Teknologi baru selalu menjadi pisau bermata dua. Generative AI (AI) bukan pengecualian. Di satu sisi, GAI dipercaya akan bisa memudahkan banyak orang dalam membuat seni atau tulisan. Di sisi lain, GAI dianggap sebagai ancaman yang bisa membuat banyak orang kehilangan pekerjaan. Media jadi salah satu industri yang mulai menggunakan GAI. Tak hanya itu, developer game juga tampaknya menunjukkan ketertarikan untuk menggunakan GAI.
Potensi Penggunaan Generative AI Bagi Developer
Menurut Philip Oliver, developer veteran yang juga merupakan Co-founder dari Panivox, Generative AI (GAI) untuk developer game layaknya traktor untuk para petani. Dia percaya, jika digunakan dengan tepat, GAI bisa meningkatkan efisiensi developer game.
Sementara itu, developer indie Shahid Ahmad membandingkan keberadaan GAI dengan penggunaan mesin di era revolusi industri. Dia mengatakan, keberadaan mesin dan robot bisa membuat kehidupan manusia menjadi lebih mudah. Namun, dia menganggap, saat ini, para developer belum mencoba untuk melakukan mechanisation.
“Awalnya, memanfaatkan mesin untuk membuat seni mungkin terdengar aneh. Tapi, kebanyakan aset yang digunakan dalam video game merupakan karya seni. Dan karya seni bisa dibuat oleh mesin dengan bantuan manusia,” kata Ahmad pada GamesIndustry.
Co-founder dan Creator-in-Chief Bossa Studio, Imre Jele menambahkan, teknologi baru, seperti GAI, bisa memberikan dampak besar pada banyak industri, termasuk industri game. Dan dia menyadari, perubahan ini memang selalu punya dampak negatif, memaksa perusahaan dan para pekerja untuk beradaptasi dengan keadaan.
“Ketika perubahan yang terjadi mempengaruhi ekonomi dalam skala besar, maka diperlukan perubahan sosial,” ujar Jele. “AI bisa menjadi teknologi yang mendorong perubahan besar tersebut. Saya percaya, GAI punya potensi untuk mengubah industri game di tingkat fundamental.”
Namun, Jele mengingatkan, GAI juga menawarkan tantangan tersendiri. Salah satunya, penggunaan konten dengan hak cipta untuk melatih AI. Saat ini, proses latihan GAI menggunakan konten yang memiliki copyright masih jatuh di ranah abu-abu. Jeje menganggap, selama masalah itu belum terselesaikan, maka GAI belum bisa digunakan untuk membuat game.
“Pada akhirnya, walau teknologi AI berkembang dengan pesat, kita hanya memiliki beberapa tools yang bisa digunakan dalam proses produksi. Jadi, masih ada waktu sebelum AI mengubah cara developer membuat game,” ungkap Jele.
Bagaimana Generative AI Digunakan Dalam Pengembangan Game?
Rok Breulj, pendiri dan pemilik Proxy Studios mengatakan, AI bisa digunakan untuk memudahkan proses pembuatan konten, yang membutuhkan banyak sumber daya manusia. Sekarang, timnya telah menggunakan AI art tools untuk membuat concept art dari berbagai elemen dalam game, seperti bangunan. Di masa depan, Breulj percaya, AI akan digunakan dalam skala yang lebih besar di industri game.
“Saya yakin, AI akan bisa memperluas skala game yang dibuat developer,” kata Breulj. “Kita akan bisa memainkan game dengan dunia yang lebih besar dan durasi lebih panjang. Dua hal ini adalah sesuatu yang diinginkan oleh para pemain.”
— Weird Ai Generations (@weirddalle) January 22, 2023
Namun, Breulj mengingatkan, kualitas dari output yang dihasilkan oleh GAI akan tergantung pada penggunanya. Karena itu, dia merasa, para developer seharusnya tidak takut untuk menggunakan AI. Sebaliknya, dia mendorong para developer untuk mencoba GAI dan mencari tahu batasan dari teknologi tersebut. Sehingga, developer bisa tahu cara terbaik dalam menggunakan GAI.
Tom Pigott, CEO dan pendiri dari Ludo AI mengatakan bahwa GAI akan bisa membantu developer dalam membuat art design, concept ideation, dan pembuatan aset. Sebagai perusahaan, Ludo AI menawarkan tool yang memungkinkan developer membuat prototipe dari konsep game hanya dengan memberikan prompt. Pigott mengatakan, dengan bantuan tool seperti Ludo AI yang perusahaannya tawarkan, para developer untuk meminimalisir waktu yang mereka perlukan dalam membuat konsep desain sebuah game.
“Sejatinya, developer game menghadapi tiga keterbatasan utama: biaya, waktu, dan sumber daya,” ujar Pigott. “Ketika developer harus mengatasi ketiga masalah ini di saat bersamaan, kemungkinan untuk gagal meningkat pesat.”
Sementara itu, Ahmad menekankan, para developer indie akan merasa sangat terbantu oleh keberadaan GAI. Dia menjadikan Hello Games, developer asal Inggris yang membuat No Man’s Sky, sebagai contoh. Menggunakan procedural generation, Hello Games bisa membuat game dengan skala layaknya game AAA.
Bahaya Penggunaan Generative AI untuk Membuat Game
Walau Ahmad percaya bahwa GAI bisa membantu developer indie, dia juga mengingatkan bahwa tidak semua konten yang dihasilkan oleh GAI bisa digunakan dalam pembuatan game. Jika digunakan secara asal-asalan, GAI justru akan menghasilkan output yang membosankan.
Sekali lagi, Ahmad menjadikan No Man’s Sky sebagai contoh. Dia menyebutkan, mekanisme procedural generation memang bisa menciptakan planet dan makhluk hidup dalam jumlah tak terbatas. Namun, pada akhirnya, Hello Games punya kewajiban untuk memilih “output” terbaik demi memberikan pengalaman bermain yang memuaskan pada para gamers.
Breulj mencoba untuk menyorot masalah lain yang mungkin terjadi jika GAI digunakan oleh banyak developer game: industri game bisa dibanjiri oleh game-game yang dibuat setengah hati menggunakan AI tools. Saat ini pun, masalah tersebut sudah terjadi. Jika jumlah game yang dirilis bertambah, tapi kualitas game menurun, maka developer harus berjuang lebih keras untuk membuat game mereka tampil mencolok.
Kekhwatiran terbesar terkait kemunculan GAI adalah apakah ia akan menggantikan manusia. Jele sendiri percaya, GAI hanya akan menjadi alat yang dapat membuat manusia bekerja dengan lebih efektif. Namun, dia juga tahu bahwa keberadaan GAI bisa membuat para artists pemula kehilangan pekerjaan. Dalam jangka panjang, hal ini bisa berujung pada berkurangnya jumlah artists yang berpengalaman.
“Pada akhirnya, saya merasa, AI memang akan menggantikan manusia,” ujar Jele. “GAI tidak hanya akan mempengaruhi beragam pekerjaan, tapi juga akan menghilangkan banyak pekerjaan. Pertanyaannya: seberapa cepat hal ini akan terjadi dan seberapa jauh dampaknya.”
Sumber header: Diplomacy.edu