RPG adalah salah satu genre favorit gamers di dunia. Menurut Statista, 69% gamers mengatakan, single player RPG merupakan tipe game favorit mereka sementara 73,6% gamers sangat menyukai MMORPG. Tipe game RPG juga sangat populer di Tiongkok dan India.
Buktinya, di Tiongkok, jumlah gamers yang menyukai single player RPG mencapai 83,2% dan MMORPG 84%. Sementara di India, jumlah gamers yang menyukai single player RPG mencapai 81,8% dan MMORPG 77,8%. Di Indonesia, jumlah gamers yang menyukai RPG memang tidak sebanyak di Tiongkok atau India, tapi jumlahnya tetap cukup signifikan. Sebanya 66,4% gamers Indonesia menyukai single player RPG dan 67,6% gamres suka MMORPG.
Hal ini memunculkan pertanyaan:
Kenapa Gamers Suka Main RPG?
Salah satu hal yang membedakan RPG dengan game bergenre lain adalah dunia yang imersif dan alur cerita yang kompleks. Dua hal ini memungkinkan pemain untuk fokus sepenuhnya pada segala sesuatu yang terjadi di dalam game dan melupakan masalah mereka di dunia nyata, walau hanya sejenak. Dengan kata lain, salah satu alasan mengapa gamers senang bermain RPG adalah sebagai bentuk escapism.
Sebagai manusia, kita memang tidak bisa terus melarikan diri dari masalah yang ada di dunia nyata. Namun, kita juga tidak bisa menghabiskan seluruh waktu kita hanya untuk bekerja. Bermain game bisa jadi salah satu kegiatan yang dilakukan saat seseorang sedang beristirahat. Faktanya, bermain RPG bisa membantu pemain untuk menghadapi brain strain.
Ketika seseorang menerima informasi baru, otak akan memproses informasi tersebut sebelum menyimpannya ke memori sehingga ingatan tersebut bisa diingat kembali di masa depan. Hanya saja, ketika seseorang stres, proses ini tidak berjalan dengan lancar. Informasi yang seharusnya diproses oleh otak justru menjadi tersendat. Saat seorang bermain game, rasa stres akan menghilang atau setidaknya, berkurang. Hal ini memungkinkan otak untuk kembali mencerna informasi baru. Jika dibandingkan dengan genre lain, RPG memang akan menyajikan informasi baru lebih banyak. Alhasil, otak bisa bekerja seperti seharusnya dan informasi yang tadinya tersendat bisa diproses oleh alam bawah sadar.
Hal lain yang menjadi daya tarik dari RPG adalah kemungkinan untuk memainkan banyak peran. Bahkan di MMORPG, yang biasanya lebih fokus pada pertarungan daripada cerita, pemain tetap bisa memilih peran yang ingin dimainkan. Tergantung pada peran yang Anda pilih — mulai dari DPS, Tank, sampai Support — maka pengalaman bermain yang Anda dapatkan pun akan berbeda. Sementara di single player RPG yang menjadikan cerita sebagai daya jual, pemain bahkan punya kekuasaan untuk mengubah alur cerita. Contohnya, Undertale. Dalam game tersebut, ending yang Anda dapatkan akan tergantung pada berapa banyak monster yang Anda bunuh sepanjang perjalanan Anda.
Dalam Tabletop RPG (TTRPG), pemain bahkan lebih leluasa dalam mendesain karakter mereka. Sebagai contoh, dalam Dungeons & Dragons, Anda tidak hanya bisa menentukan class dan ras dari karakter yang Anda mainkan, tapi juga background dari karakter tersebut. Background juga akan memengaruhi kemampuan yang dimiliki oleh seorang karakter. Karakter yang memiliki Criminal sebagai background akan dapat menghubungi jaringan kriminal di sebuah kota. Sebaliknya, karakter yang merupakan City Watch justru dapat menemukan organisasi penegak hukum di sebuah kota. Tak hanya itu, seorang City Watch juga akan bisa menemukan pusat kegiatan kriminal di satu kota. Dengan begitu, walaupun Anda dan teman Anda memutuskan untuk memainkan class dan ras yang sama, gaya bermain Anda dan teman Anda tetap bisa berbeda.
Walau tidak semua, RPG juga mendorong para pemainnya untuk bersosialisasi. MMORPG biasanya didesain untuk mendorong para pemainnya agar bekerja sama dengan satu sama lain. Karena itulah, MMORPG biasanya punya sistem klan/guild. Selain itu, masing-masin class/job di MMORPG juga punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Alhasil, pemain harus saling bekerja sama untuk menutupi kelemahan class/job mereka. Begitu juga dengan TTRPG. Dalam TTRPG seperti Dungeons & Dragons, pemain bahkan bisa menghindari pertarungan sama sekali jika mereka bersedia untuk bernegoisasi.
Di tengah pandemi, game tidak hanya menjadi kegiatan untuk melepas stres, tapi juga menjadi tempat bagi teman dan keluarga untuk berkumpul bersama dan saling berkomunikasi. Stereotipe bahwa gamers adalah penyendiri tak lebih dari mitos.
Apa yang Menarik dari The Sims dan Harvest Moon?
Jika salah satu daya tarik RPG adalah dunia yang sama sekali berbeda dari dunia nyata, maka game simulasi seperti The Sims dan Harvest Moon menjadi antitesis dari RPG. Pasalnya, The Sims merupakan simulasi dari kehidupan sehari-hari. Sementara Harvest Moon merupakan salah satu contoh game simulasi bercocok tanam, sesuatu yang bisa Anda lakukan di dunia nyata. Meskipun begitu, tetap ada gamers yang senang untuk bermain game simulasi kehidupan sehari-hari atau simulasi menjadi petani. Buktinya, Electronic Arts masih memberikan update untuk The Sims 4. Tak hanya itu, dari hari ke hari, jumlah game simulasi bertani terus bertambah. Salah satu yang terbaru adalah Coral Island dari Stairway Games, studio asal Yogyakarta, Indonesia.
Di tengah pandemi, banyak orang yang merasa hidupnya menjadi kacau balau; mulai dari mereka yang harus membatalkan rencana liburan bersama teman atau keluarga, mereka yang kehilangan pekerjaan, sampai mereka yang kehilangan orang-orang terdekat mereka. Chris Ferguson, dosen psikologi di Stetson University, menjelaskan bahwa memainkan game seperti The Sims dan Animal Crossing bisa membuat para pemain merasa punya kendali. Walau pemain tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di dunia nyata, tapi mereka memegang kendali atas kehidupan karakter dalam game.
Selain kehidupan perseorangan, pandemi juga mendisrupsi tatanan dunia. Memainkan game simulasi kehidupan bisa memberikan para pemain sense of continuity, memudahkan mereka dalam melanjutkan kehidupan sehari-hari mereka. “Walau rutinitas sehari-hari kita di dunia nyata terganggu, setidaknya, kita bisa melanjutkan kehidupan dari karakter kita di game,” kata Thaddeus Griebel, seperti dikutip dari CNBC.
Griebel merupakan penulis dari jurnal berjudul Self-Portrayal in a Simulated Life: Projecting Personality and Values in The Sims 2. Studi yang dirilis pada 2006 itu berusaha untuk menjawab pertanyaan apakah gamers memang memproyeksikan diri mereka ketika mereka bermain The Sims. Dalam studi tersebut, Griebel menemukan, beberapa nilai yang dianggap penting oleh pemain dalam dunia nyata akan tercermin pada karakter The Sims. Misalnya, pemain yang mementingkan kekayaan akan berusaha untuk membuat karakter mereka kaya, walau hal itu berarti, karakter mereka harus melakukan pekerjaan yang membosankan. Sementara pemain yang menganggap kreativitas penting akan membuat karakter yang aktif melakukan hal-hal berbau seni, seperti melukis dan bermain piano.
Selain itu, sebanyak 70% dari partisipan studi Griebel mengatakan bahwa kehidupan karakter The Sims mereka merupakan cerminan dari kehidupan mereka. Sebagai contoh, sebanyak 10 partisipann mengaku, struktur keluarga dari karakter The Sims mereka sama seperti struktur keluarga mereka. Sementara sembilan partisipan mengatakan, karakter The Sims mereka punya hobi dan aspirasi yang sama dengan diri mereka.
“The Sims memberikan kesempatan pada semua orang untuk membuat karakter yang dapat merefleksikan diri mereka, harapan dan mimpi mereka, atau bahkan ketakutan mereka,” kata John Suler, dosen psikologi di Rider University. “Pengalaman tersebut dapat memperkaya pengalaman hidup seseorang.”
Bermain Peran, dari Sisi Psikologis
Secara harfiah, role-playing berarti memainkan peran. Sebenarnya, bermain peran adalah sesuatu yang sudah kita lakukan sejak kecil. Misalnya, ketika anak-anak bermain rumah-rumahan, setiap anak akan punya peran dan masing-masing dari mereka harus berperilaku sesuai dengan perannya. Contoh lainnya adalah ketika anak-anak bermain petak umpet. Dalam permainan tersebut, ada dua peran yang harus dimainkan, yaitu orang yang bersembunyi dan pencari.
Selain sebagai permainan, bermain peran juga membantu anak untuk memahami konsep theory of mind alias teori pikiran. Seorang anak yang paham akan teori pikiran akan mengerti bahwa orang lain — seperti teman atau guru mereka — punya pemikiran yang berbeda dari mereka sendiri. Memahami teori pikiran akan membantu anak untuk berempati pada orang lain, seperti yang disebutkan dalam studi Psychology and Role-Playing Games.
Sebenarnya, bermain peran tidak hanya dilakukan oleh anak-anak, tapi juga remaja dan orang dewasa. Pada remaja, bermain peran bisa menjadi bagian dari proses pencarian jati diri mereka. Sementara itu, orang dewasa biasanya melakukan role-playing dalam lingkup tertentu, seperti ketika seorang aktor atau aktris sedang berakting atau ketika seorang penulis membuat cerita atau novel. Di luar lingkup tersebut, orang dewasa yang bermain peran biasanya akan mendapatkan stigma buruk. Meskipun begitu, orang dewasa tetap bisa mendapatkan keuntungan dari bermain peran, seperti kesempatan untuk membangun komunitas, meningkatkan kemampuan untuk memecahkan masalah, media untuk mengeksplorasi jati diri, meningkatkan empati serta kemampuan berpikir kritis.
Fiksi vs Kenyataan
Bermain peran tentunya tak lepas dari unsur narasi atau cerita. Selama ini, manusia menggunakan cerita untuk menyampaikan informasi. Selain itu, cerita juga bisa membantu kita untuk memahami pengalaman hidup yang mungkin terasa membingungkan. Pada dasarnya, cerita fiksi maupun cerita nyata punya tujuan yang sama: berbagi informasi, menjalin hubungan antara penulis cerita dengan audiens, dan membuat audiens merasakan perasaan tertentu, baik emosi positif seperti rasa senang atau emosi negatif, seperti rasa marah. Hal yang membedakan antara cerita nyata dan fiksi adalah apakah sebuah cerita menyampaikan sesuatu yang benar terjadi atau tidak.
Meski tidak membahas informasi nyata, cerita fiksi tetap bisa memengaruhi pemikiran dan tumbuh kembang seseorang. Studi membuktikan, membacakan dongeng pada anak sebelum tidur punya dampak pada perkembangan kemampuan literasi sang anak. Pada orang dewasa, cerita fiksi juga bisa mendorong mereka untuk tumbuh sebagai individu. Hanya saja, sebagian orang merasa kesulitan untuk membedakan dunia nyata dan fiksi, khususnya anak-anak dan remaja.
Pada 2016, Stanford University melakukan studi pada 7,8 ribu siswa SMP, SMA, dan mahasiswa. Mereka menemukan, 80% siswa SMP percaya, iklan yang mereka lihat di internet merupakan berita nyata. Sementara 80% siswa SMA kesulitan untuk membedakan antara foto yang nyata dan foto palsu. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya kemampuan generasi muda untuk mencerna informasi di internet secara kritis. Dan hal ini bisa menyebabkan tragedi.
Dalam sebuah kasus ekstrem, dua anak perempuan berumur 12 tahun mengajak seorang teman mereka ke hutan dan menusuknya 19 kali. Mereka melakukan itu karena mereka ingin membuat kagum Slenderman. Padahal, Slenderman tak lebih dari karakter fiksi yang sering muncul di cerita horor. Kepada pihak berwajib, salah satu pelaku penusukan mengatakan, Slenderman merupakan pemimpin dari situs yang sering mereka kunjungi. Dan jika dia ingin mendapatkan perhatian Slenderman, dia harus membunuh seseorang.
Memang, berdasarkan studi tentang otak, proses kognitif untuk mencerna cerita fiksi sama seperti proses kognitif untuk memahami cerita nyata. Sementara studi terkait fMRI menunjukkan, persepsi seseorang akan konten fiksi dipengaruhi apakah konten tersebut relevan atau tidak dengan kehidupan mereka. Semakin relevan konten fiksi dalam hidup seseorang, maka semakin besar kemungkinan konten tersebut terasa nyata. Dua hal ini bisa menjelaskan mengapa bagi sebagian orang, cerita fiksi terasa nyata. Namun, hal itu bukan berarti kita harus berhenti berpikir kritis ketika kita mengonsumsi konten fiksi, khususnya di jagat maya.
Menurut studi Walking the Line between Reality and Fiction in Online Spaces: Understanding the Effects of Narrative Transportation, salah satu cara untuk dapat membedakan fiksi dan kenyataan adalah memahami keseluruhan cerita. Artinya, ketika membaca cerita di internet, seseorang tidak hanya harus mempertimbangkan isi yang tertuang secara eksplisit, tapi juga segala sesuatu yang membuat cerita itu tercipta, termasuk dari budaya dan konsep sosial yang lazim dari tempat asal sang penulis.
Kesimpulan
Pernahkah Anda merasa malu ketika Anda menonton seorang tokoh publik melakukan hal memalukan di TV? Fenomena itu terjadi karena bagian otak yang berfungsi untuk mencerna stimuli di layar kaca sama seperti bagian otak yang bertugas mencerna rangsangan di dunia nyata. Hal ini juga menjadi alasan mengapa kita bisa terhanyut dalam dunia fiksi — baik saat kita bermain RPG atau saat kita membaca cerita fiksi.
Dari game dan cerita fiksi, ada banyak hal yang bisa kita pelajari, mulai dari empati sampai cara untuk memecahkan masalah. Hanya saja, jika kita tidak berpikir kritis saat mengonsumsi cerita fiksi — dalam bentuk cerita di internet atau game — kita bisa menjadi korban dari propaganda. Karena internet dan game memang bisa menjadi alat untuk menyebarkan propaganda. Tak hanya itu, memercaya fiksi sebagai kenyataan juga bisa membuat kita melakukan hal-hal yang tidak masuk akal, seperti membunuh seseorang hanya demi membuat kagum tokoh fiksi dalam cerita horor.
Sumber header: Twitter