Berbagai Hasil Riset tentang Pengaruh Positif Bermain Game

Sejumlah riset mengatakan bahwa bermain game dapat meningkatkan kemampuan kognitif para pemainnya.

Di Indonesia, game menjadi momok bagi sebagian orangtua, dianggap sebagai alasan mengapa nilai murid jelek atau bahkan bolos sekolah. Di negara maju seperti Amerika Serikat sekalipun, game juga sering menjadi kambing hitam. Misalnya, setiap ada penembakan massal, game akan disebut sebagai alasan mengapa pelaku bisa menjadi pembunuh berdarah ringin. Sementara di Tiongkok, game dianggap sebagai alasan mengapa semakin banyak generasi muda yang mengalami rabun jauh. Dampak dari sebuah game pada para pemainnya adalah topik yang telah diperdebatkan selama puluhan tahun. Studi tentang hal ini juga telah banyak.

Bagaimana Game Memengaruhi Pemainnya?

Pada  2013, American Psychological Association (APA) melakukan riset tentang bagaimana game bisa digunakan sebagai alat edukasi serta dampak positif game pada anak dan remaja.

"Selama berpuluh-puluh tahun, riset tentang dampak negatif bermain game, termasuk kecanduan, depresi, dan agresi telah dilakukan. Kami tidak menyebutkan bahwa riset itu harus diacuhkan," kata Isabela Granic, PhD dari Radboud University Nijmegen, Belanda, salah satu penulis dari riset tersebut, dikutip dari situs APA. "Namun, untuk memahami dampak bermain game pada perkembangan anak dan remaja, kita perlu sudut pandang yang lebih seimbang."

Menurut riset APA tersebut, bermain game dapat meningkatkan kemampuan kognitif anak, termasuk spatial navigation, persepsi, daya ingat, sampai pemikiran kritis. Menariknya, game tembak-tembakan, yang dianggap penuh kekerasan, juga dapat memberikan efek positif, yaitu meningkatkan spatial cognition (kemampuan untuk melakukan navigasi dalam ruang 3D). "Ini penting dalam edukasi dan pengembangan karir anak, karena riset membuktikan bahwa kemampuan spatial seseorang memengaruhi pencapaiannya di bidang sains, teknologi, engineering, dan matematika," ujar Granic.

Lalu, adakah perbedaan antara otak gamer dan non-gamer? Untuk menjawab pertanyaan ini, pada 2018, Senior Editor Wired, Peter Rubin pergi ke Sports Academy di Thousand Oaks. Di sana, dia mengikuti serangkaian tes kognitif dan membandingkan hasil tesnya dengan gamer profesional. Anda bisa melihat apa saja tes yang dilakukan dalam video di bawah.

Hasil tes menunjukkan bahwa gamer profesional memiliki nilai yang lebih tinggi, khususnya dalam tes yang mengharusnya seseorang mengacuhkan gangguan di sekitarnya untuk fokus pada sebuah tugas. Memang, game, terutama action game, memiliki pace yang sangat cepat. Pemain dituntut untuk membuat keputusan dengan cepat dalam situasi yang kacau balau.

C. Shawn Green, Associate Professor, Department of Psychology, University of Wisconsin-Madison mengatakan bahwa action game memang dapat memengaruhi kemampuan kognitif seseorang. Ada tiga kemampuan kognitif yang akan meningkat jika seseorang bermain action game. Pertama adalah persepsi, bagaimana kita memahami keadaan sekitar berdasarkan rangsangan yang panca indera kita terima. Kedua adalah spatial cognition, yaitu kemampuan untuk menavigasi dalam lingkungan 3D. Terakhir adalah top down attention, ini merupakan kemampuan untuk mengacuhkan distraksi yang ada dan tetap fokus pada satu tujuan yang telah ditetapkan.

Setiap Game Tidak Memberikan Dampak yang Sama

Action game memang terbukti memberikan dampak baik pada kemampuan kognitif seseorang. Namun, itu bukan berarti semua game memberikan efek yang sama. Game sangat beragam, hadir dengan genre dan gameplay yang berbeda-beda. Bermain role-playing game dan puzzle game akan memberikan dampak yang berbeda dari memainkan action game. Meskipun begitu, bukan berarti hanya action game yang memberikan dampak positif. Dalam risetnya, APA mengungkap, memainkan game strategi, termasuk RPG, meningkatkan kemampuan problem-solving anak. Satu hal yang pasti, bermain game dapat meningkatkan kreativitas para pemainnya, terlepas dari genre yang mereka mainkan.

Sementara itu, dalam studi berjudul Social Interactions in Massively Multiplayer Online Role-Playing Gamers, disebutkan bahwa memainkan game Massively Multiplayer Online Role-Playing Games (MMORPG) dapat meningkatkan kemampuan sosial pemainnya. Alasannya, karena game MMORPG bisa menjadi tempat bagi para pemainnya untuk mengenal satu sama lain dan menjalin hubungan pertemanan, Faktanya, interaksi antar pemain justru dianggap sebagai salah satu daya tarik game MMORPG.

Game MMORPG biasanya mendorong pemainnya untuk membentuk grup. | Sumber: Elder Scroll Online

Menariknya, saat bermain game MMORPG, para pemain bisa mengekspresikan dirinya dengan lebih bebas. Diduga, alasannya adalahh karena seseorang tidak merasa terikat dengan identitas -- seperti umur, gender, atau penampilan -- saat bermain game. Selain meningkatkan kemampuan sosial, game MMORPG juga dapat mengajarkan kerja sama tim. Memang, kebanyakan game MMORPG menghadirkan fitur guild atau klan, yang mendorong para pemainnya untuk bekerja sama dengan satu sama lain.

Mark Griffiths, salah satu penulis studi Social Interactions in Massively Multiplayer Online Role-Playing Gamers, juga percaya, game bisa digunakan sebagai alat edukasi. Pasalnya, game bisa memberikan stimulasi pada pemain. Selain itu, bermain game juga terasa menyenangkan. Jika pelajaran dihadirkan dalam bentuk game, murid bisa lebih mudah untuk fokus pada bahan pelajaran karena ia tidak membosankan. Selain itu, game juga menarik untuk dimainkan semua orang, terlepas umur, gender, atau etnis mereka.

Tak hanya untuk edukasi, Griffiths juga menganggap, game bisa digunakan sebagai alat terapi. Dan memang, ada laboratorium riset yang melakukan penelitian terkait hal ini.

Game sebagai "Obat"

Neuroscape adalah laboratorium riset di University of California, San Francisco yang telah melakukan penelitian tentang bagaimana game bisa digunakan untuk "mengobati" penyakit mental selama bertahun-tahun. Perusahaan anak dari Neuroscape, Akili Interactive Labs, bahkan telah memiliki produk yang masuk ke tahap pengujian klinis untuk mendapatkan izin dari Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat. Produk tersebut adalah Project: EVO, yang ditujukan untuk mengatasi Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Pada 2017, proyek tersebut telah memasuki tahap pengujian akhir dari FDA.

"Tujuan kami bukanlah untuk menggantikan industri farmasi," kata Adam Gazzaley, pendiri dan Executive Director dari Neuroscape dan anggota dewan Akili. Dia mengungkap, tujuan mereka melakukan riset ini adalah untuk menemukan metode pengobatan baru dengan efek samping yang minimal. Gazzaley adalah seorang profesor di bidang neurologi, fisiologi, dan psikiater. Dia mendirikan laboratorium riset sains syaraf kognitif di UCSF pada 2005. Sementara terkait game, dia pernah bekerja sama dengan LucasArts, publisher yang merilis game dari franchise Star Wars dan Indiana Jones.

Neuroscape meneliti bagaimana game membantu penderita penyakit mental. | Sumber: CNBC

"Elastisitas otak kita, kemampuan otak untuk berubah, ini dipengaruhi pengalaman kita," kata Gazzaley pada CNBC. "Jika kita bisa menciptakan pengalaman yang sesuai dengan seseorang, ini bisa meningkatkan kemampuan otak mereka."

Gazzaley menjelaskan, Neuroscape tidak sekadar berusaha untuk melakukan gamifikasi dari latihan fisik yang ditujuakn untuk penderita penyakit mental. Sebagai gantinya, mereka berusaha untuk membuat game yang menggabungkan gerakan fisik dengan latihan kognitif. Dia percaya, penelitian yang dia lakukan akan berbuah manis. "Saya rasa, masalahnya hanyalah belum ada bukti yang kuat. Dan itulah yang coba kami lakukan," katanya pada The Verge. "Kami semua percaya dengan apa yang kami lakukan. Kami hanya perlu membuktikannya dengan data."

Sejauh ini, kita sudah membahas tentang bagaimana game bisa memberikan dampak positif. Tapi, itu bukan berarti game adalah panacea. Saya percaya, segala sesuatu di dunia ini punya dampak positif dan negatif. Begitu juga dengan game. Pada 2019, World Health Organization menetapkan gaming disorder sebagai kelainan mental. Namun, seperti yang disebutkan oleh Live Science, hanya karena seseorang sering bermain game bukan berarti dia mengidap  gaming disorder.

Ada beberapa karakteristik dalam diri penderita gaming disorder. Salah satunya adalah dia memprioritaskan bermain game di atas segalanya sehingga mengganggu kehidupan sehari-harinya. Menurut WHO, seorang penderita gaming disorder tak lagi bisa mengendalikan kebiasaannya bermain game. Selain itu, mereka juga menempatkan game sebagai prioritas utama, diatas pekerjaan, pendidikan, dan hobi lainnya.

Ciri khas lainnya adalah seorang penderita gaming disorder akan terus bermain game walau mereka sadar bahwa hal itu memberikan dampak buruk pada kehidupan mereka, misalnya merusak hubungan dengan keluarga dan teman atau mengacaukan ritme kerja atau belajar mereka. WHO juga menyebutkan, seseorang harus memiliki gejala gaming disorder selama setidaknya satu tahun sebelum ia bisa dinyatakan menderita kelainan tersebut.

Kesimpulan

Ada banyak keuntungan yang diberikan oleh game. Sebuah game biasanya memiliki tujuan yang harus dicapai, baik mengalahkan seseorang, menyelamatkan dunia, atau sekadar memulihkan lahan pertanian yang diwariskan pada pemain. Ini membantu pemainnya fokus untuk mencapai tujuan tersebut.

Selain itu, disadari atau tidak, ada hukum sebab-akibat dalam game, khususnya dalam game-game yang memang menyajikan cerita yang berat. Dalam sebuah game, Anda akan dihadapkan pada pilihan yang akan memengaruhi cerita sang tokoh utama. Berbeda dengan film, dimana penonton tidak ikut aktif memilih jalan cerita, game memungkinkan pemain untuk mengeksplorasi apa yang terjadi ketika Anda mengambil pilihan yang berbeda. Konsep ini mirip dengan dunia nyata. Setiap keputusan yang Anda ambil akan memiliki konsekuensi. Hanya saja, di dunia nyata, Anda tidak bisa mengulang dari check point terakhir ketika membuat kesalahan.

Memang, game tidak melulu memberikan dampak baik. Game juga bisa memberikan dampak negatif. Namun, hanya karena game memiliki dampak buruk, bukan berarti game harus dihilangkan sama sekali. Moderation is the key.

Sumber: IFL Science, APA, ">Wired, CNBC, The Verge, Live Science, Quartz

Sumber header: Deposit Photos