Apalah arti sebuah istilah? Ketika Instagram resmi menghadirkan integrasi NFT di platformnya pada Agustus 2022 lalu, mereka lebih memilih memasarkannya dengan istilah “digital collectible“. Tanpa perlu menjabarkannya secara mendetail, pesan yang ingin Instagram sampaikan sudah cukup jelas: bahwa ini merupakan barang yang dapat dikoleksi yang sifatnya digital.
Bandingkan jika Instagram melabelinya “NFT”, tentu mereka harus menjelaskan istilah tersebut secara lebih mendetail terlebih dahulu, yang mungkin akan butuh waktu untuk bisa dipahami oleh pengguna yang tergolong cukup awam.
Meski tidak disebutkan, kemungkinan Instagram juga punya alasan lain di balik keputusannya memasarkan NFT sebagai digital collectible. Bisa jadi, Instagram merasa citra NFT di mata publik cenderung negatif, dan mereka tidak ingin image buruk tersebut jadi diasosiasikan dengan platformnya hanya karena mereka memutuskan untuk mengikuti tren terkini.
Instagram bukanlah satu-satunya perusahaan yang ‘menghindari’ penggunaan istilah NFT dalam menjalankan inisiatifnya. Di Tiongkok, hampir semua brand bahkan memasarkan koleksi NFT-nya sebagai digital collectible, dengan harapan agar inisiatifnya tidak diasosiasikan dengan kripto, yang memang sepenuhnya dilarang di negara tersebut.
Hal ini kemudian memicu pertanyaan, “Apakah mulai sekarang NFT sebaiknya disebut digital collectible saja?” Lalu bagaimana dengan jargon-jargon lain yang terkait seperti “blockchain“, atau bahkan yang belakangan banyak dianggap memayungi semuanya, yakni “Web3”?
Haruskah NFT, Web3, dan kawan-kawan sejawatnya melakukan rebranding?
Alasan untuk rebranding
Pada awal Januari 2023 kemarin, sebuah perusahaan mining Bitcoin bernama Riot Blockchain memutuskan untuk mengubah namanya menjadi Riot Platforms. Pergantian nama tersebut bertujuan untuk menandai upaya diversifikasi bisnis yang dijalani Riot, yang di tahun kemarin kehilangan lebih dari 85% kapitalisasi pasarnya.
Riot Blockchain, Inc. Announces Corporate Rebranding to Riot Platforms, Inc., Reflecting Increasingly Diversified, Bitcoin-Driven, Business Operations.
Read more in today’s press release: https://t.co/zEPk3cojFS.
— Riot Platforms, Inc. (@RiotPlatforms) January 3, 2023
Singkat cerita, bisnis Riot tidak lagi sepenuhnya berfokus pada mining Bitcoin, dan mereka ingin hal itu bisa langsung terlihat dari nama perusahaannya. Kebetulan, image Bitcoin dan aset kripto lain memang sedang buruk-buruknya, dan langkah ini menjadi taktik mereka untuk tidak ikut terseret pemberitaan negatif yang masih terus berlanjut sampai sekarang.
Langkah tersebut berbanding terbalik dengan yang terjadi menjelang akhir tahun 2017. Kala itu, sebuah perusahaan manufaktur minuman asal Amerika Serikat bernama Long Island Iced Tea Corp. memutuskan untuk mengubah namanya menjadi Long Blockchain Corp., sekaligus mengumumkan rencananya untuk menggeluti bisnis mining Bitcoin.
Kalau melihat sejarah Bitcoin, akhir 2017 sampai awal 2018 memang menjadi masa keemasan industri kripto — setidaknya sebelum bubble initial coin offering (ICO) meledak beberapa bulan setelahnya. Strategi yang dijalankan Long Island Tea Corp. terbukti berhasil, sebab hanya beberapa hari pasca pengumuman pergantian namanya, harga sahamnya sempat naik sampai 200%.
Kalau di tahun 2018 menyelipkan kata “blockchain” ke nama perusahaan berujung pada peningkatan valuasi, sekarang yang terjadi malah sebaliknya. Banyak perusahaan yang tidak mau lagi diasosiasikan dengan kripto, NFT, blockchain, Web3, dan lain sejenisnya. Tentu saja itu tidak terjadi tanpa alasan, dan salah satu penyebab yang bisa kita tunjuk adalah FTX, salah satu bursa kripto terbesar di dunia yang dinyatakan bangkrut November lalu.
Generalisasi jargon
Citra buruk kripto bukanlah satu-satunya alasan untuk melakukan rebranding. Kecenderungan publik untuk mengeneralisasi jargon di industri kripto juga menciptakan masalah tersendiri kalau menurut pengamatan CoinDesk.
Sebagai contoh, sebagian besar dari kita sering memakai istilah “token” untuk aset kripto maupun NFT. Padahal, kenyataannya ada beberapa jenis token yang berbeda. Ada token yang berfungsi sebagai sumber tenaga jaringan blockchain umum macam Ether (ETH); ada token yang berfungsi sebagai aset seperti Bitcoin (BTC); ada token yang digunakan sebagai alat pembayaran macam USDC; dan ada pula token seperti NFT, yang pada dasarnya berperan sebagai penanda akan kelangkaan objek digital.
Ketika semua itu digeneralisasi, sering kali pesan yang sebenarnya tidak bisa tersampaikan dengan baik. Alhasil, ketika para pemain industri berupaya untuk bernegosiasi dengan pihak regulator maupun pihak-pihak lainnya, masalah pun bisa muncul.
Semisal saya sedang membahas tentang NFT, tapi yang saya ajak bicara menangkapnya tidak lebih dari sebatas aset kripto macam Bitcoin, maka pesan yang sebenarnya ingin saya sampaikan jelas tidak akan terwujud.
Pentingnya suatu nama
Ed Pescetto, seorang Technical Director di perusahaan konsultansi brand Superunion, berargumen bahwa nama yang tepat untuk industri ini seharusnya adalah “blockchain“. Bukan Web3, bukan kripto, bukan juga DeFi.
Menurutnya, Web3 terdengar seperti sebuah cult, sementara kripto sering kali langsung ditangkap sebagai mata uang kripto, meski pada kenyataannya yang dibahas sering kali bukan mengenai mata uang. DeFi di sisi lain cenderung misleading karena pada praktiknya elemen desentralisasinya tidak sekuat yang dibayangkan banyak orang.
Ed juga menyarankan para pemain industri untuk berhenti membahas mengenai protokol di hadapan publik. Ia mencontohkan bagaimana sebagian besar dari kita mungkin tidak tahu tentang protokol HTTPS, tapi hampir semuanya tahu tentang website. Email pun juga demikian, sebab sebagian besar orang mungkin tidak pernah tahu tentang protokol SMTP yang menjadi infrastruktur email.
Pada awalnya, blockchain memang bisa dibilang diciptakan oleh para ahli komputer untuk para ahli komputer. Seiring bergesernya target pasar teknologi blockchain ke audiens baru yang lebih luas, maka penyampaian pesannya pun juga harus berubah.
Fokus pada utilitas sebagai alternatif rebranding
Dickon Laws, Global Head of Innovation Services di agensi periklanan Ogilvy, mengatakan kepada Decrypt bahwa istilah “kripto” dan “Web3” menjadi toxic bukan hanya karena banyaknya kasus penyalahgunaan yang terjadi, melainkan juga karena “product-market fit yang buruk.”
“Tidak ada seorang pun yang membuat Web3 relevan atau dapat diakses oleh banyak orang, atau benar-benar memakai waktunya untuk mencoba memahami bagaimana hal itu bisa memecahkan masalah pasar secara luas atau meningkatkan kehidupan konsumen,” tutur Dickon.
Kalau menurut Martin Raymond, cofounder perusahaan konsultansi The Future Laboratory, persoalan nama ini mungkin tidak terlalu penting untuk jangka panjangnya. Ia menduga reaksi negatif yang diterima industri kripto saat ini tidak lebih dari prasangka buruk terhadap sesuatu yang bersifat baru.
“Saya pikir ini terjadi pada setiap siklus inovasi atau siklus teknologi; jika Anda bicara tentang biotek, di awal itu dianggap seperti monster Frankenstein, sedangkan di kesempatan berikutnya itu merupakan bentuk upaya penyelamatan Bumi,” jelas Martin kepada Decrypt.
Ketimbang rebranding, yang lebih dibutuhkan oleh ranah Web3 menurut Martin adalah “detoxifying“, dan ini merupakan tugas para pembela teknologinya, para jurnalis yang menulis tentangnya, dan pemain industri perbankan maupun finansial yang berniat menggunakan teknologinya.
Kalau mau disimpulkan, ini berarti harus ada perhatian ekstra pada pengembangan utilitas. Sebagai konsumen, sebagian besar dari kita mungkin tidak peduli dengan istilah app, dapp, NFT, smart contract, dan lain sebagainya. Yang kita utamakan adalah apa manfaat yang bisa kita dapatkan darinya.
Bukankah itu sesuatu yang sulit dilakukan di saat industrinya sudah dicap buruk? Tidak juga, sebab kalau menurut Hugo Renaudin selaku cofounder dari platform social token P00ls, justru ini merupakan waktu yang tepat untuk memulai — sebuah fresh start istilahnya.
“Noise yang ada lebih sedikit, Anda tidak lagi memiliki orang-orang yang sebelumnya di sana hanya untuk mencari cuan dengan cepat, sehingga Anda dapat berfokus untuk memberikan nilai nyata dan produk yang melayani tujuan sebenarnya,” tutur Hugo seperti dikutip oleh Vogue.
“Ini adalah teguran bagi orang-orang di industri, yang mengingatkan mereka untuk berfokus pada pengaplikasian dan utilitas ketimbang jargon dan hype,” imbuhnya.
Gambar header: Cloudflare.