Esports kini semakin diakui sebagai olahraga. Pada Desember lalu, esports diumumkan sebagai salah satu cabang resmi SEA Games 2019. Sama seperti olahraga tradisional, regenerasi adalah hal yang sangat penting di esports. Para atlet esports berbakat tak serta-merta muncul begitu saja. Di Indonesia, ada High School League (HSL) yang ditujukan untuk siswa SMA dan setingkat serta Indonesia eSports League (IEL) untuk tingkat mahasiswa. Jordan Zietz melihat perkembangan esports sebagai kesempatan untuk berbisnis. Dia membuat All-Star eSports League, yang bertujuan untuk mengadakan turnamen esports di tingkat SMA di Amerika Serikat. Liga ini menawarkan tiga game, yaitu Fortnite, Overwatch, dan Super Smash Bros. Ultimate.
Zietz baru saja mendapatkan kucuran dana dari Eric Bensussen, President PowerA, perusahaan pembuat game controller. Meski tidak disebutkan berapa jumlah investasi itu, menurut laporan VentureBeat, dana investasi tersebut mencapai jutaan dollar. Dana itu akan digunakan untuk mempublikasikan keberadaan liga SMA ini dan juga meningkatkan jumlah partisipan. Selain itu, dana ini juga akan digunakan untuk menambah total hadiah yang ditawarkan All-Star eSports League. Zietz mengatakan, total hadiah liga tersebut mencapai US$1 juta dalam bentuk beasiswa, komputer, perangkat gaming, dan hadiah lainnya.
“Banyak sekolah yang bertanya tentang cara untuk mendorong siswa mereka terlibat dalam esports, terutama siswa yang saat ini tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler apapun,” kata Zietz, dikutip dari VentureBeat. “Sebagian orang yang tak terlalu kuat secara fisik tak bisa sukses di olahraga. Dulu, saya sering mengalami cedera di SMA. Saya mencoba untuk bermain american football, lacrosse, dan saya juga mencoba mendayung. Dengkul, mata kaki, dan punggung saya pernah patah. Saya pernah mengalami berbagai cedera. Jadi, pada akhirnya saya memutuskan bahwa olahraga tidak cocok untuk saya.” Beberapa awktu lalu, Extreme Networks dan eCampus News membuat laporan yang menyebutkan, keberadaan program esports di sekolah mendorong para siswa untuk lebih rajin ke sekolah.
Zietz berkata, All-Star eSports League tumbuh dengan cepat dalam waktu enam bulan belakangan. Saat ini, dia menyebutkan, telah ada 5.000 tim yang ikut serta dalam platform buatannya. “Tujuan utama saya sekarang adalah menjangkau sekolah sebanyak-banyaknya,” ujarnya. Keluarga Zietz memang terbiasa berwirausaha. Sang kakak, Rachel Zietz, membuat perusahaan pertamanya ketika dia berumur 13 tahun. Sementara Jordan Zietz membuat perusahaan pertamanya, sebuah perusahaan persewaan game, saat dia berumur 12 tahun. Dia juga sempat untuk membuat perusahaan virtual reality sebelum dia memutuskan untuk fokus di esports.
“Saya selalu tertarik dengan olahraga dan gaming, tapi saya senang bisa bekerja sama dengan Jordan karena dia membawa semangat ini ke tingkat yang lebih serius. Dia benar-benar peduli dengan apa yang dia lakukan, dan saya pikir, inilah yang membuat perusahaan terus sukses,” kata Bensussen.
Zietz bukan satu-satunya orang yang tertarik untuk menyelenggarakan liga esports di tingkat SMA. Ialah Delane Parnell, yang membuat platform PlayVS. Belum lama ini, PlayVS mengumumkan bahwa mereka juga telah mendapatkan kucuran dana. Namun, Zietz mengatakan, platform-nya berbeda dengan PlayVS, yang mengharuskan para peserta membayar untuk bisa bertanding. All-Star eSports League milik Zietz gratis. “Mereka meminta bayaran pada para peserta, sementara kami tidak. Karena kami percaya, hal ini membuat pemain berbakat tidak bisa menunjukkan kemampuan mereka,” kata Zietz. “Sebagai siswa dan gamer, saya percaya, semua orang harus bisa berpartisipasi dan sistem PlayVS itu diskriminatif.”