Badai di Industri Esports, Apa Dampaknya?

Baik organisasi esports maupun publisher terkena dampak dari "winter esports"

Winter is coming. Tampaknya, pelaku industri esports -- mulai dari organisasi esports sampai publishergame -- harus mempersiapkan diri untuk mengetatkan ikat pinggang.

Salah satu indikasi bahwa industri esports tengah mengalami masalah adalah pemecatan yang dilakukan oleh beberapa organisasi esports besar, seperti Team Liquid, Evil Geniuses, 100 Thieves, dan lain sebagainya. Bukti lainnya, nilai saham dari organisasi esports yang telah melakukan IPO -- seperti FaZe Clan dan Astralis -- turun hingga 70%.

Walau sulit, organisasi dan perusahaan esports besar tampaknya masih bisa bertahan dalam menghadapi masa sulit di industri competitive gaming. Namun, lain halnya dengan organisasi esports yang berukuran lebih kecil.

Masalah yang Dihadapi Tim Esports Kelas Menengah

Sponsorship merupakan sumber pemasukan utama bagi organisasi esports. Masalahnya, belakangan, banyak brands yang memutuskan untuk memangkas budget untuk iklan karena kekhawatiran akan resesi. Alhasil, besar aliran dana yang masuk ke industri esports pun menipis.

Masalah turunnya dana iklan memang dirasakan oleh semua organisasi esports, menurut laporan VentureBeat. Hanya saja, organisasi esports dengan ukuran kecil atau menengah akan terkena dampak yang lebih besar. Pasalnya, organisasi esports tersebut memiliki jangkauan yang juga lebih sempit, jumlah fans yang lebih sedikit, jika dibandingkan dengan organisasi esports besar yang sudah punya fanbase setia. Dengan begitu, brands pun menjadi kurang tertarik untuk menjadi sponsor dari tim yang lebih kecil.

ORDER dari Australia jadi salah satu organisasi esports yang tumbang. | Sumber: The Esports Observer

Alasan lain mengapa industri esports kini mengalami kesulitan adalah karena crypto winter. Audiens dan target pasar dari organisasi esports serta perusahaan crypto cukup mirip. Karena itulah, di 2020 dan 2021, ada banyak organisasi esports yang menandatangani kontrak kerja sama dengan perusahaan crypto.

Salah satu kontrak dengan nilai paling besar adalah perjanjian antara Team SoloMid dengan Future Exchange, yang bernilai US$210 juta atau sekitar Rp3 triliun. Tak berhenti sampai di situ, crypto winter juga menyulitkan organisasi esports yang hendak menggunakan Non-Fungible Token (NFT) atau fan tokens sebagai strategi monetisasi baru.

Investasi dari Venture Capital (VC) sebenarnya bisa menjadi solusi bagi organisasi esports yang mengalai kesulitan keuangan. Sayangnya, jumlah VC yang tertarik untuk memberikan dana pada pelaku industri esports juga sudah berkurang.

Berdasarkan laporan dari Drake Star, sepanjang 2022, jumlah kontrak investasi dari VC untuk pelaku industri esports hanya mencapai 59 deals, dengan total nilai kontrak sebesar US$400 juta. Angka ini turun 81% dari total investasi dari VC yang masuk pada 2021, yaitu sebanyak 718 kontrak dengan total investasi sebesar US$2,1 miliar.

Untungnya, organisasi esports yang mengalami masalah keuangan punya opsi terakhir: mengikuti program kerja sama dari liga esports. Program kerja sama ini biasanya menawarkan keuntungan serupa turnamen atau liga yang menggunakan model franchise.

Jadi, jumlah organisasi esports yang bisa ikut serta dalam sebuah kompetisi terbatas. Namun, organisasi-organisasi esports yang menjadi rekan penyelenggara kompetisi akan bisa mendapatkan sebagian pemasukan dari turnamen tersebut. Dua contoh turnamen yang menawarkan program kerja sama adalah VALORANT Championship Tour (VCT) dan Halo.

Tantangan Dalam Kompetisi Esports

Winter esports tidak hanya dirasakan oleh organisasi esports, tapi juga publisher atau penyelenggara turnamen. Meski didukung juga oleh faktor lain seperti sisi teknis dalam game, namun beberapa publisher menghentikan atau mengurangi usaha esports mereka.

Tahun lalu, The Coalition, kreator dari Gears of War, memutuskan untuk menutup program esports dari game mereka. Padahal, ekosistem esports dari game itu telah ada selama lebih dari 15 tahun. Memang, Gears of War punya fans yang sangat setia. Sayangnya, fanbase dari game tersebut tidak sebesar game-game serupa.

Kompetisi untuk Halo pun mengalami masalah serupa. Ada beberapa organisasi esports besar -- seperti FNATIC dan G2 Esports -- yang memutuskan untuk tidak lagi ikut serta dalam dari liga tersebut. Salah satu alasan yang menyebabkan komunitas esports Halo menjadi kurang stabil adalah adanya bugs dalam game yang mengganggu. Tak hanya itu, siklus pengembangan yang kurang jelas juga membuat game Halo Infinite kekurangan konten. Pada akhirnya, semua ini membuat viewership dari game tersebut turun.

Bahkan, perusahaan sebesar Blizzard pun mengalami kesulitan dalam mempertahankan program esports mereka. Belakangan, popularitas Hearthstone telah mulai menurun. Karena itulah, Blizzard pun memutuskan untuk mengurangi jumlah turnamen dan total hadiah yang ditawarkan untuk kompetisi dari card game tersebut.

Tak hanya itu, Blizzard juga harus menghadapi masalah tentang Overwatch League. Saat membuat OWL di 2018, Blizzard bercita-cita untuk mengadakan liga esports yang menggunakan sistem kandang-tandang, layaknya liga sepak bola atau olahraga tradisional lainnya. Namun, sampai saat ini, Blizzard masih kesulitan untuk merealisasikan rencana tersebut.

Memang, pandemi COVID-19 merupakan masalah yang tidak bisa diduga. Tapi, tidak bisa dipungkiri, Blizzard juga telah melakukan mismanajemen dan membuat janji yang terlalu besar untuk dipenuhi.

Peluncuran Overwatch 2 dianggap sebagai harapan terakhir Blizzard untuk mempopulerkan game FPS mereka. Viewership untuk 2022 Overwatch League Grand Finals cukup baik dan diperkirakan, Overwatch 2 akan bisa mempertahankan momentum ini hingga Maret 2023, ketika kompetisi pre-season dimulai. Sayangnya, Blizzard memutuskan untuk memutus hubungan kerja sama dengan NetEase. Sehingga, mereka harus menutup server di Tiongkok. Padahal, Tiongkok merupakan pasar penting untuk Overwatch.

Sumber header: Pexels