Dark
Light

Cerita di Balik Pembuatan A Space for the Unbound

7 mins read
February 13, 2023
A Space for the Unbound berhasil menarik perhatian banyak gamers di dunia.

Pada Januari 2023, Mojiken Studio merilis sebuah game baru. Ialah A Space for the Unbound, yang berhasil duduk di peringkat pertama dalam daftar “New & Trending” di Steam pada hari pertama rilis.

Tak hanya itu, di Steam, game tersebut juga mendapatkan status “Overwhelmingly Positive”. Hal itu berarti, sekitar 95-99% reviews akan game itu bersifat positif.

Dalam artikel ini, saya mencoba untuk membahas apa yang membuat A Space for the Unbound sukses, serta cerita di balik pengembangan game ini, yang memakan waktu hingga 8 tahun.

Marketing yang Mojiken Lakukan

Sebelum ini, saya pernah membahas tentang pentingnya marketing dari sebuah game. Untuk bisa laris manis, sebuah game tidak hanya harus punya gameplay yang menarik atau grafik yang apik, tapi juga sistem distribusi dan pemasaran yang baik. Sebuah game yang berkualitas tidak akan menjual jika tidak ada orang yang tahu akan game tersebut. Dan di sinilah peran marketing.

Kesuksesan A Space for the Unbound pun tidak lepas dari strategi marketing yang diterapkan oleh sang developer, Mojiken. Tentang marketing, CEO Mojiken, Eka Pramudita mengatakan, Mojiken sudah melakukan kegiatan marketing untuk A Space for the Unbound jauh sebelum game itu dirilis. Twitter menjadi platform utama bagi Mojiken untuk melakukan kegiatan marketing.

“Untuk kontennya bisa bermacam-macam,” kata Eka ketika dihubungi melalui pesan singkat. “Tapi yang jelas, tujuannya adalah untuk membangun komunitas. Sehingga, ketika game-nya rilis, komunitas ini bisa menjadi advokat kami, setidaknya, dari mulut ke mulut.”

Salah satu contoh bentuk marketing yang Mojiken lakukan adalah membagikan screenshot dari game dengan caption yang “out of context”. “Sehingga, player akan merasa familier dengan visualnya, tapi dia baru akan tahu konteksnya setelah dia memainkan game-nya,” kata Eka.

Contoh lain dari kegiatan marketing yang Mojiken lakukan adalah membagikan “bullshot”, yaitu screenshot “palsu” yang Mojiken buat menggunakan aset dalam game. “Kami juga pernah membuat konten untuk meng-highlight bug yang kami temukan saat proses development, sehingga terasa lucu,” jelas Eka.

Keberadaan toko digital seperti Steam dan Epic Games Store memudahkan developer untuk merilis game mereka secara digital. Uniknya, A Space for the Unbound tidak hanya diluncurkan secara digital. Game ini juga tersedia secara fisik.

Eka menjelaskan, keputusan untuk meluncurkan versi fisik dari game terbaru mereka datang dari Chorus Worldwide, publisher yang bertanggung jawab atas A Space for the Unbound di konsol. Eka percaya, Chorus sudah memiliki perhitungan tersendiri sebelum mereka memutuskan untuk merilis versi fisik.

Tak hanya versi fisik, A Space for the Unbound juga memiliki merchandise sendiri. Memang, sebelum membuat merchandise untuk game tersebut, Mojiken sudah punya pengalaman untuk menawarkan merchandise dari When the Past Was Around, game mereka yang lain.

“Biasanya, kami baru memproduksi merchandise ketika kami akan memamerkan game bersangkutan dalam event yang akan diadakan dalam waktu dekat,” jelas Eka ketika ditanya tentang alasan Mojiken untuk membuat merchandise. “Namun, rencana soal tipe merchandise itu apa saja, kami sudah memikirkan hal ini bahkan saat proses pengembangan berlangsung. Terkadang, saat membuat konsep karakter atau visual tertentu, kami mempertimbangkan apakah karakter/visual itu bisa dijadikan merchandise.”

Lebih lanjut Eka menjelaskan, terkait jumlah merchandise, Mojiken biasanya tidak memproduksi terlalu banyak. “Target kami adalah paling tidak, saat pulang dari event, barang jualan sudah habis. Sehingga, kami tidak perlu capek untuk packing kembali barang jualan kami,” ujarnya.

Eka mengungkap, saat ini, total penjualan merchandise masih belum memberikan kontribusi yang signifikan pada total pemasukan sebuah game. “Namun, biasanya, hasil penjualan merchandise ini sudah cukup untuk membiayai perjalanan pulang-pergi ke event tersebut,” katanya.

Inspirasi untuk A Space for the Unbound

Ide dari A Space for the Unbound telah ada sejak 2015. Creator dan Director Dimas Novan Delfiano mengatakan, dia mendapatkan ide untuk membuat A Space for the Unbound ketika dia mengikuti Mojiken Camp, sebuah game jam internal.

“Saat itu, saya belum punya visi yang jelas tentang gameplay dari A Space for the Unbound. Saya hanya membuat game eksperimental dan concept trailer,” kata Dimas dalam Devlog. “Namun, ternyata game ini menarik perhatian cukup banyak orang dan kami pun memutuskan untuk mengembangkan game tersebut.”

Tampilan awal A Space for the Unbound. | Sumber: Steam

Lebih lanjut, Dimas menjelaskan, pada dasarnya, dia hanya ingin menyampaikan cerita tentang seorang remaja perempuan yang menjalani hidup sehari-hari dengan bahagia, walau dia punya rahasia. “Saya mendapatkan inspirasi dari banyak film, manga, dan anime,” jelasnya. “Sebagian memiliki genre slice of life, tapi, juga ada genre magical realism.”

Dua film yang Dimas sebutkan secara spesifik sebagai inspirasi adalah Inception buatan Christopher Nolan dan The Truman Show dari Peter Weir. Selain itu, dia mengaku, dia juga mendapatkan inspirasi dari manga karya Oshimi Shuuzo serta novel berjudul The Strange Library dari Haruki Murakami.

Space Dive — masuk dalam kesadaran sebuah karakter — merupakan bagian penting dari A Space for the Unbound. Dimas mengatakan, konsep dari Space Dive didasarkan pada kegiatan journaling.

Journaling itu kan cara untuk merapikan isi kepala itu dengan menulis,” jelas Dimas dalam acara Speak of the Dev dari Asosiasi Game Indonesia (AGI). “Buku merah dalam game menjadi ‘alat’ untuk menggambarkan kegiatan itu.” Hanya saja, di A Space for the Unbound, penggunaan buku merah terasa lebih fantastis. Pasalnya, Mojiken memang ingin menambahkan unsur magical ke dalam game.

“Harapannya, mekanisme Space Dive akan terasa lebih menarik untuk para pemain, daripada sekedar menulis,” ungkap Dimas. Keuntungan lain yang didapat Mojiken dengan menerapkan mekanisme Space Dive adalah kebebasan untuk membuat visual yang “liar”.

Keputusan untuk Mengambil Setting Lokasi di Indonesia

Salah satu daya tarik dari A Space for the Unbound adalah setting lokasi dan waktunya, yaitu di Indonesia pada era 1990-an. Menariknya, di Devlog, Dimas mengaku, pada awal pembuatan A Space for the Unbound, dia tidak berencana untuk menjadikan era 1990-an sebagai setting waktu untuk game tersebut.

“Sebagai seseorang yang tumbuh besar menonton anime dan lahir di era 1990-an, saya hanya ingin mengabadikan kenangan indah saya di era itu,” tulis Dimas.

Dia bercerita, saat dia SMA, dia sangat kagum dengan karya Makoto Shinkai. Pasalnya, Shinkai menyertakan banyak lokasi yang didasarkan pada dunia nyata di karyanya. Dimas pun sadar, banyak anime yang memang menunjukkan lokasi asli. Dari sana, dia tahu tentang “anime pilgrimage“, yaitu ketika sekelompok orang melakukan tur ke berbagai lokasi yang hadir di anime. Dalam “hijrah” ini, para peserta akan membandingkan lokasi di dunia nyata dengan tampilan di anime.

A Space for the Unbound menjadikan Indonesia sebagai setting lokasi. | Sumber: Steam

“Jika kita bisa memvisualisasi lingkungan sekitar kita, kota asal kita di cara yang berbeda — dalam kasus ini, ke dalam bentuk pixel art — mungkin kita akan menjadi lebih mengapresiasi tempat kita tinggal. Dan mungkin, kita bisa menambahkan nilai baru ke tempat tersebut,” jelas Dimas.

A Space for the Unbound mengambil setting lokasi dan waktu yang spesifik, yaitu Indonesia. Namun, game ini bisa diterima oleh gamers dari berbagai negara. Menurut Eka, hal ini bisa terjadi karena A Space for the Unbound mengusung tema dan cerita yang universal, yaitu emosi, usaha untuk move on, dan penerimaan akan diri sendiri.

“Nuansa Indonesia sendiri hanyalah elemen pendukung dari pesan utama tersebut,” ungkap Eka. “Jadi, kami tidak serta merta memasukkan elemen Indonesia yang tidak punya korelasi dengan pesan utama.”

Penulisan dan Pelokalan A Space for the Unbound

Ide untuk A Space for the Unbound memang datang dari Dimas, sang Director. Namun, tanggung jawab untuk menulis naskah dan skenario dari game tersebut jatuh pada Brigitta Rena.

Rena bercerita, dia memutuskan untuk menjadi game writer setelah mendapat permintaan dari Dimas. Dia mengungkap, pada empat tahun pertama pengembangan A Space for the Unbound, Dimas sudah memiliki cerita yang ingin dia sampaikan. Masalahnya, cerita itu masih belum koheren. Rena pun diminta untuk membuat “benang merah” yang menyambungkan satu plot dengan yang lain.

“Sejak awal, motivasiku untuk masuk dalam tim A Space for the Unbound adalah untuk bantu Dimas agar apa yang dia cita-citakan untuk sampaikan di Space bisa direalisasikan,” kata Rena dalam obrolan bersama Telanjur Gaming.

Dia menjelaskan, tim penulis untuk A Space for the Unbound baru terbentuk setelah demo dari game tersebut dirilis, yaitu pada April 2020. “Jadi, yang menulis cerita Atma sama Nirmala itu bukan tim penulis yang sekarang, tapi Dimas dan Mas Eka,” ujarnya.

Rena mengungkap, sebagai Director dan Creator, Dimas punya banyak ide untuk A Space for the Unbound. Ide-ide itu lalu “dirangkum” oleh Eka, yang juga menjadi Producer A Space for the Unbound. Dan “rangkuman” inilah yang menjadi pondasi bagi para penulis untuk membuat skenario dari A Space for the Unbound.

Dalam menulis naskah A Space for the Unbound, Rena tidak sendiri. Dia dibantu oleh Elwin Lysander dan Galuh Elsa, yang akrab dengan panggilan Sasha. Berbeda dengan Rena dan Elwin, Sasha bukanlah bagian dari Mojiken, tapi Toge Productions. Dia bercerita, dia ditugaskan untuk membantu Mojiken dengan A Space for the Unbound pada akhir 2020.

A Space for the Unbound juga hadir dalam Bahasa Indonesia.

Baik Rena maupun Sasha mengaku, proses penulisan A Space for the Unbound tidak selesai dalam satu iterasi. Ada kalanya, tim penulis harus menulis ulang skenario pada game tersebut. Rena mengungkap, untuk memastikan bahwa skenario yang penulis buat tidak melenceng dari tujuan utama, mereka selalu mengacu pada “rangkuman” yang dibuat oleh Eka sebagai Producer.

Rena juga mengatakan, sebelum cerita A Space for the Unbound mulai ditulis, tim Mojiken membuat “bible” yang menjelaskan berbagai elemen dalam game, termasuk deskripsi karakter. Di sini, juga dijelaskan tentang ciri khas para karakter, termasuk hal-hal yang mereka benci atau sukai.

Keberadaan “bible” ini memudahkan Sasha untuk membantu Rena dalam menulis naskah untuk A Space for the Unbound. Dengan adanya acuan tersebut, perilaku karakter dalam A Space for the Unbound bisa tetap konsisten. Pasalnya, setiap penulis biasanya punya kebiasaan dan ciri khas menulis yang berbeda-beda. Jika tidak hati-hati, sebuah proyek yang dikerjakan oleh lebih dari satu penulis bisa menunjukkan perbedaan gaya tulis ini.

Walaupun A Space for the Unbound mengambil setting lokasi di Indonesia, tim penulis Mojiken memutuskan untuk membuat skenario Bahasa Inggris terlebih dulu. Setelah itu, barulah naskah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Karena itulah, Sasha bercerita, ada beberapa hal yang tim penulis diskusikan secara mendalam. Salah satu contohnya adalah nama makanan.

“Kita mempertimbangkan apa nama bakso harus diganti menjadi meatball soup, biar orang bule juga tetap mengerti,” ungkap Sasha. Namun, pada akhirnya, tim penulis Mojiken memutuskan untuk tidak mengganti nama bakso. “Kami menjadikan anime sebagai referensi. Di anime, ramen tidak disebut noodle soup, tapi tetap ramen. Setelah beberapa waktu, orang-orang terbiasa menyebut ramen.”

Pelokalan ke Bahasa Indonesia dilakukan setelah naskah dalam Bahasa Inggris selesai.

Setelah naskah dari A Space for the Unbound selesai, proses penerjemahan dan pelokalan ke Bahasa Indonesia diserahkan pada Lasheli Dwitri. Sebelum ini, dia pernah menjadi penulis dari My Lovely Wife, game buatan GameChanger Studio. Dia mengaku, fakta bahwa A Space for the Unbound mengambil setting lokasi di Indonesia memudahkannya dalam melakukan pelokalan. Karena, dia bisa langsung memahami konteks yang ada.

“Contohnya, civil servant. Saya langsung paham, itu maksudnya PNS. Jadi, tidak usah diterjemahkan ke pegawai sipil,” ujarnya.

Lalu, kenapa Mojiken memilih untuk membuat naskah dalam Bahasa Inggris terlebih dulu? Rena bercerita, sebelum ini, Mojiken pernah membuat naskah dari sebuah gameShe and the Light Bearer — dalam Bahasa Indonesia. Setelah itu, barulah naskah diterjemahkan dan dilokalkan ke dalam Bahasa Inggris.

Namun, Rena mengaku, proses penerjemahan ke Bahasa Inggris justru sangat menyulitkan. Apalagi, karena bahasa yang digunakan dalam She and the Light Bearer memang cenderung puitis. Alhasil, Mojiken harus mencari naturalizer demi menerjemahkan She and the Light Bearer ke dalam Bahasa Inggris. Belajar dari pengalaman, Mojiken pun memilih untuk menulis naskah A Space for the Unbound langsung dalam Bahasa Inggris.

Windows 11 akan hadirkan fitur pengaturan RGB
Previous Story

Windows 11 Bakal Hadirkan Pengaturan “All-in-One” untuk Aksesori RGB

WordPress AI
Next Story

WordPress Uji Coba Gambar dan Konten Buatan AI

Latest from Blog

Don't Miss

H3RO Land dari Bima+, Teman Mabar Anak Esports

Salah satu bentuk dukungan untuk perkembangan esports di tanah air
Review Poco X6 5G Hybrid

Review Poco X6 5G, Performa Ekstrem dan Sudah Dapat Pembaruan HyperOS

Poco X6 membawa layar AMOLED 120Hz dengan Dolby Vision lalu