Dark
Light

Peran Orang Tua dan Kebiasaan Bermain Game Menurut Orang Tua dalam Lingkar Esports

9 mins read
June 28, 2021
Orangtua sebaiknya memahami dunia bermain sang anak. | Sumber: Deposit Photos

Berkat keberadaan smartphone, bermain game kini menjadi semakin mudah. Anda tidak perlu lagi harus memiliki konsol seharga jutaan atau PC gaming senilai belasan atau bahkan puluhan juta untuk bisa bermain game. Dengan smartphone berharga Rp1-2 juta pun, Anda sudah bisa menggunakannya untuk bermain game. Tak hanya itu, banyak mobile game yang bisa dimainkan secara gratis. Rendahnya entry barrier ini membuat semakin banyak anak dan remaja yang hobi bermain game. Dan tidak ada yang salah dengan itu. Toh, riset membuktikan bahwa game juga punya dampak positif.

Sekarang, orang tua juga sebaiknya tidak sepenuhnya melarang anak bermain game. Pasalnya, bermain game kini mulai menjadi kegiatan sosial. Menurut laporan Accenture, 84% gamers menjadikan game sebagai alat untuk bersosialisasi. Sementara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan bahwa main bareng alias mabar bisa membuat hubungan pertemanan menjadi semakin erat. Jadi, melarang anak untuk bermain game saat ini sama seperti melarang anak keluar rumah untuk bermain bersama teman-temannya dulu.

Lalu, apa yang harus orang tua lakukan agar hobi bermain game sang buah hati bisa tersalurkan dengan baik?

Membantu Anak Mengatur Waktu Bermain

Ketika mendapati anaknya senang bermain game, orang tua biasanya khawatir sang anak akan menghabiskan banyak waktunya untuk bermain game dan menjadi malas belajar. Padahal, menurut Yohannes Siagian, CEO Morph Team yang juga pernah menjabat sebagai kepala sekolah SMA 1 PSKD, game bukan alasan mengapa anak menjadi malas belajar.

“Yang bikin anak malas belajar bukan game, tapi sistem belajar yang membosankan dan materi yang disajikan dengan cara yang kaku dan tidak menarik minat belajar murid,” kata pria yang akrab dengan panggilan Joey ini saat dihubungi melalui pesan singkat. “Sebenarnya, game itu banyak positifnya kok, seperti mengajar cara berpikir strategis, menggunakan logika, mengidentifikasi masalah, problem solving, dan lain sebagainya.”

Lebih lanjut dia mengatakan, “Namun, sama seperti semua hal, kalau dilakukan secara berlebihan, bermain game bisa menjadi negatif. Kuncinya sebenarnya ada di orang tua: apakah orang tua bisa mendampingi anak, apakah bisa mengajarkan disiplin ke anak, dan seterusnya…”

Orang tua sebaiknya mendampingi anak ketika bermain game. | Sumber: Deposit Photos

Sementara itu, studi berjudul Role of Parental Relationship in Pathological Gaming menyimpulkan bahwa ada hubungan antara kondisi keluarga dengan kebiasaan anak bermain game. Para pathological gamers biasanya merasa, kondisi keluarga mereka kurang menyenangkan. Yang dimaksud dengan pathological gamers dalam jurnal itu adalah para pemain game muda yang menunjukkan gejala patologis berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 4th Edition (DSM-IV), seperti menghabiskan banyak waktu untuk bermain game, mengalami gejala withdrawal ketika tak bermain game, mengacuhkan tanggung jawab lain demi bermain game, berbohong tentang lama waktu yang dihabiskan untuk bermain game, serta kesulitan untuk berhenti main game.

Dalam jurnal tersebut juga dijelaskan bahwa kebanyakan anak dan remaja ingin hidup di lingkungan keluarga yang menyenangkan. Dan ketika mereka merasa bahwa kondisi keluarga mereka tidak ideal — misalnya, sering terjadi pertengkaran di rumah — mereka cenderung ingin “melarikan diri” ke dunia game. Dan bagi gamers, hubungan yang mereka jalin di dunia game sama pentingnya dengan relasi mereka di dunia nyata. Pasalnya, game online memang mendorong para pemainnya untuk berinteraksi dengan satu sama lain.

Sementara itu, menurut studi Factors Associated with Internet Addiction among Adolescents, remaja yang merasa tidak puas dengan kehidupan mereka di rumah memang punya potensi lebih besar untuk menjadi kecanduan internet. Hal yang sama juga berlaku untuk para gamers. Apalagi ketika teman-teman yang mereka kenal di dunia game bisa membuat mereka merasa nyaman. Rasa nyaman itu akan membuat mereka ingin terus bermain game. Hal ini justru bisa memperburuk persepsi mereka akan keadaan keluarga mereka, yang mendorong mereka untuk menghabiskan lebih banyak waktu di dunia game; layaknya lingkaran setan yang tak pernah berakhir.

Salah satu hal yang bisa orang tua lakukan untuk membatasi waktu bermain game anak adalah dengan memasang program/aplikasi parental control di komputer/smartphone anak. Misalnya, Google menyediakan aplikasi parental control bernama Family Link yang bisa diunduh di Play Store dan App Store. Aplikasi itu menawarkan berbagai fitur. Salah satunya adalah membatasi waktu yang bisa anak habiskan untuk menggunakan smartphone. Melalui aplikasi ini, orang tua bahkan bisa menentukan durasi waktu yang bisa anak habiskan saat menggunakan aplikasi atau bermain game tertentu. Selain itu, Family Link juga menawarkan berbagai fitur lain, termasuk membatasi pembelian aplikasi atau in-app item.

Family Link merupakan aplikasi parental control di smartphone.

Namun, menurut Joey, sekadar memasang program/aplikasi parental control di smartphone atau komputer anak saja tidak cukup. Karena, parental control hanya berfungsi untuk membatasi gerak-gerik anak di dunia online, tapi tidak memberikan edukasi pada sang anak.

“Jadi, begitu anaknya masuk ke device yang tidak ada parental control, atau sudah keluar dari rumah, dia malah nggak tahu gimana caranya untuk jaga diri dan memilih apa yang bisa dia mainkan atau dia lihat,” ujar Joey. “Yang paling benar adalah orang tua mendampingi dan melibatkan diri dalam dunia anaknya. Bukan sekadar berada di luar dan menegur tanpa paham sebenarnya apa yang anak lakukan. Banyak orang tua yang cuma tahu anaknya pegang device atau main game, tapi tidak tahu game apa yang dimainkan anak atau konten apa yang dia tonton.”

Mengatur Uang yang Dihabiskan Anak Dalam Game

Pernahkah Anda melihat video viral tentang seorang bapak-bapak tengah memarahi kasir Indomaret karena membiarkan anaknya menghabiskan Rp800 ribu untuk topup game? Menariknya, fenomena ini tidak hanya terjadi di Tanah Air tercinta, tapi juga di negara-negara maju seperti Singapura dan Amerika Serikat. Kepada Channel News Asia, seorang gamer muda asal Singapura — yang tidak mau disebutkan namanya — mengaku bahwa dia pernah menghabiskan  uang orang tuanya sebesar SGD20 ribu (sekitar Rp209 juta) membeli lootbox dalam game. Dia bahkan sempat mencuri demi menutup utang akibat kecanduannya dalam membeli lootbox.

Seiring dengan semakin populernya game free-to-play, semakin banyak developer yang menjual item dalam game sebagai sumber pemasukan. Namun, terkadang, developer tidak menjual item secara langsung, tapi menggunakan sistem lootbox. Jadi, gamers bisa membeli lootbox dalam game, tapi item yang didapatkan dari lootbox itu ditentukan secara random. Selain itu, developer juga terkadang menggunakan sistem gacha. Baik sistem gacha maupun lootbox sering dibandingkan dengan judi dalam dunia nyata karena nyatanya memang judi. Dalam game gacha atau lootbox, pemain memang tidak tahu item/karakter apa yang akan mereka dapatkan. Jika tidak hati-hati, gamers — khususnya yang masih muda — bisa menghabiskan banyak uang tanpa sadar demi mendapatkan item/karakter yang mereka inginkan.

Hal itulah yang menjadi alasan mengapa beberapa negara membuat regulasi khusus untuk game gacha atau lootbox. Misalnya, Belgia melarang keberadaan game lootbox sama sekali, sementara Belanda hanya melarang game lootbox dengan tipe-tipe tertentu. Di Asia, baik Tiongkok maupun Jepang tidak melarang keberadaan game gacha atau lootbox. Hanya saja, pemerintah mengharuskan developer untuk memberitahu pemain tentang persentase untuk mendapatkan item-item dalam game. Semakin rare sebuah item, semakin kecil pula persentase untuk mendapatkan item tersebut. Tak jarang, persentase untuk mendapatkan item/karakter rare kurang dari satu persen.

Sayangnya, Indonesia tidak punya regulasi khusus terkait game gacha atau lootbox. Karena itulah, peran orang tua dalam memastikan anak tidak menghambur-hamburkan uang di game justru menjadi semakin penting. Untuk itu, orang tua harus bisa menjalin komunikasi yang baik dengan anak. Langkah pertama yang bisa orang tua lakukan adalah mencari tahun mengapa sang anak senang untuk bermain game yang sedang dia mainkan. Dari sana, orang tua bisa membuka diskusi tentang berapa banyak uang yang boleh anak habiskan untuk bermain game. Orang tua juga bisa menjadikan game sebagai insentif agar anak mau lebih serius di sekolah. Ketika saya masih duduk di bangku SD dan SMP, orang tua saya sering berjanji untuk membelikan game/konsol baru jika saya berhasil masuk dalam peringkat tiga besar di kelas.

Lootbox sering dikaitkan dengan judi di dunia nyata. | Sumber: Extreme Tech

Orang tua juga bisa mulai mencari tahu mengapa anak rela menghabiskan uang dalam game. Secara psikologis, memang ada beberapa alasan mengapa gamers mau membeli item dalam game. Bagi gamers muda, salah satu alasan utama mereka adalah demi bisa berbaur dengan teman-teman mereka. Contohnya, di Amerika Serikat, murid SMP bisa dirisak hanya karena menggunakan default skin di Fortnite. Padahal, game dari Epic Games itu bisa dimainkan secara gratis. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri, mekanisme dalam game memang dibuat sedemikian rupa untuk mendorong pemain membeli lootbox atau mendapatkan item/karakter yang mereka mau melalui gacha.

“Yang kami khawatirkan adalah banyak gamers muda yang sudah memainkan game gacha atau lootbox. Hal ini bisa membuat mereka terbiasa dengan konsep judi,” kata Nicholas Khoo, pendiri dari Singapore Cybersports and Online Gaming Association dan anggota dari National Council on Problem Gambling (NCPG), seperti dikutip dari Channel News Asia. Tak hanya itu, di game gacha atau lootbox, persentase gamers untuk “menang” — mendapatkan item yang mereka inginkan — lebih besar dari kemungkinan mereka untuk menang judi di kasino. Dan hal ini bisa membuat mereka punya persepsi yang salah, menganggap bahwa kemungkinan untuk menang di game kasino juga sama besar seperti persentase menang di game gacha/lootbox.

Menjadi Orang Tua dari Gamers Profesional

Pesatnya perkembangan industri game memunculkan industri yang sama sekali baru, yaitu esports. Sekarang, esports tidak hanya menjadi semakin populer di kalangan generasi muda, tapi juga diakui oleh pemerintah dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Karena itu, tidak heran jika semakin banyak generasi muda yang bercita-cita untuk menjadi pemain esports. Bagaimana rasanya menjadi orang tua dari gamers profesional, yang kerjaannya memang untuk bermain game? Demi menjawab pertanyaan itu, kami lalu menghubungi Ari Susanto, ayah dari dua pemain profesional, yaitu Kevin “xccurate” Susanto dan Jason “f0rsakeN” Susanto.

“Secara teori, tentu banyak orang tua yang akan lebih mementingkan pendidikan anaknya daripada game,” aku Ari ketika dihubungi melalui pesan singkat, “Karena, buat para orang tua, image dari game itu sendiri memang sudah jelek. Tapi, di zaman milenial, sudah saatnya paradigma orang tua tersebut diubah. Orang tua justru harus bisa memanfaatkan situasi ini.” Dia lalu bercerita tentang pengalamannya dalam mendidik anak-anaknya. “Dulu, saya selalu katakan pada anak saya bahwa dia boleh bermain game sesukanya. Dengan catatan, dia harus berprestasi atau bisa menyeimbangkan bermain dengan sekolahnya. Kalau sampai nilai ulangannya jelek, ada konsekuensinya.”

Pak Ari Susanto dengan anak-anaknya. | Sumber: Ari Susanto

Ari menjelaskan, membiarkan anak bermain game bukan berarti orang tua melepaskan anak begitu saja. Orang tua tetap harus mengawasi kegiatan gaming sang anak. Dia mengungkap betapa pentingnya bagi orang tua untuk menanamkan rasa tanggung jawab pada anak. “Apabila anak kita sudah punya tanggung jawab, mereka akan belajar dengan sungguh-sungguh supaya hobi game mereka juga terpenuhi,” katanya. “Untungnya, anak-anak om semuanya tahu akan tanggung jawab dan mereka juga bisa berprestasi.”

Menurut Ari, orang tua harus aktif mengawasi dan mengingatkan anak agar anak tidak menjadi kecanduan game atau terjerumus dalam hal-hal negatif lainnya. “Penting sekali bagi anak untuk mengerti antara hobi dan kecanduan,” ungkapnya. Dia menyebutkan, diskusi antara anak dan orang tua terkait hobi bermain game sudah bisa dilakukan sejak anak masih duduk di bangku SD.

Hal yang sama diungkapkan oleh Joey, yang menyebutkan bahwa selama anak sudah bisa memegang device dan bisa bermain game, walau hanya game anak, maka anak sudah bisa diajak berdiskusi tentang hobinya bermain game. Yang penting, ungkap Joey, orang tua bisa menyesuaikan cara penyampaian mereka sesuai dengan usia dan tingkat pemahaman anak.

Dua bersaudara Susanto: Kevin “xccurate” Susanto dan Jason “f0rsakeN” Susanto. | Sumber: Revival TV

Menjadi pemain profesional bukanlah hal mudah. Kemungkinan seseorang bisa berhasil sebagai gamer profesional di Indonesia kurang dari 1 satu persen. Karena itu, orang tua harus paham kapan mereka harus mendukung cita-cita anak untuk menjadi pemain esports.

“Memang jadi pro player itu tidak mudah dan butuh kerja keras,” kata Ari. “Kita sebagai orang tua juga dituntut untuk mengerti kondisi anak kita: apakah dia memang berbakat untuk menjadi pro player atau sekedar hobi saja. Nah, untuk tahu tentang hal itu, kita bisa membiarkan mereka bermain di komunitas. Setiap game yang anak geluti pasti punya komunitas masing-masing. Biarkan anak bermain di komunitas sambil diawasi. Kalau menurut orang tua anaknya memang jago dan ada tawaran untuk masuk klub esports, sudah waktunya orang tua mendukung.”

Ketika ditanya tentang dukungan apa yang orang tua bisa berikan pada anak yang berkarir sebagai pemain profesional, Ari menjawab, “Ikut menonton semua pertandingan anak, selalu kasih support dan selalu memberikan masukan akan apa saja kekurangan dan kesalahan yang harus diperbaiki. Jadi, anak menjadi semakin disiplin.” Sambil tertawa dia bercerita, ketika anak-anaknya hendak berlaga, sebagai orang tua, dia juga ikut merasa tertekan. “Mereka tidak tahu kalau saat mereka ikut pertandingan, yang stres dan asam lambung itu bapaknya, karena ikut tegang.”

Sementara itu, Carol Bird, ibu dari Fred “Freddybabes” Bird, pemain Gwent profesional, mengakui, memang ada banyak orang tua yang punya pandangan negatif akan game. Menurutnya, hal ini terjadi karena game adalah fenomena yang relatif baru. Namun, dia merasa, orang tua harus mulai sadar bahwa game itu tidak melulu memberikan dampak buruk. Ada berbagai hal positif yang bisa didapat dari bermain game.

“Menjadi pemain esports adalah karir yang serius, begitu juga dengan menjadi streamer, caster, atau komentator esports,” ujar Carol pada British Esports Association. “Orang tua tidak punya masalah ketika anak-anak mereka ingin menjadi pemain sepak bola atau TV presenter. Namun, masih ada stigma yang melekat pada esports. Seolah-olah, bermain game hanyalah hobi yang menghabiskan waktu.” Lebih lanjut, dia berkata, “Jika anak Anda adalah seorang gamer berbakat, dukung dan dorong mereka, tapi jangan memaksa mereka. Percayalah pada anak Anda.”

Mike Atkins, ayah dari pemain Brawlhalla, Bill “Lanz” Atkins menambahkan, “Saya rasa, saat anak menunjukkan keteguhannya, orang tua harus mendukung sang anak, sama seperti ketika orang tua mendukung anak yang punya hobi berolahraga.” Dia menjelaskan, dari bermain game, seorang pemain profesional juga bisa mendapatkan berbagai kemampuan yang bisa digunakan ketika dia bekerja di bidang pekerjaan lain. “Menjadi pemain esports membantu Bill untuk mengatur waktunya,” katanya, memberikan contoh. “Dan ketika kalah, dia harus belajar tentang bagaimana cara menerima kekalahan dan mengubahnya menjadi pengalaman yang positif.”

Kesimpulan

Manusia cenderung takut sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak mereka mengerti. Karena itu, ketika muncul inovasi baru, tidak semua orang akan langsung bersedia menggunakan inovasi tersebut. Terkadang, setelah inovasi baru diadaptasi sekalipun, masih ada kelompok yang takut akan dampak buruk dari inovasi tersebut. Waspada akan dampak buruk yang bisa ditimbulkan oleh inovasi baru  — baik internet, smartphone, atau game — sebenarnya bukan hal yang buruk. Segala sesuatu di dunia memang biasanya punya dampak positif dan negatif. Namun, hal itu bukan berarti kita bisa berlarut-larut dalam rasa takut dan terus kukuh berpegang pada pola pikir lama tanpa berusaha untuk mengubahnya.

Begitu juga dengan game. Walau game masih punya stigma buruk, khususnya di kalangan orang tua, tak bisa dipungkiri bahwa game kini tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan, tapi juga sebagai alat komunikasi. Tentu saja, orang tua punya hak untuk melarang anaknya bermain game jika mereka memang tidak suka. Namun, ketika bermain game juga menjadi wadah untuk mendekatkan diri dengan teman, apakah bijak jika orang tua melarang anak bermain game sama sekali?

Previous Story

PUBG Mobile dan Free Fire Masuk Nominasi Esports Game of The Year di Esports Awards 2021

Next Story

MPL Brazil Diumumkan dan Jadi MPL Pertama di Luar Asia Tenggara

Latest from Blog

Don't Miss

H3RO Land dari Bima+, Teman Mabar Anak Esports

Salah satu bentuk dukungan untuk perkembangan esports di tanah air
Review Poco X6 5G Hybrid

Review Poco X6 5G, Performa Ekstrem dan Sudah Dapat Pembaruan HyperOS

Poco X6 membawa layar AMOLED 120Hz dengan Dolby Vision lalu