Entah Anda menyadarinya atau tidak, namun istilah “metaverse” belakangan ini jadi sangat jarang terdengar. Padahal kalau Anda ingat, metaverse selalu menjadi salah satu topik perbincangan terhangat di ranah teknologi dalam satu sampai dua tahun terakhir. Saking seringnya jargon metaverse kita lontarkan, kata tersebut bahkan sudah bisa kita temukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Sekarang, tren metaverse seakan hilang ditelan bumi begitu saja. Melihat popularitas ChatGPT dalam beberapa bulan terakhir, sangat mudah bagi kita untuk menuduh AI sebagai penyebab meredupnya tren metaverse. AI kini menjadi trending topic di mana-mana, sama nasibnya seperti metaverse ketika Facebook baru saja berganti nama menjadi Meta di tahun 2021.
Apakah ini merupakan indikasi tren metaverse bakal berakhir prematur di tahun 2023? Kalau melihat perkembangan yang terjadi di lapangan, anggapan tersebut mungkin ada benarnya. Sebagai contoh, saat ini tercatat sudah ada dua perusahaan besar yang menarik diri dari lingkup metaverse, yakni Disney dan Microsoft.
Disney tutup divisi metaverse-nya
Berdasarkan laporan Wall Street Journal (WSJ), baik Disney maupun Microsoft telah menutup proyek metaverse-nya masing-masing. Kedua perusahaan tampaknya sudah tidak tertarik lagi berinvestasi di metaverse, dan itu bisa dilihat dari langkah yang diambil oleh masing-masing perusahaan.
Dalam kasus Disney, raksasa industri hiburan tersebut dilaporkan telah menutup divisi metaverse-nya dan memecat sekitar 50 karyawan dari divisi tersebut. Keputusan ini merupakan bagian dari aksi PHK massal yang tengah Disney jalankan, yang kabarnya memakan korban sebanyak 7.000 orang dari lintas divisi.
Sebelumnya, Disney merupakan salah satu perusahaan yang sangat cepat mengantisipasi tren metaverse. Eks CEO Disney, Bob Chapek, mengumumkan ketertarikan perusahaannya terhadap metaverse pada November 2021, hanya beberapa hari setelah Facebook mengganti namanya menjadi Meta dan menyingkap ambisi besarnya.
Kemudian pada bulan Februari 2022, Disney resmi mendirikan divisi khusus metaverse yang dipimpin oleh salah satu eksekutif seniornya, Mike White. Kala itu, rencana Disney adalah membangun berbagai pengalaman metaverse dengan memanfaatkan portofolio IP hiburannya yang masif.
Setahun berselang, divisi metaverse Disney sudah tinggal sejarah, dan Mike White pun kabarnya telah dipindah ke divisi lain.
Microsoft mundur perlahan dari metaverse
Sama halnya seperti Disney, Microsoft juga termasuk salah satu perusahaan pertama yang dengan cepat memanfaatkan momentum metaverse. Hal ini cukup wajar mengingat Microsoft memang sudah sejak lama berinvestasi di ranah teknologi virtual reality (VR) — yang kita tahu sangat berkaitan erat dengan metaverse.
Pada tahun 2017, Microsoft mengakuisisi AltspaceVR, sebuah startup pengembang layanan social VR, yang pada dasarnya bisa kita anggap sebagai cikal bakal metaverse. Sayangnya, laporan WSJ mengatakan bahwa AltspaceVR sekarang sudah sepenuhnya ditutup, dan Microsoft pun kabarnya juga sempat melakukan restrukturisasi pada divisi HoloLens sekaligus memangkas anggarannya.
Microsoft sendiri mengaku masih memegang komitmen pada metaverse, baik dari segi hardware maupun software. Namun keputusan-keputusan yang diambilnya tadi mungkin bisa menjadi indikasi bahwa Microsoft tidak lagi sesemangat dulu dalam mengembangkan metaverse.
Seperti yang bisa kita lihat, Microsoft belakangan ini jauh lebih tertarik dengan ranah AI. Mereka telah memperkenalkan generasi baru mesin pencari Bing yang dilengkapi integrasi chatbot AI ala ChatGPT, dan mereka juga bekerja sama langsung dengan OpenAI untuk menyematkan AI GPT-4 pada layanan-layanan produktivitasnya.
Singkat cerita, AI jauh lebih ‘seksi’ bagi Microsoft saat ini ketimbang metaverse. Scott Kessler, seorang analis teknologi dari perusahaan riset Third Bridge Group, mengatakan kepada WSJ, “Semua hal yang terjadi saat ini, yang berkaitan dengan AI, tampaknya dapat digunakan dan dimanfaatkan sekarang. Dengan metaverse, tidak ada yang tahu kapan Anda bisa menembus pasar secara luas.”
Bagaimana dengan Meta sendiri?
Jangankan Microsoft, Meta sendiri tampaknya juga sependapat bahwa AI lebih penting untuk diprioritaskan saat ini ketimbang metaverse. Sentimen ini dikemukakan langsung oleh Mark Zuckerberg selaku CEO Meta dalam earnings call terakhir perusahaan yang dilangsungkan bulan Februari lalu.
“Dua gelombang teknologi utama yang mendorong roadmap kami adalah AI saat ini, dan dalam jangka panjang, metaverse,” ucap Mark seperti dikutip oleh WSJ. Dalam sesi tersebut, kata “AI” disebut sebanyak 28 kali, sementara kata “metaverse” cuma 7 kali. Dengan kata lain, metaverse masih menjadi fokus bagi Meta, tapi yang nomor satu saat ini adalah AI.
Pertengahan Maret lalu, Meta mengumumkan bahwa mereka akan melakukan PHK lagi terhadap 10.000 karyawannya — menyusul aksi PHK massalnya pada November 2022 — sebagai langkah untuk meningkatkan efisiensi perusahaan. Dalam pengumumannya, Mark menjelaskan beberapa pertimbangan yang mendasari keputusan beratnya itu, yang sebagian besar berkaitan dengan pengiritan bujet serta pembatalan proyek-proyek yang kurang berdampak.
Proyek spesifik apa yang terancam dihentikan tidak disebutkan, namun laporan lain dari WSJ menyebutkan bahwa beberapa proyek bikinan Reality Labs (divisi metaverse Meta) juga termasuk di antaranya. Mark sendiri mengatakan bahwa upaya perusahaannya membangun metaverse “masih tetap penting untuk mendefinisikan masa depan dari hubungan sosial”, namun sekali lagi, prioritasnya sudah bergeser.
“Investasi tunggal terbesar kita adalah memajukan AI dan membangunnya ke dalam setiap produk kita. Kita punya infrastuktur untuk melakukan ini pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan menurut saya pengalaman yang dihasilkannya bakal luar biasa,” tulis Mark dalam surat yang ditujukan kepada karyawan Meta tersebut.
Upaya Meta mewujudkan ambisi metaverse-nya memang jauh dari kata mulus. Meski telah menghabiskan triliunan rupiah, platform metaverse yang Meta bangun — Horizon Worlds — masih kelihatan terlalu simpel untuk sesuatu yang dipercayai dapat mengubah cara manusia berinteraksi satu sama lain. Bukan cuma itu, Horizon Worlds pun juga dihujani banyak kendala teknis sampai-sampai karyawan Meta sendiri enggan memakainya.
Secercah harapan dari Yuga Labs
Keberhasilan tren metaverse tidak semestinya bersandar pada keputusan sejumlah perusahaan besar saja. Pasalnya, di luar sana sebenarnya juga banyak startup yang sibuk mengembangkan platform metaverse. Salah satunya adalah Yuga Labs, startup Web3 yang bertanggung jawab atas koleksi NFT populer Bored Ape Yacht Club, sekaligus pemilik resmi IP NFT CryptoPunks.
Pada Maret 2022, Yuga Labs resmi mengumumkan proyek metaverse ambisiusnya yang bernama Otherside. Platform ini memang belum bisa diakses oleh publik secara luas, dan Yuga sendiri baru sempat menggelar uji coba teknis secara terbatas sebanyak dua kali. Pun begitu, yang Yuga tunjukkan sejauh ini melalui Otherside terkesan lebih menjanjikan daripada apa yang ditawarkan oleh Meta.
Uji coba pertama Otherside dihelat pada Oktober 2022, dan secara total ada sekitar 4.500 orang yang berpartisipasi dalam sesi tersebut. Apa yang Yuga suguhkan kala itu memang belum terlalu banyak, akan tetapi sudah bisa memberikan gambaran positif mengenai fondasi teknologi yang digunakannya.
Yuga Labs mengadakan uji coba kedua Otherside pada 25 Maret kemarin, dan respons yang diterimanya rupanya lebih positif lagi berdasarkan pengalaman hands-on CoinDesk. Kali ini, ada sekitar 7.200 orang yang ikut serta dalam sesi uji coba yang berlangsung selama 90 menit itu.
Menurut CoinDesk, pengalaman yang didapat dari Otherside lebih mirip seperti memainkan game MMORPG. ‘Penyakit-penyakit’ umum platform metaverse seperti kualitas grafik yang buruk maupun gangguan jaringan hampir tidak ditemukan di Otherside meskipun ada ribuan orang yang mengaksesnya secara bersamaan.
Penutup
Kembali ke pertanyaan di awal, saya kira menjawabnya tidak bisa dari satu sudut pandang saja. Memang ada indikasi bahwa tren metaverse bakal berakhir bahkan sebelum ia mencapai titik mainstream, namun itu bukan berarti teknologinya bakal ditinggalkan sepenuhnya.
Buat saya pribadi, skenario paling buruknya adalah metaverse bakal menjadi teknologi niche yang hanya relevan dan bisa dinikmati oleh sebagian kecil konsumen saja. Namun tentu saja ini belum bisa dibuktikan, dan perusahaan seperti Meta maupun Yuga Labs masih punya kesempatan untuk membuktikan sebaliknya.
Setidaknya untuk sekarang, metaverse harus rela minggir dan meminjamkan panggungnya kepada AI terlebih dulu.
Gambar header: Freepik.