah negara. Menurut Statista, pada 2019, jumlah gamer profesional di Jepang hanya mencapai 578 orang. Sementara di Tiongkok dan Korea Selatan, jumlah gamer profesional lebih dari seribu orang. Memang, Tiongkok punya populasi yang jauh lebih besar daripada Jepang. Pada 2019, populasi Tiongkok hampir mencapai 1,4 miliar orang sementara jumlah penduduk Jepang hanya mencapai 126 juta orang. Meskipun begitu, populasi Korea Selatan jauh lebih sedikit dari Jepang. Pada 2019, jumlah penduduk Korea Selatan 51,7 juta orang. Hal ini berarti, jumlah gamer profesional di satu negara tidak hanya dipengaruhi oleh besarnya populasi.

Jumlah gamer profesional di setiap negara pada 2019. | Sumber: Statista

Bukti lainnya, Amerika Serikat menjadi negara dengan jumlah gamer profesional terbanyak -- mencapai lebih dari 5 ribu orang -- walau jumlah penduduk mereka hanyalah 328 juta orang, tidak sampai dari setengah populasi Tiongkok.

 

Keuntungan Kerja Sama Organisasi Esports dan Anime

Jika perkembangan ekosistem esports di Jepang terbilang lambat, kenapa kolaborasi antara Team Liquid dan Naruto menjadi menarik untuk dibicarakan? Alasannya sederhana: karena penonton esports dan anime punya karakteristik yang mirip.

"Saya lebih heran kenapa baru sekarang," kata Irliansyah Wijanarko Saputra, Chief Growth Officer, RevivalTV, mengungkapkan pendapatnya soal kerja sama Team Liquid dengan Naruto. "Esports sudah bukan cuma pertandingan game atau mainan anak-anak saja, tapi sudah jadi lifestyle untuk generasi milenial dan di bawahnya. Jadi, wajar kalau Naruto atau anime, yang merupakan bentuk hiburan yang sudah 'dimaklumi' generasi milenial dan di bawahnya, kerja sama dengan organisasi esports."

Irli membandingkan kerja sama antara Team Liquid dan Naruto dengan kolaborasi antara perusahaan otomotif dan golf. "Ada stick golf BMW, atau brand Gucci atau LV yang membuat sepeda. Hal in iterjadi karena golf dan sepeda memang hiburan dan bagian dari gaya hidup generasi di atas kita," ungkapnya.

Sementara itu, Shoutcaster, Wibi "8KEN" Irbawanto mengatakan, walau demografi penonton esports dan anime tidak persis sama, keduanya punya banyak kesamaan. "Melihat effort yang dikeluarkan dari tim dan publisher game untuk membuat cross-content, seperti League of Legends dengan skin Sailor Moon-nya atau CS:GO dengan skin muka karakter anime, tidak bisa dipungkiri bahwa demografi industri esports dan anime memang banyak bersinggungan."

Bicara soal demografi, rata-rata umur penonton esports di AS adalah 28 tahun, menurut laporan GameScape dari Interpret pada 2017. Sementara 39% dari penonton esports ada di rentang umur 25-34 tahun. Jika dibandingkan dengan demografi penonton esports, target penonton anime jauh lebih luas. Anime menargetkan penonton segala umur, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Karena itu, anime bahkan dikategorikan berdasarkan gender dan umur. Misalnya, kategori shounen dan shoujo, yang menyasar remaja umur 12-18 tahun, seinen dan josei yang menyasar penonton di umur 18-40 tahun, dan kodomo, yang ditujukan untuk anak-anak di bawah umur 10 tahun. Meskipun begitu, seperti yang disebutkan oleh Irli dan Wibi, ada singgungan antara penonton esports dan anime.

Apa artinya?

Dalam dunia marketing, ada istilah "targeting in marketing", yang mengacu pada strategi untuk fokus pada segmen konsumen yang spesifik. Salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan angka penjualan. Sebagai ilustrasi, jika Anda menjual cokelat menjelang Hari Valentine, Anda akan mendapatkan untung lebih besar jika Anda menjajakan cokelat pada orang-orang yang sudah punya kekasih daripada jualan di depan para jomlo. Karena, orang yang sudah punya kekasih akan lebih membutuhkan cokelat.

Hal yang sama juga berlaku untuk esports dan anime. Fans esports dan anime punya "bahasa yang sama", seperti yang disebutkan oleh Irli. Hal itu berarti, fans esports punya kemungkinan lebih besar untuk menonton anime atau membeli merchandise anime. Begitu juga sebaliknya. Fans anime lebih cenderung tertarik untuk menonton konten esports. Menurut Irli, fans anime punya kemungkinan lebih besar untuk suka dengan esports karena konten esports biasanya menampilkan konsep "journey to become a hero", konsep yang sering diusung oleh kebanyakan anime, khususnya shounen, seperti Naruto.

Bagi organisasi esports, salah satu keuntungan yang didapat dari berkolaborasi dengan anime ternama adalah brand exposure. Dengan membuat pakaian bertema Naruto, Team Liquid dapat mengekspos brand mereka pada fans Naruto dan anime secara umum.

"Kolaborasi Team Liquid dengan salah satu brand terbesar di dunia anime, Naruto, harusnya dapat menarik massa untuk membeli jaket Team Liquid yang baru," kata Wibi. "Dalam proses tersebut, orang-orang yang mengakses store Team Liquid juga akan terekspos dengan produk-produk Team Liquid lainnya, dan yang terekspos karena berbondong-bondong di-share orang-orang melalui sosial media juga akan terekspos dengan brand Team Liquid."

 

Potensi Kolaborasi Antara Organisasi Esports Indonesia dengan Anime

Ketika ditanya apakah organisasi esports lokal bisa mengikuti jejak Team Liquid, Irli menjawab, "Tinggal tunggu waktu saja sih, menurutku." Lebih lanjut, dia membahas tentang tantangan yang harus dihadapi oleh tim esports Indonesia jika mereka memang ingin mengadakan kolaborasi dengan anime. "Penghalangnya adalah kesulitan untuk mendapatkan akses ke pihak yang punya lisensi anime-nya. Dan dari pihak anime, kalau kerja sama dengan agency di Indonesia, biasanya berupa acara komunitas dan nobar gitu," ungkap Irli.

Irli menyebutkan, jalan yang paling memungkinkan bagi organisasi esports lokal untuk menggandeng franchise anime adalah melalui Dentsu, perusahaan iklan dan PR Jepang yang juga membuka cabang di Indonesia. "Paling mentok, masuk lewat Dentsu. Dan dari Dentsu Indonesia yang milih untuk menghubungkan sama tim esports," ujarnya.

Jika organisasi esports Indonesia ingin menjalin kerja sama dengan franchise anime, tantangan lain yang harus mereka hadapi adalah mereka harus menyiapkan strategi aktivasi yang baik. Pasalnya, jelas Irli, kerja sama dengan pelaku esports biasanya tidak akan berbuah manis dalam waktu pendek. Jadi, organisasi esports Tanah Air harus bisa meyakinkan pemegang lisensi anime untuk menjalin kerja sama dalam jangka waktu panjang. Sementara saat ini, satu-satunya konsep kerja sama antara tim esports dan anime yang paling masuk akal adalah kolaborasi apparel, seperti yang dilakukan oleh Team Liquid dengan Naruto.

Kaos hasil kolaborasi antara Team Liquid dan Naruto.

Sementara jika organisasi esports lokal mencoba untuk bekerja sama dengan franchise komik atau animasi lokal, hal ini justru akan memberatkan pelaku esports itu sendiri. Irli mengatakan, saat ini, esports masih lebih populer dari komik lokal. "Jadi tidak equal kalau mengadakan kerja sama bisnis," katanya. "Ya, bisa tetap jalan, tapi lebih ke tim esports dukung komik lokal dan bukan sebaliknya."

Meskipun begitu, Irli menyebutkan, tidak tertutup kemungkinan, tim esports lokal bekerja sama dengan komikus atau animator Indonesia untuk membuat intellectual property yang sama sekali baru. "Misalnya, ada plan untuk membuat komik dan universe-nya sebagai bagian dari bisnis di masa depan," katanya. "Bisa saja, tim esports kerja sama dengan komikus lokal sebagai bagian dari marketing IP baru tersebut."

 

Kesimpulan

Game dan anime layaknya pasangan yang sempurna, a match made in heaven. Keduanya saling melengkapi. Kolaborasi keduanya juga sudah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun. Mengingat esports merupakan turunan dari industri game, seharusnya, mengadakan kerja sama antara pelaku esports dan anime bukanlah hal yang sulit, kan? Salah.

Sayangnya, sejauh ini, tidak banyak kerja sama antara pelaku industri esports dan anime. Salah satu alasannya adalah karena di Jepang, ekosistem esports memang tidak tumbuh sepesat di negara-negara lain, seperti Tiongkok, Korea Selatan, atau Amerika Serikat. Meskipun begitu, Team Liquid telah membuka jalan dengan kolaborasinya bersama Naruto Shippuden. Di atas kertas, kerja sama itu seharusnya berbuah manis. Karena, penonton esports dan anime punya beberapa kemiripan.

Meskipun begitu, sukses atau tidaknya kolaborasi dari Team Liquid akan terlihat dari seberapa laku koleksi apparel terbaru mereka. Jika kerja sama itu memang terbukti sukses, tentunya akan ada semakin banyak organisasi esports yang mengikut jejak Team Liquid.